Tuesday, July 29, 2008

Aku Percaya, Maka Aku Bertanya



Akhir-akhir ini umat beriman beruntun diresahkan oleh pelbagai literatur yang dianggap mengguncang keyakinan. Setelah The Da Vinci Code berlalu, kini rak toko buku dipenuhi dengan karya-karya sensasional, antara lain: The Jesus Family Tomb (Simcha Jacobovici dan Charles R. Pellegrino), Misquoting Jesus (Bart D. Ehrman), The Jesus Dinasty (James Tabor), dan The Lost Gospel (Herb Krosney, tentang Injil Yudas). Keyakinan kita yang terpelihara selama berabad-abad serasa ditelanjangi. Keraguan terbersit. Sebagian orang memilih diam dan membiarkan pikiran tidak beranjak untuk menelisik lebih jauh. Yang lain mencoba menanggapi keraguan dengan menelaah dan mengolah pikiran untuk menemukan kebenaran yang teguh.

“Keraguan adalah bagian dari cinta akan kebenaran”, kata Ernest Renan. “Ketakpernahraguan” sesungguhnya lebih mencerminkan apatisme ketimbang keteguhan pada keyakinan. Keraguan adalah karakter intrinsik makhluk insani berakal budi. Orang yang mengecam keraguan justru adalah orang yang ragu-ragu. Bila kita yakin apa yang kita percayai adalah kebenaran, mengapa kita takut dan gerah ketika kebenaran itu diuji? Pepatah Cina mengatakan: “Emas murni tak takut pada api (cen cing put pha huo)”. Dibakar dengan api apa pun, emas murni tetaplah emas murni. Begitu pula dengan kebenaran. Apakah keraguan mengakibatkan hilangnya iman, masih harus diteliti lebih jauh. Tapi benar bahwa keraguan dan sikap kritis dapat mengubah beberapa sudut pandang. Tanpa tekanan media sensasional di atas pun, sikap iman akan berkembang seiring dengan waktu. Bila dulu, segala hal diterima begitu saja, sekarang kita membutuhkan telaah yang lebih dalam. Kendati demikian, keterbatasan daya nalar tetap menyadarkan bahwa kita tidak bisa memiliki jawaban yang pasti untuk segala sesuatu.

Dalam tanggapan atas karya Da Vinci Code, Romo Franz Magnis-suseno dalam Tempo edisi 28 Mei 2006, berujar: “Yang saya anggap sebagai tragedi banyak orang Kristen ialah bahwa mereka menarik kesimpulan cengeng dari bahaya-bahaya itu. Daripada menanggapinya sebagai tantangan, mereka mengutuknya sebagai anti-Tuhan, dan lari ke dalam jemaat-jemaat tempat mereka merasa aman dari dunia buruk,…. Bagi saya, sikap ini melarikan diri dari perutusan Gereja ke dalam dunia….” Keraguan yang menerpa pikiran tak perlu dianggap ancaman. Lagi pula Gereja telah melewati abad-abad “pertengahan”: abad di mana kita berada pada tahap “mediocare”, setengah-dewasa. Kita telah melewati “masa banteng”. Tatkala sesuatu membuat marah, seekor banteng menurunkan tanduk, menaikkan buntut, mata memicing tajam menuju sasaran, tanpa pikir panjang, menyerang lurus ke depan.

Karya-karya sensasional di atas menantang kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Yesus memiliki anak dari Maria Magdalena? Apakah benar kuburan-Nya sekeluarga telah ditemukan? Apakah Ia pura-pura mati, menyelinap pergi, dan melarikan diri ke Mesir? Apakah ayah kandung-Nya bernama Panthera? Apakah Injil-injil bisa dipercaya? Adakah sumber lain yang lebih lengkap tentang hidup Yesus? Dan yang paling parah: Apakah Yesus sungguh-sungguh pernah hidup? Sungguh, tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat diajukan. Para penulis tampaknya cenderung mencari sumber di luar keempat Injil untuk mendapatkan data tentang Yesus. Padahal dari sisi historis maupun arkeologis, keempat Injil merupakan bahan tertua. Ironisnya, mereka lebih berminat pada kitab-kitab abad-abad selanjutnya. Anehnya, tiga karya yang disebut terakhir di atas berasal dari ahli yang berkompeten. Tampaknya rasionalitas dan obyektivitas telah ditarik dari sumbu rodanya.

Itulah tantangan iman zaman baru kita. Jika dahulu Yesus disalibkan oleh pemuka agama Yahudi dan penguasa Roma, kini Dia disalibkan oleh media massa. Mereka memaku-Nya dengan pasak pena, menikam-Nya dengan gambaran fiksi berkedok fakta; legenda dan mitos bertopeng sejarah. Dalam penyaliban ini, di mana posisi kita? Pontang-panting melarikan diri, berdiri jauh-jauh, atau ada di kaki salib-Nya?

Masalah yang lebih utama bukanlah ancaman semu yang muncul dari karya-karya sensasional yang dianggap menggoyahkan keyakinan. Masalahnya ada dalam diri kita. Sejauh mana kita berani menelisik keyakinan iman kita. Barangkali kita lebih tenang dan merasa aman dengan “angin surga” yang melingkungi keyakinan-keyakinan kita. Kita tidak siap menghadapi kemungkinan untuk hidup dengan iman yang resah. Yang kita dambakan mungkin keyakinan tanpa gangguan seolah kehidupan merupakan jalan lurus dan rata.

Keraguan dan bertanya adalah awal pengetahuan dan wujud nyata kecintaan akan kebenaran. Paradigma harus diubah. Bukan: “Aku tak percaya, maka aku bertanya, melainkan “Aku percaya, maka aku bertanya”. Credo ergo interrogo! Aku percaya, dan untuk meneguhkan kepercayaan, maka aku bertanya. Keyakinan pun sedapat mungkin dipertanggungjawabkan secara rasional. Rasional tapi bukan rasionalistik! Yang dibutuhkan adalah rasionalitas, bukan rasionalisme! Rasionalistik adalah ciri dari rasionalisme. Rasional berarti menelaah anggapan atau kepercayaan dengan akal sehat. Sementara rasionalistik mengharuskan segala sesuatu diuji terlebih dahulu sebelum diterima. Rasionalisme radikal menuntut agar orang tidak menerima kepercayaan sebelum terbukti benar. Dalam banyak hal, sikap rasionalistik tidak mungkin terlaksana dan tidak perlu! Tidak mungkin kita harus selalu menguji apakah setiap jembatan yang akan kita lewati masih kuat. Sikap rasionalistik juga tidak perlu, karena kita bukanlah manusia pertama dan satu-satunya yang hidup di dunia. Maka tidak mungkin dan tidak perlu kita memastikan segala sesuatu sendirian. Kita bisa percaya pada orang lain dan mendasarkan diri pada pelbagai tradisi yang memuat pengalaman generasi-generasi terdahulu. Sesekali kita dapat bertanya dan bertanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan sesuai dengan zaman kita.

Karena kita diberi anugerah khusus akal budi sebagai makhluk insani, marilah kita memanfaatkannya. Kita tidak lebih suci dan saleh dengan mengatakan bahwa keyakinan harus diterima kendati bertentangan dengan akal sehat. Apa boleh buat, kita hidup sekarang dan di sini. Kita tidak hidup di zaman para Rasul, seperti Petrus, yang ke mana-mana membawa pedang terhunus. Kita juga aman dari penguasa yang berusaha memberanguskan kekristenan di zaman Nero. Setiap zaman memiliki tantangan dan tanggung jawab yang berbeda. Zaman baru ini menuntut agar kita ke mana-mana selalu siap dengan akal budi terus bernyala. Baiklah kita menaruh lentera budi anugerah Tuhan bukan di dalam tempayan, melainkan di tempat yang tinggi untuk menerangi kegelapan dunia.

Lianto

Saturday, July 26, 2008

Kelahiran Yesus: Teologi atau Sejarah?



Sebagian orang mungkin dibingungkan oleh tulisan Injil-injil Perjanjian Baru seputar kelahiran Yesus. Kisah kelahiran Yesus ditemukan dalam Injil menurut Matius dan Lukas. Keduanya memberikan detail yang berbeda. Lukas menyajikan kisah masyhur tentang perjalanan Yosef dan Maria yang melelahkan dari Nazareth ke Betlehem. Setiba di sana, tibalah saat bagi Maria untuk melahirkan. Bayi Yesus yang dilahirkan dibaringkan di palungan. Mereka harus berbagi tempat dengan hewan di kandang karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Matius tidak menyebut tentang perjalanan itu. Mereka telah ada di Betlehem. Dan Maria melahirkan bayinya di rumah. Apakah bagi Matius, kisah perjalanan Nazareth-Betlehem tidak penting? Di lain sisi, Matius bertutur tentang kunjungan orang-orang majus dari Timur dan bicara soal perbintangan. Namun Lukas sepertinya tidak berminat dengan hal itu. Lukas menulis tentang para gembala yang mendapat anugerah pertama menerima warta keselamatan. Siapa gerangan orang-orang majus itu? Siapa gerangan para gembala? Lazimkah sebuah bintang mula-mula berjalan menuju Yerusalem kemudian melesat ke arah Betlehem? Bagaimana fakta sejarah (bila itu maksud tujuannya) dijelaskan oleh dua data yang berbeda?

Tatkala pertanyaan-pertanyaan ini menempel ke langit-langit kepala, rasa puyeng melanda. Apakah cerita itu hanya isapan jempol belaka? Peristiwa kebangkitan adalah jawabannya. Kuncinya: iman kebangkitan menjadi titik tolak penulisan seluruh kisah. Teks-teks tentang kelahiran bukanlah teks tertua, melainkan teks termuda yang muncul setelah dikenalnya seluruh teologi tentang Yesus, kematian, dan kebangkitan-Nya. Justru setelah semua bahan (perumpamaan, mukjizat, gelar-gelar Yesus, kisah sengsara, kebangkitan,...) tersusun rapi, muncul pertanyaan tentang awal: bagaimana kisah kelahiran-Nya. Bagi jemaat perdana ketika kedua Injil ditulis (80 - 90 M), jelas Yesus merupakan Mesias, Penyelamat, dan Putera Allah. Bertolak dari sudut pandang ini, jemaat menafsirkan peristiwa-peristiwa sekitar kelahiran Yesus. Dari hal ini jelas bahwa apa yang dilukiskan penulis lebih merupakan warta iman daripada sebuah jurnal sejarah. Benarlah kata Jürgen Moltman, seorang teolog Jerman, bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ada iman yang tidak mulai a priori dengan kebangkitan Yesus. Matius maupun Lukas berangkat dari titik tolak yang sama, namun dengan tujuan sasaran yang berbeda. Pemilihan bahan, penekanan, dan redaksi bahan ikut ditentukan oleh kebutuhan jemaat sasarannya. Kondisi itulah yang menyebabkan perbedaan dalam detail kisah. Siapa sasaran tulisan mereka?

Injil Matius ditulis sekitar tahun 80-90 untuk lingkungan jemaat Kristen Yahudi. Maka dapat dimengerti mengapa Matius paling banyak mengutip Perjanjian Lama dibandingkan penulis Injil lainnya. Gelar Mesias mendapat tekanan kuat. Pada kepenuhan waktu, raja-raja dan bangsa-bangsa akan datang ke Yerusalem untuk menyembah-Nya (Yes. 60:6). Karena itu, Matius memuat kisah tentang orang-orang majus. Ilmu perbintangan juga tidak luput dari perhatian Matius. Kelahiran Abraham, Isaak dan Yakob juga diiringi terbitnya bintang di langit. Hal itu lumrah dikenal Yudaisme pada era Gereja perdana. Tampaknya teks-teks PL yang dipadukan dengan gejala astronomi mendorong Matius untuk menyusun cerita ini. Dengan itu Matius hendak mewartakan iman Gereja tentang Yesus sebagai Mesias yang datang pada kepenuhan zaman.

Astronomi sejak penemuan Yohanes Kepler mendukung cerita Matius. Dari perhitungan astronomis, orang tahu bahwa sekitar tahun 6 SM terjadi pertemuan (konjungsi) antara planet Jupiter dan Saturnus dalam konstelasi Pisces. Dalam astronomi, Jupiter (planet terbesar) melambangkan raja yang agung dalam semesta, sedangkan Saturnus adalah bintang kaum Yahudi. Konstelasi Pisces menandakan akhir dunia. Ketika konjungsi itu terjadi, orang-orang majus tahu pasti: di negeri Yahudi (Saturnus), seorang Raja Agung (Jupiter), pada kepenuhan masa (Pisces) telah lahir. Pendapat terkini memang mengatakan bahwa Yesus lahir pada zaman pemerintahan Herodes Agung, kemungkinan besar pada tahun 6 SM.

Injil Lukas juga ditulis antara tahun 80-90 untuk jemaat yang terdiri dari mayoritas bangsa bukan Yahudi. Itulah sebabnya Lukas lebih berminat pada figur gembala-gembala sederhana di padang Betlehem. Dengan warna teologis Lukas, para gembala dilihat sebagai wakil kaum miskin yang kepadanya Yesus diutus. Dalam kalangan Yahudi, para gembala adalah kelompok yang tersingkir. Pekerjaan mereka menjadikan mereka cacat di depan hukum. Dengan ini, Lukas mau menegaskan bahwa Yesus adalah Penyelamat bagi semua bangsa manusia.

Minat teologis, sifat, dan tujuan penulisan ternyata sangat menentukan redaksi para penulis Injil. Pemahaman akan sulit dijangkau bila pendekatan terhadap kisah Injil meleset dari aspek yang ditekankan atau dikehendaki penulis. Kisah dalam Injil (terutama kisah kelahiran Yesus) tidak dimaksudkan untuk laporan sejarah, melainkan lebih pada pewartaan dengan isi fakta, nubuat Kitab Suci, dan ungkapan iman zaman itu, yang diramu dan disajikan untuk kepentingan iman dan kebenaran yang hendak diwartakan.

Barangkali inilah alasan mengapa Gereja menyatakan kepada para pembaca untuk menangkap apa yang mau disampaikan Allah. Para penafsir harus mencermati apa yang mau disampaikan oleh para penulis suci; apa yang mau dinyatakan Allah melalui kata-kata mereka. Penting diperhatikan jenis-jenis sastra (Dei Verbum 12). Jenis sastra yang lazim dipakai pada masa PB adalah midrash haggadah. Gaya sastra ini mengambil suatu fakta atau ungkapan biblis, mengolah dan memperindahnya dengan tujuan untuk menggarisbawahi dan mewartakan kebenaran iman. Gaya inilah yang membungkus kisah kelahiran Yesus. Dalam gaya sastra ini terkandung pesan yang harus ditemukan dan diwartakan.

Bila kita ngotot dan menghabiskan waktu untuk mempermasalahkan historisitas setiap detail kisah kelahiran, kita akan kehilangan pesan yang ingin disampaikan. Dengan itu kita menempatkan diri di luar arena iman yang diciptakan Matius dan Lukas. Dalam arena itu, tidak perduli apakah bintang pernah muncul atau tidak; tidak perduli apakah benar orang-orang majus yang berkunjung atau para gembala. Hal utama adalah apa makna rohani kedatangan bayi mungil Yesus, yang harus disambut bukan terutama dalam dinginnya akal sedingin kandang Betlehem, melainkan di dalam kehangatan hati yang sarat iman.

Lianto
sumber utama: Leonardo Boff, Jesus Christ Liberator, A Critical Christology of Our Time

Roti dan Anggur: Hanya Lambang?



Setiap minggu bahkan setiap hari, umat beriman dapat mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi. Bukan tidak mungkin aktivitas ini bakal jatuh ke dalam rutinitas yang kurang bermakna. Oleh sebab itu, pada Minggu kedua setelah Pentekosta, Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Barangkali ini semacam penegasan dan “peringatan-ulang” tahunan akan apa yang sesungguhnya ada dalam dan terjadi pada “roti” dan “anggur” Ekaristi.

Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi
Melalui Konsili Trente, Gereja mengajarkan bahwa dalam Ekaristi yang mahakudus, secara sungguh, real, dan substansial ada tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus, bersama dengan jiwa dan keallahan-Nya. Kehadiran Kristus dalam Ekaristi disebabkan oleh perubahan seluruh substansi roti dan anggur menjadi substansi tubuh dan darah. Yang tinggal kasat mata hanya rupa roti dan anggur saja. Gereja menyebut perubahan ini dengan istilah “transubstansiasi” (DS* 1651, 1652). Peristiwa ini terjadi waktu konsekrasi dalam perayaan Ekaristi. Bagaimana kehadiran itu terjadi tidak dijelaskan. Keterbatasan bahasa manusia tidak memungkinkan pengungkapan misteri iman ini. Istilah “transubstansiasi” hanya menerangkan bagaimana kehadiran Kristus dapat dipikirkan ketika roti dan anggur dikonsekrasi, bukan bagaimana cara terjadinya.

Filsafat Aristoteles: Substansi dan Aksidens
Untuk mengerti “transubstansiasi”, filsafat Aristoteles kiranya dapat membantu. Menurut Aristoteles, segala sesuatu di dunia ini mempunyai hakikat (substansi) yang tak kelihatan. Substansi inilah yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu, dan bukan menjadi yang lain. Misalnya hakikat kucing adalah apa yang membuat kucing itu kucing, tak peduli apakah kucing itu besar, kurus, kurapan, berbulu hitam atau putih. Hakikat meja adalah apa yang membuat berbagai meja dengan bentuk apa pun (bulat, lonjong, segiempat) menjadi meja. Sedangkan aksidens adalah bentuk lahiriah (gemuk, kurus, hitam, putih, bulat, lonjong, dsb.) yang ditambahkan pada substansi. Substansi dan aksidens membentuk segala makhluk/benda konkret.

Dengan demikian pengenalan manusia mencakup dua aspek: pengenalan akan substansi yang ditangkap oleh rasio, dan pengenalan akan aksidens yang ditangkap indera. Dari sini, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa dalam konsekrasi, seluruh substansi roti dan anggur (yakni apa yang membuat roti dan anggur menjadi roti dan anggur) diubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus, meskipun sifat dan rupa (aksidens) roti dan anggur tetap sama.

Dari Beda Pendapat Menuju Dialog
Soal kehadiran nyata Kristus rupanya menimbulkan perselisihan pendapat dalam sejarah. Tokoh protestan Ulrich Zwingli menegaskan bahwa ekaristi melulu simbolis saja dan menolak terjadinya perubahan apa pun. Martin Luther menerima kehadiran nyata tapi menolak perubahan substansi. Ia menawarkan istilah “konsubstansiasi”: substansi roti dan anggur tetap ada bersamaan dengan substansi tubuh dan darah Kristus. Dan kehadiran Kristus terjadi bukan pada waktu konsekrasi, melainkan ketika Ekaristi kudus diterimakan kepada umat beriman. Konsili Trente menegaskan keyakinan teguh tentang konsekrasi, kehadiran nyata, dan perubahan substansi sembari menekankan perlunya penyembahan tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur (DS 1651-1654; 1356). Yang harus dipegang teguh adalah bahwa dalam Ekaristi, Kristus benar-benar hadir dalam rupa roti dan anggur, dan bukan sekedar lambang atau tanda saja.

Di era baru sekarang, Gereja pasca Konsili Vatikan II mendekati misteri Ekaristi tidak melulu dengan filsafat Aristoteles. Tanpa meninggalkan kekayaan teologi Konsili Trente, Gereja era baru melirik sudut pandang hubungan personal antara Kristus dan Tubuh Mistik-Nya: Gereja. Kristus hadir sebagai pribadi yang tidak terikat pada dimensi ruang dan mengadakan hubungan secara personal-real dengan orang beriman. Hal ini sejalan dengan pandangan tradisional St. Thomas Aquinas: Kristus bukan di tempat tertentu, melainkan menganugerahkan Diri-Nya kepada orang beriman yang menerima-Nya. Pendekatan ini bisa membuka jalan bagi dialog dengan Gereja-gereja tetangga. (bdk. Pernyataan Lima, Peru, 1982).

Masalah Praktis: Komuni Dua Rupa
Sejumlah tokoh protestan berpendapat bahwa menyambut komuni satu rupa (roti saja) kurang daripada dua rupa (roti dan anggur). Masalah praktis ini rupanya sangat ditekankan Luther yang menginginkan semua umat beriman menyambut komuni dua rupa. Untuk hal ini, Konsili Trente memutuskan bahwa “dalam sakramen Ekaristi yang terhormat di bawah masing-masing rupa dan di bawah setiap bagian dari kedua rupa tersendiri ada seluruh Kristus” (DS 1653). Dengan ini ditegaskan bahwa dengan menyantap satu rupa orang tidak mendapat kurang daripada menyantap dua rupa. Baik dalam roti maupun anggur tersendiri, Kristus hadir dalam arti sepenuhnya.

Berkaitan dengan tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi, seorang sahabat berumur 40-an membagikan kegembiraan dan kesedihannya. Dia gembira, karena diperkenankan menerima Kristus dalam komuni. Dia sedih, karena setelah puluhan tahun menjadi Katolik, sekarang baru tahu bahwa apa yang diterima selama ini dalam komuni adalah sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus. Tak diragukan lagi, sungguh-sungguh!: dalam Ekaristi, Kristus hadir secara istimewa melebihi kehadiran-Nya dalam sakramen-sakramen yang lain! Ketika Tubuh dan Darah-Nya diangkat waktu konsekrasi, sembahlah Dia! Kecap kenikmatan rohani yang luar biasa ini!


*DS (singkatan dari Denzinger-Schonmetzer) adalah kumpulan dokumen Gereja yang untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Heinrich Joseph Denzinger (=D) pada tahun 1854. Pada tahun 1973, Adolf Schonmetzer (=S) menerbitkan cetakan yang ke-35 dengan aneka revisi.

Lianto (Publikasi: Majalah Didache Juni 2007)

Allah Tritunggal Mahakudus



Pada hari Minggu pertama sesudah perayaan Pentekosta, kita merayakan pokok iman Kristiani yang utama, yakni iman akan Allah Tritunggal. Barangkali inilah ajaran tersulit dalam rumusan teologi Kristen sepanjang sejarah. Kita menyapa Allah sebagai Allah-Bapa, Allah-Putera, dan Allah-Roh Kudus. Ini tidak berarti bahwa kekristenan percaya akan tiga (jumlah) Allah. Sama seperti agama monoteis lainnya, kita juga mengimani bahwa Allah itu esa. Bagaimana keesaan dan ketigaan dijelaskan? Tulisan kecil ini mencoba menjadi sebatang korek api yang bernyala tidak lama. Kiranya cukup lama untuk memberi terang untuk menemukan lilin, lentera, lampu emergency, atau sumber cahaya lainnya. Cahaya misteri Allah Tritunggal sedemikian terang sehingga “membutakan” mata budi yang memandang-Nya.

Keterbatasan Budi
Pertama-tama harus disadari bahwa budi manusia mana pun tak mampu memahami misteri Allah Tritunggal sepenuhnya. Allah yang dapat dimengerti, bukan lagi Allah yang Mahatinggi. Hakikat dan keagungan Allah tidak sebanding dengan daya tangkap budi kita. Karena keterbatasan budi, kita hanya mampu mendekati misteri ini dengan bekal cercah-cercah cahaya.

Allah Tritunggal dalam Kitab Suci
Istilah “Tritunggal” atau “Trinitas” memang tidak ditemukan dalam Kitab Suci. Namun makna yang dimaksudkan dalam istilah teologis ini terkandung jelas dalam Kitab Suci. Misteri Tritunggal tersirat dalam bab pertama Injil Markus tentang pembaptisan Yesus (Mark 1:9-11). Bagian ini merupakan intisari wahyu Allah Tritunggal: Allah-Bapa mewahyukan Yesus sebagai Putera-Nya yang terkasih, sementara Roh Kudus memperlihatkan Diri dalam rupa merpati.

Injil Matius melangkah lebih jauh. Dalam Matius, Yesus yang bangkit mengutus para murid untuk mengajar segala bangsa dan membaptis mereka atas nama (bentuk singular) Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat 28:19). Ayat ini mengembangkan konsep dasar ajaran Tritunggal dalam Perjanjian Baru bukan melulu sebagai uraian teoritis, melainkan sebagai rumusan praktis untuk membaptis umat beriman.

Dalam Yohanes, konsep Tritunggal tersirat dalam hubungan kekal antara Bapa dan Sabda (Yoh 1:1-18). Roh Kudus dilukiskan sebagai yang berasal dari Bapa (Yoh 15:26) dan diutus oleh Putera (Yoh 16:7) untuk melanjutkan apa yang telah dimulai Putera (Yoh 16:13). Pengalaman Stefanus dalam Kis 7:55 juga turut memperkaya makna triniter dalam KS. Tidak ketinggalan Paulus, yang dalam surat-suratnya memberikan salam: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah serta persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2Kor 13:13 dan ayat-ayat paralel lainnya).

Allah Tritunggal dalam Teologi
Pengalaman iman akan Allah Bapa-Putera-Roh Kudus sebagaimana tersirat dalam Kitab Suci itu kemudian diwartakan. Atas dasar Alkitab, Gereja merefleksikan kebenaran ini dan merumuskannya dalam teologi. Dalam sejarah, muncul aneka pandangan sesat tentang Allah Tritunggal terutama pada abad ke-3 dan ke-4. Teologi Gereja berfungsi menampik pandangan sesat yang muncul dan sedapat mungkin mengembalikan makna iman sesuai wahyu dalam Injil.

Tentu saja rumusan teologi pun belum sepenuhnya memadai jika dibandingkan dengan pengalaman rohani yang hidup dan keADAan Allah Tritunggal yang sebenarnya. Gereja telah menempuh perjalanan panjang dalam usaha merumuskan dan mempertahankan ajaran iman Allah Tritunggal. Dua konsili ekumenis yang pantas disebut adalah Konsili Nikea (325) dan Konsili Konstantinopel I (381). Secara ringkas, ajaran konsili dapat dirumuskan berikut ini. Allah-Bapa (Sumber-tak-bersumber) sejak kekal (awal-tanpa-permulaan) menerimakan seluruh Diri-Nya kepada Allah-Putera. Maka Bapa dan Putera sama dalam segala hal, kecuali dalam cara “memiliki” ke-Allahan (menerima dan menerimakan). Penerimaan seluruh ke-Allahan dari Bapa dan dari Putera ialah Roh Kudus. Allah memberi Diri seluruhnya secara tak terbagi. Kemahaesaan adalah hakikat-Nya sehingga mustahil terbagi-bagi dalam unsur-unsur yang bisa dijumlahkan. Angka “satu” dan “tiga” harus dimengerti secara analogis. Allah itu Mahaesa; satu dalam Kodrat-Nya, dan ber-Pribadi tiga.

Harus ditegaskan di sini bahwa keberADAan Allah tidak sama dengan keberadaan ciptaan mana pun di dunia. Maka hal itu tak akan terungkapkan secara memuaskan dalam kata dan bahasa mana pun di dunia. Sifat analogis dalam pemakaian kata “satu” dan “tiga” mengharuskan kita untuk mengartikannya secara berbeda dari pengertian sehari-hari tentang angka. Tiga pribadi bukan bilangan (angka) yang bisa dijumlahkan. Ke-tiga-an menghindarkan orang untuk mengerti Ke-satu-an Ilahi secara terlalu manusiawi. Kesatuan Ilahi pun tidak sama dengan kesatuan ciptaan mana pun di dunia. Keesaan dan ketigaan ini jauh dari segala pengertian kuantitatif manusia. Kesatuan Allah menjadi jelas bagi kita justru dalam Ketigaan-Nya. Konsep Tritunggal bukan hanya tidak mengurangi keesaan Allah, melainkan malah memperdalam, mempribadikan, dan mengrohanikannya jauh di atas kesatuan duniawi apa pun yang dapat dipikirkan.

Allah Tritunggal dalam Gambaran Sederhana
Dalam sejarah, kita mengenal aneka gambaran untuk memudahkan pengertian tentang misteri Allah Tritunggal. Dalam bahasa sederhana, “ketigaan” dikemukakan dalam “kesatuan-tak-terpisahkan” misalnya dengan gambaran: “matahari-cahaya-kehangatannya” (St. Tertulianus). St. Agustinus mengajukan model psikologis “berada-mengenal-mencinta”. Richard dari St. Victor memakai model cinta kasih: Yang-mencinta (Bapa), Yang-dicinta (Putera), dan Cinta itu sendiri (Roh Kudus). “Tentang Allah Tritunggal hanya dapat dikatakan bahwa Dialah Cintakasih; sebab cintakasih mustahil sendirian.” (Jürgen Moltman). Ada pula yang melihat bahwa dari sudut pandang manusia, Bapa adalah Allah di atas kita, Putera adalah Allah bersama kita, dan Roh Kudus adalah Allah di dalam kita. Filsafat personalis “Aku-Engkau-Kita” yang dikembangkan Martin Buber turut memperkaya gambaran kita.

Allah Tritunggal dalam Silang Pendapat
Tatkala penjelasan positif (Tritunggal adalah ini atau itu) dirasa tidak memadai, kajian tentang aneka perselisihan berkaitan dengan ajaran Tritunggal kiranya dapat membantu. Dengan menyimak ajaran yang ditolak Gereja, kita mendapat masukan tentang kesalahan pengertian orang tentang ajaran yang bersangkutan.

Dalam sejarah, salah paham terbesar adalah paham monarkianisme. Paham ini terlalu menekankan kesatuan (bilangan/angka) Allah sehingga menolak Putera ilahi sebagai yang berpribadi sendiri. Aliran ini terwujud dalam dua pandangan, yakni modalisme dan subordinasionisme. Modalisme memandang Bapa, Putera, dan Roh Kudus hanya sebagai tiga cara penampakan Diri Allah. Mereka menolak bahwa ketiganya merupakan pribadi yang berbeda-beda. Sedangkan subordinasionisme atau arianisme menempatkan Putera dan Roh Kudus sebagai Allah yang lebih rendah dari Allah-Bapa. Paham-paham ini ditolak dan dianggap bidah oleh Gereja. Gereja menegaskan bahwa Allah-Putera sehakikat dengan Allah-Bapa. Maka Putera bukanlah makhluk di antara Allah dan ciptaan. Gereja juga mengajarkan bahwa Allah-Roh Kudus sama dalam keagungan (dan pantas dihormati dengan penghormatan yang sama) dengan Bapa dan Putera. Dalam menyebut misteri realitas Allah ini: ketigaan dan kesatuan, Gereja memakai istilah manusia yang amat terbatas: Tritunggal! Apa mau dikata, itulah perbendaharaan kata yang tersedia.

Bagaimana dengan bantahan sebagian saudara muslim yang merujuk nas Al-Quran yang menyebut bahwa Allah itu satu, tidak beranak dan atau diperanakkan, dan bahwa tiada tuhan selain Allah? Di zaman hidup nabi Muhammad, ada pandangan dari kaum Jahiliah yang menganut kepercayaan bahwa Allah mempunyai tiga anak yang bernama al-Lat, al-Uzza, dan al-Manat. Pandangan Al-Quran di atas muncul sebagai perlawanan atas keyakinan adanya tiga anak Allah dan bukan ditujukan untuk pandangan Tritunggal agama Kristen. Adalah salah alamat bila nas Al-Quran dipakai untuk membantah pandangan Tritunggal Mahakudus.

Lianto (Publikasi: Majalah Didache Juni 2007)

Pindah Agama: Rumput Tetangga Lebih Hijau



Ibuku seorang budhis, memegang peranan penting di salah satu wihara. Ia sering mendapat tugas untuk mengajar calon-calon penganut Budha di berbagai kota dan desa. Berkali-kali ibuku dianjurkan untuk “menginjili”-ku, agar pindah menjadi penganut Budha. Untuk menolak misi tersebut, ibuku menjawab: “Ide itu tak usah dipikirkan, kita harus bersyukur bahwa dia tidak menarikku masuk gereja”. Tapi rekan-rekan ibu masih penasaran, bahkan petinggi dari Taiwan mencoba mendekatiku. Saya utarakan pandangan pribadi tentang agama dan pindah agama.
Hingga kini, mereka tidak berminat lagi untuk membahas hal itu denganku.

Bagiku, memilih dan memeluk agama dapat diibaratkan memilih dan menikahi seorang isteri atau suami. Kita tidak boleh menikahi orang sana-sini dengan alasan cinta. Demikian pula kita tidak bisa menganut banyak agama dengan alasan semua agama sama-sama menyembah Tuhan YME. Sama seperti pernikahan, pembaptisan juga mensyaratkan komitmen dan janji setia. Dalam arti tertentu, agama yang dipilih adalah isteri atau suami kita. Tidak ada alasan apa pun yang bisa dipakai untuk menduakannya. Kepada rekan-rekan seiman ibuku, saya katakan bahwa saya telah beristri (maksudnya: beragama) yang kucintai dan kuyakini. Menurutku, dalam kelebihan dan kekurangan yang ada, dialah (agama Katolik) yang terbaik. Pantaskah Anda sekalian para tetua menawarkan perempuan (agama) lain? Lawan bicara yang kebanyakan ibu-ibu termangu. Bagaimana perasaan Anda, bila suatu saat saya menawarkan seorang suami untuk menggantikan suamimu, atau menawarkan kepada suamimu seorang perempuan lain? Mereka masih terpaku. Karena tidak ada tanggapan, saya tutup pembicaraan dengan petuah Yesus tentang Golden Rule: “Janganlah memperlakukan pada orang lain hal yang engkau tidak ingin orang lain perbuat bagimu”. Petuah ini sangat popular di kalangan Tionghoa karena Kong Fu Tse juga mengajarkannya.

Kerapkali orang pindah agama bermula dari ajakan teman. Masalahnya sebetulnya ada dalam diri kita sendiri. Apakah kita adalah orang yang setia pada janji dan komitmen. Sama seperti pernikahan, agama bukanlah pakaian yang bisa diganti-ganti sesuai dengan selera warna dan mode. Orang yang gonta-ganti agama (gereja) menampilkan kedangkalan hidup. Mereka terpaku pada bentuk lahiriah, dan tidak menyelami hakikat agama itu sendiri. Kebanyakan orang yang pindah gereja mempermasalahkan ritus, liturgi, lagu-cara menyanyi, dan sebagainya. Mereka mengeluhkan pengulangan doa dan nyanyian yang membosankan. Mereka membanggakan kotbah yang menggebu-gebu. Ada pula yang mempermasalahkan hierarki gereja yang kaku. Maunya setiap orang bisa bersaksi, melayani, berkotbah, dan memimpin seturut dorongan “roh”. Benarkah kita sungguh terpanggil untuk mewarta, dan menurut bisikan roh harus dilakukan di mimbar gereja? Ataukah kita hanya merasa akan tersanjung bila kita bisa membagikan renungan menarik yang baru saja kita baca entah dari majalah apa. Barangkali setiap orang perlu terus bertanya diri: “Apa yang sesungguhnya kucari dengan melangkahkan kaki ke gereja?”

Orang-orang yang rumah tangganya bermasalah, sering menggumamkan pemeo: “Rumput tetangga lebih hijau”. Barangkali pemeo ini bisa pula menjadi refleksi bagi orang yang pindah agama. Mungkin inilah salah satu watak manusia yang tak pernah puas dengan apa yang dimiliki atau sedang dijalani. Kita kerap berpendapat bahwa apa yang dimiliki orang lain lebih baik dari yang kita miliki. Setelah kita memiliki “rumput” seperti yang ditanam tetangga, lama-lama perasaan kita menjadi biasa. Ternyata rutinitas yang dihindari ditemukan dalam semua agama. Apa yang tadinya baru dan menarik segera menjadi rutinitas setelah sekian waktu menjalaninya. Rupanya apa yang tampak indah di mata tidak selalu indah ketika kita memiliki atau menjalaninya. Sampai kapankah kita akan terus melirik rumput-rumput tetangga lainnya. Jauh lebih baik bila kita merawat dan menyiangi rumput kita. Biar tetangga magut-magut mengaguminya (maksudnya agama kita).

Hal yang patut disesali adalah bahwa kita sulit “melihat” sisi baik dari hal yang kita miliki. Ini berkaitan dengan cara pikir dan cara pandang terhadap hal-hal sekitar kita. Kita menilai sesuatu menurut pikiran kita tentang hal itu, dan bukan menurut apa yang memang hal itu.

Ada satu cerita. Suatu hari, Lidya datang ke kantor Anton, mantan suaminya. Anton sedang sibuk melayani seorang pelanggan. Melihat Lidya menunggu dengan gelisah, pimpinan Anton menghampirinya dan mengajaknya berbincang-bincang. “Saya sangat senang suami Anda bekerja di sini. Dia seorang yang sangat berarti dalam perusahaan kami, penuh perhatian, dan berbudi baik”, ujar si Boss. Lidya terperangah mendengar penilaian orang terhadap mantan suaminya, namun ia diam saja. Anton ternyata mendengar percakapan mereka. Setelah Lidya pergi, Anton menjelaskan kepada boss-nya bahwa mereka berdua telah berpisah sejak enam bulan yang lalu. Lidya mencarinya jika membutuhkan tambahan uang untuk biaya hidup putra mereka. Beberapa minggu kemudian telepon berbunyi untuk Anton. Ia mengangkatnya dan berkata, “Baiklah Ma, kita akan melihat rumah itu setelah pulang kerja.” Si Boss mengira Anton sudah mendapat pasangan baru. Anton menghampiri boss-nya dan berkata: “Lidya dan saya sepakat memulai kembali perkawinan kami. Lidya mulai melihat saya secara berbeda tak lama setelah Bapak berbincang dengannya tempo hari.” Di sini perubahan drastis terjadi karena perubahan cara melihat. Awalnya di mata Lidya, Anton itu orang yang membosankan dan menyebalkan. Ia tidak melihat Anton sebagaimana Anton adanya. Cara baru dalam “melihat” ini disebut cara pikir “inside out”. Benarlah Stephen Covey ketika mengatakan: “Bila Anda menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku Anda. Tetapi bila Anda menginginkan perubahan besar dan mendasar, garaplah paradigma (pola pikir) Anda.”

Disinyalir bahwa ada kaitan antara kesetiaan terhadap agama dengan kesetiaan terhadap pasangan hidup. Orang yang gampang pindah gereja juga gampang pindah “ke lain hati”. Masih dibutuhkan riset untuk membuktikan kebenarannya. Namun barangkali satu hal agak pasti: mereka adalah orang yang gampang tidak puas dengan apa yang ada. Sadar atau tidak, mereka tidak suka komitmen atau janji setia, karena keduanya mengandaikan rutinitas.

Lianto (Publikasi: Majalah Duta Desember 2007)

Mengapa Orang Pindah Agama (gereja)?



Sejumlah umat menyuarakan keprihatinan karena sebagian umat Katolik merasa lebih “enjoy” dengan kelompok atau gereja di luar Katolik, antara lain: Full Gospel, Gereja Sungai Yordan, dan Bethany Successful Family. Bermula dari ajakan teman, mereka mencoba untuk bergabung dengan “kawanan” lain, merasa kerasan, dan akhirnya memutuskan untuk hijrah gereja. Mengapa hal ini terjadi?

Apakah semua agama (gereja) sama saja? Yang penting: Yesus! Mau Katolik atau Protestan: terserah! Benarkah demikian? Jawabannya: Tidak! Sadar atau tidak, pandangan ini sering hinggap di kepala orang yang pindah gereja. Entah memang demikianlah pandangan yang dianut, atau sekedar rasionalisasi (mencari-cari alasan logis) untuk membenarkan keputusannya. Pandangan seperti ini disebut indiferentisme, yang menyatakan bahwa semua agama sama saja, sehingga tidak perlu dipersoalkan agama mana yang dianut seseorang. Paham ini sangat subyektif. Fakta menunjukkan bahwa agama-agama bukan hanya tidak sama, melainkan dalam berbagai hal pokok bertentangan satu sama lain. Pandangan atau sikap ini lebih mencerminkan apatisme (sikap masa bodoh) terhadap perbedaan-perbedaan daripada toleransi.

