Wednesday, June 19, 2013

Perlukah Etika Bisnis?

Penulis: Dr. Willybrodus a.k.a. William Chang
Publikasi: Jurnal MABis, Vol. 3, No. 2, Desember 2011, ISSN: 2088-4605



Abstract
The application of business ethics in modern societies shows us the importance of ethical values, such as honesty, justice, responsibility and mutual-understanding in business world. Stakeholders approach on business ethics reminds us the need of good collaboration of those who get involved in business. The realization of business ethics should start with the reformation of human beings’ mind sets, way of thinking and style of life. So, how can we internalize and implant the values of business ethics in Indonesia?

Key words: business ethics, ethical values, structure of human acts, honesty, social justice, responsibility.

1.     Sitz im Leben Etika
Kata etika sudah memasuki khazanah masyarakat Indonesia sejak bangsa kita bergaul dengan Bahasa Belanda dan Inggeris. Malah, sudah tersosialisasi dalam pelbagai cara dan kesempatan. Namun, hingga sekarang kata ini masih membingungkan banyak pihak. Buktinya, kata ini masih seringkali dicampur-adukkan dengan kata etiket (tatakrama).
Kata etika berasal dari bahasa Yunani (“ethos”) yang antara lain berarti adat-istiadat.[1] Sebagai sebuah cabang filsafat, etika menjadi suatu penyelidikan normatif dan bukan hanya ilmu deskriptif murni. Obyek studinya terpaut dengan perilaku moral dan immoral supaya sanggup mengambil keputusan-keputusan dengan baik dan sampai pada rekomendasi yang memadai. Etika memiliki tiga ranah utama, yaitu (1) masalah benar, baik atau apa yang seharusnya dilakukan; (2) konsep-konsep mengenai nilai-nilai moral dalam hidup manusia; (3) motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik.[2]
Etika memiliki dua tujuan. Pertama, etika menilai tindakan-tindakan manusia dengan mengingat norma-norma moral; tujuan pertama ini mencakup analisis dan evaluasi. Manusia mengadakan diagonis etis atas tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Analisis ini terdiri dari tolok ukur yang memberikan penjelasan. Etika normatif memiliki tujuan yang lebih bersifat kuratif. Kedua, etika memberikan nasihat-nasihat penyembuhan: tujuan ini mengajukan pemecahan-pemecahan masalah ketika berhadapan dengan dilema dan bahaya-bahaya masa depan berdasarkan pandangan-pandangan yang dibina dengan baik.Etika memiliki pendekatannya tersendiri yang tertuju pada moralitas.[3]
Pembicaraan tentang etika selalu terkait dengan nilai sebagai sesuatu yang berharga atau yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu. Nilai mengandung daya dorong dalam hidup manusia. Sesuatu dikatakan bernilai kalau dalam dirinya mengandung penghargaan. Nilai terkait dengan keputusan. Dalam artian luas, kita dapat berbicara mengenai nilai sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Sedangkan dalam artian sempit, nilai dipahami sebagai sesuatu yang positif.[4]
Terdapat pelbagai jenis nilai: ekonomis, biologis, artistik, etis atau moral, religius. Nilai etis berbeda dari nilai-nilai lain, karena nilai ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, yang terkait dengan kebebasan untuk bertindak dalam hidup dan kerja. Dalam hal ini etika diterangkan sebagai tatanan tindakan-tindakan manusiawi. Setiap tindakan manusia memiliki fundamental options (pilihan-pilihan dasar). Terdapat dua kemungkinan: manusia dapat memilih yang baik atau memilih yang jahat. Secara ringkas, seseorang itu dianggap baik secara moral kalau orang itu baik dan jujur dalam bermotivasi, berpikir, berbicara dan bertindak. Sebaliknya, seseorang dikatakan jahat kalau hidup dan tindakannya immoral.

