Saturday, July 26, 2008

Allah Tritunggal Mahakudus



Pada hari Minggu pertama sesudah perayaan Pentekosta, kita merayakan pokok iman Kristiani yang utama, yakni iman akan Allah Tritunggal. Barangkali inilah ajaran tersulit dalam rumusan teologi Kristen sepanjang sejarah. Kita menyapa Allah sebagai Allah-Bapa, Allah-Putera, dan Allah-Roh Kudus. Ini tidak berarti bahwa kekristenan percaya akan tiga (jumlah) Allah. Sama seperti agama monoteis lainnya, kita juga mengimani bahwa Allah itu esa. Bagaimana keesaan dan ketigaan dijelaskan? Tulisan kecil ini mencoba menjadi sebatang korek api yang bernyala tidak lama. Kiranya cukup lama untuk memberi terang untuk menemukan lilin, lentera, lampu emergency, atau sumber cahaya lainnya. Cahaya misteri Allah Tritunggal sedemikian terang sehingga “membutakan” mata budi yang memandang-Nya.

Keterbatasan Budi
Pertama-tama harus disadari bahwa budi manusia mana pun tak mampu memahami misteri Allah Tritunggal sepenuhnya. Allah yang dapat dimengerti, bukan lagi Allah yang Mahatinggi. Hakikat dan keagungan Allah tidak sebanding dengan daya tangkap budi kita. Karena keterbatasan budi, kita hanya mampu mendekati misteri ini dengan bekal cercah-cercah cahaya.

Allah Tritunggal dalam Kitab Suci
Istilah “Tritunggal” atau “Trinitas” memang tidak ditemukan dalam Kitab Suci. Namun makna yang dimaksudkan dalam istilah teologis ini terkandung jelas dalam Kitab Suci. Misteri Tritunggal tersirat dalam bab pertama Injil Markus tentang pembaptisan Yesus (Mark 1:9-11). Bagian ini merupakan intisari wahyu Allah Tritunggal: Allah-Bapa mewahyukan Yesus sebagai Putera-Nya yang terkasih, sementara Roh Kudus memperlihatkan Diri dalam rupa merpati.

Injil Matius melangkah lebih jauh. Dalam Matius, Yesus yang bangkit mengutus para murid untuk mengajar segala bangsa dan membaptis mereka atas nama (bentuk singular) Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat 28:19). Ayat ini mengembangkan konsep dasar ajaran Tritunggal dalam Perjanjian Baru bukan melulu sebagai uraian teoritis, melainkan sebagai rumusan praktis untuk membaptis umat beriman.

Dalam Yohanes, konsep Tritunggal tersirat dalam hubungan kekal antara Bapa dan Sabda (Yoh 1:1-18). Roh Kudus dilukiskan sebagai yang berasal dari Bapa (Yoh 15:26) dan diutus oleh Putera (Yoh 16:7) untuk melanjutkan apa yang telah dimulai Putera (Yoh 16:13). Pengalaman Stefanus dalam Kis 7:55 juga turut memperkaya makna triniter dalam KS. Tidak ketinggalan Paulus, yang dalam surat-suratnya memberikan salam: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah serta persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2Kor 13:13 dan ayat-ayat paralel lainnya).

Allah Tritunggal dalam Teologi
Pengalaman iman akan Allah Bapa-Putera-Roh Kudus sebagaimana tersirat dalam Kitab Suci itu kemudian diwartakan. Atas dasar Alkitab, Gereja merefleksikan kebenaran ini dan merumuskannya dalam teologi. Dalam sejarah, muncul aneka pandangan sesat tentang Allah Tritunggal terutama pada abad ke-3 dan ke-4. Teologi Gereja berfungsi menampik pandangan sesat yang muncul dan sedapat mungkin mengembalikan makna iman sesuai wahyu dalam Injil.

Tentu saja rumusan teologi pun belum sepenuhnya memadai jika dibandingkan dengan pengalaman rohani yang hidup dan keADAan Allah Tritunggal yang sebenarnya. Gereja telah menempuh perjalanan panjang dalam usaha merumuskan dan mempertahankan ajaran iman Allah Tritunggal. Dua konsili ekumenis yang pantas disebut adalah Konsili Nikea (325) dan Konsili Konstantinopel I (381). Secara ringkas, ajaran konsili dapat dirumuskan berikut ini. Allah-Bapa (Sumber-tak-bersumber) sejak kekal (awal-tanpa-permulaan) menerimakan seluruh Diri-Nya kepada Allah-Putera. Maka Bapa dan Putera sama dalam segala hal, kecuali dalam cara “memiliki” ke-Allahan (menerima dan menerimakan). Penerimaan seluruh ke-Allahan dari Bapa dan dari Putera ialah Roh Kudus. Allah memberi Diri seluruhnya secara tak terbagi. Kemahaesaan adalah hakikat-Nya sehingga mustahil terbagi-bagi dalam unsur-unsur yang bisa dijumlahkan. Angka “satu” dan “tiga” harus dimengerti secara analogis. Allah itu Mahaesa; satu dalam Kodrat-Nya, dan ber-Pribadi tiga.

