Thursday, July 8, 2010

Kontemplasi St. Fransiskus dalam Kidung Saudara Matahari




Kata “kontemplasi” sering secara keliru dicampuradukkan dengan “meditasi”. Pada dasarnya, baik meditasi maupun kontemplasi merupakan cara-cara berkomunikasi dengan Allah. Dalam meditasi, kita berkomunikasi dengan Allah melalui daya-daya diskursif, misalnya merenungkan, menggambarkan, menimbang-nimbang, atau memikir-mikirkan Allah dan karya-Nya. Di sini akal budi memegang peranan utama dan aktif. Sementara dalam kontemplasi, usaha-usaha diskursif tersebut diistirahatkan. Mulut dan budi diam. Orang hanya “memandang” Allah dengan penuh perhatian. Hati berdoa tanpa kata; kehendak dibakar oleh api kerinduan untuk bersatu dengan Allah.

Menurut Groenen, dalam kontemplasi, orang “memandang” sesuatu dengan intensif dan menyeluruh sehingga ia menerobos permukaannya yang tampak dan mencapai kesejatian atau hakekatnya yang paling dalam. Seorang kontemplatif tidak terkungkung pada apa yang tampak oleh mata. Ia memandang realitas dengan mata hati yang transparan sehingga dalam pertemuan dengan sesama ciptaan, ia menemukan jejak Allah Sang Pencipta. Ia adalah seorang yang di atas dan dalam segala hal mencintai Allah. Carlos Correa Pedroso menyatakan: “Dalam segala sesuatu yang diperhatikannya, orang kontemplatif melihat dan mendengar panggilan yang penuh daya untuk ‘kembali ke rumah’; kembali kepada Sang Cinta.”

Kendati St. Fransiskus tidak menetapkan bagi dirinya dan ordonya suatu gaya hidup kontemplatif, tak dapat ditolak bahwa dia sungguh berkharisma kontemplatif. Kharisma itu sangat menonjol dalam “pandangan” mata hatinya yang menembus realitas segenap ciptaan hingga ia menemukan Allah dalam dan melalui ciptaan. Kontemplasi alam ini secara menonjol dan istimewa terungkap dalam karya agungnya: Kidung Saudara Matahari (KidMat).

Malam Gelap yang Terang
Menurut Legenda Perugina (edisi Marinus Bigaroni, OFM), KidMat dikarang Fransiskus dalam kondisi jasmani-rohani yang amat menyedihkan. Ia dihinggapi depresi hebat, merasa ditinggalkan Tuhan, dan bimbang apakah ia akan memperoleh kembali cinta kasih Tuhan yang dirindukannya. Ia mengalami “malam gelap” yang menyengsarakan sehingga daya jiwanya seakan tidak tahan lagi untuk menanggungnya. Kala itu, penyakit matanya sudah menahun sehingga ia tidak tahan dengan cahaya matahari di siang hari maupun api di malam hari.

Menarik untuk disimak, dalam keadaan yang memprihatinkan itu, ia justru “melihat” keluhuran, kekuasaan, dan kebaikan Allah yang tercermin dalam alam semesta. Daya “penglihatan” inilah bukti kharisma kontemplatifnya. Ia tetap melihat dengan transparan kebaikan kasih Allah dalam penderitaannya yang amat sangat. Hal ini memperlihatkan kedalaman imannya yang melihat kasih Allah sebagai kebenaran yang tak perlu dibuktikan, sekalipun hidup penuh derita. Terlepas dari rasa indera yang menyakitkan, Fransiskus menangkap hakekat cinta ilahi yang hadir dalam ketidakhadiran; Terang yang sedemikian terang sehingga membutakan mata inderawi yang menatap-Nya. Pengalaman akan kehadiran dan kebaikan itu diungkapkan dalam puja-puji awal KidMat yang akan membangkitkan bulu-roma orang yang mencoba meresapinya.

Tuan Saudara Matahari
Unsur makrokosmos dalam KidMat diawali dengan Matahari yang disapa sebagai “Tuan” dan “Saudara” dan ditutup dengan Pertiwi (tanah) yang disapa sebagai “Ibu” dan “Saudari”. Struktur sastra ini menarik sekali karena pasangan kosmis ini juga tertemukan dalam kultus dewa matahari dalam agama-agama kuno, di mana matahari dilihat sebagai pasangan ibu pertiwi yang menyebabkan keberadaan seluruh elemen alam lainnya (Eloi Leclerc, 1976). Kharisma kontemplatif jelas di sini karena pujian ini justru dilambungkan pada saat Saudara Matahari dialami sebagai hal yang menyakitkan. Fransiskus tentu tahu dan merasa bahwa matanya yang hampir buta sangat peka terhadap cahaya terik matahari. Ia juga tentu tidak lupa bahwa panas terik mentari Timur Tengah telah menyebabkan persoalan serius bagi matanya selama perjalanan misi damainya di tengah kaum muslimin. Ia juga tahu betul akan bahaya kemarau panjang yang dapat menghanguskan hasil bumi. Tetapi Fransiskus “memandang” secara positif, menerobos kulit luar Saudara Matahari, dan menemukan hakekat baiknya.