2.     Struktur tindakan manusia[5]
Setiap perbuatan manusia mengandung tanggung jawab. Kadar tanggung jawab perbuatan manusia tergantung pada motivasi, situasi, kondisi dan tujuan yang ingin dicapai. Kadar pengetahuan juga berpengaruh dalam hidup manusia. Kadar tanggung jawab manusia menjadi lebih ringan kalau melakukan suatu perbuatan di luar kesadaran atau kebebasan. Seseorang yang melakukan suatu tindakan karena keterpaksaan berbeda dari seseorang yang melakukan sesuatu karena bebas, sadar, mau dan sengaja.
Pembedahan struktur tindakan manusia dapat ditempuh melalui tiga peran utama berikut: Pertama, peran manusia sebagai subyek moral. Kekhasan manusia terutama terletak pada kemampuannya untuk mengambil keputusan. Selain itu, akal budi mencerminkan manusia sebagai makhluk yang berkepribadian (bdk. Boethius). Sebagai pribadi, manusia selalu memiliki keterkaitan dengan dunia luar. Kepribadian (personality) manusia terletak pada (1) tubuh (body); (2) akal budi (reason); (3) pengambilan keputusan (decisions); (4) penentuan diri-sendiri (self determination). Tubuh dan jiwa manusia adalah suatu kesatuan. Mengapa manusia dikatakan sebagai subyek? Sebab manusia menjadi sumber interior keputusan bebas. Manusia menjadi tuan atas semua perbuatannya. Sebagai subyek moral, manusia adalah subyek hak dan kewajiban. Sebagai pemegang hak, manusia mampu melakukan sesuatu bagi pribadinya atau bagi orang lain. Hak-hak yang terletak dalam pribadi manusia merupakan “perjuangan” diri manusia. Hak-hak itu dipandang sebagai “ruang” yang menjamin otonomi manusia. Hanya, manusia dapat menyalah-gunakan haknya dengan tidak memenuhi kewajibannya sebagai pribadi dan hubungannya dengan manusia. Terkadang manusia terlalu menekankan haknya dan melupakan kewajibannya. Keseimbangan antara hak dan kewajiban akan mendatangkan harmoni dalam hidup manusia.
Kedua, manusia berperan sebagai makhluk menyejarah.
Mengapa manusia disebut makhluk menyejarah? Manusia hidup, bertumbuh dan berkembang dalam dinamika sejarah. Manusia hidup dalam sejarah, menyejarah dan menjadi sejarah. Sejarah pribadi manusia ikut menentukan watak manusia. Kesejarahan manusia merentang di antara kemanusiaan “kini” dan “proses sedang menjadi”. Dalam kesejarahan ini tercakup dimensi manusia yang sedang menjadi. Sebagai makhluk dinamis, manusia dapat menentukan arah hidupnya. Akan ke manakah manusia? Manusia adalah sejarah dan tempat perkembangan seluruh pribadinya. Manusia tidak hidup dalam awang-awang. Setiap perbuatan manusia selalu dalam konteks sejarah. Akibatnya, sebuah penilaian moral manusia seharusnya memperhatikan latar belakang sejarah manusia. Dengan mengenal latar belakang sejarah, manusia dapat memberikan penilaian moral yang lebih tepat.
Ketiga, manusia berperan sebagai makhluk totalitas.
Titik tolak pandangan etis kita adalah manusia sebagai makhluk totalitas. Subyek moral adalah makhluk integral dan total. Tindakan manusia hendaknya dipandang sebagai sebagai ungkapan kepribadian manusia sebagai totalitas. Setiap tindakan manusia mencerminkan kepribadian yang bersangkutan. Manusia mengungkapkan diri dalam jawaban dan tindakannya. Manusia mengungkapkan “ya” sebagai “ya” dan “tidak” sebagai “tidak” mencerminkan pengungkapan kejujuran di dalam dirinya. Manusia mengatakan apa adanya merupakan suatu ungkapan kedalaman pribadinya. Totalitas manusia terletak pada kesatuan badan, jiwa dan roh dalam diri manusia. Justru itu, pendekatan terhadap manusia dapat dilakukan melalui pelbagai disiplin ilmu berbeda (biologi, psikologi, sosiologi). Kepribadian manusia akan lebih dikenal kalau disoroti dari pelbagai sudut pandang berbeda.

3. Anatomi etisitas tindakan manusia[6]
Selalu terkait dengan seluruh pribadi si pelaku. Manusia memiliki hak dan kewajiban. Dalam diri manusia terdapat sejumlah keharusan yang wajib dipenuhi, seperti menghargai atau menghormati sesama manusia. Moralitas tindakan menyatu dengan motivasi, sarana dan tujuan yang ingin dicapai melalui sebuah tindakan. Kadar sebuah tindakan dipengaruhi oleh ketiga unsur penting dalam hidup manusia. Alasan-alasan melakukan sesuatu termasuk dasar pertimbangan penting bagi tindakan seseorang.
Etisitas tindakan seseorang terpaut dengan unsur-unsur berikut ini. Pertama, etisitas tindakan terpaut dengan obyek tindakan manusia. Obyek tindakan selalu terkait dengan buah tindakan manusia (pencurian, perampokan, pembunuhan, pemberian sedekah, menolong sesama). Obyek tindakan manusia dapat menentukan kadar moralitas seseorang. Buah tindakan mencerminkan disposisi batin si pelaku. Hati yang baik umumnya menghasilkan tindakan atau perbuatan yang baik. Sedangkan hati yang jahat akan mendatangkan perbuatan yang jahat. Obyek tindakan terkait dengan nilai-nilai yang tersembunyi di balik sebuah tindakan. Nilai obyektif sebuah tindakan tidak hanya terletak pada dimensi material, tapi juga menyentuh dimensi aktual dan real tindakan manusia. Di balik sebuah tindakan terdapat ungkapan keadaan batin yang sesungguhnya. Seseorang marah karena menunjukkan disposisi batin yang sedang dicengkam kejengkelan-kejengkelan.
Kedua, etisitas tindakan manusia dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, yang berupa pengaruh-pengaruh atau kondisi-kondisi langsung yang memberikan ciri-ciri moral lebih lanjut kepada tindakan-tindakan sebenarnya yang sudah berdimensi moral. Keadaan ini juga menyangkut keadaan (disposisi) hati manusia yang melakukan suatu perbuatan. Keadaan ini terkait dengan: (1) siapa pelakunya?; (2) bagaimana?; (3) di mana?; (4) kapan; (5) obyek; (6) keseringan. Situasi si pelaku tindakan perlu dipertimbangkan dengan arif: seorang lapar yang mencuri berbeda dari seorang yang kaya mencuri sesuatu. Perbuatannya sama, namun sikon si pelaku berbeda. Etisitas tindakan orang itupun berbeda.
Ketiga, etisitas tindakan manusia terkait dengan maksud tindakan seseorang. Maksud dalam konteks ini berarti alasan yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu. Pertanyaan yang seringkali muncul untuk menggali maksud subyek melakukan tindakan adalah mengapa saya atau dia melakukan tindakan itu? Ada apa di balik tindakannya? Mengapa? Maksud adalah rencana hehendak seseorang untuk melakukan sesuatu dan tindakan ini mendatangkan dampak dalam seluruh hidup manusia. Baik atau buruknya maksud seseorang dapat menimbulkan perbuatan yang baik atau buruk. Maksud baik tidak dengan sendirinya menghasilkan tindakan atau perbuatan baik.

