Monday, July 20, 2009

Republik Lan Fang di Mandor, Kalbar: Negara Republik Pertama di Asia


Pada akhir abad ke-18, tepatnya 1777, seorang Tionghoa (klan Hakka/Khek) dari Kwantung bernama Lo Fong Pak mendirikan pemerintahan sendiri berbentuk republik di Mandor, Kalimantan Barat. “Republik” ini bertahan selama 107 tahun dan mempunyai 10 presiden yang diangkat melalui pemilihan. Dilihat dari tahun pendiriannya, Republik Lan Fang merupakan republik tertua di Asia dan negara-kongsi (corporate republic) pertama di dunia. Informasi ini terasa unik dan berharga karena keberadaannya tidak pernah tersentuh oleh sejarah nasional yang kita kenal di sekolah.



Sekilas tentang Lo Fong Pak (Lo Thai Pak)
Beliau dilahirkan tahun 1738 di Kwantung, Mei Hsien, Shih Pik Pao, Tiongkok, pada masa Dinasti Ching di bawah kekuasaan Kaisar Chien Long (cucu Kaisar Kang Hie yang tersohor). Lo Fong Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Beliau merantau ke Kalimantan Barat ketika orang-orang di dunia ramai mencari emas (seperti Gold Rush di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-19). Menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, Lo Fong Pak akhirnya berlabuh di Kalimantan Barat. Ketika itu Sultan Panembahan yang percaya bahwa orang Tionghoa adalah pekerja keras membawa 20 pekerja Tionghoa dari Brunei. Sultan Umar di Singkawang (Sambas) juga mendengar tentang ketekunan orang Tionghoa dan memanfaatkannya melalui sistem kontrak lahan.

Dari Kongsi Menjadi Republik Lan Fang 
Pada permulaan tahun 1740, jumlah orang Tionghoa hanya beberapa puluh saja. Pada tahun 1770 orang Tionghoa sudah mencapai 20.000-an orang. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian saudara, kampung halaman, atau sesama kumpulan. Kelompok-kelompok Tionghoa ini membentuk kongsi (korporasi) untuk melindungi diri mereka. Pada tahun 1776, 14 Kongsi disatukan guna menjaga kesatuan dan mencegah ancaman persengketaan berdasarkan kumpulan, daerah asal, dan darah. Pada saat itu, Lo Fong Pak mendirikan Kongsi Lan Fang, yang menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas besar dari group perusahaannya.

Pada masa itu Khun Tian (Pontianak), yang berlokasi di hilir Sungai Kapuas, merupakan daerah perdagangan yang penting dan dikuasai oleh Sultan Abdulrahman. Daerah hulu sungai dikuasai oleh orang Dayak. Usaha Sultan Mempawah yang bertetangga dengan Pontianak untuk membangun sebuah istana di hulu sungai menyebabkan pertikaian antara kedua sultan ini. Terjadilah perang antara kedua negeri itu. Sultan Abdulrahman meminta bantuan Lo Fong Pak. Karena istana tersebut dibangun dekat wilayah Kongsi Lan Fang, Lo Fong Pak akhirnya memutuskan untuk membantu Sultan Pontianak dan berhasil mengalahkan Mempawah. Sultan Mempawah yang dikalahkan bergabung dengan orang Dayak dan melakukan serangan balasan. Kembali Lo Fong Pak berhasil mengalahkan Sultan Mempawah dan mendesaknya hingga ke arah utara, yaitu Singkawang, di mana akhirnya Sultan Mempawah bersama Sultan Singkawang (Sambas) menandatangani perjanjian damai dengan Lo Fong Pak. Peristiwa itu secara dramatis melambungkan popularitas Lo Fong Pak.

