Monday, September 29, 2008

Untuk Apa ber-Filsafat?



Dalam percakapan sehari-hari, kata filsafat seringkali disamakan dengan kecakapan berdebat. Tidak jarang pula dimengerti sebagai kumpulan “kata mutiara”. Pemahaman ini mereduksi filsafat menjadi cuilan-cuilan yang memang merupakan tampilan luar filsafat. Sesungguhnya filsafat maupun (tindakan) berfilsafat melekat dalam diri kita secara eksistensial. Tanpa disadari, filsafat sudah tumbuh sejak seorang manusia cilik “melihat” diri dan dunia. Pertanyaan si bocah: “Mama, apa ini? Apa itu?” “Papa, kenapa begini? Kenapa begitu?” adalah pencarian filosofis perdana manusia. Filsafat bermula dari rasa kagum, rasa heran, rasa sangsi, dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam alam raya seluas segala kenyataan. Tindakan berfilsafat berada bersama dengan keberadaan manusia. Ketika Anda mengagumi seekor kupu-kupu, merasa heran dan bertanya dari mana asalnya, menyangsikan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya, dan berpikir lagi untuk menggali sebab-sebab yang lebih dalam, Anda telah berfilsafat.

Filsafat sebagai “Ilmu”
Keseharian filosofis seperti terungkap di atas menjadi “ilmu” tatkala jalan pemikiran ditata sedemikian sehingga bersifat metodis, koheren, dan sistematis. Dengan demikian, secara sederhana, filsafat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren yang menyelidiki segala sesuatu dengan mencari sebab-sebab terdalam berdasarkan daya pikiran manusia.

Sifat metodis (menggunakan metode tertentu), koheren (kaitan logis antara ide yang satu dengan yang lain), dan sistematis (pemikiran tertuang dalam keteraturan) membawa filsafat menjadi pengetahuan yang ilmiah.

Lapangan penelitian filsafat mencakup segala sesuatu yang ada. Obyek material dari filsafat ini membedakannya dari ilmu pengetahuan (sains) yang meneliti bidang tertentu dari kenyataan. Pencarian sebab-sebab terdalam menunjukkan obyek formal filsafat. Berbeda dari sains umumnya yang mencari sebab yang dekat (causa proxima), filsafat mau membedah realitas hingga mencapai sebab-sebab terdalam (causa ultima).

Titik tolak daya pikiran manusia membedakan filsafat dari teologi yang mendasarkan pemikirannya pada buku suci agama-agama. Dengan titik tolak ini, filsafat menghasilkan buah pemikiran yang berlaku universal melampaui kotak-kotak agama. Dalam ranah filsafat, semua orang (baik teis maupun ateis) bisa duduk bersama untuk mendiskusikan wacana ketuhanan, kemanusiaan, dan dunia.

Definisi filsafat di atas sekaligus menunjukkan posisi perbedaan filsafat dari sains dan teologi. Perbedaan tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman antara ketiga ranah. Tentang hal itu, Bertrand Russel dalam History of Western Philosophy berujar: “Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun ilmu pengetahuan. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat.”

Filsafat sebagai Jantung Akademis
Kendati berbeda dari sains dan teologi, peranan filsafat dalam pembentukan dan pengembangan kedua bidang tersebut tidak dapat dilupakan. Dalam sejarah, banyak ilmuwan handal (Albert Einstein, Isaac Newton, Copernikus) dan teolog masyhur (Agustinus, Thomas Aquinas, Ibnu Sina, Ibnu Rushd) adalah filsuf yang piawai. Fakultas Filsafat di universitas sering disebut inter-fakultas, karena sains yang dipelajari dalam fakultas-fakultas lain terbentuk dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menjadi ilmu. Di sisi lanjut, penelaahan sains tidak jarang menjumpai permasalahan-permasalahan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Permasalahan-permasalahan itu dikembalikan lagi kepada filsafat.

Hal yang sama terjadi dalam penelaahan teologi. Teologi sebagai ekspresi eksistensial manusia selaku makhluk religius tidak dapat mengabaikan sisi manusia selaku makhluk berakal budi. Ungkapan iman pun harus diusahakan agar dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Teologi yang disampaikan tanpa pengujian filosofis terancam menjadi indoktrinisasi dan ideologisasi yang bakal menciptakan fundamentalisme. Pemikiran filosofis membiasakan orang untuk berpikir kritis. Kritis berarti tidak gampang menerima maupun menolak sesuatu sebelum menelaahnya berdasarkan kriteria yang sesuai. Sikap kritis membuat orang untuk selalu mendudukkan persoalan ke tempat yang proporsional. Dalam konteks ini filsafat dapat menjadi jantung akademis bagi sains dan teologi. Dalam fungsi ini, filsafat tidak lagi menjadi “daerah tak bertuan yang diserang baik oleh sains maupun teologi”, melainkan mitra bagi keduanya.

Filsafat Makin Populer
Akhir-akhir ini media massa menunjukkan apresiasi yang besar pada risalah-risalah filsafat. Acungan jempol pantas diberikan kepada sejumlah penerbit buku (misalnya: Mizan, Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, Jendela, Jalasutra, dll.) yang tiada hentinya menerbitkan buku-buku filsafat yang bermutu. Barangkali masyarakat luas mulai bosan dengan menjamurnya buku-buku how to, self-help, do-it-yourself dan pelbagai buku tentang kiat-kiat praktis pedoman hidup. Lama kelamaan orang mulai merasa bahwa kiat-kiat itu sebenarnya tidak sepraktis yang dipromosikan. Buku-buku filsafat yang mengasah kemampuan berpikir untuk menemukan sendiri akar masalah kehidupan merupakan perimbangan bagi wacana era baru kita. Dalam kalangan artis, kita melihat minat filsafat dalam diri Dian Sastro dan Rieke Diah Pitaloka. Rak filsafat di toko buku pun mulai dikunjungi pembaca.

Sejauh manakah kaum akademisi telah mengapresiasi peranan filsafat? Sejauh mana lembaga-lembaga sekolah tinggi mengakomodasi kuliah filsafat di samping kuliah sains dan teologi? Sudah selayaknya hal ini menjadi kepedulian bersama di era milenium baru kita.

Lianto