Monday, July 20, 2009

Tentang Lo Fong Pak dalam Ensiklopedi Umum (Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo)

Ketika mencari entri “Mandor” di Ensiklopedi Umum, saya temukan informasi tentang Lo Fong Pak, presiden pertama Republik Lan Fang. Berikut kutipannya.
Mandor, kota kecamatan, kota kecil di pedalaman sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat. Di dekat pesanggrahan di tempat tersebut terdapat kuburan yang menurut tulisan batu nisannya (dalam bahasa Belanda) memperingati mereka yang gugur dalam pertempuran tahun 1884-85, di antaranya seorang kontrolir Belanda yang terbunuh pada 23 Oktober 1884. Di dekat klenteng (kuil Cina) tidak jauh dari kuburan itu berdiri suatu tugu peringatan bertuliskan bahasa Cina memperingati jasa-jasa seorang Cina bernama Lo Fong Pak. Menurut ceriteranya, Mandor ini (dulu) adalah daerah emas yang kaya. Konon dalam tahun 1739 datanglah enam orang Cina yang pertama menetap di Mandor. Mereka mendirikan kongsi perusahaan emas. Tahun 1758 datanglah Lo Fong Pak tersebut yang berhasil mendapatkan persetujuan dan membuat perjanjian dengan Sultan Pontianak (Tuanku Syarif Abdulrakhman) untuk mengintensifkan pengusahaan emas. Sejak itu penduduk Mandor (orang-orang Daya, perantau-perantau Melayu dan Cina) sungguh-sungguh mengalami zaman keemasan. Lo Fong Pak meninggal tahun 1795 dan kedudukannya berturut-turut digantikan oleh tokoh-tokoh Cina lain, sampai pihak penjajah Belanda juga ingin menguasai kekayaan bumi Mandor tersebut. Salah seorang pemimpinnya (Liu Tai Nji) dipanggil ke Batavia (Jakarta sekarang) dan dapat dibujuk melepaskan kekuasaan pengusahaan emas tersebut yang dikuatkan dengan suatu kontrak tertulis. Liu yang karenanya ditentang hebat oleh penduduk Mandor menghilang. Belanda mendatangkan dua puluh orang serdadu: semuanya punah terbunuh. Dengan itu berkobarlah Perang Mandor (1884-85). Bala bantuan didatangkan, perkampungan Mandor dibakar habis, penduduk mengundurkan diri bergerilya di hutan-hutan, tetapi akhirnya Belanda dapat menguasai keadaan dan tempat. Di Mandor ditempatkan seorang kontrolir (J.C. Rijks) sebagai kepala pemerintahan. Baru dua hari bertugas, pejabat ini ketika sedang mandi di sungai bersama dua orang pengawalnya mati terbunuh dan dikuburkan di dekat pesanggrahan tersebut di atas. Di zaman pendudukan Jepang (1941-45) Mandor oleh Jepang dijadikan tempat pembunuhan tawanan-tawanan secara besar-besaran. Tawanan orang-orang penting yang paling dicurigai (di antaranya juga sultan-sultan, penembahan-penembahan, juga ada beberapa orang Belanda dan ada pula yang ditawan sekeluarganya) dari seluruh Kalimantan Barat digiring berkali-kali ke Mandor. Mereka lebih dulu disuruh menggali kuburan mereka sendiri (berupa lobang-lobang berukuran lebar dan dalam satu meter dan panjang dua puluh lima meter) untuk kemudian dipenggal kepala mereka seorang demi seorang dengan pedang samurai opsir-opsir Jepang yang ditugaskan menjalankan pembunuhan itu. Setelah Jepang menyerah kalah perang dan Belanda berkuasa kembali kuburan-kuburan massal yang berserakan itu digali dan dikuburkan kembali. Tempat itu diberi pintu gerbang yang bertuliskan (bahasa Belanda): Evereld Mandor (Taman Pahlawan Mandor).

