Thursday, March 22, 2012

Rambu Pernikahan 21: Perspektif Keindahan Suatu Hubungan



Ketika memandang obyek hutan atau puncak gunung dari kejauhan, setiap orang akan menyanjung keindahannya. Setiap orang akan berkeinginan untuk mereguk keindahannya dari dekat. Namun ketika mereka mencoba memasuki atau mendakinya, keindahannya seolah sirna. Keindahan yang tampak dari kejauhan itu masih harus dibayar dengan beceknya tanah, semak belukar, atau serangga pengisap darah yang menguing-nguing di telinga. Ini masalah perspektif. Dari kejauhan, orang memandang sesuatu secara holistik; segala unsur dilibatkan dan menciptakan suatu bingkai yang indah. Dari kedekatan, orang kerap terpaku pada hal-hal partikular.

Hubungan (relationship) dalam pernikahan dan keindahannya juga demikian. Ketika Anda mendambakan hubungan itu dari kejauhan, keindahan terpampang di depan mata. Ketika memasukinya, Anda akan cenderung memandangnya dari perspektif berbeda. Hal-hal dan masalah-masalah kecil akan menutupi mata Anda untuk melihat keindahannya. Banyak orang yang memimpikan keindahan suatu hubungan menjadi kecewa ketika memasukinya. Mereka lalu keluar untuk mencari keindahan dalam ikatan yang lain. Hasilnya sama saja. Dan ketika mereka menoleh kembali ke belakang, terpampang kembali keindahan hutan yang dulu dimasukinya.

Intinya, keindahan atau ketidakindahan, kebahagiaan atau ketidakbahagiaan dari suatu hubungan interpersonal pernikahan adalah masalah perspektif. Daripada menghabiskan waktu dalam hidup untuk mencari keindahan dari satu tempat ke tempat lain, lebih baik kita menjaga dan memelihara hubungan yang sudah ada. Sudah terlalu sering terjadi, keindahan sesuatu didambakan sebelum digapai. Setelah diperoleh menjadi biasa. Dan keindahannya akan dirasakan kembali setelah ditinggalkan atau dibuang. Jagalah ‘rumput’ yang Anda miliki, siangi dan sirami. Biarkan kali ini giliran para tetangga yang iri.

Sang Guru selalu mengatakan bahwa kebahagiaan kerap berada di depan mata. Alasan mengapa orang tidak melihatnya adalah miskinnya perspektif. Suatu kali Sang Guru mengajak para cantriknya untuk menjelajah hutan dan mendaki gunung. Ketika berada di tengah jalan, seorang cantrik bertanya, “Mana pemandangan indah yang selalu Guru ceritakan?” Sang Guru menjawab, “Kamu sedang berdiri di atasnya. Keindahan tempatmu berdiri sekarang akan kamu lihat ketika melihatnya dari puncak gunung.”

Rambu Pernikahan 22: Laki-laki Butuh Dianggap Benar dan Dapat Dipercaya


 

Menarik untuk meneliti apa yang sebetulnya dibutuhkan laki-laki (suami) maupun perempuan (isteri). Berbagai temuan dapat membuat kita mengangguk-angguk dan tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Namun faedah yang lebih besar, tentunya, supaya laki-laki dan perempuan, suami dan isteri dapat lebih saling memahami.

Laki-laki adalah makhluk aneh. Lepas dari apakah dirinya cerdas, setengah cerdas, atau tidak cerdas, mereka butuh dianggap cerdas dan dapat diandalkan dalam sebanyak mungkin hal. Mereka haus banget untuk diberi pengakuan: “Ya, Kamu benar, Honey”. Ego laki-laki mudah terluka oleh kondisi-kondisi yang menempatkan diri mereka dalam kebingungan, ketidaktahuan, ketakberdayaan, teristimewa di hadapan perempuan (cq. Isterinya). Laki-laki mau menjadi pahlawan dan figur serba tahu dan benar, kendati mereka sadar bahwa mereka tidak tahu segalanya atau selalu benar. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan laki-laki adalah “pendengar” yang buruk. Setiap kali perempuan bermaksud sharing keluh-kesah melulu dengan intensi didengarkan, laki-laki dengan sigap siaga menawarkan aneka solusi yang tak dibutuhkan.

Laki-laki butuh (tak sekedar ingin) dianggap figur yang tak membutuhkan pertolongan. Sekalipun mereka, nyatanya, dalam kehidupan rumah tangga membutuhkan pertolongan orang lain, laki-laki (suami) akan mengondisikan bahwa pertolongan pihak lain bukan untuk dirinya, melainkan untuk isteri atau anak-anaknya.

