Thursday, March 14, 2013

Harapan di Balik Nama Paus Fransiskus




Konklaf usai (Rabu, 13/3/2013) dengan terpilihnya Uskup Agung Buenos Aires, Argentina (periode 1998-2012), Jorge Mario Bergoglio sebagai paus, menggantikan Paus emeritus, Benediktus XVI. Ia adalah paus pertama dari Ordo Yesuit (SJ) sekaligus paus pertama yang berasal dari kawasan di luar Eropa. Paus baru ini menggunakan nama Paus Fransiskus I.

Pemilihan nama “Fransiskus” oleh paus baru ini kiranya bukan tanpa alasan. Tradisi Gereja Katolik Roma memiliki ratusan nama kudus yang dapat dipilih sebagai panutan. Pilihan nama kudus tertentu mencerminkan kekaguman pada keutamaan yang melekat pada empunya nama. Menurut John Allen, pakar soal Vatikan, seperti dikutip CNN, nama “Fransiskus” merujuk pada St. Fransiskus Assisi. Nama ini memuat keutamaan-keutamaan yang sangat relevan pada masa kini, antara lain: perdamaian, kerendahan hati, kesederhanaan, dan kecintaan pada lingkungan.

Dengan pemilihan nama Paus Fransiskus, dunia dapat menaruh harapan baru pada isu vital dan urgen di zaman kita, yakni perdamaian. Seturut teladan St. Fransiskus Assisi, perdamaian mencakup relasi dialogal antara manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan alam.

Dalam sejarah peradaban manusia, peperangan telah menjadi alat untuk menyelesaikan konflik kedaulatan ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan geografis. Peperangan demi peperangan yang tiada henti memakan korban jiwa telah membuat manusia merasa tidak “at home” di bumi ini. Globalisasi telah menghapus batas-batas negara sehingga dunia menjadi borderless village. Namun globalisasi belum mampu menyatukan bangsa-bangsa di dunia menjadi satu saudara. Gereja dalam konteks ini terpanggil untuk mengembangkan semangat dialog agar tercipta perdamaian di antara umat manusia.

Perdamaian dengan alam pun sangat urgen di zaman kita. Di samping menderita karena peperangan, manusia juga galau melihat alam yang sepertinya semakin tidak bersahabat. Berbagai bencana alam terjadi akibat ulah destruktif manusia. Alam diperlakukan sebagai obyek yang dapat dieksploitasi. Solidaritas terhadap alam terkikis hingga manusia sendiri lupa atau tidak sadar lagi bahwa alam merupakan bagian besar dari dirinya dan sebaliknya. Manusia lupa bahwa merusak alam tidak berbeda dengan merusak hidup manusia sendiri. Akibat dari perilaku ini amat jelas dalam era kita. Hutan rusak, sungai tercemar, udara kotor dan berbau, dan banjir di mana-mana. Gereja, terlebih melalui kepemimpinan Paus yang memilih nama Fransiskus, terpanggil untuk aktif melakukan aksi rekonsiliasi (berdamai kembali) dengan Ibu Pertiwi (Mother Earth).

Seperti panggilan pertama St. Fransiskus untuk ‘memperbaiki’ gereja San Damiano yang rusak parah, Gereja di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus pun terpanggil untuk memperbaiki Gereja dari dekadensi moralitas dan spiritualitas yang santer diberitakan dewasa ini. Seruan Tuhan kepada St. Fransiskus, “Go and repair my Church” menjadi seruan bagi Paus Fransiskus. Dan rekonsiliasi dengan segenap ciptaan merupakan salah satu jalan yang indah. Dengan demikian Gereja akan kembali menjadi tempat yang teduh bagi manusia modern, yang disebut Henry Nouwen sebagai generasi tanpa bapa. Melalui rekonsiliasi dengan segenap ciptaan,  Gereja dapat, bersama Fransiskus, menyebut matahari, bulan, udara, air, dan sekalian makhluk sebagai saudara dan saudari.

Lianto