Masyarakat Sipil Tionghoa Kalimantan Barat Terpikat Keelokan Gunung Emas

Oleh: Dr. William Chang (dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/11/nasional/terp28.htm)

SEBENARNYA Lo Fong Pak dan kawan-kawan bukan rombongan pertama dari Tiongkok yang mendarat di Bumi Kalimantan Barat. Sejak abad ke-7 hubungan Tiongkok dengan Kalbar sudah sering terjadi. Sekitar satu abad setelah kedatangan suku Melayu dari Johor dan tempat-tempat lain di Malaya ke Sambas dan Mempawah, Tayan, Meliau, Sanggau, Sintang, Silat, Selimbau, Piasa, Suhaid, Jongkong dan Bunut (seputar tahun 1290-an), beberapa anggota pasukan Tartar yang kalah perang dari pemuda ulung Raden Wijaya menetap di Kalbar, karena mereka takut menerima hukuman dari Kublai Khan.

Puisi 12 baris gubahan Lo Fong Pak itu membeberkan bahwa dalam abad 17 rombongan dari Tiongkok harus menghadapi setidak-tidaknya tiga masalah utama.
Pertama, perjalanan panjang mengarungi samudera luas dan ganas. Yang berani datang waktu itu hanya kaum pria, sedangkan kaum wanita tidak ikut serta dalam perjalanan itu.

Kedua, mereka harus menghadapi para Sultan Melayu selaku penguasa daerah Kalbar yang belum dikenal.

Ketiga, lingkungan dan muatan sosial kala itu memaksa mereka untuk bersikap secara tepat. Namun, demi sesuap nasi mereka berani meninggalkan tanah leluhur.

Sejarah mencatat, kedatangan mereka di Kalbar atas undangan Sultan-sultan Melayu setelah mendengar bahwa penambang bauksit asal Tiongkok berhasil memperkaya kesultanan di Palembang. Keahlian khusus para penambang emas (Hakka) ternyata menarik perhatian para Sultan Melayu di Kalbar. Waktu itu, kawasan Kalbar bisa dikatakan masih "perawan" dan belum banyak terjamah.

Pengelolaan tambang emas dipercayakan kepada para pekerja keras asal Tiongkok. Yuan Bingling, seorang pengamat sejarah berpendapat bahwa kedatangan para pekerja pertambangan emas dari Tiongkok tak terkait dengan penjajah Belanda, tetapi justru terpaut dengan sultan-sultan lokal di Kalbar (Chinese Democracies: A Study of the Kongsis of West Borneo (1776-1884)-The Netherlands, 2000, xi-22).

Menambang emas bukan hanya satu-satunya pekerjaan yang mereka tangani. Banyak dari antara mereka (khususnya dari kelompok dan Tiaociu) bekerja sebagai petani, pedagang, seniman, dan nelayan di kawasan Kalbar (Mandor, Montrado, Kulor, Sungai Duri, Mempawah). Mereka mengembangkan teknik pembuatan garam, pengawetan ikan, penanaman kelapa, padi, sayur-mayur, dan pemeliharaan babi. Diperkirakan terdapat 40-an pertambangan emas. Kala itu mereka sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, tanpa banyak ketergantungan dari luar kawasan Kalbar. Usaha dan kerja keras menjamin hidup mereka. Kerja sama dengan puak Dayak dan Melayu tampak dalam hidup, dunia pertambangan dan bisnis keperluan sehari-hari. Saling ketergantungan antarwarga masyarakat membuat mereka saling memerlukan dan bekerja sama satu dengan yang lain. Tenaga-tenaga orang Tionghoa diperlukan untuk membangun daerah dan kemajuan bersama sebagai masyarakat sipil (Dayak, Melayu, dan Tionghoa!).

Hubungan antara masyarakat Tionghoa dan Dayak, menurut Bingling, dilakukan khususnya melalui perkawinan, hubungan dengan orang-orang Melayu melalui bisnis dan kegiatan sosial sehari-hari. Hubungan dan kerja sama ketiga etnis yang telah berabad-abad lamanya patut dipertahankan dan dikembangkan dalam jaman sekarang.

