Saturday, July 26, 2008

Mengapa Orang Pindah Agama (gereja)?



Sejumlah umat menyuarakan keprihatinan karena sebagian umat Katolik merasa lebih “enjoy” dengan kelompok atau gereja di luar Katolik, antara lain: Full Gospel, Gereja Sungai Yordan, dan Bethany Successful Family. Bermula dari ajakan teman, mereka mencoba untuk bergabung dengan “kawanan” lain, merasa kerasan, dan akhirnya memutuskan untuk hijrah gereja. Mengapa hal ini terjadi?

Apakah semua agama (gereja) sama saja? Yang penting: Yesus! Mau Katolik atau Protestan: terserah! Benarkah demikian? Jawabannya: Tidak! Sadar atau tidak, pandangan ini sering hinggap di kepala orang yang pindah gereja. Entah memang demikianlah pandangan yang dianut, atau sekedar rasionalisasi (mencari-cari alasan logis) untuk membenarkan keputusannya. Pandangan seperti ini disebut indiferentisme, yang menyatakan bahwa semua agama sama saja, sehingga tidak perlu dipersoalkan agama mana yang dianut seseorang. Paham ini sangat subyektif. Fakta menunjukkan bahwa agama-agama bukan hanya tidak sama, melainkan dalam berbagai hal pokok bertentangan satu sama lain. Pandangan atau sikap ini lebih mencerminkan apatisme (sikap masa bodoh) terhadap perbedaan-perbedaan daripada toleransi.

Berdasarkan sharing pengalaman dan pemikiran dengan sejumlah sahabat seiman, sejumlah hipotesa (kesimpulan sementara) dapat dipakai untuk menjelaskan gejala ini. Pertama, motivasi orang Katolik untuk pindah agama (gereja) ada kaitan erat dengan motivasi awalnya menjadi Katolik. Ini berlaku untuk orang yang masuk Katolik saat dewasa. Kedua, pribadi dengan dasar iman/keyakinan yang tidak kokoh atau mudah diombang-ambingkan. Ketiga, paradigma (pola pikir) yang terpaku atau terlalu mementingkan aspek lahiriah ketimbang aspek batiniah.

Motivasi Masuk vs Motivasi Keluar
Pada sebagian orang, sebab atau motivasi pindah gereja bisa digali dalam sebab atau motivasi beragama. Motivasi beragama adalah apa yang mendorong orang untuk memeluk atau memilih agama tertentu. Ada motivasi yang bersifat ekonomis, sosial, maupun pragmatis.

Sifat dan kepribadian manusia sangat kompleks sehingga dalam banyak tindakan, sulit digali apa yang sesungguhnya menjadi motivasi utama. Bila seseorang masuk atau memilih agama tertentu dengan motif ekonomis, tentunya mereka akan gampang pindah bila ada agama lain yang lebih bernilai ekonomis. Sulit dibayangkan ada agama dengan nilai ekonomis. Namun fakta menjelaskan bahwa terjadi sejumlah kasus orang pindah agama karena tertarik dengan iming-iming ekonomis (materi) dari agama lain.

Motivasi sosial dijelaskan dalam sikap atau alasan memeluk agama karena diajak teman. Dalam hal ini, orang merasa lebih “enjoy” dalam agama tertentu karena faktor kebersamaan dengan teman-teman terasa lebih kental. Ada pula orang yang memilih suatu agama karena merasa “trendy”. Tidak mengherankan, kelompok ini akan dengan gampang pindah agama bila ada tawaran kebersamaan yang lebih “asyik”, atau ada “trend” baru dengan memeluk agama tertentu dalam masyarakat.

Ada pula orang menjadi Katolik karena alasan pragmatis. Pragmatis di sini dimaksudkan sikap mengutamakan hal-hal yang praktis dan atau manfaat yang langsung terasa. Seorang perempuan Tionghoa paruh baya yang baru-baru ini dibaptis menjadi Katolik mengatakan bahwa ia menjadi Katolik karena tidak mau merepotkan anak-cucunya. Dengan menjadi Katolik, anak-cucunya tidak perlu repot mengurus pemakamannya dengan ritus budaya Tionghoa yang berbelit-belit, jika kelak ia dipanggil Yang Mahakuasa. Untuk ziarah tahunan pun, cukup dengan bunga dan doa. Kalaupun anak-cucunya tidak berbakti, masih ada panti jompo para suster yang bersedia menampung dan merawatnya. Ia juga tidak perlu mencemaskan soal kematiannya karena ada Yayasan Sosial Christoforus yang akan mengurusnya. Contoh ini menggambarkan motivasi beragama yang pragmatis.