4.     Status Etika Bisnis[7]
Umumnya peran etika bisnis belum memiliki posisi mutlak (definite) dalam masyarakat kita, namun tergantung pada pilihan seseorang berdasarkan keyakinan moralnya. Perspektif dan orientasi moral seseorang menentukan arah pilihan tentang etika bisnis. Hasil pilihan seseorang bisa positif dan bisa juga negative. Hal ini tampak dari keputusan-keputusan moral yang diambil. Perbedaan filsafat dalam bidang bisnis akan menentukan sikap orang terhadap etika bisnis. Mereka bajik (virtual) umumnya mencintai kebenaran dan kejujuran yang juga diperlukan dalam bidang bisnis. Seseorang yang berkeutamaan akan melakukan sesuatu berdasarkan takaran kebenaran dan kejujuran dan tanpa kompromi.
Sementara itu, seorang penganut paham relativisme tentang etika bisnis akan mengambil sebuah keputusan berdasarkan segala macam informasi yang didengarkan dari kiri atau kanan. Penganut paham ini akan mengaitkan keputusannya dengan unsur-unsur atau faktor-faktor seputar lingkaran bisnis. Seorang relativis akan mengambil sebuah keputusan berdasarkan apa yang baik secara moral, jika keputusan itu mendatangkan hasil-hasil yang diinginkan. Tampak ada keterkaitan antara keputusan dan keinginan dalam usaha yang dijalankan. Tolok ukur relativisme adalah situasi atau keadaan yang dialami pada waktu mengambil sebuah keputusan etis.
Betapapun, dari sisi lain, harus diakui sekarang bahwa sejumlah Negara di dunia telah menyadari pentingnya peran etika dalam dunia bisnis atau perusahaan yang sedang berjalan. Bisnis tanpa etika akan mendatangkan pengaruh besar bagi relasi antarpribadi manusia dan antarnegara. Acapkali kadar relasi personal terganggu melalui jalur bisnis, kalau peran etika bisnis disingkirkan. Etika bisnis berusaha menolong manusia untuk menggerakkan roda bisnis dengan pedoman-pedoman yang menjunjung nilai etis. Kejujuran, tanggung jawab, baik, jahat, kebenaran termasuk nilai-nilai yang perlu ditegakkan dalam dunia bisnis.

