Tuesday, January 19, 2010

St. Fransiskus Assisi, Pelindung Pelestari Lingkungan



Di tengah kegalauan penduduk bumi menghadapi aneka bencana alam akibat kerusakan lingkungan, menarik kiranya menonjolkan kembali figur agung St. Fransiskus Assisi. Santo pelindung lingkungan hidup ini mempunyai sejuta pengalaman rohani dengan alam yang tak habis-habisnya menginspirasi manusia sesudahnya. Di era kita, hampir delapan abad setelah kematian sang poverello, cara pandang dan perlakuan sang santo terhadap alam masih bergaung keras di hati para pemerhati lingkungan. Sungguh amat tepat, pada 29 September 1996, Paus Yohanes Paulus II mengukuhkannya sebagai pelindung ekologi.

Manusia dan Alam
Pada zaman dahulu kala, tatkala mitos masih menguasai manusia, alam dilihat sebagai kekuatan yang pantang diganggu-gugat. Manusia meyakini ada semacam dewa pemilik sungai dan hutan. Manusia takut melakukan hal yang dianggap dapat mengusik ketenangan dewa-dewa. Ketika akal sehat mendominasi, terjadilah demitologisasi. Manusia meninggalkan mitos dan beralih ke rasio. Peranan manusia beralih dari pihak yang tunduk dan hormat terhadap alam menjadi penguasa dan raja semesta alam. Alam diperlakukan sebagai obyek yang dapat dieksploitasi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Solidaritas terhadap alam terkikis hingga manusia sendiri lupa atau tidak sadar lagi bahwa alam merupakan bagian besar dari dirinya dan sebaliknya. Manusia sama sekali tidak sadar bahwa merusak alam tidak berbeda dengan merusak hidup manusia sendiri. Akibat dari perilaku ini amat jelas dalam era kita. Hutan rusak, sungai tercemar, udara kotor dan berbau, dan banjir di mana-mana. Semua itu merupakan bukti bahwa manusia dan alam terkait erat. Merusak alam sama dengan merusak diri sendiri.

Fransiskus dan Alam
Dalam cara pandang dan perlakuan Fransiskus terhadap alam, kita menemukan perspektif yang unik. Berhadapan dengan alam, Fransiskus tidak takut seolah-olah dalam alam tersembunyi dewa-dewa penunggu. Ia jauh dari mitos dan takhyul orang zaman dulu. Namun ia juga tidak semena-mena terhadap alam atau memandang alam sebagai obyek yang lepas dari diri manusia sehingga bisa dan harus dikuasai. Melampaui kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari alam, Fransiskus menyelam lebih dalam hingga melihat alam sebagai jejak kaki Sang Pencipta. Sedemikian kuat kesadaran itu sehingga Fransiskus menyebut matahari, bulan, angin, air, udara, api, dan segala ciptaan sebagai saudara dan saudarinya. Di hadapan Sang Pencipta, Fransiskus melihat segenap ciptaan setara dengan dirinya yang selayaknya dihormati. Menarik untut dicatat, visi ini justru terangkat ketika dunia Barat menyambut alam pikir rasionalisme di ambang zaman Renaissance; permulaan abad modern yang mengagungkan logos (rasio) di atas mitos. Kala itu manusia mulai melihat alam sebagai obyek yang harus dikuasai dan dieksploitasi. Hal ini menunjukkan betapa sosok Fransiskus merupakan figur yang tidak suka ikut arus zaman begitu saja.

Seruan Bagi Manusia Modern
Sikap Fransiskus terhadap alam sepatutnya digaungkan kembali dalam benak kita. Isu global warming memperlihatkan kepanikan manusia modern atas alam yang telah rusak karena kerakusan manusia. Kita manusia modern cenderung memandang alam seperti seorang ilmuwan yang hanya tertarik pada gejala dan hukum pasti. Atau sebagai seniman yang terpesona. Yang lain berlaku sebagai peguasa alam yang memperlakukannya sebagai obyek sumber devisa. Manusia modern jauh dari kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari alam sehingga alam merupakan “rumah” yang harus dipelihara. Solidaritas dengan alam bukanlah hal luar biasa, melainkan hal sepatutnya. Sebab melestarikan alam berarti melestarikan hidup manusia sendiri. Sebaliknya, perusakan alam tidak lain merupakan pemusnahan riwayat manusia.

