Saturday, July 26, 2008

Kelahiran Yesus: Teologi atau Sejarah?



Sebagian orang mungkin dibingungkan oleh tulisan Injil-injil Perjanjian Baru seputar kelahiran Yesus. Kisah kelahiran Yesus ditemukan dalam Injil menurut Matius dan Lukas. Keduanya memberikan detail yang berbeda. Lukas menyajikan kisah masyhur tentang perjalanan Yosef dan Maria yang melelahkan dari Nazareth ke Betlehem. Setiba di sana, tibalah saat bagi Maria untuk melahirkan. Bayi Yesus yang dilahirkan dibaringkan di palungan. Mereka harus berbagi tempat dengan hewan di kandang karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Matius tidak menyebut tentang perjalanan itu. Mereka telah ada di Betlehem. Dan Maria melahirkan bayinya di rumah. Apakah bagi Matius, kisah perjalanan Nazareth-Betlehem tidak penting? Di lain sisi, Matius bertutur tentang kunjungan orang-orang majus dari Timur dan bicara soal perbintangan. Namun Lukas sepertinya tidak berminat dengan hal itu. Lukas menulis tentang para gembala yang mendapat anugerah pertama menerima warta keselamatan. Siapa gerangan orang-orang majus itu? Siapa gerangan para gembala? Lazimkah sebuah bintang mula-mula berjalan menuju Yerusalem kemudian melesat ke arah Betlehem? Bagaimana fakta sejarah (bila itu maksud tujuannya) dijelaskan oleh dua data yang berbeda?

Tatkala pertanyaan-pertanyaan ini menempel ke langit-langit kepala, rasa puyeng melanda. Apakah cerita itu hanya isapan jempol belaka? Peristiwa kebangkitan adalah jawabannya. Kuncinya: iman kebangkitan menjadi titik tolak penulisan seluruh kisah. Teks-teks tentang kelahiran bukanlah teks tertua, melainkan teks termuda yang muncul setelah dikenalnya seluruh teologi tentang Yesus, kematian, dan kebangkitan-Nya. Justru setelah semua bahan (perumpamaan, mukjizat, gelar-gelar Yesus, kisah sengsara, kebangkitan,...) tersusun rapi, muncul pertanyaan tentang awal: bagaimana kisah kelahiran-Nya. Bagi jemaat perdana ketika kedua Injil ditulis (80 - 90 M), jelas Yesus merupakan Mesias, Penyelamat, dan Putera Allah. Bertolak dari sudut pandang ini, jemaat menafsirkan peristiwa-peristiwa sekitar kelahiran Yesus. Dari hal ini jelas bahwa apa yang dilukiskan penulis lebih merupakan warta iman daripada sebuah jurnal sejarah. Benarlah kata Jürgen Moltman, seorang teolog Jerman, bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ada iman yang tidak mulai a priori dengan kebangkitan Yesus. Matius maupun Lukas berangkat dari titik tolak yang sama, namun dengan tujuan sasaran yang berbeda. Pemilihan bahan, penekanan, dan redaksi bahan ikut ditentukan oleh kebutuhan jemaat sasarannya. Kondisi itulah yang menyebabkan perbedaan dalam detail kisah. Siapa sasaran tulisan mereka?

Injil Matius ditulis sekitar tahun 80-90 untuk lingkungan jemaat Kristen Yahudi. Maka dapat dimengerti mengapa Matius paling banyak mengutip Perjanjian Lama dibandingkan penulis Injil lainnya. Gelar Mesias mendapat tekanan kuat. Pada kepenuhan waktu, raja-raja dan bangsa-bangsa akan datang ke Yerusalem untuk menyembah-Nya (Yes. 60:6). Karena itu, Matius memuat kisah tentang orang-orang majus. Ilmu perbintangan juga tidak luput dari perhatian Matius. Kelahiran Abraham, Isaak dan Yakob juga diiringi terbitnya bintang di langit. Hal itu lumrah dikenal Yudaisme pada era Gereja perdana. Tampaknya teks-teks PL yang dipadukan dengan gejala astronomi mendorong Matius untuk menyusun cerita ini. Dengan itu Matius hendak mewartakan iman Gereja tentang Yesus sebagai Mesias yang datang pada kepenuhan zaman.