5.     Etika Bisnis
Istilah ini menyedot banyak perhatian dalam dunia sastera. Acapkali istilah ini tidak diterangkan dalam makna yang memadai. Biasanya istilah ini dihubungkan dengan kebenaran atau kesalahan perilaku, namun tidak semua orang menyetujui apa yang benar atau
salah secara moral, apa yang baik atau tidak baik, apa yang etis dan tidak etis.[8] Hanya berdasarkan sikap jujur dan saling percaya sebuah jalinan bisnis dapat dibangun dan bertahan. Semua langkah penipuan atau pembohongan dengan sangat mudah terdeteksi dalam era komunikasi modern. Sebuah kepercayaan dalam dunia bisnis termasuk sebuah cost yang luar biasa, sehingga semua strategi bisnis dapat mendatangkan buah yang menggembirakan dan bermasa depan. Baik hubungan langsung ataupun sistem kontrak dalam dunia bisnis mengandaikan sikap saling percaya yang bisa saling menguntungkan.
Sebenarnya, apakah yang dimaksudkan dengan etika bisnis? Selama bertahun-tahun Applied Corporate Governance berusaha menimbang dan bertukar pikiran tentang bagaimanakah merumus etika bisnis, khususnya dalam kaitan dengan pemerintah. Salah satu rumusan tersingkat dikemukakan oleh Lord Moulton berbunyi “obedience to the unenforceable”. Dengan ringkas dapat kita rumuskan etika bisnis sebagai penerapan kode perilaku moral pada manajemen bisnis yang strategis dan operasional. Etika bisnis umumnya hasil dari tolok ukur moral seseorang di dalam konteks lingkungan politik dan kultural.[9]
Dalam kupasan tentang etika bisnis, menurut J. Fieser, biasanya pebisnis mengaitkan etika bisnis dengan tiga unsur utama ini:
(1) menghindari pelanggaran hukum kriminal dalam berbisnis;
(2) menghindari tindakan yang mungkin melawan perusahaan;
(3) menghindari tindakan yang merusak citra perusahaan.
Mengapa etika bisnis terkait dengan ketiga unsur tersebut? Ini disebabkan oleh dunia bisnis yang selalu bersentuhan dengan kerugian dan nama baik perusahaan. Singgungan mengenai etika bisnis biasanya disadari pada saat sedang menuntut ilmu pengetahuan, dalam keluarga atau lingkungan sosial. Yang ingin ditekankan adalah bahwa pendidikan dasar tentang etika bisnis semestinya sudah ditanamkan dalam diri seseorang sejak dia masih pada usia relatif muda.
Adalah tidak mudah untuk membahas dan menerapkan etika bisnis berhadapan dengan mereka yang mengorientasikan hidup pada pencarian keuntungan tak halal lewat bisnis. Belum semua pebisnis menyadari pentingnya etika, karena bisnis pada dasarnya berorientasi pada pencarian keuntungan dan kesejahteraan individual sebanyak mungkin, sedangkan peran nilai etis dalam dunia bisnis disingkirkan.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga cara berbeda tentang asal-muasal tolok ukur etika bisnis.
Pertama, sejumlah pebisnis berpendapat bahwa ada suatu hubungan simbiotik antara etika dan bisnis yang menekankan profit oriented. Pendekatan simbiotik ini mengenal dua versi: (a) versi lemah dan (b) versi kuat.
Yang versi lemah diungkapkan dalam perkataan good ethics results in good business. Ini menunjukkan bahwa praktek bisnis bermoral terletak pada pencarian keuntungan. Bisnis akan bermasa depan kalau pelaku bisnis memiliki relasi yang baik dengan orang banyak. Versi lemah ini mengandung masalah-masalah. (1) Banyak praktek bisnis bermoral akan mendatangkan keuntungan hanya dalam jangka panjang. Bisnis jangka pendek akan sulit meraih keuntungan. (2) Sejumlah praktek bisnis bermoral tidak dapat diperoleh sekalipun dalam jangka panjang. (3) Yang terpenting, praktek bisnis bermoral yang dianggap baik untuk bisnis tergantung pada apa yang pada waktu itu akan mendatangkan keuntungan.
Sedangkan pendekatan simbiotik versi keras berpandangan bahwa dalam sebuah pasar sarat persaingan dan bebas motivasi untuk memperoleh keuntungan dalam kenyataannya akan menghasilkan sebuah lingkungan berwawasan moral. Dorongan untuk memperoleh untung akan melahirkan moralitas. Versi ini mengenal semboyan good business results in good ethics. Pendekatan ini pun berhadapan dengan masalah bahwa seorang pengguna barang akan membeli sebuah produk sesuai dengan daya belinya; padahal mutu sebuah produk biasanya disesuaikan dengan kemampuan pasar.
Kedua, etika bisnis dibatasi dengan mengikuti hukum. Kewajiban-kewajiban moral dalam dunia bisnis dibatasi sampai pada tuntutan-tuntutan hukum. Aspek-aspek paling universal dari moralitas Barat sudah dituangkan dalam sistem hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip moral yang berada di luar tuntutan hukum menjadi pilihan saja, karena para filosof berdebat tentang pemberlakuannya. Dalam sebuah masyarakat majemuk, kewajiban-kewajiban moral yang berhubungan dengan dunia bisnis pada dasarnya ditemukan dalam rumusan-rumusan hukum yang berlaku. Kewajiban-kewajiban ini menyangkut pedoman kejujuran dalam reklame, mutu produk, keadaan kerja yang aman. Hukum menjadi kekuatan moral dalam dunia bisnis. Sangat perlu diperhatikan pembakuan perilaku dalam dunia bisnis yang sesuai dengan tuntutan hukum dan seiring dengan norma moral.
Ketiga, pembicaraan tentang etika bisnis bertitik tolak dari kewajiban-kewajiban moral umum. Moralitas harus dimasukkan sebagai sebuah faktor di luar motivasi pencarian untung dan hukum. Perilaku etis berada di atas ketentuan hukum (Gene Laczniak, “Business Ethics: A Manager’s Primer,” 1983). Dalam hal ini terdapat prinsip moral yang diajukan sebagai berikut:
1.     Harm principle: bisnis seharusnya menghindari bahaya-bahaya yang tak direncanakan;
2.     Fairness principle: bisnis seharusnya jujur dalam praktek
3.     Human rights: bisnis seharusnya menghargai hak-hak asasi
4.     Autonomy: bisnis seharusnya tidak membatasi hak pilih si pembeli
5.     Veracity: bisnis seharusnya tidak menipu dalam praktek.[10]
Di samping sebagai sebuah disiplin ilmu, harus digarisbawahi bahwa diskursus tentang etika bisnis selalu menyatu dengan sistem nilai yang tertuang dalam norma-norma perilaku manusia, seperti jujur, apa adanya, tanggung jawab. Sistem nilai dalam bentuk norma ini mengatur perilaku sekelompok manusia khususnya yang berprofesi yang sama. Konsensus dari kalangan pebisnis dapat membangun sikap saling percaya kalau suatu bisnis sungguh dibangun berdasarkan sikap jujur dan bertanggung jawab. Pertautan etika dan bisnis belakangan ini terasa semakin disadari oleh mereka yang langsung terjun dalam bidang bisnis.
          Dewasa ini orientasi bisnis sudah mulai berubah arah. Sebelumnya, dalam masyarakat tradisional diterapkan sebuah sistem bisnis yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal, namun sekarang semua orang yang terlibat dalam bisnis sebuah perusahaan ikut bertanggung jawab dan menikmati keuntungan melalui bisnis yang dijalankan. Munculnya stakeholder approach dalam dunia bisnis tak terhindarkan sedikitpun. Siapapun yang berkepentingan dengan perusahaan, misalnya pemerintah, pemilik, pegawai, masyarakat dan konsumen ikut menentukan gerak dan masa depan sebuah bisnis. Dunia bisnis perlu memerhatikan lebih banyak kepentingan seputar kegiatan bisnisnya. Sebuah keuntungan yang diraih melalui jalan-jalan penipuan hanya merupakan sebuah bom waktu yang dapat sewaktu-waktu meledakkan dunia bisnis yang sedang dirintis. Dus, etika bisnis mengandaikan good will dari perusahaan yang digerakkan.

