Tuesday, March 16, 2010

Kebangkitan Yesus, Fakta Historis?



Sebagian orang tidak pernah atau merasa tidak relevan meragukannya. Kebangkitan Yesus tertulis dalam Injil. Habis perkara. Ada yang mempertanyakan apakah kebangkitan itu fakta historis? Ataukah hanya fiksi atau suatu episode yang dibuat untuk mengenang Yesus? Bisakah Injil dipercaya sebagai rekaman atas peristiwa yang betul-betul terjadi? Jika kebangkitan itu fakta historis, bagaimana rupa Yesus yang bangkit itu? Puluhan pertanyaan dapat diajukan berkaitan dengan kebangkitan.

Kritisisme atas naskah kuno mengangkat berbagai wacana tentang redaksi berlapis, otentisitas, dan warna sastra tertentu yang mewarnai ayat demi ayat Kitab Suci. Hal itu telah menimbulkan kesangsian dan pertanyaan seputar mana bagian kisah yang otentik dan mana yang tidak. Jika orang tidak percaya atau meragukan apa yang tertulis dalam Injil perihal kebangkitan, saya memang tidak memiliki sumber lain untuk menyambung pembicaraan. Mengapa? Karena tidak ada teks tertulis lain yang ada di tangan kita tentang kebangkitan Yesus selain Injil.

Untuk menyambung pembicaraan, seraya mengabaikan detail kisah kebangkitan, saya mengajak pembaca berlogika-ria untuk menemukan apa yang ada di balik rekaman Injil tentang kebangkitan Yesus.

Perempuan dan Kubur Kosong
Saya pilih Injil Markus karena inilah Injil tertua. Mrk 16:1-8 mencatat kejadian tiga perempuan yang pada pagi-pagi di hari pertama Minggu, pergi ke makam Yesus untuk meminyaki-Nya. Setelah sampai di sana, mereka mendapati makam Yesus kosong. Dari orang muda berjubah putih di samping kanan makam, mereka mendapat kabar bahwa Yesus telah bangkit. Oke, saya ikut abaikan detail kisah yang dituliskan. Lagipula tidak berguna jika orang tidak memercayainya. Saya hanya mau menggarisbawahi “perempuan” dalam rekaman Injil ini.

Ada masalah apa dengan “perempuan”? Di kalangan Yahudi, perempuan adalah makhluk yang tak bisa dipercaya. Mereka tidak diperkenankan menjadi saksi dalam pengadilan. Omongan yang keluar dari mulut perempuan dianggap “bullshit”. Dalam konteks ini, adalah suatu kebodohan bagi Markus menuliskan kisah kebangkitan yang dahsyat, yang disaksikan dan disampaikan kepada orang lain oleh tiga perempuan. Kita tidak merasakan adanya perbedaan kebenaran yang disampaikan oleh seorang perempuan atau laki-laki. Tapi di zaman Yesus, hal itu hanya akan mengundang tertawaan. Tapi Markus tetap menuliskannya. Hal ini menyiratkan bahwa apa yang tertulis memang demikianlah adanya. Dengan alur pikir seperti ini, saya mengajak Anda untuk menerima bahwa peristiwa kunjungan ketiga perempuan dan kubur yang kosong benar adanya. Anda dipersilahkan untuk mengabaikan detail lain yang mungkin bagi Anda hanya isapan jempol belaka.

Perubahan Karakter Para Murid
Berbeda dengan peristiwa kebangkitan, penyaliban dan kematian Yesus telah terbukti dalam sejarah. Jika Anda meragukan kesaksian Injil, Anda dapat membacanya dari kesaksian sejarahwan Yahudi abad pertama: Flavius Yosefus. Penyaliban dan kematian Yesus merupakan tragedi paling mengenaskan bagi para pengikut-Nya. Diberitakan dalam Injil bahwa para pengecut itu lari pontang-panting ketika Yesus ditangkap. Kebanyakan dari mereka hanya berani melihat dari kejauhan ketika Yesus disiksa dan disalibkan. Petrus, komandan dari keduabelas rasul bahkan menyangkal diri sebagai murid-Nya sampai tiga kali. Dasar si mulut besar! Percakapan kedua murid di jalan menuju Emaus juga memperlihatkan kekecewaan yang besar atas harapan mereka terhadap figur Yesus. Singkat cerita, bagi para pengikut-Nya, kematian Yesus merupakan akhir cerita. Tamatlah sudah!

Lalu apa? Mengapa para pengecut itu dalam waktu tidak lama setelah kematian Yesus tiba-tiba menjadi pemberani? Mereka sampai berani mengorbankan nyawa. Stefanus dirajam. Petrus si Mulut Besar disalibkan terbalik, Paulus yang awalnya mengejar para pengikut menjadi pewarta tangguh. Apakah menurut Anda, mereka ini adalah orang-orang gila? Pasti ada suatu kejadian LUAR BIASA setelah kematian Yesus yang powerful untuk mengubah sikap mereka. Mungkin peristiwa itu adalah, atau dekat, atau mirip, atau hanya dapat diungkapkan dengan istilah “bangkit”. Peristiwa itu pasti ada karena tak mungkin orang mau mengorbankan nyawa untuk sesuatu yang bagi dirinya sendiri tidak ada. Peristiwa itu pasti benar karena ingatan orang-orang yang hidup di zaman itu masih segar dan dengan gampang dapat diklarifikasi sekiranya apa yang diwartakan merupakan kebohongan.