Berdasarkan sharing pengalaman dan pemikiran dengan sejumlah sahabat seiman, sejumlah hipotesa (kesimpulan sementara) dapat dipakai untuk menjelaskan gejala ini. Pertama, motivasi orang Katolik untuk pindah agama (gereja) ada kaitan erat dengan motivasi awalnya menjadi Katolik. Ini berlaku untuk orang yang masuk Katolik saat dewasa. Kedua, pribadi dengan dasar iman/keyakinan yang tidak kokoh atau mudah diombang-ambingkan. Ketiga, paradigma (pola pikir) yang terpaku atau terlalu mementingkan aspek lahiriah ketimbang aspek batiniah.

Motivasi Masuk vs Motivasi Keluar
Pada sebagian orang, sebab atau motivasi pindah gereja bisa digali dalam sebab atau motivasi beragama. Motivasi beragama adalah apa yang mendorong orang untuk memeluk atau memilih agama tertentu. Ada motivasi yang bersifat ekonomis, sosial, maupun pragmatis.

Sifat dan kepribadian manusia sangat kompleks sehingga dalam banyak tindakan, sulit digali apa yang sesungguhnya menjadi motivasi utama. Bila seseorang masuk atau memilih agama tertentu dengan motif ekonomis, tentunya mereka akan gampang pindah bila ada agama lain yang lebih bernilai ekonomis. Sulit dibayangkan ada agama dengan nilai ekonomis. Namun fakta menjelaskan bahwa terjadi sejumlah kasus orang pindah agama karena tertarik dengan iming-iming ekonomis (materi) dari agama lain.

Motivasi sosial dijelaskan dalam sikap atau alasan memeluk agama karena diajak teman. Dalam hal ini, orang merasa lebih “enjoy” dalam agama tertentu karena faktor kebersamaan dengan teman-teman terasa lebih kental. Ada pula orang yang memilih suatu agama karena merasa “trendy”. Tidak mengherankan, kelompok ini akan dengan gampang pindah agama bila ada tawaran kebersamaan yang lebih “asyik”, atau ada “trend” baru dengan memeluk agama tertentu dalam masyarakat.

Ada pula orang menjadi Katolik karena alasan pragmatis. Pragmatis di sini dimaksudkan sikap mengutamakan hal-hal yang praktis dan atau manfaat yang langsung terasa. Seorang perempuan Tionghoa paruh baya yang baru-baru ini dibaptis menjadi Katolik mengatakan bahwa ia menjadi Katolik karena tidak mau merepotkan anak-cucunya. Dengan menjadi Katolik, anak-cucunya tidak perlu repot mengurus pemakamannya dengan ritus budaya Tionghoa yang berbelit-belit, jika kelak ia dipanggil Yang Mahakuasa. Untuk ziarah tahunan pun, cukup dengan bunga dan doa. Kalaupun anak-cucunya tidak berbakti, masih ada panti jompo para suster yang bersedia menampung dan merawatnya. Ia juga tidak perlu mencemaskan soal kematiannya karena ada Yayasan Sosial Christoforus yang akan mengurusnya. Contoh ini menggambarkan motivasi beragama yang pragmatis.

Motivasi-motivasi seperti ini tidak salah. Lagipula tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan seseorang harus beragama dengan motivasi apa. Sayangnya, motivasi seperti itu tidak berkaitan langsung dengan hakikat agama yang dianut. Motivasi-motivasi seperti ini harus dimurnikan seiring dengan waktu. Banyak juga orang menjadi Katolik dengan motivasi awal seperti itu, namun seiring waktu mereka menemukan hakikat iman yang lebih bernilai daripada pertimbangan-pertimbangan awalnya. Dengan demikian motivasi awalnya dimurnikan, dan mereka menjadi jemaat yang teguh-iman.

Keteguhan Keyakinan
Barangkali inilah kata kuncinya: keteguhan keyakinan! Untuk jemaat Katolik yang dibaptis sejak bayi (berasal dari keluarga Katolik), pendidikan iman dalam keluarga memegang peranan pertama. Bagi jemaat yang dibaptis dewasa, pengenalan dini akan iman dalam masa katekumenat harus benar-benar diperhatikan. Pembangunan dan pembinaan iman seumpama mendirikan pondasi untuk bangunan. Jika pondasi didirikan di atas pasir, bangunan di atasnya pasti gampang roboh ketika angin dan banjir melanda. Sebaliknya jika pondasi dibangun di atas tanah dan batu yang keras, bangunannya akan lebih kokoh tentunya. Pembaptisan adalah pintu masuk (inisiasi) keanggotaan umat Allah. Karunia iman yang diterima harus dibina misalnya melalui doa pribadi, ibadat bersama, merenungkan dan mendalami Kitab Suci, menerima Tubuh dan Darah Kristus, mempelajari kekayaan-kekayaan dalam liturgi, dan sebagainya.

Aspek Lahiriah vs Aspek Batiniah
Sebagian orang menggantungkan citarasa iman pada apa yang terasa oleh indera. Bagi mereka, hal-hal lahiriah seperti lagu, cara menyanyi, doa, cara berdoa, ritus, dan semua metode yang bisa menciptakan suasana hati yang “nyaman” sangat penting. Mungkin tanpa sadar mereka lebih mementingkan hal-hal itu daripada tujuan untuk bertemu pribadi yang dicari: Yesus, yang sebetulnya ada dalam ruang batinnya yang paling dalam.

Kedekatan dengan Tuhan sebetulnya tidak diukur dari rasa inderawi seperti rasa enak-teduh dalam doa atau rasa kehadiran Tuhan yang mencekam. Orang yang mencapai tahap hidup rohani yang tinggi (misalnya: St. Yohanes Salib dan St. Teresia Avila) justru biasanya mengalami kekeringan doa yang menyiksa (ariditas). Orang yang pindah gereja karena ingin mencari cara ibadat yang meriah bisa jadi jatuh dalam perangkap inderanya sendiri. Yang mereka cari bukan Tuhan, tapi kepuasan dalam doa dan hiburan rohani (konsolasi). Mereka mencari hal-hal lahiriah dan lupa dengan hakikat utamanya.Yang mereka cari adalah diri (ego) mereka sendiri, sadar atau tidak sadar.

Komentar yang paling sering didengar dari mereka adalah bahwa liturgi Katolik kaku dan membosankan. Tatkala kekakuan liturgi dirasa tidak menciptakan suasana perasaan haru-biru, mereka pindah gereja yang katanya kaya dengan inovasi liturgis. Seorang sahabat yang aktif di komunitas persekutuan doa dengan tepat menilai masalah ini. Menurutnya, masalahnya bukan terletak pada liturgi atau metode doa apa pun. Masalahnya adalah sejauh mana seseorang membuka hati bagi sentuhan Roh. Dalam keterbukaan hati, dengan hanya membuat tanda salib pun, atau sekedar memandang Yesus yang tersalib, seseorang bisa masuk dalam keheningan doa dengan rasa remuk-redam.

Solusi: Komunitas Persekutuan Doa
Persoalan aspek lahiriah-batiniah tadi tidak dimaksudkan untuk melihat kedua hal tersebut secara dikotomis. Aspek lahiriah juga penting untuk menumbuhkan semangat doa. Untuk itu, Gereja Katolik terus berupaya mengakomodasi apa yang dibutuhkan jemaat pada umumnya. Kehadiran sejumlah komunitas rohani, misalnya: Komunitas Tritunggal Mahakudus, Komunitas Sel KKN, PERDUKI, dan aneka persekutuan doa lainnya merupakan wadah yang baik untuk mengalami kebersamaan yang lebih erat antara saudara seiman. Di dalamnya umat bisa saling membagikan pengalaman berharga yang meneguhkan iman. Sewaktu-waktu umat juga bisa ikut Kebangunan Rohani Katolik. Tampaknya Gereja cukup jeli untuk melihat apa yang dibutuhkan umatnya. Kalau pun masih ingin pindah gereja, tanyakan dengan jujur pada sisi batin paling dalam: “Apa yang sesungguhnya kucari?....Ada apa denganku?”

Lianto (Publikasi: Duta Desember 2007)

Kematian: Titian Kehidupan



Jika pernah melewati titian atau jembatan gantung di atas sungai, kita dapat merasakan betapa berdebarnya jantung kita tatkala melaluinya. Titian membangkitkan perasaan tak menentu, cemas, dan takut, apalagi alur atau jurang yang terbentang tampak curam. Semakin dekat ke titian, seorang penyeberang makin takut. Tapi, mau tak mau titian harus dilalui jika orang ingin sampai ke seberang.

Menurut seorang penyair Jerman, kematian adalah titian kehidupan. Melalui kematian, kita menyeberangi “dunia sini” menuju “dunia sana”; dunia fana menuju dunia kekal. Sama seperti terhadap titian, manusia selalu diliputi rasa cemas dan takut berhadapan dengan kematian. Maut sebagai maut, bisu untuk diajak tawar-menawar; buta untuk membedakan status, agama, dan warna kulit. Konon kabarnya, ketika mendapat serangan jantung yang hebat pada suatu hari Rabu, Paus Pius XI meminta para dokter untuk mengusahakan pelbagai cara agar hidupnya dapat bertahan sekurang-kurangnya sampai hari Sabtu. Sebab pada hari itu ia harus berbicara di depan Sinode Uskup-uskup Italia. Atau kalau bisa sampai pada hari Minggu, sehingga ia dapat merayakan peringatan sepuluh tahun Perjanjian Lateran. Tetapi kata-kata Paus ini tidak kuasa mengelakkan maut. Hari Kamis pagi, Paus yang masyhur ini meninggal dunia.

Apa itu kematian? Secara medis, kematian barangkali dapat dipahami sebagai disfungsi (tidak berfungsinya) organ-organ vital yang memungkinkan kehidupan. Bertolak dari kriteria-kriteria medis yang empiris (yang terasa dan terukur), seorang dokter dapat menyimpulkan bahwa pasien yang dirawat telah mati. Iman tentu punya kacamata lain. Kacamata iman membantu kita untuk “memandang” (kontemplasi) realita secara “tembus pandang” sehingga kita dapat melihat kesejatiannya. Apa yang tampak bagi mata hanyalah kulit pembungkus. Kesejatian realita adalah kebenaran yang ada di balik peristiwa.

Sebagai bagian dari alam raya, manusia dapat bercermin dari siklus hidup seekor kupu-kupu. Di kala mendapati seonggok kepompong, orang berpengetahuan kurang akan berpikir bahwa ulatnya telah mati. Padahal ulat itu telah berubah menjadi seekor kupu-kupu nan indah. Ilmuwan menyebutnya metamorfosa. Pemakaian kata “mati” untuk si ulat adalah salah. Kesalahan ini juga sering dikenakan pada matahari. Kita terlalu biasa mengatakan matahari “terbit” dan “terbenam”. Padahal nyatanya, matahari tidak pernah terbit maupun terbenam. Ia tetap berada pada posisinya. Namun karena bumi kita berputar mengelilinginya, tampaklah bagi kita seolah-olah matahari terbit dan terbenam. Dua lukisan alam ini mau mengatakan bahwa kebenaran tidak selalu identik dengan apa yang terlihat oleh mata.

Kata “meninggal” terasa lebih tepat dan imani karena kematian sebenarnya adalah “meninggalkan” dunia sini untuk hidup di dunia sana. Liturgi perayaan orang kudus meneguhkan pandangan ini. Santo-santa/martir diperingati bukan berdasarkan hari kelahirannya, melainkan hari kematiannya. Kematiannya di dunia sini adalah kelahirannya di dunia sana (surga).

Dalam Perjanjian Lama, Yesaya menegaskan keyakinan bahwa masih ada kehidupan setelah kematian. Kehidupan baru itu dilukiskan dengan perjamuan yang penuh dengan suasana kegembiraan, keakraban, dan kekeluargaan di antara segala bangsa dengan Allah. Di situ, kain perkabungan akan dilepaskan, maut ditiadakan, dan air mata dihapuskan (Yes. 25:6a. 7-9). Hal ini menegaskan pandangan iman bahwa kematian bukanlah perhentian atau titik akhir, melainkan peralihan atau titik awal dari kehidupan baru.

Dalam Perjanjian Baru, peristiwa kebangkitan Yesus adalah contoh terbaik. Kebangkitan Yesus menandakan bahwa kematian merupakan pintu keselamatan dan kehidupan baru. Kematian bukanlah pemusnahan, melainkan penciptaan. Kematian bukan rintangan, melainkan bagian dari kehidupan. Itulah titian yang harus dilewati setian insan. Orangtua, sanak-saudara, dan sahabat yang telah meninggal diciptakan menjadi ciptaan baru di dunia baru. Dalam arti tertentu, mereka mengalami metamorfosa. Mereka yang telah meninggalkan jasadnya (katakanlah kepompongnya) di kuburan sana, kini mempunyai sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga. Seperti sang surya, mereka “terbenam” di dunia ini, dan pada saat yang sama, mereka “terbit” di dunia baru. Dengan kacamata iman ini, hendaknya air mata kita adalah air mata keterharuan karena perpisahan, dan bukan keputusasaan. Mereka hanya mendahului kita. Pada saat yang dikehendaki, kita akan kembali bersama.

VITA MUTATUR, NON TOLLITUR. Hidup diubah, bukan dibuang. Kisah kebangkitan Yesus ditutup dengan seruan malaikat: “Jangan takut, Yesus yang kamu cari telah bangkit.” Tak henti-hentinya Injil mengulang kata “Jangan Takut”. Dalam seluruh KS, ungkapan “Jangan takut” ditemukan 366 kali. Ini berarti sepanjang tahun (365 hari), kita setiap hari diteguhkan dengan satu kali seruan “Jangan takut”. Satu kali sisanya disediakan untuk tahun panjang yang biasa disebut tahun kabisat. Semoga hati dan budi kita semakin diterangi untuk memaknai aneka peristiwa.