Ini merupakan salah satu modal dasar untuk mengembangkan daerah Kalbar yang terpuruk oleh pelbagai tragedi dari dulu hingga sekarang.

***
MASYARAKAT sipil Tionghoa terutama ditemukan dalam kawasan pertambangan, pertanian, perdagangan, dan perikanan. Masyarakat sipil dalam kongsi pertambangan emas memiliki peraturan-peraturan dan sistem keamanan. Dalam kongsi pertambangan emas yang berkaryawan sekitar 500 hingga 800 orang, misalnya, biasanya terdapat dua orang yang mengawasi kegiatan dalam pertambangan, seorang pengurus pembukuan, seorang kasir, seorang penjaga toko, dan delapan orang supervisor selokan.

Menurut WA van Rees, demokrasi masyarakat Tionghoa bersemi dalam perkongsian di Montrado (Talaluk). Hanya, dalam kawasan ini kadang muncul oligarki karena adanya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Kehidupan dalam kawasan pertambangan baik. Makanan dan minuman tersedia. Hidup tak pernah berkekurangan. Sistem organisasi mereka sebagai kongsi tak dapat dimasuki oleh Pemerintah Belanda. Justru karena itu, Pemerintah Belanda berusaha mencampuri urusan kongsi masyarakat Tionghoa agar kongsi tidak menjadi kekuatan yang membahayakan pemerintah penjajah.

Yang menarik, tugas-tugas dalam kongsi sudah dibagi dengan baik sehingga tiap pakar mendapat kursi sesuai keahliannya. Insinyur, pengawas, tukang masak dan pencatat hasil kerja menerima tanggung jawab yang jelas. Sistem kontrol berjalan baik. Peraturan dapat diterapkan semestinya.

Kondisi buruh tambang waktu itu kurang lebih begini: sebelum Matahari terbit, diawali sarapan berupa nasi mereka langsung bekerja. Pukul 09.00 pagi mereka kembali makan bubur kacang dan minum teh. Pukul 13.00 mereka makan siang berupa nasi dengan sayur, ikan kering dan daging. Pukul 18.00 makan malam penuh disediakan. Sehari mereka bekerja sembilan jam. Seminggu sekali mereka mendapat makanan khusus berupa daging babi. Tembakau tersedia.

Pencucian emas biasanya dilakukan pada waktu malam. Kalau tak berhasil, kerja itu diteruskan keesokan paginya. Terkadang mereka menggunakan darah anjing hitam untuk mencuci emas hasil dulang. Setelah berhasil mencuci emas, daging ayam, babi, dan anggur muncul dalam perjamuan makan. Biasanya jenis pesta ini diikuti oleh rakyat banyak. Pemberian uang perangsang secara berkala juga diberikan kepada mereka yang berprestasi mencari emas.

Ternyata, kesejahteraan para karyawan diperhatikan. Ini menunjukkan bahwa cita-cita dasar masyarakat sipil yang didengung-dengungkan dewasa ini telah diwujudkan dalam masyarakat Tionghoa sipil sejak era penjajahan. Kebutuhan-kebutuhan pokok perorangan dan tiap keluarga dipenuhi. Himpunan manusia dan keluarga yang ber-"komunitas sipil" sadar bahwa secara individual mereka tak mampu memenuhi kesejahteraan hidup manusia. Justru keadaan ini memerlukan suatu "pusat otoritas" untuk mengatur dan mengontrol hidup sosial, sehingga apapun yang diperlukan oleh setiap warga masyarakat dapat disediakan dan dipenuhi oleh pihak pengendali kekuasaan. Tanpa "pusat otoritas" itu dan pemenuhan tanggung jawab secara menyeluruh sangat sulit untuk mewujudkan kesejahteraan tiap individu.

