Wednesday, June 19, 2013

Analisis Etis atas Kebenaran dan Tanggung Jawab dalam Dunia Komunikasi Sosial


Penulis: Dr Willybrodus, a.k.a. William Chang
Publikasi: Jurnal Diskursus, Vol. 10, No.2, Oktober 2011 ISSN 1412-3878



Abstract
There is no society without social communication. One of the key roles of social communication is to promote truth and responsibility in a multicultural society. Everybody has his/her right to get true information in the communication world. Being responsible for all activities in the social communication is a main obligation of a good communicator. The main goal of this essay is to analyse the real situation of the mass communication in daily life. Those who get involved in the social communication world need to know more about the true meaning of truth and reponsibility so that they can respect the values of truth and responsibility in this field. 

1.     Peran komunikasi sosial dalam masyarakat majemuk
Sejak tahun 1990-an dunia komunikasi sosial menjadi sebuah crucial issue dan menentukan masa depan umat manusia. Peran komunikasi sosial sebegitu penting sehingga dapat mendukung perujukan kembali atau penghancuran dalam hidup sosial. Dari satu sisi, dunia komunikasi sosial dapat menularkan pengetahuan, kebenaran dan ilham; namun dari sisi lain dunia komunikasi sosial dapat menebarkan kebohongan dan informasi yang menyesatkan. Kesimpulan ini muncul dari sekitar 450 orang dari lebih 80 negara dalam Kongres Dunia pertama yang diselenggarakan oleh WACC di Manila, Oktober 1989.[1]
Pengaruh dan peran komunikasi sosial dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan religius tak tersangkalkan. Seorang kepala negara dapat dilengserkan melalui rentetan SMS (Short Message Service) di kalangan masyarakat kecil. Kerusuhan massa muncul dalam tempo singkat di Ambon setelah tersebar sebuah berita provokatif melalui SMS. Ketenangan sosial dapat segera dipulihkan setelah menerima sejumlah pesan penting melalui SMS. Bagaimanakah manusia dapat menggunakan sarana komunikasi sosial untuk membangun hidup manusia yang lebih baik, adil, damai dan sejahtera?
Tanpa kejelian untuk membaca kebenaran berita dalam dunia komunikasi sosial biasanya manusia terperangkap di dalam reaksi yang merugikan banyak pihak. Kebenaran dalam sebuah pemberitaan merupakan syarat mutlak yang perlu dipertahankan dalam menjamin ketenangan dan kedamaian sosial. Dimensi tanggung jawab sangat penting dalam penyaluran isi berita yang benar, adil dan mengandung kedamaian. Tampak sebuah interaksi sosial segera muncul setelah seseorang atau sekelompok masyarakat menerima berita yang datang dari pelbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Dus, peran dunia komunikasi sosial dapat diibaratkan dengan sebilah pedang bermata ganda. Dari satu sisi, dunia komunikasi dapat membangun kehidupan bersama dalam persaudaraan, namun dari sisi lain dunia komunikasi dapat menghancurkan kehidupan bersama.   
2.     Hak atas kebenaran
Makna kebenaran dalam dunia komunikasi sosial dapat disoroti dari pelbagai sudut pandang karena kebenaran sebegitu kaya dalam dirinya dan berada dalam hubungan dengan yang lain. Mengingat keterbatasan dalam dirinya, pemahaman manusia tentang kebenaran bisa saja berciri subyektif, partial dan relatif. Lalu, bagaimanakah kita bisa membedah makna kebenaran dalam dunia komunikasi sosial dalam sebuah masyarakat majemuk?
Ada beberapa jenis kebenaran, seperti kebenaran matematis (ilmu pasti), kebenaran epistemologis (adaequatio mentis et rei), kebenaran moral (tugas, tanggung jawab, kewajiban, pikiran, perkataan dan perbuatan), kebenaran injili (Sang Penyelamat). Pandangan tentang beberapa jenis kebenaran ini mendatangkan perspektif berbeda  tentang kebenaran dalam dunia komunikasi sosial. Diskursus tentang kebenaran dalam dunia komunikasi sosial mengundang kita untuk menyelami hakikat dan pentingnya kebenaran dalam hidup sosial.
Setiap insan dalam dunia komunikasi sosial (penyampai dan penerima pesan) pada dasarnya bertanggung jawab dan berhak menegakkan kebenaran dalam pemberitaan, sehingga tidak menimbulkan miskomunikasi dan ketegangan sosial dalam masyarakat. Penegakan kebenaran ini akan terwujud kalau dipantau atau dikontrol dengan saksama dalam hidup harian. Si penerima berita dapat membandingkan pemberitaan dalam pelbagai media massa yang berbeda dan menemukan kebenaran yang dapat dipertanggung-jawabkan.