6. Mengapa perlu beretika bisnis?
Mengapa dewasa ini etika bisnis dirasa semakin penting? Banyak pihak menyadari bahwa kejujuran dan tindakan yang bertanggung jawab dalam dunia bisnis memang penting. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa latar belakang tentang pentingnya peran etika dalam dunia bisnis. Setelah menganalisis keadaan bisnis di beberapa Negara (Amerika Serikat, Jepang dan Eropah), Raphael Gomez, mengemukakan lima makna etika bisnis dewasa ini:
1.     Kesadaran akan kesetia-kawanan dan kesadaran bahwa tindakan-tindakan jahat akan merugikan pihak lain;
2.     Kesadaran akan pentingnya orang lain, atau memikir ulang pepatah “Jangan lakukan pada orang lain apa yang tidak kau senangi mereka perbuat padamu.”;
3.     Takut akan pengaruh-pengaruh tidak sehat terhadap nama perusahaan, kehilangan rasa hormat dan citra perusahaan;
4.     Takut akan sanksi-sanksi hukum, yang selalu disertai dengan denda dalam bentuk duit;
5.     Kalau-kalau perusahaan jadi bangkrut.
Etika bisnis akan manjadi sebuah bahan pembicaraan hampa . belaka, kalau hanya menimbang makna dalam butir satu sampai dengan tiga. Bahkan makna dalam butir empat dan lima pun acapkali tidak meyakinkan kita bahwa etika bisnis adalah suatu kebutuhan.
Menumbuhkan sikap saling percaya antara pebisnis dan konsumen memang tidak semudah yang dibayangkan. Sangat sulit memercayai mereka yang langsung terjun dalam dunia bisnis. Seseorang yang menjalankan bisnis dengan jujur merupakan sebuah tuntutan bagi mereka yang ingin berbisnis dengan aman dan sesuai dengan keadaan kebudayaan tertentu. Mungkin bagi sejumlah pebisnis, istilah “perilaku etis” (“ethical attitudes”) menunjuk pada konstruksi kedua dan teoretis. Malah telah muncul pandangan bahwa “pemikiran etis” hanya berada pada lapisan teoretis dan semua orang memiliki jenis pikiran itu.[11]

7. Tanggung jawab etis
7.1.         Kemelut bisnis
Berbisnis dalam dunia modern menuntut tanggung jawab yang tidak kecil. Cukup banyak pembeli kecewa dengan promosi-promosi atau iklan produk yang disosialisasi karena tidak sesuai dengan kenyataan. Ini menunjukkan adanya pembohongan publik antara pihak yang memromosikan dan produk yang dipromosikan. Ketidak-benaran dalam sebuah iklan akan mengecewakan konsumen produk tersebut.
Malah, belakangan ini muncul kritik besar-besaran terhadap makanan atau minuman yang mengandung zat pengawet yang merusak kesehatan manusia, seperti melamin, formalin dalam tepung susu, makanan atau minuman. Makanan yang sudah kadaluarsa acapkali masih dipasarkan. Mutu barang yang ditawarkan tidak sesuai kenyataan. Kemasan barang tidak sesuai dengan isinya. Malah, daging berulat masih diperdagangkan dalam memeriahkan hari raya tertentu. Tampak, sejumlah pelaku bisnis masih belum memiliki kesadaran akan pentingnya jaminan kesehatan dalam memasarkan produk tertentu.
Keadaan tersebut bisa muncul sebagai akibat kelalaian badan pemeriksaan makanan atau minuman sebelum dipasarkan. Setiap jenis makanan yang sudah dikalengkan atau dibungkus seharusnya diperiksa dulu oleh pihak pemerintah supaya tidak menimbulkan dampak samping yang merugikan atau menghancurkan kesehatan manusia. Ketidak-tegasan pihak pemerintah membuka peluang bagi usahawan untuk tidak serius memerhatikan mutu produk yang mereka pasarkan.
Akibatnya, anak-anak yang meneguk susu berformalin jatuh sakit. Makanan yang tidak segar atau malah sudah beracun mengantar manusia ke rumah sakit. Terkadang ada nyawa yang terenggut setelah menikmati makanan kadaluarsa atau mengandung zat yang merusak kesehatan manusia. Akibat lain yang memilukan adalah munculnya penyakit-penyakit yang mengganggu masa depan konsumen.
Keadaan ini menunjukkan bahwa dunia bisnis menuntut tanggung jawab setiap pelaku bisnis supaya konsumen tidak merasa dirugikan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab dalam menjalankan dunia bisnis. Hak seorang konsumen seharusnya terpenuhi dan seorang pebisnis tidak mengalami kerugian dalam usahanya. Keseimbangan hak produksen dan konsumen perlu mendapat perhatian, sehingga tidak menimbulkan ketidak-adilan dalam dunia pasar.

7.2.         Kebebasan
Salah satu unsur yang membedakan manusia dari hewan adalah kemampuan manusia untuk memilih dan memutuskan dengan sadar. Kesadaran ini menyentuh keadaan sekarang dan lingkungan sekitarnya. Keadaan sekarang dipertimbangkan dengan matang sambil memikirkan dampak samping sebuah keputusan. Sementara itu, manusia menganggap bahwa makhluk hidup lain tidak memiliki kesadaran dalam pengambilan keputusan. Namun, tampaknya, makhluk hidup lain, seperti anjing, kucing, babi dan monyet memiliki kesadaran akan keadaan di sekitarnya. Bila pernah diperlakukan dengan kasar, biasanya makhluk hidup itu (anjing, kucing, babi dan monyet) akan ingat dan berusaha menghindar sebelum berjumpa dengan orang yang pernah bertindak keras terhadapnya.[12]
Perlu disadari bahwa manusia tidak memiliki kebebasan mutlak atau kebebasan sesuka hati. Kebebasan manusia pada dasarnya bersifat relatif dan terkait dengan keadaan di sekitarnya. Setiap orang memiliki sasaran dan tujuan dalam hidupnya. Tidak ada seorangpun yang sungguh-sungguh bebas. Diri manusia dan lingkungan sekitarnya membatasi kebebasan manusia. Dengan langgam bahasa filsafat, manusia bebas dari keadaan (situasi) tertentu untuk berada di tempat tertentu dan melakukan pekerjaan tertentu. Berada dalam situasi tertentu dan melaksanakan pekerjaan tertentu menunjukkan bahwa manusia tidak bisa sebebas yang diinginkan.
Kebebasan manusia adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Apapun yang dikatakan dan dilakukan perlu dipertanggung-jawabkan di hadapan sesama dan Sang Pencipta. Pertanggung-jawaban atas perbuatan ini mengingatkan manusia supaya sebelum berencana, berpikir, berbicara dan melakukan sesuatu, manusia perlu menimbangnya secara matang supaya tidak menimbulkan dampak yang merugikan di hari depan. Dalam menimbang ini, pendapat atau masukan dari pihak lain yang lebih berpengalaman (orang tua, famili, guru, teman kerja, pemimpin perusahaan) akan menolong seseorang untuk mengambil keputusan yang benar dan tepat.
                  