***

SEBENARNYA masalah "otonomi", yang akan diterapkan sebentar lagi, sudah dipraktikkan di kalangan masyarakat Tionghoa yang hidup dan bekerja dalam perkongsian emas dan masyarakat biasa. Sistem peraturan mengikat para penambang emas, sehingga dunia perkongsian dapat menyediakan kesembilan bahan pokok hidup masyarakat. Sejak pertengahan abad 18 Montrado dan Mandor sudah memiliki pasar yang dapat memenuhi kehidupan masyarakat. Mereka hidup dalam kecukupan dan keperluan hidup terpenuhi dengan baik.

Tokoh-tokoh utama dalam perkongsian emas bersemangat militan untuk menghadapi Pemerintah Belanda yang ingin membubarkan kongsi-kongsi emas di daerah Kalbar. Masyarakat Tionghoa membentuk pasukan perang yang bisa terdiri dari 100-400 orang menghadapi serangan Belanda. Dalam masyarakat sipil ini tampak perilaku untuk memerangi segala bentuk pendudukan dan penjajahan, sebab mereka tidak ingin diatur oleh kelompok luar, tapi oleh diri-sendiri dan kalangan sendiri. Pada tahun 1854 pertahanan dan perlawanan masyarakat ini dipatahkan oleh Belanda.

Nilai sistem otonomi yang disumbangkan oleh kongsi emas untuk masyarakat dewasa ini adalah penolakan terhadap campur tangan luar yang memporak-porandakan kehidupan internal mereka. Kebutuhan-kebutuhan hidup fisik terpenuhi. Tenaga yang diperlukan, seperti pandai besi, tukang jahit, tukang masak, tabib, dan tenaga keamanan tersedia. Seandainya sistem kongsi emas masih diterapkan di daerah Kalbar, tentu monopoli dalam bidang jeruk di Kalbar yang dilakukan oleh keturunan penguasa Orde Baru dengan kedok "koperasi-koperasian" tidak pernah akan terjadi. Masyarakat penanam jeruk di Kalbar tidak akan jatuh miskin seperti sekarang.

Kekhasan yang tak terlupakan adalah "jiwa otonomi" dalam masyarakat Tionghoa tradisional dalam mengelola lingkungan hidup. Sejak tahun 1930-an kawasan seperti Anjungan, Kayu Putih, Segedong, Pemangat dan beberapa daerah lain di Kabupaten Sambas termasuk kawasan pertanian padi tersohor di Kalbar. Gudang padi dari kawasan ini mengagumkan! Swasembada beras terjamin. Produksi karet merupakan komoditi ekspor terkenal dari Kalbar. Hingga tahun 1960-an, misalnya, daerah Pancaroba-Sei Ambawang dan sekitarnya masih mampu memproduk karet sekitar satu ton per hari.

Malah, dalam jaman Belanda masyarakat ini telah sanggup mengekspor durian ke Eropa Barat dengan teknik pengawetan khusus, yang belum diketahui banyak orang hingga sekarang.

"Jiwa otonomi" sejak jaman Belanda masih tetap aktual dalam mewujudkan otonomi daerah Kalbar. Otonomi daerah Kalbar akan terwujud baik, asal disertai oleh aparat Pemda yang sungguh bersih, bertanggung jawab, mengutamakan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bersama. Oknum-oknum penegak hukum sipil yang terlibat KKN (tanpa kecuali!) harus dibersihkan secepatnya sebelum otonomi daerah diterapkan.

Dalam hal ini para wakil rakyat harus jeli menilai dan memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk membersihkan mereka yang dianggap akan melestarikan dan memperpanjang KKN dan menggagalkan usaha otonomi daerah Kalbar.

Kalau tidak, mungkin, masalah otonomi daerah Kalbar hanya sebuah mimpi dan tak pernah mampu memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Tentu, penegakan hukum seadil-adilnya dan konsisten perlu segera dilaksanakan.

Sebaiknya, ada tim khusus yang memantau pelaksanaan otonomi daerah dan mereka yang mengkhianati program ini harus dikenakan sanksi hukum. Sebuah tim juri khusus pemantau pelaksanaan otonomi daerah dalam masyarakat sipil di Kalbar segera diperlukan!