Motivasi-motivasi seperti ini tidak salah. Lagipula tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan seseorang harus beragama dengan motivasi apa. Sayangnya, motivasi seperti itu tidak berkaitan langsung dengan hakikat agama yang dianut. Motivasi-motivasi seperti ini harus dimurnikan seiring dengan waktu. Banyak juga orang menjadi Katolik dengan motivasi awal seperti itu, namun seiring waktu mereka menemukan hakikat iman yang lebih bernilai daripada pertimbangan-pertimbangan awalnya. Dengan demikian motivasi awalnya dimurnikan, dan mereka menjadi jemaat yang teguh-iman.

Keteguhan Keyakinan
Barangkali inilah kata kuncinya: keteguhan keyakinan! Untuk jemaat Katolik yang dibaptis sejak bayi (berasal dari keluarga Katolik), pendidikan iman dalam keluarga memegang peranan pertama. Bagi jemaat yang dibaptis dewasa, pengenalan dini akan iman dalam masa katekumenat harus benar-benar diperhatikan. Pembangunan dan pembinaan iman seumpama mendirikan pondasi untuk bangunan. Jika pondasi didirikan di atas pasir, bangunan di atasnya pasti gampang roboh ketika angin dan banjir melanda. Sebaliknya jika pondasi dibangun di atas tanah dan batu yang keras, bangunannya akan lebih kokoh tentunya. Pembaptisan adalah pintu masuk (inisiasi) keanggotaan umat Allah. Karunia iman yang diterima harus dibina misalnya melalui doa pribadi, ibadat bersama, merenungkan dan mendalami Kitab Suci, menerima Tubuh dan Darah Kristus, mempelajari kekayaan-kekayaan dalam liturgi, dan sebagainya.

Aspek Lahiriah vs Aspek Batiniah
Sebagian orang menggantungkan citarasa iman pada apa yang terasa oleh indera. Bagi mereka, hal-hal lahiriah seperti lagu, cara menyanyi, doa, cara berdoa, ritus, dan semua metode yang bisa menciptakan suasana hati yang “nyaman” sangat penting. Mungkin tanpa sadar mereka lebih mementingkan hal-hal itu daripada tujuan untuk bertemu pribadi yang dicari: Yesus, yang sebetulnya ada dalam ruang batinnya yang paling dalam.

Kedekatan dengan Tuhan sebetulnya tidak diukur dari rasa inderawi seperti rasa enak-teduh dalam doa atau rasa kehadiran Tuhan yang mencekam. Orang yang mencapai tahap hidup rohani yang tinggi (misalnya: St. Yohanes Salib dan St. Teresia Avila) justru biasanya mengalami kekeringan doa yang menyiksa (ariditas). Orang yang pindah gereja karena ingin mencari cara ibadat yang meriah bisa jadi jatuh dalam perangkap inderanya sendiri. Yang mereka cari bukan Tuhan, tapi kepuasan dalam doa dan hiburan rohani (konsolasi). Mereka mencari hal-hal lahiriah dan lupa dengan hakikat utamanya.Yang mereka cari adalah diri (ego) mereka sendiri, sadar atau tidak sadar.

Komentar yang paling sering didengar dari mereka adalah bahwa liturgi Katolik kaku dan membosankan. Tatkala kekakuan liturgi dirasa tidak menciptakan suasana perasaan haru-biru, mereka pindah gereja yang katanya kaya dengan inovasi liturgis. Seorang sahabat yang aktif di komunitas persekutuan doa dengan tepat menilai masalah ini. Menurutnya, masalahnya bukan terletak pada liturgi atau metode doa apa pun. Masalahnya adalah sejauh mana seseorang membuka hati bagi sentuhan Roh. Dalam keterbukaan hati, dengan hanya membuat tanda salib pun, atau sekedar memandang Yesus yang tersalib, seseorang bisa masuk dalam keheningan doa dengan rasa remuk-redam.

Solusi: Komunitas Persekutuan Doa
Persoalan aspek lahiriah-batiniah tadi tidak dimaksudkan untuk melihat kedua hal tersebut secara dikotomis. Aspek lahiriah juga penting untuk menumbuhkan semangat doa. Untuk itu, Gereja Katolik terus berupaya mengakomodasi apa yang dibutuhkan jemaat pada umumnya. Kehadiran sejumlah komunitas rohani, misalnya: Komunitas Tritunggal Mahakudus, Komunitas Sel KKN, PERDUKI, dan aneka persekutuan doa lainnya merupakan wadah yang baik untuk mengalami kebersamaan yang lebih erat antara saudara seiman. Di dalamnya umat bisa saling membagikan pengalaman berharga yang meneguhkan iman. Sewaktu-waktu umat juga bisa ikut Kebangunan Rohani Katolik. Tampaknya Gereja cukup jeli untuk melihat apa yang dibutuhkan umatnya. Kalau pun masih ingin pindah gereja, tanyakan dengan jujur pada sisi batin paling dalam: “Apa yang sesungguhnya kucari?....Ada apa denganku?”

Lianto (Publikasi: Duta Desember 2007)