Lianto

Tanda Salib: Tanda Kemenangan



Bagi sebagian umat Katolik, tanda salib maupun miniatur salib telah menjadi hal atau barang yang biasa. Kita sudah terbiasa melihat salib di menara gereja, pemakaman Kristen, di dinding rumah, atau sebagai simbol bendera sejumlah negara. Salib juga biasa menjadi hiasan kalung dengan aneka model yang indah. Saking lumrahnya, salib tidak jarang menjadi kurang bermakna. Sama seperti seruan kaget “Oh, my God” yang tak dimaksudkan untuk ditujukan kepada Tuhan, demikian pun tanda salib sering dipandang tanpa makna. Orang Protestan pernah bertanya: “Mengapa orang Katolik menggores-gores dahi, mulut, dan dada ketika mendengarkan bacaan Injil di gereja?” Pertanyaan ini menyiratkan ketergesa-gesaan umat Katolik tatkala membuat tanda salib di dahi, mulut, dan dada tatkala Injil dibacakan dalam perayaan misa. Bila kita sejenak melihat kembali makna terdalam di balik tanda salib, kiranya kita dapat selalu ingat untuk menghindari rutinitas tak bermakna.

Pemakaian salib atau tanda salib sebenarnya tidak ditemukan dalam kebiasaan jemaat Kristen abad-abad pertama. Pada waktu itu, momok yang ditimbulkan dari hukuman salib amat membekas dalam ingatan orang. Disalibkan berarti menjalani hukuman mati secara pelan-pelan, yang diperuntukkan bagi penjahat dan pemberontak politik.

Mulanya orang Kristen agak malu dan takut dengan tanda salib. Oleh sebab itu, mereka menyamarkannya dalam gambar-gambar lain, misalnya: jangkar, monogram “pax Christi” (huruf P dan x disatukan) atau lambang kehidupan dari kepercayaan Mesir kuno (huruf T dengan lingkaran di atas). Baru setelah kemenangan Kaisar Konstantin (312) dalam pertempuran, orang-orang Kristen mulai bangga memperlihatkan tanda salibnya. Konon kabarnya, pada malam sebelum pertempuran yang sangat menentukan, Kaisar Konstantin yang masih kafir mendapat penampakan dari Tuhan Yesus yang mengatakan padanya: “Dalam tanda ini, engkau akan menang” (IHS = in hoc signo vinces). Sesudah berhasil memenangkan pertempuran, Konstantin menjadi Kristen dan menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Dialah kaisar Romawi pertama yang memberi kebebasan penuh kepada Gereja dan memasang salib sebagai tanda resmi bendera kekaisaran. Penghormatan terhadap salib makin meningkat setelah St. Helena, Ibu Suri Kaisar Konstantin, menemukan kembali salib Yesus yang asli dalam suatu sumur di Yerusalem (320).

Sejak saat itu, berabad-abad lamanya sampai hari ini, salib dihormati sebagai lambang kemenangan Kristus atas kejahatan dan kematian. Dan kita orang Kristen percaya, bahwa berkat tanda salib itu, kita pun sanggup melawan kejahatan dalam diri sendiri maupun ketidakadilan dalam masyarakat. Dalam sakramen-sakramen Gereja, salib selalu dijunjung tinggi. Dengan tanda salib, Gereja membaptis orang menjadi anak Allah. Dengan tanda salib pula, para imam menyampaikan berkat. Tanda salib juga dipancangkan di atas kuburan Kristen dengan keyakinan: dalam tanda ini orang diselamatkan. Kita juga selalu memulai ibadat dengan tanda salib sebagai tanda bahwa kita adalah milik Kristus. Tanda salib menjadi semacam tanda pengenal orang Kristen. Dengan tanda ini, kita akan menang!

Lianto

Teologi Mistik, Masih Relevankah?


Di penghujung abad ke-20, John Naisbitt, penulis Megatrends Asia, berujar provokatif: “Spirituality Yes, Organized Religion No”. James Redfield, pengarang The Celestine Prophecy, melihat adanya kegelisahan sekelompok orang yang mengalami ketidakpuasan terhadap jawaban akan makna kehidupan. Mereka kemudian melakukan pencarian batin secara intensif dalam aneka bentuk spiritualitas dunia. Bagaimanakah Gereja menjawab dan menanggapi tanda-tanda zaman ini?

Tatkala orang mengalami doa lisan dan meditasi terasa tak bermakna, apa jalan keluar yang ditempuhnya? Sebagian orang beralih ke pelbagai praktek meditatif ala kebijaksanaan Timur, misalnya Zen, yoga, dan meditasi prana. Padahal tradisi kristiani sejak abad-abad awal telah mengenal teologi praktis yang disebut teologi mistik. Bidang ini bertujuan mengajar orang bagaimana berdoa dan membimbing orang agar tetap berada di jalur tepat ketika “malam gelap” melanda. Ketika orang ditarik masuk ke tingkat kesadaran doa yang lebih mendalam, ia perlu bimbingan yang tepat. Tanpa arahan yang tepat, orang bisa saja tersesat dalam ilusi, kebimbangan, atau macet tanpa membuat kemajuan. Begitulah kira-kira inti ajaran teologi mistik sepanjang zaman.

Khazanah Gereja di ranah mistik begitu kaya. Kita mempunyai Life of Moses karya St. Gregorius dari Nyssa; Theologia Mystica dari seorang penulis Siria dengan nama samaran Dionisius Areopagus (Pseudo-Dionisius); Itinerarium Mentis in Deum dari St. Bonaventura; The Cloud of Unknowing dari pengarang Inggeris anonim; Abecedario Espiritual dari Fransiskus Osuna; El Castilo Interior dari St. Teresia dari Avila; belasan mahakarya dari St. Yohanes dari Salib; Philokalia dari Makarios dari Korintus; dan ratusan risalah lain yang tak dapat disebut satu per satu.

Pada paruh pertama abad ke-20, risalah-risalah mistik di atas masih diajarkan di fakultas-fakultas teologi di seluruh dunia. Ini merupakan bidang praktis dan pastoral yang mengajar para murid tentang bagaimana berdoa dan membimbing orang lain yang dijumpai dalam pelayanan di masa mendatang. Namun setelah Konsili Vatikan II, teologi mistik tidak lagi diajarkan. Buku Adolphe Tanquerey, The Spiritual Life: A Treatise on Ascetical and Mystical Theology setebal Alkitab tersusun tak rapi di perpustakaan-perpustakaan fakultas teologi. Posisinya ada di rak kumpulan buku-buku tua. Sebagian seminaris mungkin tidak menyadari keberadaannya. Hanya kutu bukulah yang masih meminatinya (kutu yang sebenarnya). Tapi dari jumlah eksemplar-nya, hampir bisa dipastikan, buku ini pernah menjadi buku pegangan wajib bagi seminaris. Mengapa? Situasi perubahan dunia apakah yang membuatnya tidak relevan lagi untuk diajarkan?

Memang tak disangkal bahwa risalah-risalah klasik mengandung banyak pernik pemikiran filosofis yang harus dibaca secara kontekstual di zaman kita. Skolastisisme Abad Pertengahan sangat mempengaruhi penelaahan teologi mistik di masa lalu. Namun hal ini bukan perkara esensial. Risalah-risalah tersebut bisa “di-hari-ini-kan” (aggiornamento) sehingga tetap dapat bergema di era kita.

Setelah khazanah mistik di era lalu disesuaikan dengan situasi zaman kini, Gereja akan tetap mampu menjawab kehausan manusia modern. Adaptasi itu kira-kira menyangkut hal bagaimana karya yang ditulis untuk para biarawan dan rahib (yang mempunyai waktu panjang di ruang doa) dapat dinikmati pula oleh manusia modern yang sibuk di pabrik, kantor, toko, dan sebagainya. Mereka juga dalam intensitas tertentu dipanggil untuk masuk ke dalam pengalaman mistik dengan Allah.

Teologi mistik era kita juga harus diarahkan pada sikap tidak menutup mata terhadap aneka keprihatinan sosial di dunia. Kobaran cinta Allah yang menggebu-gebu, (yang mendorong mistikus-mistikus di zaman lampau pergi bertapa di padang gurun) harus mendorong para mistikus modern menceburkan diri dalam dunia modern; berbela-rasa (compassio) untuk memerangi aneka struktur yang menindas kaum miskin dan merusak lingkungan. Ini bukan mission imposible, Edith Stein, Dietrich Bonhoeffer, Thomas Merton, Ibu Teresa dari Calcutta, Oscar Arnulfo Romero, dan Dom Hérder Câmara telah menunaikannya.

Dengan teologi mistik baru ini, Gereja dapat duduk bersama penganut agama-agama lain di dunia di era global, pun pula dengan kalangan ilmuwan modern yang di masa lalu sering dipertentangkan. Orang-orang di luar Gereja juga dibimbing kepada pengalaman iman (mistik) “dengan jalan yang hanya diketahui oleh Allah sendiri” (Ad Gentes art. 7a). Dengan teologi mistik baru, Gereja dapat kembali menyerukan ajakan Yesus: “Datanglah kepada-Ku,… Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”

Lianto

Pengalaman Mistik Selayang Pandang


Dalam masyarakat kita, kata "mistisisme" atau "pengalaman mistik" kerap dicampuradukkan dengan kata "magi". Mendengar kata tersebut, orang akan gampang mengaitkannya dengan gejala parapsikologis, ilmu sihir, tenung, santet, klenik, dan pelbagai praktek okultis. Pengalaman mistik juga sering disejajarkan dengan keadaan ekstase dan perubahan kesadaran yang dapat diusahakan secara artifisial dengan hipnose dan obat-obatan. Pengertian dan pemahaman  seperti itu mengaburkan dan mereduksi konsep mistisisme yang sebenarnya.

Problematika Terminologi "Mistisisme"
Secara etimologis, istilah "mistisisme" atau "pengalaman mistik" berasal dari kata Yunani "mystikos", yang dibentuk oleh kata kerja "myo" yang berarti "menutup mata". Pada mulanya istilah ini dipakai untuk menunjuk upacara-upacara rahasia (tersembunyi) yang hanya diketahui oleh mereka yang telah diinisiasikan. Di kemudian hari, istilah ini dimengerti sebagai usaha menutup budi terhadap pengaruh segala hal eksternal sehingga diri diselami dan disiapkan untuk menerima penerangan ilahi.

Pada abad ke-6, Pseudo-Dionysius memperkenalkan ungkapan "teologi mistik" melalui karyanya yang berjudul Theologia Mystica. Di dalam karyanya, Pseudo-Dionysius melukiskan pendakian Musa ke puncak gunung, dan masuk ke dalam awan gelap untuk berjumpa dengan Allah. Kegelapan awan ini ditafsirkan sebagai situasi di mana orang tinggal dalam kekosongan (ketidaktahuan), karena budi diistirahatkan dari segala kegiatan diskursif (yang mengandalkan daya pikir). Situasi ini tak dapat tidak akan dimasuki oleh para mistikus. Ia mengajarkan suatu kontemplasi mistik yang mengantar manusia untuk sampai pada pengetahuan (pengenalan) akan Allah sebagai Kegelapan Ilahi melalui jalan ketidaktahuan. Bagi Pseudo-Dionysius, pengalaman mistik merupakan pengalaman akan Allah yang diterima manusia secara pasif. Dengan demikian disadari bahwa pengalaman mistik bukanlah hasil usaha manusiawi, melainkan melulu anugerah Roh Kudus.

Para teolog modern mengalami kesulitan untuk menemukan suatu definisi yang sungguh adekuat. Kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya kesepakatan atas peristilahan yang dipakai, dan karena pengalaman mistik itu sendiri tidak dapat dilukiskan secara adekuat dalam kata-kata.

Aspek pengalaman dalam mistisisme yang terungkap dalam pandangan Pseudo-Dionysius, juga ditekankan oleh Edward Schillebeeckx. Menurut Schillebeeckx, pengalaman mistik adalah suatu bentuk intensif dari pengalaman iman akan Allah. Pengalaman ini mempunyai sifat langsung yang diperantarai, atau seperti ungkapan Schillebeeckx, kelangsungan yang tidak-langsung (mediated immediacy). Dari pihak Allah, kehadiran-Nya bersifat langsung. Tapi dari pihak manusia, kelangsungan itu harus diperantarai, yakni oleh situasi dan kondisi manusiawi.

Iman di sini tidak hanya dilihat sebagai kurnia adikodrati yang membuat kita menilai benar segala yang diwahyukan, melainkan terlebih sebagai kesatuan manusia dengan Allah sendiri. Menghayati iman sama dengan menghayati kontak persatuan dengan Allah. Penghayatan itu bersifat langsung, karena motif iman adalah Allah sendiri. Iman tidak punya dasar selain Allah sendiri yang mewahyukan diri. Pada dasarnya wahyu dan iman menunjuk pada realitas yang sama, yaitu kesatuan mistik Allah dan manusia. Dari sudut Allah, kita sebut kesatuan itu sebagai wahyu. Dan kesatuan itu menjadi kontak yang nyata bila kita menanggapinya dalam iman.