Sejak saat itu, orang-orang Tionghoa dan penduduk setempat mencari perlindungan kepada Lo Fong Pak. Kekuatan dan prestise Lo Fong Pak semakin meningkat. Ketika Sultan Pontianak menyadari tidak mampu melawan Lo Fong Pak, ia sendiri meminta perlindungan dari Lo Fong Pak. Ada tradisi lisan yang mengatakan bahwa keduanya bahkan menjadi saudara angkat. Lalu Lo Fong Pak mendirikan sebuah pemerintahan dengan menggunakan nama kongsinya, sehingga nama kongsinya menjadi Republik Lan Fong. Dihitung sejak tahun berdirinya, 1777, republik ini 10 tahun lebih awal dari pembentukan negara Amerika Serikat (USA) oleh George Washington pada tahun 1787. 

Ketika itu masyarakat ingin Lo Fong Pak menjadi sultan (monarkhi), namun ia menolak dan memilih pemerintahan seperti sistem presidensial. Lo Fong Pak terpilih melalui pemilihan umum untuk menjabat sebagai presiden pertama, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin “Ta Tang Chung Chang” atau presiden. Konstitusi negeri itu menyebutkan bahwa posisi presiden dan wakil presiden Republik tersebut harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka. 

Ibukota Republik Hakka ini adalah Tung Ban Lit (Mandor) yang secara harafiah berarti “Timur dengan selaksa konstitusi”. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin “Lan Fang Ta Tong Chi”. Bendera presidennya berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan ‘Chuao’ (jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Cina, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. 

Dalam catatan (tarikh) negara samudera Dinasti Ching, tercatat adanya sebuah tempat di mana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Lo Fong Pak dalam masa pemerintahannya telah menjalankan sistem perpajakan, mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan sistem pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahanan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan. Konon, Lo Fong Pak sendiri asalnya memang seorang guru.

Republik Lan Fang bukan hanya disegani kekuatan militernya tapi juga keahlian Lo Fong Pak dalam mengusir buaya di kawasan muara Kapuas. Ini membuat banyak kalangan menaruh hormat kepada Presiden Lo Fong Pak. Lo Fong Pak wafat pada tahun 1795. Beliau sempat tinggal di Borneo selama lebih dari 20 tahun.

Kejatuhan Republik Lan Fang
Ketika Lo Fong Pak mendarat di Kalimantan Barat, Belanda belum secara agresif merambah ke Kalimantan. Baru setelah Republik Lan Fang berusia 47 tahun semasa kekuasaan presiden ke-5, Liu Thai Er, Belanda mulai menjalankan ekspansinya di Indonesia dan mulai masuk ke Tenggara Borneo. Lama kelamaan Lan Fang kehilangan hak otonomi dan mulai menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Belanda membuka kantor kolonialnya di Pontianak dan mencampuri urusan Republik Lan Fang. Pada tahun 1884, Singkawang yang menolak dijajah oleh Belanda, mendapat serangan dari Belanda dan takluk pada tahun 1885. Lan Fang sempat bertahan dan melawan selama 4 tahun, namun berakhir dengan kekalahan dan orang orangnya melarikan diri ke Sumatera. Karena takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok, Belanda tidak pernah menyatakan menguasai Lan Fang. Belanda membiarkan salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi pemimpin boneka. Baru setelah terbentuknya Republik Rakyat Cina (Cung Hwa Ming Kuok) 1911, maka pada tahun 1912 Belanda secara resmi menyatakan menguasai daerah itu. Mereka yang lari ke Sumatera berkumpul kembali di Medan, dan kemudian dari sana beberapa orang menyeberang ke Kuala Lumpur dan Singapura. Salah satu keturunan pelarian dari Kalimantan tersebut adalah Lee Kuan Yew, yang kemudian menjadi perdana menteri di Singapura. Kendati orang Hakka merupakan minoritas di Singapura, mereka memainkan peran penting dalam mendirikan negara perusahaan: Singapura.

Diolah dari berbagai sumber di milis yang kebanyakan merujuk dari buku Hakka People - Jews of the Orient, karya Kao Chung Xi