2.1.   Kebenaran yang bagaimana?
Dalam sebuah komunikasi eksistensial terdapat relasi beberapa pihak yang tak tersangkalkan, yaitu antara “saya”, “engkau” (“Engkau”) dan “kita”. Dalam komunikasi tipe ini diterapkan prinsip “locutio secundum mentem”, yang menjunjung tinggi nilai kebenaran. Bahasa yang digunakan seharusnya mengandung kebenaran dalam proses berkomunikasi dengan sesama dan Sang Pencipta. Sumpah-sumpah jabatan pada waktu pengukuhan jabatan publik dalam Negara kita juga mengungkapkan keberadaan para calon pejabat. Komunikasi antarpribadi (antarmanusia dan antara manusia dengan Sang Pencipta) pada hakikatnya bertujuan menghidupi dan mengungkapkan diri dalam kebenaran dalam seluruh hidup dan kegiatan mereka, sehingga manusia bisa memberikan kesaksian asli tentang diri-sendiri dan kebenarannya dengan semua yang dibicarakan dan dikerjakannya.
Pertimbangan tentang kebenaran ini terkait dengan tiga unsur hakiki dalam dunia komunikasi, yaitu (1) pengirim berita; (2) isi berita dan (3) penerima berita.[2] Apakah di dalam ketiga unsur itu terkandung unsur-unsur kejahatan yang merugikan diri-sendiri dan masyarakat?
Apakah yang dimaksud dengan kebenaran dalam perkataan (Italia: veridicita)? Setidaknya dapat dikemukakan dua tinjauan utama:
Pertama, kebenaran ini dikaitkan dengan perintah Tuhan yang disampaikan kepada Musa di Gunung Sinai (sekitar 3250 tahun lampau) yang berbunyi: “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.” Setidaknya, perintah ini menggarisbawahi supaya manusia tidak memberikan kesaksian palsu di depan umum (pengadilan). Kesaksian menyoroti bagaimanakah manusia seharusnya berperilaku di hadapan sesama manusia. Dalam komunikasi ini si pengirim berita harus mencintai kebenaran dalam setiap berita dan jauh dari setiap bentuk kebohongan; sementara itu si penerima berita harus mampu memegang rahasia berita setiap orang. Sangat penting bahwa kebenaran berita tidak hanya ditunjukkan dari langgam bahasa yang digunakan, melainkan dari seluruh pribadi si pembawa atau penyalur berita.
Kedua, kebenaran perkataan dalam komunikasi sosial terkait dengan seluruh kepribadian si pembawa berita. Ini tidak hanya terletak pada unsur bahasa yang digunakan, melainkan juga tingkah laku spontan, refleksif, apakah disengaja atau tidak! Sebenarnya gerakan, perkataan, nada suara, tingkah laku, reaksi adalah “bahasa”, suatu “kesaksian” pesan hati seseorang, seluruh pribadi manusia.  
Terdapat dua prinsip etis tentang kebenaran: (1) secara negatif, dunia komunikasi tidak dibolehkan menimbulkan skandal, tidak boleh mengandung kepalsuan, namun harus mengandung kebenaran,memerangi farisiisme yang pada dasarnya berlawanan dengan kebenaran dan cinta kasih; (2) secara positif, dunia komunikasi diminta supaya membangun, memajukan kebenaran dalam cinta kasih (Ef 4:15), keadilan dan kesetia-kawanan. Dalam hal ini berlaku sebuah aksioma klasik bahwa hati nurani yang lurus adalah yang bertindak dalam kebenaran, yang adalah dan harus menjadi norma setiap tingkah laku dan tindakan moral.[3]
Kebenaran dalam dunia komunikasi sosial merupakan keutamaan moral yang tidak hanya menuntut supaya bahasa yang digunakan dalam komunikasi selalu setia pada dan dalam kebenaran, namun kebenaran ini mencakup seluruh pribadi dan tingkah laku si penyampai berita. Menjadi manusia berarti mengatakan kebenaran dalam hubungan dengan orang lain. Tingkah laku yang benar, lurus dan otentik diminta dari si penyalur berita. Dasar kebenaran ini bertitik tolak pada perintah cinta kasih Tuhan. Tuhan selalu benar dalam perkataan dan tindakan-Nya. Tiada kebohongan di dalam diri-Nya. Manusia sebagai citra Tuhan dipanggil untuk melakukan apa yang dirintis oleh Tuhan sendiri. Seorang bayi atau anak-anak pada tahap tertentu masih polos dan mengatakan kebenaran dalam cinta kasih, sehingga kebenaran bukan sesuatu yang abstrak, melainkan kenyataan dalam diri si penyalur berita.        
Hanya, dalam proses penyampaian suatu kebenaran si penyalur berita hendaknya “bijaksana”.  Keutamaan moral kebijaksanaan (discretio) terkait erat dengan tanggung jawab etis dari pihak penyampai berita, orang tua dan pendidik. Tanpa memerhatikan keutamaan ini, kemungkinan besar akan muncul pelbagai masalah yang tak terpikirkan dan dikehendaki sebelumnya. Dalam setiap keadaan, keutamaan ini mengharuskan hati nurani terbina dan terdidik dengan baik untuk membedakan “ya” dan “tidak”, apakah mengatakan kebenaran dalam keadaan tertentu atau tidak menyimpannya. Keutamaan ini tahu menyembunyikan sesuatu yang harus tinggal sebagai rahasia.[4]