Sifat “intensif” (mendalam) perlu ditegaskan sebab mistik bukanlah pengalaman iman yang “biasa” [Tidak ada kata lain yang lebih cocok]. Mistik adalah penghayatan yang khusus dan mendalam dari kontak iman. Walter Hilton menekankan aspek “perasaan khusus” dalam kontak tersebut. Mungkin perasaan itulah yang disebut Thomas Aquinas sebagai “intuisi sederhana” dalam mengenal Allah. Dengan intuisi ini, orang mengalami Allah: “melihat”, “menyentuh”, dan “merasakan” Allah dengan cara yang tidak biasa.

Kajian ilmu psikologi dapat sedikit membantu. Menurut William James, sama seperti konsep "agama", konsep "mistisisme" atau "pengalaman mistik" sulit dirumuskan secara memadai. Ia (dalam The Varieties of Religion Experience) menawarkan empat sifat khas dari pengalaman mistik, yang membedakannya dari pengalaman biasa. Keempat sifat itu ialah:

1. Ineffability
Pengalaman mistik itu tak terungkapkan. Orang yang berada dalam pengalaman mistik, tidak dapat menerangkan apa yang dialaminya secara memadai dalam kata-kata. Keadaan mistik itu lebih merupakan keadaan perasaan (emosional) daripada keadaan intelektual. Untuk memahaminya dengan jelas, orang harus mengalaminya. Sama seperti kenyataan bahwa orang biasanya harus mempunyai "telinga musik" agar dapat menangkap nilai dari suatu simfoni.

2. Neotic
Pengalaman mistik mengandung unsur pengetahuan. Di samping merupakan keadaan perasaan, mistisisme juga merupakan keadaan pengetahuan. Mistisisme memberikan suatu pengetahuan bagi orang yang mengalaminya. Pengetahuan itu ialah pengertian yang menyentuh kedalaman kebenaran tanpa dicampuri pemikiran diskursif.

3. Transiency
Pengalaman mistik bersifat sementara dan tidak bertahan lama. Keadaan itu biasanya bertahan tidak lebih dari 30 menit. Dan bila diingat-ingat kembali, kerap hanya tinggal dalam bentuk yang tidak sempurna.

4. Passivity
Pengalaman mistik bersifat pasif. Artinya, orang yang berada dalam keadaan mistik merasa seolah kehendaknya terkatung-katung, atau merasa dirinya ditangkap oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya. Dengan kata lain, pengalaman ini diterima dan bukan diperoleh.

Doa Kontemplatif; Jalan Menuju Pengalaman Mistik
Teologi hidup rohani membedakan tiga tahap klasik dalam doa, yakni doa lisan, doa meditatif, dan doa kontemplatif. Doa lisan menekankan kata-kata yang diucapkan maupun dinyanyikan; dari teks tertulis maupun spontan. Doa meditatif memusatkan peranan akal budi dalam menggambarkan dan memikir-mikirkan hal-ikhwal mengenai Allah. Selangkah lebih maju dari doa lisan, doa meditatif tidak berkata-kata, mulut diam, akal budi bekerja. Sedangkan doa kontemplatif mengandalkan intuisi batin untuk menatap dan mengalami Allah. Di sini orang berdoa tanpa kata maupun pikiran, semata-mata kehendak untuk bersatu dengan yang Ilahi. Dalam kontemplasi, manusia menyeberangi batas kata-kata, pikiran-pikiran, dan konsep-konsep untuk mencapai “ada-bersama” dengan Allah. Tahap doa terakhir ini dipercaya lebih dekat dengan pengalaman persatuan mistik.

Psikologi doa tentang “modus-ganda kesadaran” bisa dipakai untuk menjelaskan hal ini. Secara teoritis, kesadaran kita dibedakan menjadi dua, yakni modus aktif dan modus reseptif. Yang pertama mengandalkan pemikiran logis, kontrol, analisa, dan penalaran. Yang kedua menekankan penyerahan, intuisi, dan rasa kagum. Diyakini bahwa dengan membiarkan kesadaran “kabur”, kita dimungkinkan untuk menerima keinsafan yang baru dan lebih luas. Hal ini tidak gampang bagi mereka yang telah terbiasa dengan doa lisan maupun doa meditatif. Peralihan dari modus aktif ke modus reseptif dibutuhkan bila orang ingin menikmati pengalaman yang lebih intim dengan Allah.

Menikmati keintiman dengan Allah jangan disamakan dengan menerima hiburan-hiburan (konsolasi) rohani. Sepanjang sejarah, teologi doa (apofatik) klasik -mulai dari Gregorius Nyssa, Pseudo-Dionysius, pengarang buku The Cloud of Unknowing, Bonaventura, Teresia Avila hingga Yohanes Salib- menggambarkan adanya “awan gelap” yang menyelimuti wajah Allah. Allah itu Cahaya yang sedemikian terang sehingga “membutakan” mata yang melihat-Nya. Lagi-lagi ditegaskan perlunya pelepasan kata-kata, imaginasi, dan penalaran diskursif untuk menerobos awan pekat ini. Rupanya Allah harus dilihat dengan cara “tidak melihat”; diketahui dengan cara “tidak tahu”.

Menyingkirkan pikiran dan penalaran dalam doa memang tidak segampang yang dikira. Pikiran yang diusir paksa sering kembali melanda pendoa dengan kekacauan yang lebih besar. Tidak jarang kita temukan diri atau orang lain duduk diam dan terus mengernyitkan kening ketika berdoa. Tradisi Gereja menawarkan aneka jalan menuju doa kontemplatif. “Doa Yesus” dengan mengulang-ulang nama “Yesus” seiring irama nafas adalah salah satu contoh yang baik. Pendarasan nama Yesus seiring irama nafas dapat membawa kita kepada tingkat kesadaran di mana pikiran disingkirkan secara halus. Rentetan pikiran itu masih tetap mengalir, dibiarkan, dan tidak dihiraukan. Tentang hal ini, simaklah buku Berdoa Tak Kunjung Putus: Kisah Seorang Peziarah.

Bila metode “Doa Yesus” dirasa tidak biasa, Doa Rosario adalah alternatifnya. Ambil posisi se-relaks mungkin, benamkan diri dalam “tidak tahu” (cloud of unknowing) tentang siapa Allah dan “tidak ingat” (cloud of forgetting) akan ciptaan, dan ulangi terus Salam Maria. Jika Allah menghendaki, Anda akan masuk dalam “cahaya Tabor” seperti pengalaman para Rasul Yesus. Jangan berkecil hati bila dirasa bahwa pendarasan doa terucap seperti tanpa rasa-makna, sebab dalam hal ini, pengulangan doa hanya metode untuk sampai pada kesadaran yang dimaksud. Juga tidak perlu kecewa bila kita merasa sepertinya baru saja bangun dari tidur kilat. Sebab kontemplasi (dalam artian kata yang terbatas) memang mirip “setengah tidur”.

“Orang beriman pada masa yang akan datang ialah seorang mistik, atau ia tidak bisa beriman lagi. Saudara-saudaraku, mari kita bertindak dengan perlahan-lahan, supaya kita jangan begitu ramai, sehingga sabda rahmat ilahi, yang tenang namun begitu berdaya jangan sampai tak terdengarkan karena kata-kata kita, yang terlampau keras namun tak berdaya.” (Karl Rahner)

Lianto

Thursday, July 24, 2008

Mengapa Doa Kering?


"Aku tak dapat berdoa lagi". Ini sering diungkapkan orang-orang yang mulai mengalami kesulitan dalam berdoa. Relasi dengan Allah dalam doa biasanya diawali dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan akan kehadiran Allah. Allah dialami sebagai Allah yang hidup, dekat, penuh cinta, senantiasa menghibur dan menguatkan. Hiburan-hiburan dan kegembiraan rohani ini mendorong orang untuk semakin bertekun dalam doa. Baginya, Allah adalah segala-galanya.

Dalam perjalanan rohani, akan tiba saatnya seseorang mengalami kekosongan dan kekeringan yang menyengsarakan dalam doa. Doa yang dahulu merupakan relasi intim dengan Allah, kini dialami sebagai tindakan tak bermakna, tidak menyentuh hati, kering, hampa, dan membosankan. Allah, yang dahulu dialami sebagai Allah yang hidup, hadir dekat, dan penuh cinta, kini dialami sebagai Allah yang tersembunyi, jauh, dingin, dan bisu. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mzm. 10:1); “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:2).

Kekeringan dalam doa seperti terungkap di atas bisa disebabkan oleh dosa, kelemahan, semangat suam-suam kuku, kemurungan hati, dan atau gangguan kesehatan. Tidak mengherankan bila orang yang bersemangat suam-suam kuku pada suatu ketika akan mengalami doanya terasa tak bermakna. Juga bukan hal yang luar biasa bila orang sulit berdoa dalam keadaan sakit atau galau hatinya.

Namun kekeringan dalam doa dapat pula disebabkan bukan oleh-hal-hal di atas, melainkan oleh Allah sendiri yang hendak menyucikan, menerangi, dan menyatukan pendoa dengan diri-Nya. Kekeringan yang bersumber pada karya Allah inilah yang disebut St. Yohanes dari Salib sebagai “malam gelap” dalam doa. Orang yang dilanda kekeringan mengalami seolah-olah Allah meninggalkannya dalam malam yang gelap gulita.

Dengan malam gelap, sesungguhnya Allah menunjukkan bahwa kenikmatan inderawi dan rohani yang dicari orang dalam doa bukanlah Allah sendiri, tetapi bunga-bunga kehadiran-Nya yang pada suatu ketika harus ditinggalkan. Malam gelap dalam bentuk kekeringan dalam doa bukanlah hal yang harus ditangisi, tetapi anugerah yang patut disyukuri. Dalam hal ini kekeringan dalam malam gelap justru merupakan tanda kemajuan dalam hidup rohani.

Ketidakpahaman akan pengalaman di atas dapat menyebabkan orang menjadi putus asa dan meninggalkan doa tatkala dilanda kekeringan. Ia berpikir bahwa kekeringan yang dialaminya merupakan tanda kejauhan Allah atau kemunduran hidup rohaninya. Ia “lari” justru pada saat tangan Allah hendak menariknya agar lebih dekat pada-Nya.

Menurut Yohanes dari Salib, kegelapan malam itu sesungguhnya merupakan “terang yang gelap” atau terang yang sedemikian terang sehingga membutakan mata yang memandangnya. Bagaikan mata kelelawar yang buta tatkala memandang cahaya terang benderang. Dalam bab IX buku I The Dark Night, ia memberikan tiga gejala atau tanda untuk menguji, apakah kekeringan yang dialami sungguh bersumber pada malam gelap, atau semata-mata bersumber pada kelemahan-kelemahan pribadi.

1. Tidak Menemukan Kepuasan dan Hiburan
Dalam malam gelap, doa dan kegiatan-kegiatan rohani yang dulu selalu mendatangkan kepuasan dan hiburan, akan terasa kering, kosong, membosankan, dan tak bermakna. Bukan hanya hal-hal rohani, hal-hal duniawi lain pun tidak mendatangkan kepuasan bagi dirinya.

Kekeringan yang dialami orang karena malam gelap ini sangat berbeda dari kekeringan yang dialami karena kelalaian atau kedangkalan hidup. Orang yang mengalami kekeringan akibat kemalasan dan kedangkalan hidup akan segera menemukan kepuasan dalam hal-hal lain. Sedangkan orang yang mulai dimurnikan Allah dalam malam gelap, tidak akan menemukan kesenangan dan kepuasan dalam hal apa pun. Kendati demikian, semangatnya untuk mengabdi Allah tetap hidup dan berkobar. Orang lain yang melihatnya barangkali berpendapat bahwa hidup rohaninya semakin berkembang, sebab usahanya untuk berdoa semakin besar. Namun ia sendiri merasa hampa, kering, dan tidak maju. Perasaannya menjadi kersang, seolah-olah kehilangan kepekaannya.

Dapat terjadi bahwa sekali-sekali ia masih menemukan kembali terang atau kekhusyukan yang dulu selalu dialaminya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Kekeringan dan kehampaan akan kembali menjemputnya. Secercah terang itu bagaikan kilat; yang muncul, lalu hilang seketika.

2. Mengingat Allah dengan Cemas dan Gelisah
Pengalaman atas gejala pertama menimbulkan pikiran dan prasangka dalam dirinya, bahwa ia tidak mengabdi Allah sebagaimana mestinya. Ia biasanya dikejar-kejar oleh pikiran bahwa hidup rohaninya tidak mengalami kemajuan, melainkan semakin merosot. Pikiran dan prasangka ini menyebabkan orang terus-menerus mengingat Allah dengan rasa cemas, gelisah, dan hati remuk-redam. Ia merasa bahwa Allah -yang dengan sepenuh hati ingin dicintainya- telah jauh darinya.
Ketika doa masih terasa menyenangkan, perihal Allah tidak terlalu dipersoalkan. Ia merasa diri mengenal Allah, dan mempunyai gambaran ilahi yang jelas. Tetapi sekarang gambaran itu mulai dikaburkan. Allah yang dianggapnya selalu hadir dekat karena hiburan yang dialaminya dalam doa, kini seakan jauh dan tersembunyi. Ia merasa diri kehilangan arah. Relasi dengan Allah menjadi suatu persoalan yang selalu dipikirkannya. Dalam hatinya, ia merasakan kerinduan yang mencekam untuk mengabdi Allah. Namun dengan jelas pula ia melihat bahwa pengabdiannya masih sangat kurang.

