Thursday, July 24, 2008

Maria Mempunyai Anak Selain Yesus?


Dalam Perjanjian Baru kita berulang kali membaca ungkapan “saudara-saudara Yesus”. Sebagian orang mungkin membaca Kitab Suci sepintas lalu dan tidak menaruh minat sama sekali untuk melihat maknanya. Yang lain barangkali memilih untuk tidak menggali lebih jauh maksud dari ungkapan tersebut. Mungkin ungkapan itu dianggap atau dikhawatirkan akan mengancam keyakinan tertentu dalam ajaran Gereja. Apakah ungkapan “saudara-saudara Yesus” dengan sendirinya menunjukkan bahwa Maria mempunyai anak-anak lain setelah melahirkan Yesus, dan dengan demikian “mengancam” ajaran “keperawanan tetap” Maria?

Dasar Biblis dan Argumen
“Saudara-saudara Yesus” ditemukan dalam Mat. 12:46-50; Mrk. 3:31-35; Luk. 8:19-21; Yoh. 2:12; Kis. 1:14; Gal. 1:19; dan 1Kor. 9:5. Pribadi yang dimaksud bernama Yakobus, Yoses (Yosef), Yudas, dan Simon. Juga disebutkan bahwa Yesus mempunyai sejumlah saudari (Mrk. 6:3; Mat. 13:55).

Dalam sejarah, ada tiga pandangan umum yang mencoba menafsirkan hubungan kekerabatan antara Yesus dengan mereka yang disebut “saudara-saudara”-Nya.

Pertama,
“saudara-saudara” itu adalah anak Yusuf sebelum menikahi Maria. Pandangan ini diajarkan pada abad ke-3 dan dibela oleh Epifanius pada abad ke-4. Walaupun tidak ada petunjuk dari Perjanjian Baru yang mendukung, pandangan ini menjadi dogma bagi Gereja Timur (Orthodoks).

Kedua, “saudara-saudara” itu adalah anak Yusuf dan Maria, adik-adik Yesus. Argumen ini ditopang oleh pemakaian kata “sulung” dalam Luk. 2:7 dan penyimpulan yang tergesa-gesa atas Mat. 1:25. Pandangan ini dikemukakan oleh Helvidius (abad ke-4) dan Uskup Bonosus dari Naissus, dan mendapat perlawanan yang keras dari pihak Jerome (alias Hieronimus: ca. 419). Sejak reformasi, pandangan ini paling umum dianut oleh kalangan Protestan.

Ketiga, “saudara-saudara” itu adalah sepupu Yesus. Pandangan ini dikemukakan oleh Jerome untuk membela doktrin bahwa Maria senantiasa perawan. Tafsiran terakhir ini beredar dan lebih umum dianut Gereja Barat (Katolik).

Di Pihak Mana Kita?
Menafsirkan Kitab Suci memang kadang agak susah. Suatu teks tidak bisa begitu saja dilepaskan dari konteksnya. Arti asli dari penulis terkadang sulit digali karena kendala bahasa. Istilah yang sama bisa saja berbeda dalam hal keluasan makna jika dipakai dalam dua zaman yang berbeda. Latar belakang sejarah, budaya, gaya bahasa, dan sastra juga merupakan kaidah penting dalam usaha menafsirkan KS.

Kembali ke pokok masalah: siapakah mereka? Kiranya lebih mungkin mengatakan bahwa mereka itu sepupu-sepupu-Nya. Mengapa?

Pertama, ungkapan “anak sulung” tidak perlu/harus mengimplikasikan adanya anak yang lain. Dalam kebiasaan Yahudi, anak tunggal bisa juga disebut anak sulung. “Anak sulung” dalam pembicaraan orang Yahudi umumnya dimaksudkan sebagai gelar untuk menunjuk kedudukan istimewa, yang menurut hukum, dimiliki anak pertama, entah masih ada anak yang lain atau tidak (bdk. Kel. 13:2; 4:22; Bil.3:12). Jadi ketika Yesus disebut “anak sulung”, tidak dengan sendirinya dapat dipastikan bahwa Dia adalah anak pertama dari suatu rangkaian persaudaraan.