2.2.   Kebenaran dalam masyarakat majemuk
Menurut Giannino Piana, nilai dasar yang berperan penting dalam dunia komunikasi sosial adalah kebenaran. Ada tiga sorotan utama atas kebenaran:
Pertama, kebenaran dalam komunikasi adalah ciri khas hubungan antarpribadi. Dalam hal ini tidak disoroti nilai kebenaran dalam dirinya, sebab kebenaran lebih berupa suatu ruangan untuk gagasan antarsubyek dan dialogal: kebenaran melalui hubungan dan dikembangkan dalam hubungan. Kebenaran dipertimbangkan sebagai suatu peristiwa yang dibentuk dalam hubungan dengan yang lain, melalui gabungan cakrawala-cakrawala pengertian tentang makna realitas. Kebenaran dalam komunikasi menyoroti otensitas diri dan kebenaran dalam saling ketergantungan. Penerimaan diri dan diversitas merupakan syarat penerimaan perbedaan dalam diri orang lain. Komunikasi mengandaikan sikap dasar menerima pihak lain dalam segala kelebihan dan kekurangan.
Kedua, kebenaran dalam komunikasi ditekankan sebagai ciri kesejarahan (historisitas). Dibicarakan tentang suatu nilai dinamis yang berkembang di dalam dan melalui sejarah. Kebenaran tidak dipandang sebagai sesuatu yang definitif (mutlak) dan statis, namun sesuatu yang selalui diperoleh secara partial. Dinamisme kebenaran justru dilator-belakangi oleh dinamisme kepribadian manusia. Sejarah akan semakin mendewasakan pengertian-pengertian tentang kebenaran yang baru dan berbeda. Proses pemahaman suatu kebenaran membutuhkan waktu dan perhatian. Pendekatan terhadap kebenaran sering dipandang sebagai tindakan pengertian yang memertimbangkan unsur rasional, efektif dan rohani.
Ketiga, kebenaran dalam komunikasi dibangun dari ciri transparansi dan keindahan. Ini dipandang sebagai dimensi terdalam untuk memasuki kebenaran dalam praktek komunikasi: Yang indah adalah sintese tertinggi antara yang benar dan yang baik. Suatu kebenaran tanpa keindahan mengandung risiko bahwa kebenaran itu mentransformasi diri ke dalam dogmatisme yang tidak toleran; sebaliknya, secara analog dapat dikatakan kalau kebaikan moral dipisahkan dari dimensi keindahan, maka kebaikan itu ditransformasi ke dalam aturan-aturan tingkah laku yang bersifat minim, yang melahirkan seperangkat tindakan lahiriah dengan godaan jatuh ke dalam bahaya farisiisme. Menurut Piana, bahasa tentang kebenaran dalam komunikasi adalah bahasa simbolik, yang membuka wawasan yang tak tergarap dan selalu bersifat baru terhadap pengetahuan manusia.[5]

3.   Tanggung jawab
3.1. Dalam komunikasi sosial
Sebagai  pisau bermata ganda, dunia komunikasi sosial dapat menjadi sarana multi-fungsi dalam memajukan masyarakat dan dunia, karena dunia komunikasi menyalurkan berita, pengetahuan dan keadaan terakhir dalam masyarakat kita. Manusia diisi dan diperkaya dunia komunikasi sosial, kalau disalahgunakan dapat menjadi sarana yang memrovokasi keadan yang buruk dalam masyarakat kita. Pengaruh dunia komunikasi sangat ditentukan oleh mereka yang menjalaninya. Beberapa patah kata saja dapat menimbulkan kerusuhan dan ketidak-tenangan sosial. Karena itu, dari pihak pelaksana komunikasi sosial diminta tanggung jawab yang tidak kecil. Dunia komunikasi sosial memiliki tanggung jawab lebih berat kalau harus menyajikan berita kepada sebagian besar masyarakat yang belum memiliki daya kritis untuk membaca dan menyerap berita yang disampaikan oleh wartawan atau penyiar berita. Masyarakat sederhana yang belum sempat mengecap pendidikan formal tinggi umumnya cukup cepat langsung mempercayai apa yang disajikan oleh dunia komunikasi. Sementara itu, bagi mereka yang kritis umumnya tidak terlampau mudah dan cepat memercayai berita-berita yang disajikan media massa. Mula-mula mereka akan memertanyakan kebenaran berita, kemudian mereka akan mengambil pandangan dan sikap mengenai pemberitaan.
Tanggung jawab yang tidak ringan diminta dari mereka yang langsung menangani dunia komunikasi sosial.
Pertama, para pengelola mesti memerhatikan dan memerhitungkan dampak positif dan negatif suatu pemberitaan bagi kehidupan sosial bersama dalam masyarakat, karena masyarakat luas akan menikmati berita yang diturunkan media massa. Apakah isi pemberitaan itu sungguh benar? Dapatkah dipertanggungjawabkan? Apakah pemberitaan itu hasil rekayasa dan mengandung unsur politis tertentu? Apa motivasi penulisan sebuah berita? Pengelola dunia komunikasi yang bijaksana umumnya akan memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang muncul dari suatu pemberitaan. Reaksi sampingan apakah yang akan muncul kalau berita yang diturunkan bernada demikian? Para pengelola itu bertanggung jawab atas pemberitaan dalam media yang ditangani. Bahwa dunia komunikasi sosial harus menyalurkan nilai-nilai dasar merupakan kesepakatan umum.
Sementara itu, kedua, bagi dunia komunikasi sosial yang bergerak dalam bidang keagamaan mesti mengakui bahwa tanggung jawab pengelola media massa memang berat. Mereka yang terjun dalam dunia ini seharusnya memiliki integritas personal tanpa mengabaikan profesionalisme mereka, sebab tanpa profesionalisme maka dunia komunikasi sosial kita akan kalah saing dengan media massa lain. Pengelola media agama seharusnya secara umum mengomunikasikan nilai-nilai universal dalam sebuah agama sehingga dapat menjunjung kemanusiaan, kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama sebagai sebuah masyarakat majemuk. Pesan-pesan religius yang mendukung harmoni sosial sudah waktunya diproklamasikan dan bukan berita-berita provokatif yang memecah belah kesatuan atau persatuan umat manusia.
Media massa dalam dunia modern hendaknya memerhatikan moralitas personal dan publik. Kalau  begitu, penggunaan sarana komunikasi seperti radio, televisi, surat kabar, majalah dan bioskop seharusnya mengutamakan nilai moral dan bukan hanya mendahulukan dimensi komersial dan bisnis. Kalau tidak, maka nilai-nilai dasar moral akan luntur dan generasi mendatang akan kehilangan orientasi masa depan yang baik. Unsur-unsur yang merusak moralitas personal dan publik mesti diwaspadai. Hanya, generasi muda tidak bisa dikekang atau dilarang begitu saja tanpa memperoleh keterangan semestinya. Larangan yang terlampau ketat akan mengerdilkan kaum muda dalam proses pengembangan kreativitas mereka.[6]
Tanggung jawab utama dunia komunikasi sosial adalah memromosikan dan mengusahakan damai di tengah-tengah masyarakat dan dunia yang sedang membangun. Kalau begitu, dunia komunikasi sosial harus memerhatikan keadaan sosial dan politik dalam kehidupan bersama. Misi utama untuk memerjuangkan damai ini akan menjadi pendorong mereka yang terjun langsung dalam dunia komunikasi sosial. Mengusahakan damai termasuk salah satu misi pokok kehadiran Gereja di tengah masyarakat majemuk yang sedang membangun.[7]
Dalam hal ini sekurang-kurangnya perlu diperhatikan tiga dimensi utama kegiatan dalam dunia komunikasi. Dalam tanggung jawab moral ini, perlu digarisbawahi ketiga unsur penting ini: (1) Dalam berkomunikasi mesti kita junjung tinggi nilai kebenaran dengan cara mengatasi segala bentuk manipulasi dan ideologisasi; (2) Sasaran untuk pembentukan mentalitas masyarakat yang positif mesti disadari oleh mereka yang mengelola dunia komunikasi sosial. Keseimbangan antara keutamaan discretio dalam rahasia profesional dan kegunaan informasi; (3) Hal tersulit adalah mendidik penerima berita dalam menanggapi berita yang bersifat relatif, ketidaksamaan antara bahasa dan isi berita. Bagaimanakah seharusnya mereka mencerna kebenaran sebuah berita?[8]