* William Chang, pengamat sosial, tinggal di Pontianak.

Republik Lan Fang di Mandor, Kalbar: Negara Republik Pertama di Asia


Pada akhir abad ke-18, tepatnya 1777, seorang Tionghoa (klan Hakka/Khek) dari Kwantung bernama Lo Fong Pak mendirikan pemerintahan sendiri berbentuk republik di Mandor, Kalimantan Barat. “Republik” ini bertahan selama 107 tahun dan mempunyai 10 presiden yang diangkat melalui pemilihan. Dilihat dari tahun pendiriannya, Republik Lan Fang merupakan republik tertua di Asia dan negara-kongsi (corporate republic) pertama di dunia. Informasi ini terasa unik dan berharga karena keberadaannya tidak pernah tersentuh oleh sejarah nasional yang kita kenal di sekolah.



Sekilas tentang Lo Fong Pak (Lo Thai Pak)
Beliau dilahirkan tahun 1738 di Kwantung, Mei Hsien, Shih Pik Pao, Tiongkok, pada masa Dinasti Ching di bawah kekuasaan Kaisar Chien Long (cucu Kaisar Kang Hie yang tersohor). Lo Fong Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Beliau merantau ke Kalimantan Barat ketika orang-orang di dunia ramai mencari emas (seperti Gold Rush di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-19). Menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, Lo Fong Pak akhirnya berlabuh di Kalimantan Barat. Ketika itu Sultan Panembahan yang percaya bahwa orang Tionghoa adalah pekerja keras membawa 20 pekerja Tionghoa dari Brunei. Sultan Umar di Singkawang (Sambas) juga mendengar tentang ketekunan orang Tionghoa dan memanfaatkannya melalui sistem kontrak lahan.

Dari Kongsi Menjadi Republik Lan Fang 
Pada permulaan tahun 1740, jumlah orang Tionghoa hanya beberapa puluh saja. Pada tahun 1770 orang Tionghoa sudah mencapai 20.000-an orang. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian saudara, kampung halaman, atau sesama kumpulan. Kelompok-kelompok Tionghoa ini membentuk kongsi (korporasi) untuk melindungi diri mereka. Pada tahun 1776, 14 Kongsi disatukan guna menjaga kesatuan dan mencegah ancaman persengketaan berdasarkan kumpulan, daerah asal, dan darah. Pada saat itu, Lo Fong Pak mendirikan Kongsi Lan Fang, yang menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas besar dari group perusahaannya.

Pada masa itu Khun Tian (Pontianak), yang berlokasi di hilir Sungai Kapuas, merupakan daerah perdagangan yang penting dan dikuasai oleh Sultan Abdulrahman. Daerah hulu sungai dikuasai oleh orang Dayak. Usaha Sultan Mempawah yang bertetangga dengan Pontianak untuk membangun sebuah istana di hulu sungai menyebabkan pertikaian antara kedua sultan ini. Terjadilah perang antara kedua negeri itu. Sultan Abdulrahman meminta bantuan Lo Fong Pak. Karena istana tersebut dibangun dekat wilayah Kongsi Lan Fang, Lo Fong Pak akhirnya memutuskan untuk membantu Sultan Pontianak dan berhasil mengalahkan Mempawah. Sultan Mempawah yang dikalahkan bergabung dengan orang Dayak dan melakukan serangan balasan. Kembali Lo Fong Pak berhasil mengalahkan Sultan Mempawah dan mendesaknya hingga ke arah utara, yaitu Singkawang, di mana akhirnya Sultan Mempawah bersama Sultan Singkawang (Sambas) menandatangani perjanjian damai dengan Lo Fong Pak. Peristiwa itu secara dramatis melambungkan popularitas Lo Fong Pak.

