Saturday, July 26, 2008

Pengalaman Mistik Selayang Pandang


Dalam masyarakat kita, kata "mistisisme" atau "pengalaman mistik" kerap dicampuradukkan dengan kata "magi". Mendengar kata tersebut, orang akan gampang mengaitkannya dengan gejala parapsikologis, ilmu sihir, tenung, santet, klenik, dan pelbagai praktek okultis. Pengalaman mistik juga sering disejajarkan dengan keadaan ekstase dan perubahan kesadaran yang dapat diusahakan secara artifisial dengan hipnose dan obat-obatan. Pengertian dan pemahaman  seperti itu mengaburkan dan mereduksi konsep mistisisme yang sebenarnya.

Problematika Terminologi "Mistisisme"
Secara etimologis, istilah "mistisisme" atau "pengalaman mistik" berasal dari kata Yunani "mystikos", yang dibentuk oleh kata kerja "myo" yang berarti "menutup mata". Pada mulanya istilah ini dipakai untuk menunjuk upacara-upacara rahasia (tersembunyi) yang hanya diketahui oleh mereka yang telah diinisiasikan. Di kemudian hari, istilah ini dimengerti sebagai usaha menutup budi terhadap pengaruh segala hal eksternal sehingga diri diselami dan disiapkan untuk menerima penerangan ilahi.

Pada abad ke-6, Pseudo-Dionysius memperkenalkan ungkapan "teologi mistik" melalui karyanya yang berjudul Theologia Mystica. Di dalam karyanya, Pseudo-Dionysius melukiskan pendakian Musa ke puncak gunung, dan masuk ke dalam awan gelap untuk berjumpa dengan Allah. Kegelapan awan ini ditafsirkan sebagai situasi di mana orang tinggal dalam kekosongan (ketidaktahuan), karena budi diistirahatkan dari segala kegiatan diskursif (yang mengandalkan daya pikir). Situasi ini tak dapat tidak akan dimasuki oleh para mistikus. Ia mengajarkan suatu kontemplasi mistik yang mengantar manusia untuk sampai pada pengetahuan (pengenalan) akan Allah sebagai Kegelapan Ilahi melalui jalan ketidaktahuan. Bagi Pseudo-Dionysius, pengalaman mistik merupakan pengalaman akan Allah yang diterima manusia secara pasif. Dengan demikian disadari bahwa pengalaman mistik bukanlah hasil usaha manusiawi, melainkan melulu anugerah Roh Kudus.

Para teolog modern mengalami kesulitan untuk menemukan suatu definisi yang sungguh adekuat. Kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya kesepakatan atas peristilahan yang dipakai, dan karena pengalaman mistik itu sendiri tidak dapat dilukiskan secara adekuat dalam kata-kata.

Aspek pengalaman dalam mistisisme yang terungkap dalam pandangan Pseudo-Dionysius, juga ditekankan oleh Edward Schillebeeckx. Menurut Schillebeeckx, pengalaman mistik adalah suatu bentuk intensif dari pengalaman iman akan Allah. Pengalaman ini mempunyai sifat langsung yang diperantarai, atau seperti ungkapan Schillebeeckx, kelangsungan yang tidak-langsung (mediated immediacy). Dari pihak Allah, kehadiran-Nya bersifat langsung. Tapi dari pihak manusia, kelangsungan itu harus diperantarai, yakni oleh situasi dan kondisi manusiawi.

Iman di sini tidak hanya dilihat sebagai kurnia adikodrati yang membuat kita menilai benar segala yang diwahyukan, melainkan terlebih sebagai kesatuan manusia dengan Allah sendiri. Menghayati iman sama dengan menghayati kontak persatuan dengan Allah. Penghayatan itu bersifat langsung, karena motif iman adalah Allah sendiri. Iman tidak punya dasar selain Allah sendiri yang mewahyukan diri. Pada dasarnya wahyu dan iman menunjuk pada realitas yang sama, yaitu kesatuan mistik Allah dan manusia. Dari sudut Allah, kita sebut kesatuan itu sebagai wahyu. Dan kesatuan itu menjadi kontak yang nyata bila kita menanggapinya dalam iman.

Sifat “intensif” (mendalam) perlu ditegaskan sebab mistik bukanlah pengalaman iman yang “biasa” [Tidak ada kata lain yang lebih cocok]. Mistik adalah penghayatan yang khusus dan mendalam dari kontak iman. Walter Hilton menekankan aspek “perasaan khusus” dalam kontak tersebut. Mungkin perasaan itulah yang disebut Thomas Aquinas sebagai “intuisi sederhana” dalam mengenal Allah. Dengan intuisi ini, orang mengalami Allah: “melihat”, “menyentuh”, dan “merasakan” Allah dengan cara yang tidak biasa.

Kajian ilmu psikologi dapat sedikit membantu. Menurut William James, sama seperti konsep "agama", konsep "mistisisme" atau "pengalaman mistik" sulit dirumuskan secara memadai. Ia (dalam The Varieties of Religion Experience) menawarkan empat sifat khas dari pengalaman mistik, yang membedakannya dari pengalaman biasa. Keempat sifat itu ialah:

1. Ineffability
Pengalaman mistik itu tak terungkapkan. Orang yang berada dalam pengalaman mistik, tidak dapat menerangkan apa yang dialaminya secara memadai dalam kata-kata. Keadaan mistik itu lebih merupakan keadaan perasaan (emosional) daripada keadaan intelektual. Untuk memahaminya dengan jelas, orang harus mengalaminya. Sama seperti kenyataan bahwa orang biasanya harus mempunyai "telinga musik" agar dapat menangkap nilai dari suatu simfoni.