3.2.   Dalam reklame
Pada tanggal 22 Februari 1997 telah dikeluarkan sebuah pedoman mengenai Etika Reklame.[9] Mereka yang langsung terlibat dalam dunia reklame secara moral bertanggung jawab atas usaha apa yang digunakan untuk menggerakkan orang lain untuk berbuat sesuatu. Tanggung jawab ini ikut diemban oleh penerbit, penyiar dan mereka yang terkait dengan pemasangan reklame itu. Isi pesan dalam sebuah reklame mesti dipertimbangkan dan dipertanggungjawabkan secara saksama. Tanggung jawab ini juga mencakup sarana yang digunakan pada waktu bereklame: apakah sarana yang digunakan itu bersifat manipulative, eksploatatif dan korup?[10]
Beberapa prinsip moral dalam dunia reklame: (1) Kebenaran dalam reklame: nilai kebenaran harus dijunjung tinggi dan dijamin dalam sebuah reklame. Indahnya bahasa dalam reklame mesti seiring dengan kebenaran isi bahasa itu. Ini sangat diperlukan untuk menghindari kecenderungan manusia untuk menipu pendengar melalui slogan-slogan dan gambar-gambar yang mengelabui mata manusia. Apa yang disampaikan harus sesuai dengan kenyataan dan kebenaran dan tidak dimanipulasi oleh dunia reklame.[11]  (2) Keluhuran martabat manusia: salah satu tuntutan dasar dalam dunia reklame adalah menghormati pribadi manusia, hak dan tanggung jawab untuk memilih sesuatu secara bebas tanpa paksaan apapun. Mesti diingat bahwa reklame dapat melanggar keluhuran martabat manusia baik melalui isi maupun dampak yang muncul dari reklamenya. Seandainya gejala ini tidak disadari, maka akan muncul bahaya perusakan moralitas manusia, mulai dari kalangan anak-anak hingga orang tua.[12] (3) Reklame dan tanggung jawab sosial: gagasan tentang tanggung jawab sosial begitu luas sehingga kita di sini hanya bisa mencatat beberapa hal yang relevan dengan masalah reklame. (a) masalah ekologis: reklame yang mengakibatkan pembuangan sampah secara tak teratur dan di mana-mana akan merugikan lingkungan hidup masyarakat. Reklame yang mengerdilkan kemajuan manusia dengan menggunakan barang-barang yang menimbulkan pencemaran dan pengotoran lingkungan hidup menunjukkan adanya salah pengertian tentang perkembangan dan pertumbuhan manusia; (b) mereka yang bereklame bertanggung jawab untuk mengungkapkan visi otentik tentang perkembangan manusia dalam dimensi-dimensi material, cultural dan spiritual. Suatu komunikasi yang memenuhi standar ini adalah ungkapan kesetia-kawanan dengan sesama dan dunia. Komunikasi dan kesetia-kawanan saling berkaitan dan tak terpisahkan sedikitpun.[13]
Dunia kita sekarang sedang mengalami krisis multidimensi, terutama krisis
dalam bidang kesetia-kawanan, sebab banyak manusia cenderung mengutamakan kepentingan diri atau kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan umum umat manusia sebagai sebuah keluarga.