Suatu sore Lex dan Lana melancong di suatu tempat. Ada rona kebingungan di wajah mereka, sepertinya mereka tidak menempuh arah jalan yang tepat. Setelah sekian menit mobil mereka hanya berputar di jalan yang sama, Lana angkat suara, “Sebaiknya kita tanya orang setempat, di mana arah jalannya.” Lex menjawab, “Akh, saya sudah pernah ke sana, hanya perlu sekian menit untuk mengingat-ingat”. Mobil pun kembali melaju. Namun jalan yang dituju semakin tidak familiar. “Aduh Paa, tanya orang ajalah, ntar kita tersesat”, sela Lana. “Saya bilang tak perlu. Jangan merepotkan orang lain untuk hal sepele seperti ini”, seru Lex dengan ketus. Kembali mobil melaju. Kali ini hampir pasti mereka tersesat. Lana pun tanpa ragu untuk meneruskan desakannya, “Udahlah, apa sih susahnya bertanya. Kalo Papa malu, biar saya yang turun bertan….” “Diam Kau! Kalo saya perlu bertanya, saya akan tanya. Saya tak suka didikte untuk melakukan apa yang harus saya lakukan!”, jawab Lex dengan mimik frustrasi. Suasana menjadi kaku, semangat melancong pun layu, mobil pun serasa enggan bergerak lebih jauh….

Seandainya saja Lana lebih memahami kebutuhan seorang Lex, dia akan berkata, “Waduh, saya paling tak pandai dalam soal arah jalan. Saya takut kita tersesat, Paa. Apa yang harus kita perbuat?” Saya yakin skenario akan menjadi lain. Lex dengan gaya seorang hero akan berkata, “Oh, itu perkara kecil, jangan kuatir,… Saya akan turun dan bertanya pada penduduk sekitar, tenang aja kau, Honey!” Sang Hero tanpa malu akan turun bertanya dan menganggap tindakannya bukan untuk dirinya, melainkan untuk isterinya. Ini singkapan kecil tentang apa yang dibutuhkan laki-laki. Semoga bermanfaat.

Thursday, February 9, 2012

Isi Buku: Where is God When I Need Him?




"Aku tak dapat berdoa lagi". Ini sering diungkapkan orang-orang yang mulai mengalami kesulitan dalam berdoa. Relasi dengan Allah dalam doa biasanya diawali dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan akan kehadiran Allah. Allah dialami sebagai Allah yang hidup, dekat, penuh cinta, senantiasa menghibur dan menguatkan. Hiburan-hiburan dan kegembiraan rohani ini mendorong orang untuk semakin bertekun dalam doa. Baginya, Allah adalah segala-galanya.

Dalam perjalanan rohani, akan tiba saatnya seseorang mengalami kekosongan dan kekeringan yang menyengsarakan dalam doa. Doa yang dahulu merupakan relasi intim dengan Allah, kini dialami sebagai tindakan tak bermakna, tidak menyentuh hati, kering, hampa, dan membosankan. Allah, yang dahulu dialami sebagai Allah yang hidup, hadir dekat, dan penuh cinta, kini dialami sebagai Allah yang tersembunyi, jauh, dingin, dan bisu. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mzm. 10:1); “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:2).

Kekeringan dalam doa seperti terungkap di atas bisa disebabkan oleh kelalaian pribadi, semangat suam-suam kuku, kemurungan hati, dan atau gangguan kesehatan. Tidak mengherankan bila orang yang bersemangat suam-suam kuku pada suatu ketika akan mengalami doanya terasa tak bermakna. Juga bukan hal yang luar biasa bila orang sulit berdoa dalam keadaan sakit atau galau hatinya.

Namun kekeringan dalam doa dapat pula disebabkan bukan oleh-hal-hal di atas, melainkan oleh Allah sendiri yang hendak menyucikan, menerangi, dan menyatukan pendoa dengan diri-Nya. Kekeringan yang bersumber pada karya Allah inilah yang disebut St. Yohanes dari Salib sebagai “malam gelap” dalam doa. Orang yang dilanda kekeringan mengalami seolah-olah Allah meninggalkannya dalam malam yang gelap gulita.

Ketidakpahaman akan pengalaman di atas dapat menyebabkan orang menjadi putus asa dan meninggalkan doa tatkala dilanda kekeringan. Ia berpikir bahwa kekeringan yang dialaminya merupakan tanda kejauhan Allah atau kemunduran hidup rohaninya. Ia “lari” justru pada saat tangan Allah hendak menariknya agar lebih dekat pada-Nya.

Sekarang masalahnya, petunjuk atau tanda apa saja yang bisa dipakai untuk mengidentifikasi kekeringan doa yang disebabkan oleh karya pemurnian Allah dan membedakannya dari kekeringan yang disebabkan oleh kelalaian pribadi?

Buku kecil ini mencoba menggali dan meringkaskan khazanah pandangan mistikus besar St. Yohanes dari Salib untuk menjawab pertanyaan di atas. Semoga bermanfaat.

Penerbit: Kanisius, 2012