Harus ditegaskan di sini bahwa keberADAan Allah tidak sama dengan keberadaan ciptaan mana pun di dunia. Maka hal itu tak akan terungkapkan secara memuaskan dalam kata dan bahasa mana pun di dunia. Sifat analogis dalam pemakaian kata “satu” dan “tiga” mengharuskan kita untuk mengartikannya secara berbeda dari pengertian sehari-hari tentang angka. Tiga pribadi bukan bilangan (angka) yang bisa dijumlahkan. Ke-tiga-an menghindarkan orang untuk mengerti Ke-satu-an Ilahi secara terlalu manusiawi. Kesatuan Ilahi pun tidak sama dengan kesatuan ciptaan mana pun di dunia. Keesaan dan ketigaan ini jauh dari segala pengertian kuantitatif manusia. Kesatuan Allah menjadi jelas bagi kita justru dalam Ketigaan-Nya. Konsep Tritunggal bukan hanya tidak mengurangi keesaan Allah, melainkan malah memperdalam, mempribadikan, dan mengrohanikannya jauh di atas kesatuan duniawi apa pun yang dapat dipikirkan.

Allah Tritunggal dalam Gambaran Sederhana
Dalam sejarah, kita mengenal aneka gambaran untuk memudahkan pengertian tentang misteri Allah Tritunggal. Dalam bahasa sederhana, “ketigaan” dikemukakan dalam “kesatuan-tak-terpisahkan” misalnya dengan gambaran: “matahari-cahaya-kehangatannya” (St. Tertulianus). St. Agustinus mengajukan model psikologis “berada-mengenal-mencinta”. Richard dari St. Victor memakai model cinta kasih: Yang-mencinta (Bapa), Yang-dicinta (Putera), dan Cinta itu sendiri (Roh Kudus). “Tentang Allah Tritunggal hanya dapat dikatakan bahwa Dialah Cintakasih; sebab cintakasih mustahil sendirian.” (Jürgen Moltman). Ada pula yang melihat bahwa dari sudut pandang manusia, Bapa adalah Allah di atas kita, Putera adalah Allah bersama kita, dan Roh Kudus adalah Allah di dalam kita. Filsafat personalis “Aku-Engkau-Kita” yang dikembangkan Martin Buber turut memperkaya gambaran kita.

Allah Tritunggal dalam Silang Pendapat
Tatkala penjelasan positif (Tritunggal adalah ini atau itu) dirasa tidak memadai, kajian tentang aneka perselisihan berkaitan dengan ajaran Tritunggal kiranya dapat membantu. Dengan menyimak ajaran yang ditolak Gereja, kita mendapat masukan tentang kesalahan pengertian orang tentang ajaran yang bersangkutan.

Dalam sejarah, salah paham terbesar adalah paham monarkianisme. Paham ini terlalu menekankan kesatuan (bilangan/angka) Allah sehingga menolak Putera ilahi sebagai yang berpribadi sendiri. Aliran ini terwujud dalam dua pandangan, yakni modalisme dan subordinasionisme. Modalisme memandang Bapa, Putera, dan Roh Kudus hanya sebagai tiga cara penampakan Diri Allah. Mereka menolak bahwa ketiganya merupakan pribadi yang berbeda-beda. Sedangkan subordinasionisme atau arianisme menempatkan Putera dan Roh Kudus sebagai Allah yang lebih rendah dari Allah-Bapa. Paham-paham ini ditolak dan dianggap bidah oleh Gereja. Gereja menegaskan bahwa Allah-Putera sehakikat dengan Allah-Bapa. Maka Putera bukanlah makhluk di antara Allah dan ciptaan. Gereja juga mengajarkan bahwa Allah-Roh Kudus sama dalam keagungan (dan pantas dihormati dengan penghormatan yang sama) dengan Bapa dan Putera. Dalam menyebut misteri realitas Allah ini: ketigaan dan kesatuan, Gereja memakai istilah manusia yang amat terbatas: Tritunggal! Apa mau dikata, itulah perbendaharaan kata yang tersedia.

Bagaimana dengan bantahan sebagian saudara muslim yang merujuk nas Al-Quran yang menyebut bahwa Allah itu satu, tidak beranak dan atau diperanakkan, dan bahwa tiada tuhan selain Allah? Di zaman hidup nabi Muhammad, ada pandangan dari kaum Jahiliah yang menganut kepercayaan bahwa Allah mempunyai tiga anak yang bernama al-Lat, al-Uzza, dan al-Manat. Pandangan Al-Quran di atas muncul sebagai perlawanan atas keyakinan adanya tiga anak Allah dan bukan ditujukan untuk pandangan Tritunggal agama Kristen. Adalah salah alamat bila nas Al-Quran dipakai untuk membantah pandangan Tritunggal Mahakudus.

Lianto (Publikasi: Majalah Didache Juni 2007)