3.3.   Rahasia[14]
Dalam dunia komunikasi kita mengenal apa yang disebut rahasia. Apakah rahasia itu? Rahasia adalah suatu kenyataan tersembunyi yang tak bisa dibocorkan atau diberitahukan. Fakta yang tersembunyi itu bisa jadi sesuatu yang salah atau cacat, misalnya masalah korupsi keuangan, tindak pencemaran nama baik, atau rahasia tentang Negara dan pertahanan nasional.
Terdapat beberapa jenis rahasia. Ini tergantung pada “cara” yang ditempuh untuk menyampaikan rahasia itu. Ada rahasia yang menyangkut pribadi kita; ada pertimbangan kebijaksanaan. Setidak-tidaknya terdapat empat jenis rahasia: (1) rahasia kodrati-personal; (2) rahasia yang dijanjikan; (3) rahasia yang dipercayakan; (4) rahasia profesional.
Pertama, disebut rahasia kodrati yang bersifat personal karena kewajiban untuk merahasiakannya langsung muncul dari hokum kodrat dan berkenan dengan keluhuran martabat manusia. Tidak diperlukan konvensi atau persetujuan yang membuat rahasia itu mengikat manusia. Masalah persaudaraan dan kodrat persaudaraan antarmanusia menuntut kerahasiaan. Rahasia ini menyangkut kedalaman batin seseorang (“privacy”) seseorang. Rahasia ini mencakup semua fakta yang tersembunyi yang penyingkapannya dari kodratnya akan melukai atau tak menyenangkan orang lain.
Kedua, rahasia yang dijanjikan adalah rahasia yang telah dijanjikan seseorang untuk dirahasikan, setelah seseorang mengetahui rahasia itu, walaupun si penerima itu tidak wajib merahasiakannya. Kalau suatu janji berkenan dengan suatu rahasia yang pada waktu yang sama adalah suatu rahasia kodrati, maka kewajiban menyimpan rahasia itu adalah ganda, muncul dari belas kasih atau keadilan dan dari kesetiaan pada janjinya. Suatu janji dalam kerahasiaan tentang hal-hal yang tidak berguna dan tak sah sifatnya, tidak mengikat.
Ketiga, rahasia yang dipercayakan adalah rahasia berupa pengetahuan yang diperoleh dari seseorang hanya dengan syarat bahwa orang itu akan merahasiakannya. Kerahasiaan dijamin sebelum seseorang menerima pengetahuan rahasia itu. Persetujuan bisa terjadi secara eksplisit atau implisit.
Keempat, rahasia professional harus dipegang mereka yang menekuni profesi itu, seperti superior, magister, pastor, dokter, ahli hukum dlsb. Rahasia ini rahasia yang paling mengikat. Rahasia yang paling ketat dan paling kudus adalah rahasia pengakuan dalam tugas imamat. Ada yang mengklaim bahwa rahasia pengakuan adalah rahasia yang paling ketat, kudus, mutlak kalau dibandingkan dengan semua rahasia manusiawi. Rahasia pengakuan ini seringkali disebut “sigillum”.
Penyingkapan rahasia kodrati tanpa alasan yang memadai termasuk tindakan (berat atau ringan) yang melawan cinta kasih atau keadilan menurut berat atau ringannya luka yang ditimbulkan oleh pewahyuan itu. Sedangkan pelanggaran terhadap rahasia professional dianggap sebagai tindakan yang mengundang dosa berat. Ini harus dipulihkan dalam keadilan. Kewajiban untuk memelihara suatu rahasia berakhir bila: (1) pemilik rahasia itu mengijinkan penyingkapan rahasia tersebut; (2) materi dalam rahasia itu telah berhenti sebagai rahasia karena telah disingkapkan oleh orang lain; (3) alasan yang memadai membenarkan penyingkapan itu. Rahasia yang dipercayakan tidak boleh dibocorkan, bahkan kepada seorang superior kecuali karena salah satu alasan berikut: (1) untuk menghindari bahaya berat  bagi kesejahteraan umum; (2) untuk menghindari bahaya yang sungguh-sungguh bagi pihak ketiga, pihak yang tak bersalah, bahaya yang ditimbulkan oleh yang mempercayakan rahasia itu secara tidak adil, mengingat tak ada rahasia yang dipercayakan dapat dipertahankan kalau rahasia itu melawan hak orang yang tak bersalah, yang harus dilindungi menghadapi serangan ketidak-adilan; (3) untuk menghindari kejahatan serius dari yang menyimpan rahasia, misalnya, kalau dia ingin bunuh diri; (4) untuk menghindaribahaya serius bagi yang menerima rahasia.
Dalam dunia komunikasi sosial, kita tidak dapat sesuka hati mengungkapkan secara lisan dan tertulis apa yang kita ketahui dari atau mengenai orang lain di depan umum. Pemberitaan yang sehat dan seharusnya mengenal batas-batas yang tidak melanggar hak-hak pribadi orang lain, kecuali kalau pemberitaan itu menyangkut kepentingan dan keselamatan umum. Perlu diperhatikan bahwa boleh atau tidaknya pemberitaan disiarkan atau diturunkan umumnya menyangkut keluhuran pribadi manusia, keselamatan pribadi atau masyarakat dan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum/bersama. Kalau suatu rahasia antarpribadi yang berkenaan dengan kepentingan dan keselamatan umum, maka orang yang mengetahui rahasia itu boleh membeberkan isi berita itu, karena menyangkut kepentingan orang banyak. Kalau tidak, maka bakal muncul dampak negatif yang menimpa banyak orang dan merugikan mereka. Walaupun demikian, rahasia yang menyangkut profesi dan tugas imamat tetap tidak boleh dibeberkan dengan alasan apapun. Jika seorang bapa atau saudara rohani yang telah mengetahui banyak mengenai pribadi seseorang, maka prinsip etis ini berlaku secara ketat: “nemini-numquam-nihil” (“tidak kepada seorangpun, tidak pernah dan tiada apapun”). Ini berarti seorang bapa atau saudara rohani tidak tahu apapun. Namun, dalam kasus-kasus yang membahayakan keselamatan diri dan kesejahteraan umum dan khususnya bahaya kehilangan nama baik, maka berlaku prinsip: “Deus providebit” (“Tuhan akan memperhatikan”: contoh kasus Ibu Yesus di hadapan suaminya Yosef).