Saudari Bulan dan Bintang
KidMat juga dapat disebut “Kidung Malam”. Setelah memuji Allah dalam dan melalui Saudara Matahari, Fransiskus meneruskan pujiannya melalui keberadaan Bulan dan Bintang yang disapanya sebagai saudari yang gemerlapan, megah, dan indah. Dalam bagian ini, kharisma kontemplatif Fransiskus harus dilihat dari pandangannya yang positif atas “malam”. Untuk banyak orang, malam hari adalah saat yang menakutkan. Para pencuri biasanya bergerak pada malam hari. Simbolisme kisah penciptaan memandang malam sebagai kegelapan kematian yang harus dipisahkan dari terang yang baik (Kej. 1:5). Dalam tradisi Injil Yohanes, malam dikaitkan dengan situasi gelap yang menyebabkan kejatuhan (Yoh. 11:10). Dalam konteks pembicaraan tentang parousia (kedatangan Kristus di akhir zaman), Paulus menyebut orang-orang yang tidak percaya sebagai “orang-orang malam” (1Tes. 5:5-6). Kontemplasi Fransiskus lagi-lagi kembali menerobos cara pandang biasa dan menemukan “malam” yang indah karena Saudari Bulan dan Bintang. Dalam (karena) dan melalui mereka, segala pujian kepada Tuhan Pencipta pantas dikidungkan. Baginya, Saudari Bulan dan Bintang merupakan lentera di malam gelap.

Aspek yang tidak kalah menarik ialah nilai (sifat) yang dikenakan pada Saudari Bulan dan Bintang. Mereka disebut “gemerlapan, megah, dan indah”. Di antara ketiga kata sifat itu, kata “megah” paling menarik perhatian. Dalam karya-karya Fransiskus, kata “megah” hanya ditemukan ketika Fransiskus berbicara tentang Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi. Kata ini dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang sangat berharga dan sakral.

Saudara Angin, Air, Api
Fransiskus bukan tidak tahu bahwa angin terasa tajam di musim dingin. Hal itu dirasakannya sendiri di bulan September di La Verna ketika cuaca tidak mengenakkan karena angin. Angin badai juga dapat menenggelamkan kapal. Begitu pula dengan air dan api yang tidak jarang dapat menghancurkan tempat tinggal, hutan, bahkan merenggut nyawa. Namun Fransiskus melihat hakekat mereka sebagai ciptaan yang sejatinya baik dan berguna. Dalam dan melalui mereka, Fransiskus melantunkan pujian indah kepada Penciptanya.

Indahnya Pengampunan dan Saudari Maut
Kala itu terjadi perselisihan antara uskup Asisi (Guido) dan podesta/walikota (Oportolo Bernardi). Mendengar hal itu, Fransiskus sangat sedih. Ia mengutus dua saudara untuk mengumpulkan kedua pihak dan orang-orang terkemuka di halaman istana uskup. Kedua saudara menyanyikan kidung itu di hadapan mereka. Kemudian terjadilah mukjizat seperti yang diharapkan Fransiskus. Nyala kebencian berubah menjadi nyala cinta. Uskup dan podesta saling mengampuni, berpelukan, dan berdamai kembali atas cara yang mengharukan.

Ketika mendapat kepastian dari dokter (Yohanes Arezzo) bahwa ajalnya telah dekat, Fransiskus menambahkan bait baru tentang kematian yang disapanya sebagai Saudari Maut. Padahal bagi banyak orang, maut merupakan hal yang paling ditakuti. Kisah Ketiga Sahabat mencatat bahwa Fransiskus menyambut Saudari Maut-nya dengan penuh keriangan kepada Tuhan. Ia mengajak para saudaranya untuk bernyanyi dengan gembira tatkala maut menjemputnya. Kegembiraannya sedemikian mencolok sehingga Sdr. Elias tidak tahan dan menegurnya. Vita mutatur, non tollitur. Hidup diubah, bukan dibuang.

Cara pandang kontemplatif Fransiskus sepatutnya menginspirasi kita. Cara pandang seperti ini dewasa ini populer dengan istilah inside out; melihat dan menilai sesuatu dengan menyelam ke hakekat yang paling asasi. Seringkali masalah yang kita hadapi tak kunjung beres karena kita terpaku pada hal-hal lahiriah yang tampak. Kita tidak melihat akar masalah. Fransiskus melalui KidMat mau memperlihatkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan baik adanya. Semuanya diciptakan untuk kebaikan manusia. Oleh karena itu manusia hendaknya dapat memuji kebesaran Tuhan dalam dan melalui segenap ciptaan. Fransiskus melihat bahwa dirinya dan segala makhluk berada dalam tatanan keluarga. Ia sungguh merasa bersaudara dengan sekalian makhluk. Selayaknya manusia selalu sadar untuk solider dan berbela-rasa (compasio) dengan segenap alam ciptaan-Nya. Tentang cara pandang kontemplatif ini dalam diri Fransiskus, Chesterton berujar bahwa Fransiskus telah membuat salto untuk memandang segala makhluk dari pihak Allah. Dari pandangan Allah, Fransiskus memandang segala makhluk baik adanya.

Lianto