Kenangan akan figur Fransiskus di era modern ini selayaknya menyerukan kembali kesadaran ini. Dengan itu barulah kita dapat, bersama Fransiskus, menyebut matahari, bulan, udara, air, dan sekalian makhluk sebagai saudara dan saudari.


Lianto

Pastor Dr. Samuel Oton Sidin: Bentara Ekologi Rumah Pelangi



Pastor Samuel Oton Sidin, OFM. Cap. lahir di Peranuk, Bengkayang, 12 Desember 1954. Pada tahun 1984, ia ditahbiskan menjadi imam dari Ordo Kapusin. Setahun kemudian, ia berangkat ke Roma, Italia, untuk menempuh pendidikan doktorat di bidang spiritualitas fransiskan. Pada tahun 1990, pendidikan doctorat dari Antonianum, Roma, diselesaikan dengan disertasi berjudul: The Role of Creatures in Saint Francis’ Praising of God. Pakar fransiskanologi ini terlibat lama dalam bidang pendidikan calon imam Kapusin di Parapat dan Pematangsiantar, Sumatera Utara. Lianto dari Duta sempat berdialog dengan Pastor Samuel Oton Sidin (SOS), pendekar ekologi dari Gunung Benuah. Berikut petikan pembicaraannya.

Duta: Pater, sejatinya, gagasan apa yang ada di balik Rumah Pelangi (RP)?

SOS: Keberadaan RP tidak terlepas dari upaya untuk ikut secara nyata melestarikan lingkungan hidup. Ada banyak dasar untuk melakukan hal tersebut. Pertama, sebagai bagian dari kemanusiaan atau masyarakat manusia, bumi adalah satu-satunya tempat tinggal manusia. Siapa pun dia, punya tanggung jawab untuk memelihara “rumah” tempat tinggalnya ini. Kedua, sebagai orang beriman, kita menerima warta Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Kejadian 21:8; Allah memberi “kuasa” kepada manusia atas segala makhluk. Dalam perintah itu terkandung suatu tanggung jawab pemanfaatan, pengelolaan, dan pelestarian alam seturut kehendak Allah. Selanjutnya, dalam kaitan dengan penebusan [Perjanjian Baru], manusia beserta seluruh alam ditebus: menjadi manusia dan alam baru. Seharusnya dengan itu, manusia dengan “rumah”-nya kembali pada posisi dan kondisi firdausi di mana mereka hidup dalam harmoni. Ketiga, sebagai fransiskan, kami mengikuti spiritualitas St. Fransiskus dari Assisi. Semua fransiskan dipanggil mencintai dan menyayangi alam. Bumi dengan segala isinya adalah buah karya Allah. Hormat dan cinta akan Allah tercermin dalam hormat dan cinta akan hasil karya-Nya. Keempat, coba simak kehidupan aktual kita. Kita berada pada saat bumi mengalami pemanasan global akibat pelbagai ulah manusia. Pada kenyataannya, bumi, rumah kita telah rusak. Sekecil apa pun upaya perbaikan dan pemeliharaan yang kita lakukan, sudah punya arti. Karya riil memang lebih bernilai daripada hanya wacana. Nah, dengan RP, diharapkan kapusin bisa tinggal menyatu dengan alam dalam upaya mewujudnyatakan hal-hal yang saya sebutkan tadi.

Duta: Konkritnya, bagaimana gagasan itu direalisasikan di RP?

SOS: Pertama, kita tinggal dalam hutan. Kedua, kita melindungi hutan yang masih ada. Ketiga, kita menanam pohon-pohon, terutama pohon buah-buahan dan pohon-pohon khas Kalimantan agar pelbagai jenisnya dapat dilestarikan. Keempat, kita mendirikan pusat pendidikan ekologis. Di RP, kita punya gedung pertemuan sederhana. Ada camping ground, tempat orang dengan leluasa menyatu dengan alam. Kita juga buat program pendidikan informal melalui rekoleksi, konferensi singkat, atau retret ekologis. Kelima, kelak kita akan menjadikan RP sebagai tempat wisata rohani dan ekologis.

Duta: Pater, apa reaksi atau respon masyarakat sekitar atas apa yang Pater lakukan di RP?

SOS: Masyarakat setempat masih sederhana. Pemahaman akan ekologi juga terbatas. Sebagian mendukung dan ambil bagian aktif melestarikan alam, sebagian lagi acuh tak acuh.

Duta: Lalu bagaimana dengan Pemda setempat? Apakah mereka pernah memberikan sokongan dana?

SOS: [Pastor Samuel terdiam sejenak, seraya melempar pandangan mata kosong dan dahi berkerut, dia menjawab pertanyaan Duta] Pemprov telah menyatakan dukungannya melalui Dinas Kehutanan dengan memberikan piagam penghargaan. Sejauh ini, kita baru mendapat bantuan “moril”. Dukungan finansial tidak ada. Kita harap lebih dari itu. Pemkab belum ada reaksi apa-apa. Mereka tidak proaktif mendukung. Mungkin karena mereka tidak tahu keberadaan kita.

Duta: Selama melakukan konservasi, apa saja kesulitan dan tantangan yang dihadapi RP?

SOS: Pertama, berhadapan dengan para penebang pohon: pohon-pohon di lahan kita pernah ditebang oleh orang luar. Kita coba mendatangi yang bersangkutan dan memberikan pemahaman agar tidak meneruskan kegiatannya di lahan kita. Di luar lahan kita, penebangan jalan terus, termasuk pengambilan cerucuk. Kedua, kesulitan keuangan. Kita tidak mendapat bantuan finansial dari mana pun. Namun kita coba jalan terus semampunya. Ketiga, sikap acuh tak acuh masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum menangkap makna pelestarian lingkungan hidup. Hal itu terbukti dari penebangan yang tiada hentinya, termasuk penjualan tanah, eksploitasi tambang yang merusak alam, pembukaan lahan hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit yang merambah hutan resapan air. Keempat, sikap yang kurang proaktif dari pemerintah, baik propinsi maupun kabupaten. Kami rasanya berjalan sendiri saja [tatapannya menerawang jauh ke hamparan “saudara-saudari” pepohonannya].

Duta: Mengapa diberi nama “Rumah Pelangi”?

SOS: Kata kunci “pelangi” diambil dari kisah Nabi Nuh. Setelah 40 hari 40 malam banjir raya menimpa manusia, muncul pelangi di cakrawala. Pelangi adalah tanda perdamaian dan harmoni dengan semua; Allah dan ciptaan-Nya, antara langit dan bumi dan dengan sekalian makhluk. Dengan memakai “pelangi” sebagai nama, kita berharap, rumah ini menjadi penebar harmoni. Setiap orang yang datang, datang dengan damai dan mau mengupayakan damai dengan semua. Dari rumah ini, kiranya muncul “pelangi” damai. Kita harap, simbol ini bisa menjadi kenyataan.

Rumah Pelangi: Berdamai dengan Alam



Rumah Pelangi adalah sebuah kawasan konservasi hutan dan lahan seluas 90 hektar di Dusun Gunung Benuah, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kawasan ini berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Pontianak ke arah Tayan. Rumah pelangi dirintis oleh Pastor Samuel Oton Sidin, OFM Cap. pada tahun 2003. Kendati luas konservasi sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan kritis yang ada, apa yang dilakukan Rumah Pelangi merupakan seruan etis kepada khalayak ramai untuk memulai suatu habitus (paradigma) baru yang lebih bersahabat dan ramah terhadap alam. Selama ini wacana pelestarian lingkungan hanya tinggal wacana lip service tanpa tindakan nyata. Pelbagai seminar tentang “Global Warming” terselenggara tanpa tindak lanjut yang jelas. Dengan prinsip “mulai dari diri sendiri”, Pastor Samuel merealisasi kecintaan dan hormatnya terhadap alam melalui proyek Rumah Pelangi. Action Rumah Pelangi yang “kecil” lebih bernilai daripada pelbagai gagasan dan statement ekologis yang hanya tinggal jargon semata. “Magnum in parvo”: bernilai besar dalam hal-hal kecil. Itulah yang dilakukan Rumah Pelangi.

Pastor Samuel Oton Sidin adalah seorang pastor biarawan dari Ordo Kapusin; doktor fransiskanologi dari Universitas Antonianum, Roma – Italia. Kiprahnya dalam pelestarian alam merupakan salah satu wujud penghayatan teladan hidup Fransiskus dari Assisi (pendiri ordo fransiskan) yang terkenal sebagai pelindung ekologi. Setelah menunaikan tugas sebagai minister propinsial Ordo Kapusin Pontianak selama dua periode (1997-2003), Pastor Samuel mengabdikan hidupnya untuk upaya konservasi alam di Rumah Pelangi. Pada waktu pemilihan minister propinsial Kapusin pada tahun 2009, ia terpilih kembali untuk memimpin Propinsi Kapusin Pontianak periode 2009-2012.

Ketika Pastor Samuel membeli kawasan yang akan dijadikan Rumah Pelangi di hamparan seluas 70 hektar pada tahun 2000, sebagian besar lahan di perbukitan dan rawa-rawa itu merupakan lahan yang rusak. Sisi utara dan selatan area tersebut banyak yang terbakar, sementara di sebelah barat nyaris tanpa pohon karena sudah ditebang. Keanekaragaman hayati sebagai kekayaan alam yang tersimpan di bumi khatulistiwa, turut lenyap dengan musnahnya hutan. Sedikit demi sedikit, kawasan yang rusak itu direhabilitasi. Secara bertahap, area lahan lain seluas 20 hektar juga dibeli sehingga kawasan konservasi bertambah luas.

Selain menjadi kawasan konservasi, Rumah Pelangi juga mengedukasi masyarakat tentang bagaimana mengolah lahan yang baik, mengembangkan bibit tanaman, dan mengembangkan usaha produktif dari bercocok tanam. Salah satu metode yang dikembangkan adalah membuat percontohan saluran irigasi dan sawah serta pelestarian mata air. Pastor Samuel membuat sebuah bendungan kecil untuk mengaliri sawah sekitar satu hektare. Selain menjadi sumber air Rumah Pelangi, bendungan itu juga turut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar.

Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam upaya penyadaran dan pembelajaran terhadap masyarakat sekitar, Pastor Samuel memakai prinsip inside-out. Kesadaran harus ditumbuhkan dari dalam. Ia mengampanyekan pelestarian alam bukan dengan menyalahkan atau melarang masyarakat sekitar yang kebanyakan menebang pohon demi asap dapur. Ia menggugah kesadaran dan rasa hormat terhadap alam melalui contoh teladan dan pendekatan persuasif.

Upaya konservasi Rumah Pelangi dilakukan dengan menanam kembali tanaman asli Kalimantan. Ratusan jenis tanaman buah dan pepohonan asli Kalimantan dikembangkan di kawasan itu. Dapat disebut antara lain pohon asam (18 jenis), bambu (15 jenis), pohon keras (14 jenis, misalnya belian, tapang, sengaon, gaharu), dan berbagai jenis buah-buahan seperti rambutan, mangga, langsat, jambu, nangka, dan durian. Sejumlah bunga juga ditemukan seperti pelbagai jenis anggrek dan kantung semar. Rumah Pelangi juga menangkar hewan landak yang makin langka.

Hal yang menarik untuk diketahui adalah Pastor Samuel memberi perhatian khusus untuk tanaman alam (hutan) yang tidak memberikan nilai ekonomis. Menurutnya, masyarakat cenderung memusnahkannya dan menggantikannya dengan tanaman yang laku di pasar. Pertimbangan masyarakat tentu bisa dimaklumi. Pastor Samuel justru melestarikannya agar generasi-generasi mendatang tidak hanya sekedar mendengar cerita, melainkan masih dapat melihatnya. Pelbagai tanaman langka itu antara lain mangga hutan, asam bawang, bacang, rambutan hutan, kandis, dan gandaria.

Pelangi: Simbol Harmoni dan Perdamaian
Nama “Rumah Pelangi” terinspirasi dari kisah Nabi Nuh dalam Kitab Suci. Setelah 40 hari 40 malam banjir raya menimpa manusia, muncul pelangi di cakrawala. Menurut Dr. Samuel, pelangi adalah tanda perdamaian dengan semua; damai dengan alam, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Ia berharap, kehadiran konservasi Rumah Pelangi bisa menjadi seruan bagi kita semua untuk mewujudkan perdamaian dengan alam seperti tersirat dalam simbol pelangi.


Lianto

Friday, January 8, 2010

Putusan Bebas Prita: Epikeia dalam Penegakan Hukum



Perjuangan Prita Mulyasari mencari keadilan selama 1,5 tahun akhirnya menuai hasil. Pada tanggal 29 Desember 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang, yang diketuai Arthur Hangewa, membebaskan Prita dari seluruh dakwaan jaksa umum. Hakim menyatakan, Prita tak terbukti melakukan pencemaran nama baik dua dokter RS. Omni International Alam Sutra melalui surat elektronik yang ia kirim ke berbagai pihak.