Astronomi sejak penemuan Yohanes Kepler mendukung cerita Matius. Dari perhitungan astronomis, orang tahu bahwa sekitar tahun 6 SM terjadi pertemuan (konjungsi) antara planet Jupiter dan Saturnus dalam konstelasi Pisces. Dalam astronomi, Jupiter (planet terbesar) melambangkan raja yang agung dalam semesta, sedangkan Saturnus adalah bintang kaum Yahudi. Konstelasi Pisces menandakan akhir dunia. Ketika konjungsi itu terjadi, orang-orang majus tahu pasti: di negeri Yahudi (Saturnus), seorang Raja Agung (Jupiter), pada kepenuhan masa (Pisces) telah lahir. Pendapat terkini memang mengatakan bahwa Yesus lahir pada zaman pemerintahan Herodes Agung, kemungkinan besar pada tahun 6 SM.

Injil Lukas juga ditulis antara tahun 80-90 untuk jemaat yang terdiri dari mayoritas bangsa bukan Yahudi. Itulah sebabnya Lukas lebih berminat pada figur gembala-gembala sederhana di padang Betlehem. Dengan warna teologis Lukas, para gembala dilihat sebagai wakil kaum miskin yang kepadanya Yesus diutus. Dalam kalangan Yahudi, para gembala adalah kelompok yang tersingkir. Pekerjaan mereka menjadikan mereka cacat di depan hukum. Dengan ini, Lukas mau menegaskan bahwa Yesus adalah Penyelamat bagi semua bangsa manusia.

Minat teologis, sifat, dan tujuan penulisan ternyata sangat menentukan redaksi para penulis Injil. Pemahaman akan sulit dijangkau bila pendekatan terhadap kisah Injil meleset dari aspek yang ditekankan atau dikehendaki penulis. Kisah dalam Injil (terutama kisah kelahiran Yesus) tidak dimaksudkan untuk laporan sejarah, melainkan lebih pada pewartaan dengan isi fakta, nubuat Kitab Suci, dan ungkapan iman zaman itu, yang diramu dan disajikan untuk kepentingan iman dan kebenaran yang hendak diwartakan.

Barangkali inilah alasan mengapa Gereja menyatakan kepada para pembaca untuk menangkap apa yang mau disampaikan Allah. Para penafsir harus mencermati apa yang mau disampaikan oleh para penulis suci; apa yang mau dinyatakan Allah melalui kata-kata mereka. Penting diperhatikan jenis-jenis sastra (Dei Verbum 12). Jenis sastra yang lazim dipakai pada masa PB adalah midrash haggadah. Gaya sastra ini mengambil suatu fakta atau ungkapan biblis, mengolah dan memperindahnya dengan tujuan untuk menggarisbawahi dan mewartakan kebenaran iman. Gaya inilah yang membungkus kisah kelahiran Yesus. Dalam gaya sastra ini terkandung pesan yang harus ditemukan dan diwartakan.

Bila kita ngotot dan menghabiskan waktu untuk mempermasalahkan historisitas setiap detail kisah kelahiran, kita akan kehilangan pesan yang ingin disampaikan. Dengan itu kita menempatkan diri di luar arena iman yang diciptakan Matius dan Lukas. Dalam arena itu, tidak perduli apakah bintang pernah muncul atau tidak; tidak perduli apakah benar orang-orang majus yang berkunjung atau para gembala. Hal utama adalah apa makna rohani kedatangan bayi mungil Yesus, yang harus disambut bukan terutama dalam dinginnya akal sedingin kandang Betlehem, melainkan di dalam kehangatan hati yang sarat iman.

Lianto
sumber utama: Leonardo Boff, Jesus Christ Liberator, A Critical Christology of Our Time