7.3. Tanggung jawab moral
Setiap manusia pada dasarnya dikaruniai akal budi (reason), hati nurani (conscience) dan kehendak (will). Ketiga unsur penting ini memengaruhi hidup, usaha dan kerja manusia. Sebelum melakukan setiap perbuatan, biasanya manusia menimbang dulu pengaruh atau akibat perbuatan itu. Pertimbangan tentang akibat atau dampak perbuatan itulah yang menyadarkan manusia akan tanggung jawabnya atas perbuatan yang direncanakan atau dipikirkan.
Dalam artian sempit, seseorang hanya bertanggung jawab atas apa saja yang direncanakan dan dilakukannya, dan bukan atas apa yang datang kemudian. Yang dipertanggung-jawabkan adalah apa yang dirancang dan dilakukan seseorang dan bukan apa yang terkait dengan perbuatannya. Belum pasti apa yang terjadi kemudian adalah akibat perbuatannya. Dari pandangan ini tampak sekurang-kurangnya dua gambaran positif: (1) perilaku manusia mengandung pelbagai aspek yang dapat dikontrol manusia; (2) bahaya atau kerugian dalam tindakan bukan akibat perbuatan satu orang, namun melibatkan pihak-pihak lain atau berada dalam sebuah konteks perbuatan yang rumit.[13]
Namun, tanggung jawab memiliki makna lebih luas. Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas apa yang direncanakan dan dilakukannya, namun dia juga bertanggung jawab atas apa peristiwa-peristiwa lanjutan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Seseorang yang bertindak dengan kemauan dan kesadaran umumnya telah mengetahui dampak perbuatan yang akan dilakukannya. Orang-orang tertentu dengan latar belakang kebudayaan tertentu umumnya telah mengetahui dampak perbuatan yang bakal dilakukannya.
Tanggung jawab manusia selalu berdimensi sosial karena setiap perbuatan manusia berdimensi sosial. Tindakan manusia pada umumnya terkait dengan pihak lain atau pelbagai pihak dan akibatnya acapkali mengenai diri si pelaku atau pihak lain. Akibatnya, setiap perbuatan manusia perlu dipertimbangkan dengan pandangan konsekuensialisme. Setiap keputusan dan tindakan manusia memiliki (rentetan) konsekuensi yang harus dipertimbangkan dengan matang.

7.4.         Tanggung jawab dalam dunia bisnis
Dalam dunia bisnis, sebuah perusahaan sekurang-kurangnya terkait dengan tanggung dalam tiga bidang:
(1) peduli konsumen (memenuhi tuntutan konsumen dan keamanan produk);
(2) peduli lingkungan (tidak menimbulkan kerusakan lingkungan)
(3) peduli kondisi kerja yang minimal (memerhatikan kesejahteraan karyawan)
Komitmen moral untuk mencegah atau menghindari akibat dalam dunia bisnis memang penting. Sebuah usaha etis partisipatori diperlukan. Dengan melibatkan diri dalam mencegah kerusakan pribadi dan lingkungan, sebuah perusahaan akan merebut sebuah posisi penting dalam persaingan pasar dewasa ini. Sebuah jalinan kerja sama dengan pihak-pihak pemegang kuasa dalam masyarakat diperlukan untuk mewujudkan penyelamatan lingkungan hidup. Kesadaran ini dapat menolong pelaku bisnis untuk menyusun langkah-langkah kebijakan demi keuntungan semua pihak yang terkait dalam dunia bisnis.
Tanggung jawab dalam bidang bisnis berusaha meningkatkan mutu kegiatan bisnis. Akibat-akibat katastrofik sebagai dampak tindakan immoral manusia perlu diperhitungkan dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini etika bisnis berani mendorong para pebisnis untuk menyatakan komitmen perusahaan dalam menanggapi tuntutan-tuntutan moral dalam kegiatan bisnis. Ini berarti perusahaan-perusahaan perlu memiliki kesadaran akan tanggung jawab dalam menjalankan bisnis mereka.[14] 
          Terdapat dua paham tentang tanggung jawab moral dalam dunia bisnis. (1) Pandangan individualis dan (2) Pandangan kolektivis. Pandangan individualis menekankan bahwa hanya individu yang bertanggung jawab dan bahwa perusahaan tidak pernah bisa bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Filsafat individualis berpandangan bahwa hanya pribadi sebagai individu bisa menjadi pelaku moral (moral agent); itulah sebabnya perusahaan secara moral tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Semua keputusan moral perusahaan diambil oleh individu-individu dan bukan oleh perusahaan. Manejer-manejer individual juga bertanggung jawab apabila mereka dengan tahu dan mau terlibat dalam kebijakan-kebijakan yang berbahaya dan immoral.
          Pandangan kolektivis: posisi ekstrim lain hanya memandang tokoh-tokoh kolektif perusahaan, menekankan moralitas tujuan, strategi, prosedur dan kontrol moralitas. Mereka menolak untuk melihat bagaimana seluruh organisasi didukung oleh manusia-manusia, individu-individu yang sanggup mengambil keputusan bagi mereka sendiri dan bagaimana mereka sanggup memenuhi tuntutan-tuntutan yang mereka perlukan. Perusahaan bukan hanya kumpulan sejumlah bagian. Organisasi-organisasi kolektif selalu berada karena manusia mau dan sanggup membantu untuk mencapai tujuan-tujuan secara kolektif. Bagaimanapun, tanggung jawab moral tetap dipikul oleh sebuah perusahaan walaupun kesalahan dilakukan oleh individu-individu dalam perusahaan.
          Bagaimanakah posisi “moral corporate excellence” (“keunggulan moral perusahaan”)? W.M. Hoffman menitikberatkan pentingnya dimensi keunggulan moral sebuah perusahaan terletak pada kodrat kebudayaan moral perusahaan. Tujuan-tujuan, struktur dan strategi etis adalah untuk membentuk sebuah kerangka konseptual dan operasional untuk pengambilan keputusan moral. Titik pandang moral mendapat perhatian utama dan dunia bisnis seharusnya tidak berada di luar kerangka pola pandang ini. Dalam hal ini, setiap individu tetap bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tentu, tanggung jawab sebuah perusahaan pun tidak bisa disingkirkan begitu saja. Baik individu maupun perusahaan tetap bertanggung jawab dalam proses berbisnis.[15]