3.4.   Pelayanan kesejahteraan umum[15]
Seperti bidang-bidang lain, para petugasdunia komunikasi sosial perlu menyadari bahwa tugas mereka adalah pelayanan bagi masyarakat. Pelayanan ini menonjolkan nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Pelayanan yang diterima oleh media masa ini dapat dikatakan sebagai suatu “status sosial”.
Pelayanan utama dalam dunia komunikasi sosial tak terpisahkan dengan keadaan yang sedang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Artinya, para petugas dalam bidang ini jeli membaca tanda-tanda zaman dan kebutuhan real masyarakat dewasa ini. Dalam hal ini diperlukan kesanggupan antropologis untuk menyelami dan memasuki struktur  internal dalam masyarakat. Apa yang sedang terjadi dalam masyarakat? Apa yang mereka dambakan atau nantikan? Dengan mengetahui kebutuhan dan harapan masyarakat yang sebenarnya, dunia komunikasi sosial dapat menemukan jawaban atau jalan keluar pemecahan kasus tertentu. Dimensi social komunikasi ditampakkan dalam menanggapi dan menjawab keperluan-keperluan dasariah rakyat berupa kesejahteraan umum; kesejahteraan yang tidak hanya berlaku untuk pribadi tertentu, melainkan kesejahteraan untuk seluruh rakyat dalam suatu kebersamaan. Tak terlampau heran bahwa kode etik dunia jurnalisme di Spanyol, misalnya, tak lain dan tak bukan adalah pelayanan kesejahteraan umum sebagai sasaran utama dalam dunia pelayanan komunikasi sosial.
Akibatnya, isi dan cara pemberitaan mesti memerhitungkan dampak samping pemberitaan itu. Apakah pemberitaaan itu bersifat subyektif dan memojokkan golongan tertentu? Apakah pemberitaaan itu sungguh mendukung program perwujudan kesejahteraan umum? Dalam hal ini dapat didiskusikan masalah “kebebasan pers” yang sedang didengungkan belakangan ini. Apakah yang dimaksudkan dengan kebebasan pers? Apakah seorang wartawan atau penulis boleh menulis apapun dalam dunia pers? Atau bolehkah sebuah pemancar radio menyiarkan berita apapun tanpa data atau bukti memadai sehingga menimbulkan berita yang menyesatkan? Kebebasan pers yang seringkali didengungkan adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan ini bukan kebebasan mutlak tanpa memerhatikan dimensi tanggung jawab dan dampak samping suatu pemberitaan. Dunia komunikasi sosial seharusnya jeli membaca keadaan sosial dalam masyarakat majemuk dan modern yang seringkali menghadapi dan mengalami konflik sosial. Ciri masyarakat majemuk (yang berbudaya, filsafat hidup, adat-istiadat berbeda) memberikan tugas baru bagi dunia komunikasi sosial. Kalau begitu, mereka yang terjun dalam dunia komunikasi sosial sangat perlu memiliki pengetahuan tentang antropologi dan kebudayaan masyarakat. Hanya, di balik semua itu dunia komunikasi sosial tidak bisa melupakan misi utamanya, yaitu membela dan memerjuangkan perwujudan kesejahteraan umum.

3.5.   Prinsip keadilan
Salah satu tanggung jawab utama yang sedang diperjuangkan oleh dunia komunikasi adalah perwujudan keadilan di tengah umat manusia. Setiap manusia  pada dasarnya ingin diperlakukan secara adil, sebab mereka memiliki kemanusiaan yang sama dan sejajar. Banyak manusia yang tak mampu menghargai dan menghormati nilai kemanusiaan. Kalau begitu, mau apa lagi? Ketidak-adilan dapat menimbulkan kerunyaman dalam hidup sosial, kekacauan dan kerusuhan sosial. Malah, bentrok fisikpun bisa saja muncul akibat ketidak-adilan yang melanda masyarakat. Ini tampak dari keadaan sosial di kawasan Timur Tengah. Pihak Palestina merasa bahwa ada bagian tanah air mereka yang dicaplok Israel, karena itu mereka terus-menerus menuntut pihak Israel supaya mereka memeroleh kemerdekaan; sementara itu, Israel merasa bahwa tanah yang sedang mereka tempati itu adalah tanah hak mereka. Protes sosial akan muncul kalau keadilan tidak ditegakkan dalam masyarakat. Tak heran sekarang inipun muncul aneka ragam protes sosial yang menuntut perwujudan keadilan dalam bidang hukum, sosial dan politik. Masyarakat mereka tidak puas dengan keadaan dewasa ini.
Menanggapi keadaan sosial yang kian memrihatinkan sebagai akibat tidak adanya jaminan keadilan, dunia komunikasi sosial dipanggil utnuk membela dan menegakkan keadilan. Bagaimanakah pemahaman kita tentang keadilan? Sekarang kita coba memahami pokok pikiran tentang keadilan dalam cahaya dunia modern. Keadilan dipandang sebagai keutamaan yang pertama dari institusi sosial. Keadilan menyangkut masalah hak dan keadilan, keuntungan-keuntungan dari kerja sama sosial, berhubungan dengan mereka yang terlibat dalam dunia politik. Keadilan berkaitan erat dengan seluruh masyarakat yang sedang mengelola kekayaan alam dan ketidak-sepakatan antarmanusia mengenai hidup bagaimanakah yang memungkinkan manusia untuk mencapai kepenuhan diri. Dalam teorinya, John Rawls (A Theory of Justice, 1971) menekankan bahwa konsep egalitarian tentang keadilan berasal dari prosedur ini: hak=hak untuk kesamaan dalam hal kebebasan dan berkesempatan harus dijamin, ketidak-samaan dalam bidang sosial dan ekonomi harus memerhatikan keuntungan masyarakat ramai dan bukan hanya kelompok kecil.[16]