Dengan logika ini, sekiranya Anda tidak percaya akan kebangkitan hanya karena lemahnya bukti, Anda harus percaya bahwa setelah kematian Yesus, suatu peristiwa luar biasa telah terjadi. Peristiwa yang berdaya agung untuk mengubah manusia pengecut menjadi pemberani, pendendam menjadi pengasih, pemarah menjadi peramah, dan peristiwa yang kebenarannya telah teruji oleh waktu. Muskil rasanya ada kebohongan yang dapat bertahan hingga 20 abad. Dengan alur pikir ini, tidak penting apakah kebangkitan itu fakta historis atau hanya simbol belaka. Terserah Anda mau terima yang mana.

Ungkapan pemikiran ini ditulis dengan asumsi Anda tidak memercayai atau meragukan kesaksian Injil. Jika Anda tidak punya masalah seperti itu, disarankan agar terus menimba kekayaan Injil dan buang jauh-jauh pemikiran saya dalam tong sampah. Selamat Paskah!

Lianto

Yesus Ngamuk: Ekspresi Kontra Ketidakadilan



Sehari setelah memasuki kota Yerusalem, Yesus menuju Bait Allah. Di situ Ia menjungkirbalikkan meja dagangan orang (penukar uang dan pedagang merpati). Kejadian ini sering dilihat secara negatif sebagai tindakan temperamental. Mengapa Yesus “ngamuk”? Tinjauan konteks religio-historis berikut ini mungkin bisa sedikit klarifikasi.


Pada masa Yesus, Yerusalem merupakan pusat keagamaan bangsa Yahudi. Menjelang Paskah Yahudi, orang Yahudi dari seluruh pelosok negeri datang ke Yerusalem untuk merayakan hari terbesar dalam almanak liturgi ini. Belum ada catatan tentang jumlah massa yang berkumpul pada pesta raya ini. Namun Flavius Yosefus (sejarawan Yahudi abad pertama) pernah mencatat bahwa sebanyak 255.600 ekor domba dipotong dan disantap pada suatu perayaan Paskah di Yerusalem. Jika seekor domba disantap oleh 10 orang, maka diperkirakan 2,5 juta orang berkumpul di Yerusalem pada pekan ini. Obyek kunjungan terutama adalah Bait Allah yang menurut tradisi Alkitab berada di puncak bukit tempat Abraham mempersembahkan kurban. Bait Allah ini dikuasai oleh imam-imam kepala yang dipimpin oleh Imam Agung Kayafas.

Tidak semua orang dapat mengambil bagian dalam ritual Bait Allah. Terdapat banyak aturan yang harus dilewati orang untuk dapat memasuki tempat kudus ini. Orang harus menyucikan diri terlebih dahulu dalam kolam penyucian agar pantas masuk Bait Allah. Penggalian arkeologis masa kini menemukan adanya kolam-kolam untuk ritual penyucian ini. Bayaran yang mahal untuk penyucian harafiah itu tidak akan sanggup dilakukan oleh orang miskin. Ritual penyucian mengondisikan penyaringan orang apa yang dikehendaki para imam untuk masuk Bait Allah. Menurut Kitab Misnah (aturan ritual), orang cacat, buta, sakit, dan lumpuh dilarang masuk kolam penyucian. Barangkali hal inilah yang membuat Yesus “gerah”. Reformasi Yesus: semua orang berhak atas rahmat kebaikan Allah tanpa rintangan finansial.

Di samping itu, orang masih harus menukar uangnya dengan koin Bait Allah yang suci. Tentu dengan nilai kurs yang ditentukan imam-imam kepala. Koin suci itu dipakai untuk membeli merpati putih tak bernoda untuk korban persembahan. Inilah yang menjelaskan keberadaan money changer dan pedagang merpati di halaman Bait Allah. Perlawanan Yesus atas komersialisasi dan ketidakadilan Bait Allah diungkapkan dengan menjungkirbalikkan meja dagangan dan gagasan amat berani: peruntuhan Bait Allah. Semua ini menyebabkan Yesus dilihat sebagai figur yang berbahaya.

Aturan dibuat demi ketertiban umum. Barangkali ini argumen para imam kepala. Dalam kasus Bait Allah, aturan yang sangat berbau komersial tak bisa dijunjung karena telah bertentangan dengan aturan (hukum) yang lebih tinggi, yakni keadilan. Tindakan Yesus di halaman Bait Allah tidak lain sebagai ungkapan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masa itu. Dari awal kiprah-Nya di Kapernaum dan sekitarnya, Yesus telah menjatuhkan optio fundamentalis-Nya: memperjuangkan keadilan Kerajaan Allah. Mau tak mau Ia harus berhadapan dengan status quo penguasa keagamaan. Ia mendekati orang-orang marjinal yang dianggap najis oleh Taurat, menyembuhkan orang sakit pada hari terlarang (Sabat), mengampuni dosa, dan menyambut para “kafir” (menurut tafsiran para imam: orang Samaria dan orang-orang non-Yahudi).
Tindakan Yesus menyampaikan dua hal. Pertama, apa yang dilakukan Yesus merupakan ekspresi klimaks dari sikap kontra ketidakadilan. Kedua, aturan dan hukum hendaknya tidak mematikan cinta kasih dan keadilan. Aturan dan hukum akan selalu mempunyai “lubang” ketika berhadapan dengan kasus-kasus moral yang belum terpikirkan oleh si pembuat hukum tatkala merumuskannya. Dibutuhkan tafsiran atas hukum bukan berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat yang tersirat di dalamnya (epikeia). Thomas Aquinas melihat epikeia ini sebagai suatu keutamaan (virtue). Ini bukan usaha pelarian orang dari kewajiban tertentu, melainkan tanggapan dan junjungan untuk hukum yang lebih tinggi: keadilan.