7.5.         Tanggung jawab (pendekatan Barat dan Timur)
Hingga sekarang, orang-orang Korea (Selatan) misalnya, masih menekankan peran tanggung jawab kolektif (kebersamaaan) dalam menghadapi masalah yang muncul. Tanggung jawab bersifat kolektif karena berdasarkan hubungan dalam keluarga, ayah, ibu dan seluruh keluarga. Rasa tanggung jawab bersama ini masih hidup di kalangan keluarga orang Korea yang menjalankan bisnis. Cara dan pandangan hidup ini berbeda dari pendekatan Barat yang menekankan tanggung jawab individual. Tak heran kalau dalam sebuah perusahaan diperlukan satu, dua atau beberapa orang yang memiliki otoritas atau kesanggupan untuk mengambil keputusan.
Namun, belakangan ini, dalam banyak perusahaan, tanggung jawab individual mulai mendapat perhatian. Tidak semua orang yang terlibat dalam cabang bisnis yang sama akan merasa bertanggung jawab atas apa yang sedang terjadi. Generasi muda orang Korea mulai mengubah paradigma berpikir mereka bahwa tanggung jawab individual atau personal, baik dalam keluarga maupun perusahaan, mendapat titik berat. Tampaknya peralihan dari tanggung jawab kolektif kepada tanggung jawab individual akan menyedot waktu hingga beberapa generasi.[16]
Harus diakui, bahwa dalam pandangan tentang etiket bisnis, masyarakat Tiongkok juga lebih menekankan tanggung jawab dalam kebersamaan (kolektif) dan bukan hanya tanggung jawab individual. Tempo dulu hidup dalam kebersamaan merupakan sebuah ciri khas masyarakat Tiongkok, namun dalam masyarakat modern, kehidupan berkeluarga tidak memiliki keanggotaan yang banyak. Seluruh proses kelompok dalam masyarakt di Tiongkok tidak hanya tergantung pada satu atau dua pemimpin, melainkan justru terletak pada konsensus. Masalah-masalah yang muncul didiskusikan dulu sebelum mencapai kesepakatan bersama. Jika sebuah keputusan diambil, diharapkan seluruh anggota kelompok akan memegang dan mewujudkan konsensus itu. Kesepakatan bersama ditaati dan dipenuhi. Keinginan atau kehendak individual tunduk di bawah keputusan dan kesepakatan bersama.
Sekalipun masyarakat Tiongkok selalu siap memenuhi tanggung jawab dalam sistem kelompok, namun sebagai sebuah ketentuan banyak dari antara mereka merasa tidak bertanggung jawab terhadap orang luar atau tamu-tamu. Tak heran, keramah-tamahan acapkali tidak dirasakan ketika mereka berhadapan dengan orang dari luar. Acapkali mereka bersikap acuh tak acuh satu terhadap yang lain. Bagaimanakah seharusnya memerlakukan orang-orang asing merupakan sebuah pertanyaan yang masih perlu dijawab oleh orang-orang Tiongkok.[17]