Banyak pihak bergembira menyambut putusan PN Tangerang ini. Masyarakat luas menganggap putusan bebas Prita merupakan kemenangan rasa keadilan yang telah diaspirasikan melalui situs jejaring sosial maupun pengumpulan koin. Sejumlah politisi dan pejabat pun tidak ingin ketinggalan berkomentar. Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai kebebasan Prita sebagai perwujudan aspirasi rakyat. Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informatika, menyambut positif putusan hakim seraya membuka peluang untuk meninjau kembali Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfuf MD pun mengaku gembira atas putusan kasus Prita. Menurutnya, dalam kasus Prita, yang harus diutamakan adalah nilai kebenaran dan keadilan.

Dalam pernyataan Mahfud MD tersirat suatu indikator yang seharusnya turut dipertimbangkan di samping rumusan kalimat yang tersurat dalam berbagai produk perundangan. Indikator itu disebutnya sebagai nilai kebenaran dan keadilan. Tak sedikit pun ada maksud Ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengecilkan peran hukum positif dalam menjunjung nilai kebenaran dan keadilan. Hanya saja, pada waktu menyusun rumusan hukum, bisa terjadi si perumus belum memiliki gambaran serba lengkap tentang kondisi-kondisi yang berhubungan dengan hukum itu. Ditemukan ketidaksempurnaan dan celah di sana-sini yang memungkinkan ketidaksempurnaan penerapan kebenaran dan keadilan di masa depan. Dalam konteks ini, “epikeia” dibutuhkan untuk mengoreksi hukum positif yang belum lengkap dan atau multitafsir, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai “pasal karet”.

Kata Yunani “epikeia” dapat didefinisikan sebagai tafsiran atas hukum bukan berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat si perumus yang tersirat di dalam hukum itu. Epikeia dapat menjembatani jurang waktu penerapan hukum pada saat tertentu dengan saat hukum dirumuskan, ketika terdapat banyak kasus dan kondisi yang belum terpikirkan oleh si perumus. Seringkali wawasan si perumus hukum (pada saat tertentu) terlalu sempit dan atau kurang lengkap melihat sejumlah kemungkinan atau kekecualian. Keterbatasan bahasa juga acapkali menghambat keleluasaan untuk menerjemahkan maksud dan hakikat isi pikiran ke dalam bahasa formal. Penerapan epikeia dalam upaya menggapai keadilan di balik rumusan hukum menyaratkan ketulusan hati dari para praktisi hukum untuk mencari kebenaran. Tafsiran tersirat tidak bisa kontradiktif dengan yang tersurat.

Epikeia tidak dimaksudkan untuk mereduksi peranan suatu hukum, kendati di dalam praksisnya tampak seolah demikian demi mencapai kebaikan yang lebih besar. Kebaikan yang lebih besar bisa berbentuk rasa keadilan, kepentingan, atau pun kesejahteraan orang yang lebih banyak. Dalam konteks titik berat kesejahteraan umum, Thomas Aquinas bahkan memandang epikeia sebagai “virtue”. Dalam mengisi lubang ketidaksempurnaan hukum, epikeia bukanlah upaya pelarian diri dari hukum, melainkan tanggapan dan akomodasi atas dan untuk hukum yang lebih agung, yakni keadilan.

Dalam konteks bebasnya Prita, Ketua Mahkamah Agung, Harifin Tumpa, mengungkapkan kekhawatirannya akan gerakan people power yang dapat mengancam supremasi hukum. Ia menyatakan bahwa aksi people power merupakan bentuk intervensi terhadap supremasi hukum dan dapat menekan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sebetulnya people power yang mengawal kasus Prita merupakan reaksi (bukan aksi) atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Rakyat memang belum sepenuhnya melek hukum, tapi mereka tidak mati rasa terhadap keadilan. Lebih gampang dipikirkan adanya segelintir penegak hukum korup yang tidak mendapat kepercayaan rakyat daripada kemungkinan adanya massa besar yang sekongkol membela ketidakbenaran.

Sebenarnya, gagasan epikeia tidaklah baru dalam produk hukum Indonesia. Gagasan ini terdapat dalam acuan yang ada pada KUHAP pasal 183 yang berbunyi, “Hakim dalam memutuskan perkara didukung minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim.” Jika penegak hukum mau menggarisbawahi “keyakinan hakim”, kontribusi epikeia dalam mengisi kekosongan rumusan hukum akan semakin nyata.

Lianto