Saturday, July 26, 2008

Teologi Mistik, Masih Relevankah?


Di penghujung abad ke-20, John Naisbitt, penulis Megatrends Asia, berujar provokatif: “Spirituality Yes, Organized Religion No”. James Redfield, pengarang The Celestine Prophecy, melihat adanya kegelisahan sekelompok orang yang mengalami ketidakpuasan terhadap jawaban akan makna kehidupan. Mereka kemudian melakukan pencarian batin secara intensif dalam aneka bentuk spiritualitas dunia. Bagaimanakah Gereja menjawab dan menanggapi tanda-tanda zaman ini?

Tatkala orang mengalami doa lisan dan meditasi terasa tak bermakna, apa jalan keluar yang ditempuhnya? Sebagian orang beralih ke pelbagai praktek meditatif ala kebijaksanaan Timur, misalnya Zen, yoga, dan meditasi prana. Padahal tradisi kristiani sejak abad-abad awal telah mengenal teologi praktis yang disebut teologi mistik. Bidang ini bertujuan mengajar orang bagaimana berdoa dan membimbing orang agar tetap berada di jalur tepat ketika “malam gelap” melanda. Ketika orang ditarik masuk ke tingkat kesadaran doa yang lebih mendalam, ia perlu bimbingan yang tepat. Tanpa arahan yang tepat, orang bisa saja tersesat dalam ilusi, kebimbangan, atau macet tanpa membuat kemajuan. Begitulah kira-kira inti ajaran teologi mistik sepanjang zaman.

Khazanah Gereja di ranah mistik begitu kaya. Kita mempunyai Life of Moses karya St. Gregorius dari Nyssa; Theologia Mystica dari seorang penulis Siria dengan nama samaran Dionisius Areopagus (Pseudo-Dionisius); Itinerarium Mentis in Deum dari St. Bonaventura; The Cloud of Unknowing dari pengarang Inggeris anonim; Abecedario Espiritual dari Fransiskus Osuna; El Castilo Interior dari St. Teresia dari Avila; belasan mahakarya dari St. Yohanes dari Salib; Philokalia dari Makarios dari Korintus; dan ratusan risalah lain yang tak dapat disebut satu per satu.

Pada paruh pertama abad ke-20, risalah-risalah mistik di atas masih diajarkan di fakultas-fakultas teologi di seluruh dunia. Ini merupakan bidang praktis dan pastoral yang mengajar para murid tentang bagaimana berdoa dan membimbing orang lain yang dijumpai dalam pelayanan di masa mendatang. Namun setelah Konsili Vatikan II, teologi mistik tidak lagi diajarkan. Buku Adolphe Tanquerey, The Spiritual Life: A Treatise on Ascetical and Mystical Theology setebal Alkitab tersusun tak rapi di perpustakaan-perpustakaan fakultas teologi. Posisinya ada di rak kumpulan buku-buku tua. Sebagian seminaris mungkin tidak menyadari keberadaannya. Hanya kutu bukulah yang masih meminatinya (kutu yang sebenarnya). Tapi dari jumlah eksemplar-nya, hampir bisa dipastikan, buku ini pernah menjadi buku pegangan wajib bagi seminaris. Mengapa? Situasi perubahan dunia apakah yang membuatnya tidak relevan lagi untuk diajarkan?

Memang tak disangkal bahwa risalah-risalah klasik mengandung banyak pernik pemikiran filosofis yang harus dibaca secara kontekstual di zaman kita. Skolastisisme Abad Pertengahan sangat mempengaruhi penelaahan teologi mistik di masa lalu. Namun hal ini bukan perkara esensial. Risalah-risalah tersebut bisa “di-hari-ini-kan” (aggiornamento) sehingga tetap dapat bergema di era kita.

Setelah khazanah mistik di era lalu disesuaikan dengan situasi zaman kini, Gereja akan tetap mampu menjawab kehausan manusia modern. Adaptasi itu kira-kira menyangkut hal bagaimana karya yang ditulis untuk para biarawan dan rahib (yang mempunyai waktu panjang di ruang doa) dapat dinikmati pula oleh manusia modern yang sibuk di pabrik, kantor, toko, dan sebagainya. Mereka juga dalam intensitas tertentu dipanggil untuk masuk ke dalam pengalaman mistik dengan Allah.

Teologi mistik era kita juga harus diarahkan pada sikap tidak menutup mata terhadap aneka keprihatinan sosial di dunia. Kobaran cinta Allah yang menggebu-gebu, (yang mendorong mistikus-mistikus di zaman lampau pergi bertapa di padang gurun) harus mendorong para mistikus modern menceburkan diri dalam dunia modern; berbela-rasa (compassio) untuk memerangi aneka struktur yang menindas kaum miskin dan merusak lingkungan. Ini bukan mission imposible, Edith Stein, Dietrich Bonhoeffer, Thomas Merton, Ibu Teresa dari Calcutta, Oscar Arnulfo Romero, dan Dom Hérder Câmara telah menunaikannya.

Dengan teologi mistik baru ini, Gereja dapat duduk bersama penganut agama-agama lain di dunia di era global, pun pula dengan kalangan ilmuwan modern yang di masa lalu sering dipertentangkan. Orang-orang di luar Gereja juga dibimbing kepada pengalaman iman (mistik) “dengan jalan yang hanya diketahui oleh Allah sendiri” (Ad Gentes art. 7a). Dengan teologi mistik baru, Gereja dapat kembali menyerukan ajakan Yesus: “Datanglah kepada-Ku,… Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”

Lianto