Sejak saat itu, orang-orang Tionghoa dan penduduk setempat mencari perlindungan kepada Lo Fong Pak. Kekuatan dan prestise Lo Fong Pak semakin meningkat. Ketika Sultan Pontianak menyadari tidak mampu melawan Lo Fong Pak, ia sendiri meminta perlindungan dari Lo Fong Pak. Ada tradisi lisan yang mengatakan bahwa keduanya bahkan menjadi saudara angkat. Lalu Lo Fong Pak mendirikan sebuah pemerintahan dengan menggunakan nama kongsinya, sehingga nama kongsinya menjadi Republik Lan Fong. Dihitung sejak tahun berdirinya, 1777, republik ini 10 tahun lebih awal dari pembentukan negara Amerika Serikat (USA) oleh George Washington pada tahun 1787. 

Ketika itu masyarakat ingin Lo Fong Pak menjadi sultan (monarkhi), namun ia menolak dan memilih pemerintahan seperti sistem presidensial. Lo Fong Pak terpilih melalui pemilihan umum untuk menjabat sebagai presiden pertama, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin “Ta Tang Chung Chang” atau presiden. Konstitusi negeri itu menyebutkan bahwa posisi presiden dan wakil presiden Republik tersebut harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka. 

Ibukota Republik Hakka ini adalah Tung Ban Lit (Mandor) yang secara harafiah berarti “Timur dengan selaksa konstitusi”. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin “Lan Fang Ta Tong Chi”. Bendera presidennya berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan ‘Chuao’ (jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Cina, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. 

Dalam catatan (tarikh) negara samudera Dinasti Ching, tercatat adanya sebuah tempat di mana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Lo Fong Pak dalam masa pemerintahannya telah menjalankan sistem perpajakan, mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan sistem pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahanan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan. Konon, Lo Fong Pak sendiri asalnya memang seorang guru.

Republik Lan Fang bukan hanya disegani kekuatan militernya tapi juga keahlian Lo Fong Pak dalam mengusir buaya di kawasan muara Kapuas. Ini membuat banyak kalangan menaruh hormat kepada Presiden Lo Fong Pak. Lo Fong Pak wafat pada tahun 1795. Beliau sempat tinggal di Borneo selama lebih dari 20 tahun.

Kejatuhan Republik Lan Fang
Ketika Lo Fong Pak mendarat di Kalimantan Barat, Belanda belum secara agresif merambah ke Kalimantan. Baru setelah Republik Lan Fang berusia 47 tahun semasa kekuasaan presiden ke-5, Liu Thai Er, Belanda mulai menjalankan ekspansinya di Indonesia dan mulai masuk ke Tenggara Borneo. Lama kelamaan Lan Fang kehilangan hak otonomi dan mulai menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Belanda membuka kantor kolonialnya di Pontianak dan mencampuri urusan Republik Lan Fang. Pada tahun 1884, Singkawang yang menolak dijajah oleh Belanda, mendapat serangan dari Belanda dan takluk pada tahun 1885. Lan Fang sempat bertahan dan melawan selama 4 tahun, namun berakhir dengan kekalahan dan orang orangnya melarikan diri ke Sumatera. Karena takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok, Belanda tidak pernah menyatakan menguasai Lan Fang. Belanda membiarkan salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi pemimpin boneka. Baru setelah terbentuknya Republik Rakyat Cina (Cung Hwa Ming Kuok) 1911, maka pada tahun 1912 Belanda secara resmi menyatakan menguasai daerah itu. Mereka yang lari ke Sumatera berkumpul kembali di Medan, dan kemudian dari sana beberapa orang menyeberang ke Kuala Lumpur dan Singapura. Salah satu keturunan pelarian dari Kalimantan tersebut adalah Lee Kuan Yew, yang kemudian menjadi perdana menteri di Singapura. Kendati orang Hakka merupakan minoritas di Singapura, mereka memainkan peran penting dalam mendirikan negara perusahaan: Singapura.

Diolah dari berbagai sumber di milis yang kebanyakan merujuk dari buku Hakka People - Jews of the Orient, karya Kao Chung Xi