Dalam konteks kekeringan yang dialami, kiranya perasaan cemas dan gelisah sewaktu memikirkan Allah, wajar-wajar saja. Perasaan-perasaan itu muncul karena orang masih mengukur keberhasilan doa hanya dari aspek perasaan senang dan puas yang ditimbulkannya. Orang berpikir, Allah itu dekat, bila ia merasakan kehadiran-Nya dan hatinya puas dan senang karenanya. Sebaliknya, Allah itu jauh bila ia tidak merasakan apa-apa dalam doa. Ini pandangan yang keliru. Apakah Allah itu dekat atau jauh tidak dapat diukur atau ditentukan oleh rasa enak atau kering dalam doa.

3. Tidak Mampu Lagi Bermeditasi dengan Imaginasinya
Kemampuan dan usaha-usaha bermeditasi dengan memakai daya imaginasi, yang dahulu biasa dipraktekkannya, kini menjadi tak berdaya. Hal ini terjadi karena pada tahap ini, Allah tidak lagi mengomunikasikan diri-Nya secara inderawi melalui analisa diskursif (daya pikir), melainkan mulai mengomunikasikan diri-Nya dalam roh murni. Komunikasi ini terjadi dalam suatu kontemplasi yang tak dicapai oleh indera. Ketidakberdayaan unsur inderawi ini menyebabkan daya imaginasi dan fantasi tidak lagi mendapatkan tempat dalam renungan maupun meditasi.
Karena ketidakpahaman akan realitas malam gelap yang melandanya, orang sering masih terus berusaha bermeditasi. Bahkan dapat terjadi bahwa ia semakin tekun mencari metode-metode baru yang diharapkan dapat memperbaiki ketidakberdayaannya. Namun, hasilnya tetap kering dan kersang.

Orang yang mulai masuk ke dalam pembersihan yang gelap ini seharusnya menyadari bahwa dirinya sedang dituntun Allah untuk beralih dari jalan meditasi ke jalan kontemplasi. Dalam jalan baru ini, Allah memperkenalkan diri bukan dalam konsep-konsep dan ide-ide yang terbatas, tetapi dalam cinta yang tak terbatas. Dalam cinta inilah, Ia dikenal sebagaimana ada-Nya.
Bila Anda menemukan tiga gejala malam gelap di atas dalam kekeringan rohani, berbahagialah! Sebab Anda sedang dituntun Allah untuk bersatu dengan-Nya kendati melalui jalan derita.


Lianto

Bunda Maria dalam Al-Quran



Dalam Al-Quran, tidak ada seorang pun wanita yang namanya disebut (dipanggil) oleh Allah, kecuali Maria (=Maryam). Al-Quran juga memuat kisah wanita saleh lainnya. Namun hanya disebutkan sifat atau julukannya saja (misalnya istri Ibrahim dan istri Nuh), bukan namanya. Islam menempatkan Maria pada posisi yang amat mulia. Ironinya, sebagian jemaat Kristen, yang mengakui Putra Maria sebagai Tuhan, mengabaikannya.

Maria Dipilih untuk Menjadi Bunda Almasih
Panggilan untuk menjadi Bunda Almasih disampaikan melalui Malaikat Jibril (Gabriel) dalam ayat suci yang berbunyi: “Dan ketika Malaikat (Jibril) berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia. Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu,…” (QS. Ali Imran 3:42-43). Pilihan atas Maria dilanjutkan dengan penyampaian kabar gembira: “…Hai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira kepadamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat….” Maryam berkata, “Ya Tuhanku bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.” Allah berfirman, ”…. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata, “Jadilah”, maka jadilah dia.” (QS. Ali Imran 3:47). Maryam dalam ketaatan sempurna mengamini panggilan ini kendati muskil bagi akal budi manusia. “Dan Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya serta Kitab-kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.” (QS. at-Tahrim 66:12). Ketaatan Maryam ditunjukkan dalam kata “membenarkan” yang berarti meyakini dan menerima dengan sepenuh hati.

Kata “memilih” (Ishthifâ’) menunjukkan pemilahan. Sejak awal Maryam dilahirkan sebagai wanita pilihan. Dia diciptakan sebagai wanita yang terhindar dari kekurangan, ditafsirkan sebagai malaikat yang berwujud manusia. Allah memilihnya dari antara para wanita agar menjadi tempat kandungan bagi Almasih tanpa campur tangan seorang lelaki. Dalam tindakan “menyucikanmu” tidak disebut obyek penyucian. Ini berarti penyucian Allah mencakup segala hal. Kata ini berfungsi menerangkan kata sebelumnya (memilih). Kata keterangan kedua adalah “melebihkan” (kamu atas seluruh wanita). Hal ini menunjukkan bahwa Maryam lebih mulia dari seluruh wanita dunia. Di sini juga tidak disebutkan sisi tertentu kemuliaan. Ini berarti Maryam lebih mulia dan unggul dalam segala sisi.

Turunnya malaikat menemui Maryam menunjukkan posisi istimewanya di hadapan Allah. Ini menunjukkan pemuliaan Allah terhadap Maryam dengan memberinya “kelayakan” yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumnya, kecuali kepada para nabi. Al-Quran bahkan memberitakan tentang sejumlah malaikat (bukan hanya satu) yang diutus untuk menyampaikan pelbagai risalah Ilahi kepadanya. Dia disebut sebagai wanita maksum yang berarti orang yang terjaga dari (tindakan) kesalahan dan dosa. Maryam merupakan wanita maksum pertama di dalam sejarah yang disebutkan oleh nas Al-Quran. Nama Maryam disebutkan lebih dari 30 ayat yang terdapat dalam lebih dari 20 surah. Angka ini menduduki rekor pertama melebihi kesaksian buku suci mana pun di dunia. Sungguh, terpujilah engkau, Bunda Suci, di antara semua wanita.

Lianto (Publikasi: Majalah Duta Mei 2007)
Sumber: Ridha Shadr, Firman-firman Yesus: Bukan Manusia Biasa

Maria Mempunyai Anak Selain Yesus?


Dalam Perjanjian Baru kita berulang kali membaca ungkapan “saudara-saudara Yesus”. Sebagian orang mungkin membaca Kitab Suci sepintas lalu dan tidak menaruh minat sama sekali untuk melihat maknanya. Yang lain barangkali memilih untuk tidak menggali lebih jauh maksud dari ungkapan tersebut. Mungkin ungkapan itu dianggap atau dikhawatirkan akan mengancam keyakinan tertentu dalam ajaran Gereja. Apakah ungkapan “saudara-saudara Yesus” dengan sendirinya menunjukkan bahwa Maria mempunyai anak-anak lain setelah melahirkan Yesus, dan dengan demikian “mengancam” ajaran “keperawanan tetap” Maria?

Dasar Biblis dan Argumen
“Saudara-saudara Yesus” ditemukan dalam Mat. 12:46-50; Mrk. 3:31-35; Luk. 8:19-21; Yoh. 2:12; Kis. 1:14; Gal. 1:19; dan 1Kor. 9:5. Pribadi yang dimaksud bernama Yakobus, Yoses (Yosef), Yudas, dan Simon. Juga disebutkan bahwa Yesus mempunyai sejumlah saudari (Mrk. 6:3; Mat. 13:55).

Dalam sejarah, ada tiga pandangan umum yang mencoba menafsirkan hubungan kekerabatan antara Yesus dengan mereka yang disebut “saudara-saudara”-Nya.

Pertama,
“saudara-saudara” itu adalah anak Yusuf sebelum menikahi Maria. Pandangan ini diajarkan pada abad ke-3 dan dibela oleh Epifanius pada abad ke-4. Walaupun tidak ada petunjuk dari Perjanjian Baru yang mendukung, pandangan ini menjadi dogma bagi Gereja Timur (Orthodoks).

Kedua, “saudara-saudara” itu adalah anak Yusuf dan Maria, adik-adik Yesus. Argumen ini ditopang oleh pemakaian kata “sulung” dalam Luk. 2:7 dan penyimpulan yang tergesa-gesa atas Mat. 1:25. Pandangan ini dikemukakan oleh Helvidius (abad ke-4) dan Uskup Bonosus dari Naissus, dan mendapat perlawanan yang keras dari pihak Jerome (alias Hieronimus: ca. 419). Sejak reformasi, pandangan ini paling umum dianut oleh kalangan Protestan.

Ketiga, “saudara-saudara” itu adalah sepupu Yesus. Pandangan ini dikemukakan oleh Jerome untuk membela doktrin bahwa Maria senantiasa perawan. Tafsiran terakhir ini beredar dan lebih umum dianut Gereja Barat (Katolik).

Di Pihak Mana Kita?
Menafsirkan Kitab Suci memang kadang agak susah. Suatu teks tidak bisa begitu saja dilepaskan dari konteksnya. Arti asli dari penulis terkadang sulit digali karena kendala bahasa. Istilah yang sama bisa saja berbeda dalam hal keluasan makna jika dipakai dalam dua zaman yang berbeda. Latar belakang sejarah, budaya, gaya bahasa, dan sastra juga merupakan kaidah penting dalam usaha menafsirkan KS.

Kembali ke pokok masalah: siapakah mereka? Kiranya lebih mungkin mengatakan bahwa mereka itu sepupu-sepupu-Nya. Mengapa?

Pertama, ungkapan “anak sulung” tidak perlu/harus mengimplikasikan adanya anak yang lain. Dalam kebiasaan Yahudi, anak tunggal bisa juga disebut anak sulung. “Anak sulung” dalam pembicaraan orang Yahudi umumnya dimaksudkan sebagai gelar untuk menunjuk kedudukan istimewa, yang menurut hukum, dimiliki anak pertama, entah masih ada anak yang lain atau tidak (bdk. Kel. 13:2; 4:22; Bil.3:12). Jadi ketika Yesus disebut “anak sulung”, tidak dengan sendirinya dapat dipastikan bahwa Dia adalah anak pertama dari suatu rangkaian persaudaraan.

Kedua, menarik untuk diperhatikan bahwa dalam Perjanjian Baru, “saudara-saudara Yesus” tidak pernah dikatakan sebagai anak-anak Maria. Selalu dikatakan bahwa Maria tampil bersama “saudara-saudara Yesus” dan tidak pernah bersama dengan anak-anaknya. Jika mereka sungguh anak-anak Maria, ketegangan yang dilukiskan Mrk 3:31-35 seharusnya mengkondisikan pemakaian istilah “anak-anak Maria” atau “anak-anak ibu Yesus”.

Ketiga, kata Yunani yang dipakai untuk “saudara/saudari” adalah “adelphos/adelphé”. Kata ini bisa dipakai dengan arti yang lebih luas. Dalam rangka menghormati atau meningkatkan kedudukan seseorang karena kaitan relasi kekeluargaannya dengan seorang tokoh penting, kata “adelphos” dapat dipakai. Dalam hal ini, bukan mustahil bahwa pada umat Kristen berkembang kebiasaan menyebut sepupu-sepupu Yesus sebagai “saudara-saudara-Nya”, yang memegang peranan cukup penting dalam komunitas umat perdana (bdk. 1Kor. 9:5; Kis. 1:14). Hubungan sepupu antara Isak dan Laban juga disebut “saudara” (Kej. 29:12 dst.). Lebih jauh lagi, Yesus memakai kata “saudara” untuk mereka yang melakukan kehendak Bapa (Mat. 12:46-50). Kata “saudara” tidak terbatas hanya dalam makna serahim.

Keempat, bisa dibayangkan bahwa selama sepupu-sepupu Yesus masih hidup, hal di atas tentu bukanlah masalah. Umat Kristen perdana yang kenal mereka tentu tahu bahwa julukan “saudara Tuhan” hanyalah gelar kehormatan. Tetapi ketika generasi pertama hilang (abad ke-2), gelar kehormatan dapat membingungkan, sebab kata “saudara” bisa saja dipahami secara harafiah. Dalam hal ini, tulisan lain (di luar KS) dari tangan generasi dekat kiranya bisa membantu. Seorang penulis abad ke-2 bernama Hegesippus (termasuk generasi yang menyusul jemaat perdana) menyebut uskup (kedua) Yerusalem, Simeon (Simon), sebagai “sepupu Tuhan yang kedua” yang menjadi uskup Yerusalem. Catatan ini memperkuat argumen kita.

Akhirnya, “konteks jauh” dari perikop KS barangkali dapat membantu. Dalam Yoh. 19:27 digambarkan peristiwa Yesus mempercayakan Maria, ibu-Nya, kepada “murid yang dikasihi-Nya”. Hal ini tidak mungkin terjadi bila Maria memiliki anak-anak yang lain. Demikian pula dalam Luk. 2:41-51 dilukiskan perjalanan ziarah Maria, Yusuf, dan Yesus (yang berumur 12 tahun) ke Yerusalem. Hal ini pun rasanya tidak mungkin dilakukan bila di rumah (Nazareth) ditinggalkan anak-anak lain yang masih kecil.

Ajaran “Keperawanan Tetap” Maria
Apa pun yang dikatakan penginjil abad pertama tidaklah tepat dijadikan dasar untuk menentang gagasan doktrin keperawanan tetap Maria. Sekiranya Maria mempunyai anak-anak yang lain, tentu itu merupakan hal penting yang semustinya masuk dalam catatan penginjil. Para penginjil tak punya kepentingan sedikit pun untuk menafikan atau sengaja merahasiakannya. Sebab gagasan keperawanan tetap Maria merupakan wacana yang baru muncul pada abad ke-2. Gagasan ini musti dilihat dalam kerangka tradisi yang bermuara pada KS, bukan pada salah satu ayat atau perikop, melainkan pada keseluruhan pandangan biblis tentang ibu Yesus. Dengan dukungan kuat dari tradisi, ajaran ini tidak berlawanan dengan KS. Dengan demikian, tanpa bukti yang meyakinkan, doktrin ini tidak dapat ditinggalkan oleh siapa pun yang mengakui tradisi sebagai salah satu acuan teologi.