3.6.   Prinsip saling menghargai[17]
Informasi yang disalurkan oleh komunikasi sosial akan ikut membangun bentuk masyarakat majemuk modern dalam hidup bersama. Nilai-nilai apakah yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat yang sedang membangun? Dalam masyarakat majemuk, kita sama sekali tidak boleh melalaikan, apalagi melupakan sikap dasar saling menghargai dan menghormati setiap pribadi manusia. Akibatnya, manusia sama sekali tidak boleh diobyekkan.
Prinsip saling menghargai ini setidak-tidaknya memiliki dua alasan: (1) manusia adalah pribadi dan bukan benda yang bisa diobyekkan oleh yang menginginkannya; (2) tiap manusia adalah citra Tuhan dan Tuhan hadir dalam tiap pribadi manusia. Prinsip saling menghargai adalah unsur konstitutif dalam masyarakat majemuk. Manusia mesti memiliki landasan hakiki supaya dapat duduk dan berdiri  bersama sebagai saudara satu dengan yang lain. Tali persaudaraan ini akan mengikat dan memersatukan kita semua dengan latar belakang berbeda.
Prinsip dasar ini sangat diperlukan untuk menciptakan suasana dialogal dalam hubungan pribadi di tengah masyarakat yang begitu majemuk. Dialog akan berjalan baik kalau setiap pihak bersikap dan berpandangan dasar untuk menghormati sesama yang terlibat dalam dialog. Sikap dialog semestinya tampak dan muncul dalam tiap dunia komunikasi, sehingga mereka yang terjun dalam dunia ini tetap merasa terlibat dalam suasana dialogal. Komunikasi dua arah ini akan lebih efektif dan menyalurkan makna yang jauh lebih besar daripada komunikasi searah. Banyak masalah bisa diatasi melalui jalur komunikasi dua arah, yang pada dasarnya menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Semangat dialogal ini sangat sesuai dengan suara yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II sebagai symbol keterbukaan Gereja bagi dunia. Gereja mendengarkan suara-suara dari luar dan membagikan pengalamannya kepada dunia. Gereja dipanggil untuk berdialog dengan semua orang yang berkehendak baik, yang mencakup mereka yang beriman dan tak beriman (secara dokumenter sejak Paus Yohanes XXIII). Apa saja yang didiskusikan seara tertulis mesti dihargai dan diselami secara lebih mendalam. Dalam hal ini kita perlu saling mendengarkan. Yang didengarkan bukan hanya suara pribadi, melainkan kelompok masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial.
Tanpa sikap dasar saling menghormati dan menghargai, sangat sulit dibayangkan bahwa hidup dalam masyarakat majemuk modern ini bisa menciptakan suasana dialogal yang memererat hubungan antarpribadi. Bisa dikatakan, sikap dasar ini adalah batu penjuru dan seluruh system komunikasi sosial yang mendahulukan dimensi dialogal.[18]

4.     Yesus sebagai guru komunikasi sosial[19]
Pandangan teologis tentang duniakomunikasi sosial bertitik tolak pada dokumen Communio et Progressio. Dokumen ini menggarisbawahi bahwa peran Yesus sebagai seorang komunikator ulung (11) yang merangkul semua orang tanpa pilih kasih. Model komunikasi Yesus adalah model inklusif. Cinta kasih universal menjadi saluran komunikasi bagi sekalian ciptaan Tuhan.
 Peristiwa inkarnasi Tuhan dalam pribadi Yesus menunjukkan wujud nyata Tuhan untuk mendekatkan dan menyatukan diri dengan umat manusia (Yoh 1:14). Allah memasuki kemanusiaan dan kedagingan manusia. Sabda menjadi manusia dan tinggal di antara manusia. Yang Transenden menjadi Yang Imanen. Dia tidak lagi jauh, tapi menjadi yang berkomunikasi dengan manusia.
Perayaan Ekaristipun membenarkan bahwa adanya kesatuan eksistensial antara Tuhan dengan umat manusia yang dipelihara terus. Seperti Kristus adalah “tenaga” bagi kesatuan yang terus-menerus dan lebih mendalam antara Tuhan dengan kaum beriman, dan dalam komunitas gerejawi, menghidupkan kesatuan kaum beriman di antara mereka, meneguhkan ketegangan antara komunitas dengan segala kenyataan dan rangsangan menuju ke komunitas eskatologis, apabila “Tuhan akan menjadi semua di dalam semua.” (1 Kor 15:28).
Sabda-Nya secara sempurna menggarami mentalitas mereka yang mendalaminya. Di dalamnya ditemukan nilai dan makna universal dalam ruang dan waktu yang memungkinkan perundingan dengan segala jaman dan kebudayaan. Sabda-Nya mencerminkan suatu sistem komunikasi yang mencairkan ketegangan-ketegangan di antara umat manusia.
Komunikasi sosial terkait dan memuncak pada Yesus, Sang Kristus, sebagai komunikator universal. Kegiatan komunikasi-Nya pada hakekatnya berupa “communione” (persekutuan). Komunikasi sosial menjadi sarana kesetia-kawanan sosial, ekonomi, kultural dan spiritual yang di dalamnya akan berhasil menghubungkan umat manusia (1,6). “Communione” dalam Kristus terjadimelalui perwujudan manusia yang sempurna. Komunikasi sosial menjadi penghargaan, pembebasan, kemampuan pribadi manusia dalam tatanan masyarakat berdasarkan kesatuan yang berdasarkan keberadaan yang sama dan bebas. Tidak ada “communione” otentik kalau tidak melibatkan manusia yang penuh dalam dirinya. Ini merupakan makna terdalam dari kemajuan umat manusia, di mana komunikasi sosial lebih daripada sebuah ungkapan kekuatan dalam diri manusia (18-20, 92-95).
Seluruh karya keselamatan umat manusia tidak bisa dilepaskan dari peran komunikasi sosial. Justru melalui komunikasi sosial Tuhan hadir dan mewujudkan karya-karya penyelamatan-Nya. Karya keselamatan ini dikaitkan dengan kenyataan profan yang ditemukan dalam keutamaan penciptaan bahwa semua makhluk ciptaan menantikan penebusan dari Tuhan. Dalam hal ini perlu diingat bahwa kemanusiaan Kristus telah mengangkat kemanusiaan kita yang rapuh dan lemah. Harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi dalam seluruh kerangka pewartaan Kabar Baik Yesus, Sang Komunikator ulung.