2. Neotic
Pengalaman mistik mengandung unsur pengetahuan. Di samping merupakan keadaan perasaan, mistisisme juga merupakan keadaan pengetahuan. Mistisisme memberikan suatu pengetahuan bagi orang yang mengalaminya. Pengetahuan itu ialah pengertian yang menyentuh kedalaman kebenaran tanpa dicampuri pemikiran diskursif.

3. Transiency
Pengalaman mistik bersifat sementara dan tidak bertahan lama. Keadaan itu biasanya bertahan tidak lebih dari 30 menit. Dan bila diingat-ingat kembali, kerap hanya tinggal dalam bentuk yang tidak sempurna.

4. Passivity
Pengalaman mistik bersifat pasif. Artinya, orang yang berada dalam keadaan mistik merasa seolah kehendaknya terkatung-katung, atau merasa dirinya ditangkap oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya. Dengan kata lain, pengalaman ini diterima dan bukan diperoleh.

Doa Kontemplatif; Jalan Menuju Pengalaman Mistik
Teologi hidup rohani membedakan tiga tahap klasik dalam doa, yakni doa lisan, doa meditatif, dan doa kontemplatif. Doa lisan menekankan kata-kata yang diucapkan maupun dinyanyikan; dari teks tertulis maupun spontan. Doa meditatif memusatkan peranan akal budi dalam menggambarkan dan memikir-mikirkan hal-ikhwal mengenai Allah. Selangkah lebih maju dari doa lisan, doa meditatif tidak berkata-kata, mulut diam, akal budi bekerja. Sedangkan doa kontemplatif mengandalkan intuisi batin untuk menatap dan mengalami Allah. Di sini orang berdoa tanpa kata maupun pikiran, semata-mata kehendak untuk bersatu dengan yang Ilahi. Dalam kontemplasi, manusia menyeberangi batas kata-kata, pikiran-pikiran, dan konsep-konsep untuk mencapai “ada-bersama” dengan Allah. Tahap doa terakhir ini dipercaya lebih dekat dengan pengalaman persatuan mistik.

Psikologi doa tentang “modus-ganda kesadaran” bisa dipakai untuk menjelaskan hal ini. Secara teoritis, kesadaran kita dibedakan menjadi dua, yakni modus aktif dan modus reseptif. Yang pertama mengandalkan pemikiran logis, kontrol, analisa, dan penalaran. Yang kedua menekankan penyerahan, intuisi, dan rasa kagum. Diyakini bahwa dengan membiarkan kesadaran “kabur”, kita dimungkinkan untuk menerima keinsafan yang baru dan lebih luas. Hal ini tidak gampang bagi mereka yang telah terbiasa dengan doa lisan maupun doa meditatif. Peralihan dari modus aktif ke modus reseptif dibutuhkan bila orang ingin menikmati pengalaman yang lebih intim dengan Allah.

Menikmati keintiman dengan Allah jangan disamakan dengan menerima hiburan-hiburan (konsolasi) rohani. Sepanjang sejarah, teologi doa (apofatik) klasik -mulai dari Gregorius Nyssa, Pseudo-Dionysius, pengarang buku The Cloud of Unknowing, Bonaventura, Teresia Avila hingga Yohanes Salib- menggambarkan adanya “awan gelap” yang menyelimuti wajah Allah. Allah itu Cahaya yang sedemikian terang sehingga “membutakan” mata yang melihat-Nya. Lagi-lagi ditegaskan perlunya pelepasan kata-kata, imaginasi, dan penalaran diskursif untuk menerobos awan pekat ini. Rupanya Allah harus dilihat dengan cara “tidak melihat”; diketahui dengan cara “tidak tahu”.

Menyingkirkan pikiran dan penalaran dalam doa memang tidak segampang yang dikira. Pikiran yang diusir paksa sering kembali melanda pendoa dengan kekacauan yang lebih besar. Tidak jarang kita temukan diri atau orang lain duduk diam dan terus mengernyitkan kening ketika berdoa. Tradisi Gereja menawarkan aneka jalan menuju doa kontemplatif. “Doa Yesus” dengan mengulang-ulang nama “Yesus” seiring irama nafas adalah salah satu contoh yang baik. Pendarasan nama Yesus seiring irama nafas dapat membawa kita kepada tingkat kesadaran di mana pikiran disingkirkan secara halus. Rentetan pikiran itu masih tetap mengalir, dibiarkan, dan tidak dihiraukan. Tentang hal ini, simaklah buku Berdoa Tak Kunjung Putus: Kisah Seorang Peziarah.

Bila metode “Doa Yesus” dirasa tidak biasa, Doa Rosario adalah alternatifnya. Ambil posisi se-relaks mungkin, benamkan diri dalam “tidak tahu” (cloud of unknowing) tentang siapa Allah dan “tidak ingat” (cloud of forgetting) akan ciptaan, dan ulangi terus Salam Maria. Jika Allah menghendaki, Anda akan masuk dalam “cahaya Tabor” seperti pengalaman para Rasul Yesus. Jangan berkecil hati bila dirasa bahwa pendarasan doa terucap seperti tanpa rasa-makna, sebab dalam hal ini, pengulangan doa hanya metode untuk sampai pada kesadaran yang dimaksud. Juga tidak perlu kecewa bila kita merasa sepertinya baru saja bangun dari tidur kilat. Sebab kontemplasi (dalam artian kata yang terbatas) memang mirip “setengah tidur”.

“Orang beriman pada masa yang akan datang ialah seorang mistik, atau ia tidak bisa beriman lagi. Saudara-saudaraku, mari kita bertindak dengan perlahan-lahan, supaya kita jangan begitu ramai, sehingga sabda rahmat ilahi, yang tenang namun begitu berdaya jangan sampai tak terdengarkan karena kata-kata kita, yang terlampau keras namun tak berdaya.” (Karl Rahner)

Lianto