Lianto (Publikasi: Majalah Didache Mei 2007)

Kebangkitan: Jangkar Iman Kristen


Injil tentang Yesus dari Nazareth ditulis dengan skema yang menyempit ke satu titik tema, yakni tema kebangkitan. Jürgen Moltman, seorang teolog Jerman, mengatakan bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ada iman yang tidak mulai a priori dengan kebangkitan Yesus. Rangkaian kisah dalam keempat Injil bagaikan kumpulan premis untuk mendukung konklusi yang tak terbantah: “Yesus bangkit”. Kebangkitan adalah titik tolak iman kristiani. Tanpa pengalaman akan kebangkitan Yesus, tak akan ada iman Kristen. Tanpa kebangkitan, sulit dibayangkan akan ada penulis Injil yang mau membukukan kisah hidup seorang pecundang yang kalah di kayu salib.

Sejumlah pemikir modern mempertanyakan historisitas peristiwa kebangkitan Yesus. Kesaksian yang terekam dalam Injil dianggap tidak memadai untuk menjadikan kebangkitan Yesus sebagai fakta historis. Dalam Injil tidak ditulis bagaimana kebangkitan itu terjadi. Injil hanya mencatat kesaksian para murid atas penampakan Yesus di sejumlah tempat. Fakta kubur kosong hanyalah syarat yang diperlukan, tetapi sama sekali bukan syarat yang memadai bagi pembuktian. Dalih klasik adalah bahwa para murid pergi ke kuburan yang salah. Ada pula yang berpikir bahwa jenazah-Nya dipindahkan orang, atau dicuri oleh penguasa yang berkepentingan. Pendapat lain mengatakan bahwa murid-murid Yesus berhalusinasi. Apa pun yang dikatakan, kiranya lebih mungkin dan logis untuk mempercayai kebenaran peristiwa kebangkitan daripada menafikannya.

Kenyataan kesaksian Injil tidak mencatat bagaimana kebangkitan terjadi justru menunjukkan apa yang tertulis bukanlah isapan jempol. Mengapa mereka tidak mengarang cerita yang spektakuler dan sensasional yang lengkap dengan detail isi dan bentuk kebangkitan? Itu tidak terjadi karena mereka memberikan kesaksian apa adanya. Dalih tentang “kuburan yang salah” juga tak punya dasar. Sulit dibayangkan bahwa “kuburan yang benar” sama sekali dilupakan dalam waktu relatif singkat. Dan apabila dalam “kuburan yang benar” masih berisikan jenazah Yesus, kenapa para imam (yang berpaham Saduki) tidak menjadikan itu sebagai bukti untuk membuyarkan kabar kebangkitan yang sangat mereka lawan? Dugaan bahwa jenazah Yesus dicuri oleh lawan-lawan-Nya, lebih tidak masuk akal. Sebab dengan tindakan itu, mereka justru menciptakan berita kebangkitan.

Bagaimana dengan tuduhan halusinasi? Halusinasi adalah fenomena pribadi. Yesus menampakkan diri kadang-kadang kepada satu atau dua orang. Di tempat lain, Ia menampakkan diri kepada kesebelas murid-Nya, bahkan kepada pengikut yang berjumlah 500-an orang, baik laki-laki maupun perempuan. Mungkinkah ratusan orang mengidap halusinasi pada tempat dan waktu yang sama?

Kenyataan yang tak kalah penting adalah transformasi radikal di antara para murid Yesus. Mereka adalah orang-orang yang kalah dan putus asa setelah penyaliban Yesus. Ketika Yesus ditangkap, mereka lari pontang-panting. Setelah penyaliban pun tidak jauh beda. Mereka bersembunyi di rumah-rumah. Tapi setelah kebangkitan Yesus, mereka berani memberi kesaksian kendati harus menderita; ditangkap, dipenjara, bahkan dihukum mati. Adakah orang yang rela mempertaruhkan nyawa demi sesuatu yang bagi mereka sendiri merupakan penipuan? Paulus, seorang terpelajar yang tak mudah percaya; sangat benci pengikut Yesus, adalah bukti istimewa. Setelah menyaksikan Yesus di jalan menuju Damsyik, ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk mewartakan kabar kebangkitan. “…. andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami, dan sia-sialah juga kepercayaan kamu”, tulis Paulus kepada jemaat di Korintus. Argumen Paulus di sini sangat jelas. Yang membuat Injil itu benar dan iman kita otentik adalah kebangkitan Yesus.

Jemaat perdana juga merayakan hari kebangkitan sebagai ganti hari Sabat. Andaikata kebangkitan Yesus adalah peristiwa akal-akalan, rasanya terlalu muskil bagi orang Yahudi untuk menggantikan Sabat dengan perayaan kebohongan. Dan dalam sakramen baptis, mereka meyakini diri dikuburkan bersama Kristus dan dibangkitkan bersama Dia (Kol. 2:12). Tampaknya pengalaman kebangkitan memberi makna kepada semua yang mereka pikirkan, lakukan, dan wartakan.

Benar bahwa iman juga perlu historis. Namun kita manusia terbatas yang hidup di dunia yang terbatas pula. Fakta kubur kosong melambangkan kenyataan bahwa karya penyelamatan Allah di dalam dunia tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh logika dan sejarah. Kekosongan kubur Yesus akibat peristiwa kebangkitan merupakan ruang (isi) ilahi dalam sejarah dunia. Ruang ilahi ini tidak mempunyai tempat bagi penelitian dan perdebatan logika manusia. Jeda sejarah yang tercipta karena kebangkitan Yesus melampaui segala daya rasionalita.

Kebangkitan Yesus adalah jangkar Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tanpa kebangkitan bagaikan kapal yang terlepas dari jangkarnya, terombang-ambing tanpa arah dan tujuan. Tanpa kebangkitan, tidak akan ada kekristenan, sebab kisah Yesus telah berakhir di Golgota. Keberadaan kekristenan dari abad-abad mula hingga abad kita di panggung dunia juga bukti nyata bahwa kesaksian rasuli tentang kebangkitan bukanlah isapan jempol belaka.

Lianto (Publikasi: Majalah Duta April 2007)

Yesus Historis, Siapa Takut?


Akhir-akhir ini wacana tentang hidup Yesus dimeriahkan oleh pelbagai tulisan dan pandangan yang mengklaim diri sebagai penemuan atas Yesus-historis. Dua karya yang ramai dibicarakan adalah The Da Vinci Code (DVC) dan The Lost Tomb of Jesus (LTJ). Yang pertama (DVC, karya Dan Brown) merupakan novel thriller-fiktif yang mencoba meyakinkan pembaca akan historisitas sejumlah fragmen yang dipaparkan sebagai latar belakang cerita. Yang kedua adalah film dokumenter dari James Cameron yang berusaha mengidentikkan diri sebagai hasil penemuan arkeologis atas kuburan Yesus sekeluarga di Yerusalem. Keduanya menuai kritik dan perlawanan sengit karena dinilai sebagai karya yang mengaburkan kebenaran iman akan pribadi Yesus Kristus.

Antara Yesus dan Kristus
Pertama-tama harus dibedakan antara Yesus-historis dan Yesus-iman (yang diimani). Keduanya berkaitan erat, tapi tidak identik. Yesus-iman adalah ungkapan penghayatan umat perdana akan pribadi Yesus-historis yang diteruskan ke generasi-generasi berikutnya hingga sekarang. Injil sendiri, yang ditulis pada paruh kedua abad pertama, merupakan penghayatan iman akan pribadi Yesus yang tertulis dalam terang Roh Kudus. Interval waktu yang terbentang antara Yesus-historis dan Yesus-iman menciptakan nuansa-nuansa kecil yang meskipun tidak sampai bertentangan, namun tidak jarang terdapat perbedaan. Orang yang terikat dengan gambaran Yesus-iman dapat tergugah (kalau tidak sampai terguncang) bila dihadapkan dengan gambaran Yesus-historis. Baginya, apa yang diketahui dan dihayati selama ini tidak sama dengan gambaran baru yang disodorkan.

Perlawanan dan pembelaan yang diarahkan kepada Dan Brown “dan kawan-kawan” menghasilkan polemik yang carut marut. Hal ini terjadi karena kedua kubu berangkat dari titik tolak dan perspektif yang berbeda. Wacana ilmuwan berangkat dari perspektif Yesus-historis. Dan umat beriman mencoba menampiknya dari perspektif Yesus-iman. Yang perlu dilakukan adalah verifikasi; sejauh mana uraian para ilmuwan/seniman tentang Yesus-historis sungguh benar. Satu-satunya cara adalah kita juga harus menggali ulang Yesus-historis. Tentu saja tidak ada yang murni historis. Sebagaimana historisitas kaum ilmuwan juga tidak murni ilmiah. Selalu ada unsur interpretasi subyektif dalam semua kesimpulan atas data-data yang diperoleh. Tidak ada teks atau penelitian yang tidak bisa dimasukkan ke dalam struktur yang dibangun dari sejumlah wawasan kepentingan (Leonardo Boff). Penelitian sejarah, sekalipun dilaksanakan dengan sumber sebanyak-banyaknya dan memakai metode sebaik-baiknya, tetap hanya mampu menghasilkan kemungkinan-kemungkinan (James H. Charlesworth).

Keseimbangan: suatu Keperluan
Menelusuri dan mempelajari Yesus-historis di era kita menjadi suatu keperluan. Umat beriman tidak perlu takut atau was-was untuk mendekati ranah ini. Kekristenan yang bertahan dan terus berkembang selama 20 abad pastilah mengindikasikan kebenaran. Mustahil rasanya bila suatu kebohongan dapat bertahan dalam rentang waktu dan generasi yang tidak pendek. Yesus yang diimani tentu masih Yesus historis yang melewati bias-bias zaman (waktu).

Di usia memasuki abad ke-21 ini, Gereja terpanggil untuk mempertanggungjawabkan imannya serasional mungkin. Gereja era baru kita tidak lagi bisa hanya mewartakan Kristus, melainkan harus pula menggali dan mewartakan kesinambungan antara Yesus-historis dan Yesus-iman. Kesenjangan yang terbentang antara Yesus dan Kristus harus dijembatani. Orang yang bertolak dari Yesus-historis menuju iman akan Yesus niscaya lebih tahan banting. Pendekatan kita kepada Yesus-historis dapat membuka mata dan pikiran akan adanya konspirasi rapi dari sejumlah ilmuwan/seniman untuk menciptakan gambaran Yesus yang berbeda radikal dari apa yang kita percayai selama ini.

Di satu sisi, pewartaan yang terlalu menekankan Yesus-iman dan mengabaikan Yesus-historis dapat menciptakan pengasingan. Gelar-gelar dan aneka dogma yang meliputi wajah Yesus dapat menyembunyikan wajah manusiawi Yesus dan menyingkirkan-Nya dari sejarah. Kristologi yang dikembangkan tidak menginjak tanah. Di era baru, teologi bertugas membebaskan Yesus dari rantai yang membelenggu-Nya untuk mendekati manusia. Mengimani Yesus berarti mampu untuk mendengarkan suara-Nya yang berbicara dalam situasi hidup kita. Seseorang bisa saja mengatakan percaya akan Yesus sebagai Mesias, Tuhan, Putra Allah, dan sebagainya seraya mengabaikan apa makna gelar itu bagi hidup nyata.

Di lain sisi, tidak kalah penting mencegah penilaian berat sebelah. Skeptisisme yang berlebihan dan tak beralasan tidak lebih kritis daripada menerima apa pun yang disediakan begitu saja. Banyak hal yang mengklaim diri sebagai kritisisme ternyata tidak kritis sama sekali; tidak lebih daripada skeptisisme yang berkedok ilmiah. Cara pikir ini menjadi penyumbang besar aneka gambaran yang menyimpang tentang Yesus dan Injil, seperti yang ramai dibicarakan dalam media massa akhir-akhir ini. Kritis berarti tidak gampang untuk menerima maupun menolak sesuatu yang ditawarkan. Sikap kritis menuntut seseorang untuk mengukur kebenaran sesuatu hal dengan mengembalikannya pada dasar pernilaian (kriteria).

Dokumen Palsu dan Legenda Dijadikan Fakta
Selain DVC dan LTJ, umat beriman modern juga digugah oleh The Jesus Papers karya Michael Baigent yang memaparkan teori tentang kematian palsu Yesus dan surat-surat Yesus yang ditujukan kepada Sanhedrin. Karya-karya semacam ini terus bermunculan akhir-akhir ini. Seorang pengamat berkata bahwa kesuksesan DVC lebih banyak berbicara tentang masyarakat modern yang mudah ditipu daripada tentang keterampilan seorang Dan Brown. Penulis-penulis modern ini menjadikan dokumen kuno seolah-olah bahan bersandi yang harus disingkap makna aslinya. Yang lain menjadikan legenda dan dokumen palsu sebagai fakta, dan dengan ceroboh menarik kesimpulan dari rumor yang belum terbukti kebenarannya. Penulis lain lagi, yang tidak ingin ketinggalan popularitas, memanfaatkan penemuan arkeologi dengan tebakan-tebakan yang spekulatif. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam jemaat beriman.

Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-80 (16/4/07), Paus Benediktus XVI menerbitkan buku berjudul Yesus dari Nazareth. Buku ini berusaha mendamaikan figur Yesus-historis dengan figur Yesus-Injil sebagai jawaban terhadap DVC dan karya sejenisnya.

Lianto