Penutup
          Tak tersangkalkan, dalam dunia komunikasi sosial, nilai kebenaran dan tanggung jawab sangat penting, sehingga komunikasi yang dibangun oleh setiap manusia dapat menciptakan keadaan hidup sosial, politik, ekonomi, agama dan kebudayaan yang harmonis. Tanpa kedua nilai dasar ini dunia komunikasi sosial cenderung menggiring masyarakat untuk menimbulkan perilaku atau tindakan yang bertentangan dengan cita-cita pendirian Negara kita, yaitu menciptakan sebuah masyarakat yang sungguh ber-Tuhan, berperikemanusiaan, demokrasi dan berkeadilan sosial. Tanpa kebenaran dan tanggung jawab media masa cenderung memecah belah rakyat, memrovokasi dan menimbulkan dampak negatif dalam hidup bersama. Dengan menjunjung nilai kebenaran dan tanggung jawab, maka dunia komunikasi akan mendidik segenap lapisan masyarakat untuk hidup dengan lebih baik, kritis dan bertanggung jawab. Setiap manusia sebagai makhluk sosial dan komunikatif perlu memiliki kehendak baik untuk menghargai nilai kebenaran dan tanggung jawab.

Kepustakaan
Fucek, Ivan. Chiamata alla giustizia: nuova evangelizzazione. Roma: Editrice Pontificia Universita Gregoriana, 1992.
Goffi, Tullo – Piana, Giannino. Corso di morale 4: Koinonia: Etica della vita sociale. Brescia: Editrice Queriniana, 1994.
Kelly, Kevin T. New Directions in Moral Theology: The Challenge of Being Human. London: Geoffrey Chapman, 1993.
Kincaid, Lawrence & Schramm, Wilbur.  Asas-asas Komunikasi Antar Manusia (Diterj. Agus Setiadi). Jakarta: LP3ES bekerja sama dengan EWCI, 1987.
Peschke, Karl. Christian Ethics: Moral Theology in the Light of Vatican II: Volume II: Special Moral Theology. Alcester: C. Goodliffe Neale Ltd., 1990.

Soukup, A (Ed). Media, Culture & Catholicism. Metro Manila: St. Pauls, 2003.
Thomas, Pradip. Communication and Human Dignity: Asian Christian Perspectives. New Delhi: ISPCK, 1995.

*)Pengampu Matakuliah Etika Sosial pada STIE Widya Dharma, Pontianak – Kalbar (Jl. H.O.S Cokroaminoto 445, Telp (0561) – 731966, 742063)
Alamat email: changjitmeuw@yahoo.com


[1] Carlos A. Valle, “Communication and Culture: A Global Perspective”, Communication and Human Dignity: Asian Christian Perpesctives (Ed.Pradip Thomas) (Delhi: ISPCK, 1995), 18.
[2]Lawrence Kincaid & Wilbur Schramm, Asas-asas Komunikasi Antar Manusia (Diterj. Agus Setiadi) (Jakarta: LP3ES bekerja sama dengan EWCI, 1987), 16-17.
[3]Ivan Fucek, Chiamata alla giustizia: nuova evangelizzazione (Roma: Editrice Pontificia Universita Gregoriana, 1992), 147-151.
[4]Op. cit., 152-153, 155-156.
[5]Giannino Piana, “Etica della communicazione: problem e prospettive”, Corso di morale 4: Koinonia: Etica della vita sociale (Ed. Tullo Goffi-Giannino Piana) (Brescia: Editrice Queriniana, 1994), 365-369.
[6]Fucek, Chiamata  alla giustizia, 175.
[7]Karl Peschke, Christian Ethics: Moral Theology in the Light of Vatican II: Volume II: Special Moral Theology (Alcester: C. Goodliffe Neale Ltd., 1990), 271.
[8]Fucek, Chiamata alla giustizia, 176.
[9]The Pontifical Council for Social Communications, 22 February 1997.
[10]No. 14.
[11]No. 15.
[12]No. 16; Bdk. Anne Pattel-Gray, “Australian Aboriginal Communication: Cultural Identity and Human Dignity” in Communication and Human Dignity: Asian Christian Perspectives, 45-56.
[13]No. 17.
[14]Peschke, Christian Ethics, 599-601; Fucek, Chiamata alla giustizia, 163.
[15]Gatti, Etica delle professioni, 129.
[16]Bdk. William Werpehowski, “Justice”, A New Dictionary of Christian Ethics (Ed. J. Macquarrie and J. Childress) (London:SCM Press, 1992), 329-332.
[17]Kevin T. Kelly, New Directions in Moral Theology: The Challenge of Being Human (London: Geoffrey Chapman, 1993), 3-6.
[18]Frances Forde Plude, “Forums for Dialogue: Teleconferencing and the American Catholic Church” in Media, Culture & Catholicism (Ed. A. Soukup) (Metro Manila: St. Pauls, 2003), 191-200.
[19]L. Bini, “Communicazione sociale”, Dizionario Enciclopedico di Teologia Morale (Roma: Editrice Paoline, 1976), 124-129.