8.     Etika bisnis di Indonesia
Sebagai sebuah disiplin normatif, harus diakui bahwa dalam perkembangan terkini etika bisnis mulai mendapat tempat di kalangan pebisnis. Aturan-aturan pemerintah sipil dalam bidang bisnis (misalnya, Pasal 33 UUD 1945, UU Perburuhan No. 4/1982 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Depkes No. 193/1971 tentang perlindungan konsumen) mendorong para pebisnis untuk menegakkan nilai-nilai dasar dalam praksis bisnis sehari-hari. Norma etis penting karena akan mengatur lalu-lintas dunia bisnis berdasarkan nilai-nilai dasar tersebut.
Penerapan etika bisnis di tanah air bukan tanpa halangan. Peran mentalitas pebisnis hendaknya berani mendobrak semua jalan atau cara untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengabaikan peran etika bisnis. Kecenderungan manusia untuk membohong, menipu dan tidak menepati janji yang sudah disepakati perlu disadari dan diatasi dalam sebuah proses perbaikan mekanisme kerja yang jujur, bertanggung jawab dan disiplin dari waktu ke waktu. Kecenderungan sosial untuk meminggirkan dan menekan kaum kecil dalam hidup sosial perlu selalu diobati dengan sebuah kecenderungan baru untuk menerapkan nilai dasar keadilan di tengah-tengah masyarakat majemuk.
Reformasi mentalitas dan mekanisme kerja dalam dunia bisnis mutlak diterapkan menurut ketentuan hukum positif dan norma etis yang berlaku dalam era modern. Persaingan bisnis semakin ketat dari waktu ke waktu. De facto, belum semua pihak (stakeholders) siap menerima reformasi dalam bingkai penerapan etika bisnis. Kedisiplinan waktu, penepatan janji, penjaminan mutu barang, kerja sama dalam kejujuran, transparansi, tanggung jawab dan perbaikan mekanisme kerja masih merupakan wujud tantangan yang harus dihadapi di hari-hari mendatang.
Sekalipun demikian, proses internalisasi dan sosialisasi etika bisnis harus berjalan terus. Kendati selokan berkelok-kelok, air harus terus mengalir. Etika bisnis dapat diibaratkan dengan “air” yang membersihkan, memberi hidup dan menyelamatkan dunia bisnis. Air ini diperlukan oleh setiap manusia untuk melancarkan arus bisnis, membersihkan kotoran (pembohongan, penipuan dan pengingkaran janji) dalam dunia bisnis dan membangkitkanbenih-benih kematian dalam dunia bisnis. Akan menjadi malapetaka besar bagi dunia bisnis di Indonesia kalau tidak menerapkan etika bisnis yang terasa semakin dituntut oleh dunia. Masalah mendasar yang perlu dipikirkan oleh stakeholders adalah bagaimanakah menjadikan etika bisnis sebagai bagian dari hidup yang menjiwai para pebisnis di tanah air? 

*)Alumnus Universitas Gregoriana dan Lateran, Roma, Italia,
pengampu kuliah Etika Bisnis di STIE Widya Dharma, Pontianak.


Kepustakaan

Kamus
Hare, R.M. “Ethics” in A New Dictionary of Christian Ethics. Ed. John Macquarrie and James Childress. London: SCM Press Ltd., 1992.

Buku
Chang, William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Chang, William. The Dignity of the Human Person in Pancasila and the Church Social Doctrine: En Ethical Comparative Study. Quezon City: Claretian Publications, 1997
De Mente, Boyé Lafayette. Korean Business Etiquette: The Cultural Values and Attidudes That Make Up the Korean Business Personality. Boston, Rutland, Vermont, Tokyo: Tuttle Publishing, 2004.
Gomez, Raphael. What’s Right and Wrong in Business? A Primer on     Business Ethics. Manila: Sinag-Taa Publishers, 2002.
Pratley, Peter. The Essence of Business Ethics. London: Prentice Hall, 1995.
Seligman, Scott D. Chinese Business Etiquette: A Guide to Protocol, Manners, and Culture in the People’s Republic of China. New York, Boston: Business Plus, 1999.
Vidal, M. L’atteggiamento morale 1: morale fondamentale. Assisi: Cittadella editrice, 1990.

Artikel
12ollin 12ush, Business ethics – explanation of definition.
Fieser, James. “Business Ethics”, http://www.utm.edu/staff/jfieser/vita/ research/busbook.htm.
Lewis, Phillip V. “Defining ‘business ethics’: Like nailing jello to a wall”.


[1]M. Vidal, L’atteggiamento morale 1: morale fondamentale (Assisi: Cittadella editrice, 1990), 3.
[2]R.M. Hare, “Ethics”, A New Dictionary of Christian Ethics (Ed. John Macquarrie and James Childress) (London: SCM Press Ltd., 1992), 206-208.
[3]Peter Pratley, The Essence of Business Ethics (London: Prentice Hall, 1995), 8-10.
[4]Raphael Gomez, What’s Right and Wrong in Business? A Primer on Business Ethics (Manila: Sinag-Taa Publishers, 2002), 5.
[5]Bdk. Dr. William Chang, OFMCap, The Dignity of the Human Person in Pancasila and the Church’s Social Doctrine: An Ethical Comparative Study (Quezon City: Claretion Publications, 1997), 227-234.

[6]Dr. William Chang, OFMCap, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 47-72. 

[7]12ollin 12ush, Business ethics – explanation of definition, 1.
[8]Phillip V. Lewis, “Defining ‘business ethics’: Like nailing jello to a wall”.
[9]12ollin 12ush, op. cit., 2.
[10]James Fieser, “Business Ethics”,http://www.utm.edu/staff/jfieser/vita/research/ busbook.htm.
[11]Raphael Gomez, What’s Right and Wrong in Business: A Premier on Business Ethics (Trans. Sinag-Tala Publishers) (Manila: Sinag-Tala Publishers, 2002), 30-32.
[12]Peter Pratley, The Essence of Business Ethics, 63.
[13]Pratley, Op. cit., 74.
[14]Bdk. Pratley, The Essence of Business Ethics, 79-80.
[15]Pratley, The Essence of Business Ethics, 80-83.
[16]Boyé Lafayette De Mente, Korean Business Etiquette: The Cultural Values and Attidudes That Make Up the Korean Business Personality (Boston, Rutland, Vermont, Tokyo: Tuttle Publishing, 2004), 79-80.
[17]Scott D. Seligman, Chinese Business Etiquette: A Guide to Protocol, Manners, and Culture in the People’s Republic of China (New York, Boston: Business Plus, 1999), 44-47.