Kedua, menarik untuk diperhatikan bahwa dalam Perjanjian Baru, “saudara-saudara Yesus” tidak pernah dikatakan sebagai anak-anak Maria. Selalu dikatakan bahwa Maria tampil bersama “saudara-saudara Yesus” dan tidak pernah bersama dengan anak-anaknya. Jika mereka sungguh anak-anak Maria, ketegangan yang dilukiskan Mrk 3:31-35 seharusnya mengkondisikan pemakaian istilah “anak-anak Maria” atau “anak-anak ibu Yesus”.

Ketiga, kata Yunani yang dipakai untuk “saudara/saudari” adalah “adelphos/adelphé”. Kata ini bisa dipakai dengan arti yang lebih luas. Dalam rangka menghormati atau meningkatkan kedudukan seseorang karena kaitan relasi kekeluargaannya dengan seorang tokoh penting, kata “adelphos” dapat dipakai. Dalam hal ini, bukan mustahil bahwa pada umat Kristen berkembang kebiasaan menyebut sepupu-sepupu Yesus sebagai “saudara-saudara-Nya”, yang memegang peranan cukup penting dalam komunitas umat perdana (bdk. 1Kor. 9:5; Kis. 1:14). Hubungan sepupu antara Isak dan Laban juga disebut “saudara” (Kej. 29:12 dst.). Lebih jauh lagi, Yesus memakai kata “saudara” untuk mereka yang melakukan kehendak Bapa (Mat. 12:46-50). Kata “saudara” tidak terbatas hanya dalam makna serahim.

Keempat, bisa dibayangkan bahwa selama sepupu-sepupu Yesus masih hidup, hal di atas tentu bukanlah masalah. Umat Kristen perdana yang kenal mereka tentu tahu bahwa julukan “saudara Tuhan” hanyalah gelar kehormatan. Tetapi ketika generasi pertama hilang (abad ke-2), gelar kehormatan dapat membingungkan, sebab kata “saudara” bisa saja dipahami secara harafiah. Dalam hal ini, tulisan lain (di luar KS) dari tangan generasi dekat kiranya bisa membantu. Seorang penulis abad ke-2 bernama Hegesippus (termasuk generasi yang menyusul jemaat perdana) menyebut uskup (kedua) Yerusalem, Simeon (Simon), sebagai “sepupu Tuhan yang kedua” yang menjadi uskup Yerusalem. Catatan ini memperkuat argumen kita.

Akhirnya, “konteks jauh” dari perikop KS barangkali dapat membantu. Dalam Yoh. 19:27 digambarkan peristiwa Yesus mempercayakan Maria, ibu-Nya, kepada “murid yang dikasihi-Nya”. Hal ini tidak mungkin terjadi bila Maria memiliki anak-anak yang lain. Demikian pula dalam Luk. 2:41-51 dilukiskan perjalanan ziarah Maria, Yusuf, dan Yesus (yang berumur 12 tahun) ke Yerusalem. Hal ini pun rasanya tidak mungkin dilakukan bila di rumah (Nazareth) ditinggalkan anak-anak lain yang masih kecil.

Ajaran “Keperawanan Tetap” Maria
Apa pun yang dikatakan penginjil abad pertama tidaklah tepat dijadikan dasar untuk menentang gagasan doktrin keperawanan tetap Maria. Sekiranya Maria mempunyai anak-anak yang lain, tentu itu merupakan hal penting yang semustinya masuk dalam catatan penginjil. Para penginjil tak punya kepentingan sedikit pun untuk menafikan atau sengaja merahasiakannya. Sebab gagasan keperawanan tetap Maria merupakan wacana yang baru muncul pada abad ke-2. Gagasan ini musti dilihat dalam kerangka tradisi yang bermuara pada KS, bukan pada salah satu ayat atau perikop, melainkan pada keseluruhan pandangan biblis tentang ibu Yesus. Dengan dukungan kuat dari tradisi, ajaran ini tidak berlawanan dengan KS. Dengan demikian, tanpa bukti yang meyakinkan, doktrin ini tidak dapat ditinggalkan oleh siapa pun yang mengakui tradisi sebagai salah satu acuan teologi.

Lianto (Publikasi: Majalah Didache Mei 2007)

No comments: