Thursday, July 8, 2010

Kontemplasi St. Fransiskus dalam Kidung Saudara Matahari




Kata “kontemplasi” sering secara keliru dicampuradukkan dengan “meditasi”. Pada dasarnya, baik meditasi maupun kontemplasi merupakan cara-cara berkomunikasi dengan Allah. Dalam meditasi, kita berkomunikasi dengan Allah melalui daya-daya diskursif, misalnya merenungkan, menggambarkan, menimbang-nimbang, atau memikir-mikirkan Allah dan karya-Nya. Di sini akal budi memegang peranan utama dan aktif. Sementara dalam kontemplasi, usaha-usaha diskursif tersebut diistirahatkan. Mulut dan budi diam. Orang hanya “memandang” Allah dengan penuh perhatian. Hati berdoa tanpa kata; kehendak dibakar oleh api kerinduan untuk bersatu dengan Allah.

Menurut Groenen, dalam kontemplasi, orang “memandang” sesuatu dengan intensif dan menyeluruh sehingga ia menerobos permukaannya yang tampak dan mencapai kesejatian atau hakekatnya yang paling dalam. Seorang kontemplatif tidak terkungkung pada apa yang tampak oleh mata. Ia memandang realitas dengan mata hati yang transparan sehingga dalam pertemuan dengan sesama ciptaan, ia menemukan jejak Allah Sang Pencipta. Ia adalah seorang yang di atas dan dalam segala hal mencintai Allah. Carlos Correa Pedroso menyatakan: “Dalam segala sesuatu yang diperhatikannya, orang kontemplatif melihat dan mendengar panggilan yang penuh daya untuk ‘kembali ke rumah’; kembali kepada Sang Cinta.”

Kendati St. Fransiskus tidak menetapkan bagi dirinya dan ordonya suatu gaya hidup kontemplatif, tak dapat ditolak bahwa dia sungguh berkharisma kontemplatif. Kharisma itu sangat menonjol dalam “pandangan” mata hatinya yang menembus realitas segenap ciptaan hingga ia menemukan Allah dalam dan melalui ciptaan. Kontemplasi alam ini secara menonjol dan istimewa terungkap dalam karya agungnya: Kidung Saudara Matahari (KidMat).

Malam Gelap yang Terang
Menurut Legenda Perugina (edisi Marinus Bigaroni, OFM), KidMat dikarang Fransiskus dalam kondisi jasmani-rohani yang amat menyedihkan. Ia dihinggapi depresi hebat, merasa ditinggalkan Tuhan, dan bimbang apakah ia akan memperoleh kembali cinta kasih Tuhan yang dirindukannya. Ia mengalami “malam gelap” yang menyengsarakan sehingga daya jiwanya seakan tidak tahan lagi untuk menanggungnya. Kala itu, penyakit matanya sudah menahun sehingga ia tidak tahan dengan cahaya matahari di siang hari maupun api di malam hari.

Menarik untuk disimak, dalam keadaan yang memprihatinkan itu, ia justru “melihat” keluhuran, kekuasaan, dan kebaikan Allah yang tercermin dalam alam semesta. Daya “penglihatan” inilah bukti kharisma kontemplatifnya. Ia tetap melihat dengan transparan kebaikan kasih Allah dalam penderitaannya yang amat sangat. Hal ini memperlihatkan kedalaman imannya yang melihat kasih Allah sebagai kebenaran yang tak perlu dibuktikan, sekalipun hidup penuh derita. Terlepas dari rasa indera yang menyakitkan, Fransiskus menangkap hakekat cinta ilahi yang hadir dalam ketidakhadiran; Terang yang sedemikian terang sehingga membutakan mata inderawi yang menatap-Nya. Pengalaman akan kehadiran dan kebaikan itu diungkapkan dalam puja-puji awal KidMat yang akan membangkitkan bulu-roma orang yang mencoba meresapinya.

Tuan Saudara Matahari
Unsur makrokosmos dalam KidMat diawali dengan Matahari yang disapa sebagai “Tuan” dan “Saudara” dan ditutup dengan Pertiwi (tanah) yang disapa sebagai “Ibu” dan “Saudari”. Struktur sastra ini menarik sekali karena pasangan kosmis ini juga tertemukan dalam kultus dewa matahari dalam agama-agama kuno, di mana matahari dilihat sebagai pasangan ibu pertiwi yang menyebabkan keberadaan seluruh elemen alam lainnya (Eloi Leclerc, 1976). Kharisma kontemplatif jelas di sini karena pujian ini justru dilambungkan pada saat Saudara Matahari dialami sebagai hal yang menyakitkan. Fransiskus tentu tahu dan merasa bahwa matanya yang hampir buta sangat peka terhadap cahaya terik matahari. Ia juga tentu tidak lupa bahwa panas terik mentari Timur Tengah telah menyebabkan persoalan serius bagi matanya selama perjalanan misi damainya di tengah kaum muslimin. Ia juga tahu betul akan bahaya kemarau panjang yang dapat menghanguskan hasil bumi. Tetapi Fransiskus “memandang” secara positif, menerobos kulit luar Saudara Matahari, dan menemukan hakekat baiknya.

Saudari Bulan dan Bintang
KidMat juga dapat disebut “Kidung Malam”. Setelah memuji Allah dalam dan melalui Saudara Matahari, Fransiskus meneruskan pujiannya melalui keberadaan Bulan dan Bintang yang disapanya sebagai saudari yang gemerlapan, megah, dan indah. Dalam bagian ini, kharisma kontemplatif Fransiskus harus dilihat dari pandangannya yang positif atas “malam”. Untuk banyak orang, malam hari adalah saat yang menakutkan. Para pencuri biasanya bergerak pada malam hari. Simbolisme kisah penciptaan memandang malam sebagai kegelapan kematian yang harus dipisahkan dari terang yang baik (Kej. 1:5). Dalam tradisi Injil Yohanes, malam dikaitkan dengan situasi gelap yang menyebabkan kejatuhan (Yoh. 11:10). Dalam konteks pembicaraan tentang parousia (kedatangan Kristus di akhir zaman), Paulus menyebut orang-orang yang tidak percaya sebagai “orang-orang malam” (1Tes. 5:5-6). Kontemplasi Fransiskus lagi-lagi kembali menerobos cara pandang biasa dan menemukan “malam” yang indah karena Saudari Bulan dan Bintang. Dalam (karena) dan melalui mereka, segala pujian kepada Tuhan Pencipta pantas dikidungkan. Baginya, Saudari Bulan dan Bintang merupakan lentera di malam gelap.

Aspek yang tidak kalah menarik ialah nilai (sifat) yang dikenakan pada Saudari Bulan dan Bintang. Mereka disebut “gemerlapan, megah, dan indah”. Di antara ketiga kata sifat itu, kata “megah” paling menarik perhatian. Dalam karya-karya Fransiskus, kata “megah” hanya ditemukan ketika Fransiskus berbicara tentang Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi. Kata ini dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang sangat berharga dan sakral.

Saudara Angin, Air, Api
Fransiskus bukan tidak tahu bahwa angin terasa tajam di musim dingin. Hal itu dirasakannya sendiri di bulan September di La Verna ketika cuaca tidak mengenakkan karena angin. Angin badai juga dapat menenggelamkan kapal. Begitu pula dengan air dan api yang tidak jarang dapat menghancurkan tempat tinggal, hutan, bahkan merenggut nyawa. Namun Fransiskus melihat hakekat mereka sebagai ciptaan yang sejatinya baik dan berguna. Dalam dan melalui mereka, Fransiskus melantunkan pujian indah kepada Penciptanya.

Indahnya Pengampunan dan Saudari Maut
Kala itu terjadi perselisihan antara uskup Asisi (Guido) dan podesta/walikota (Oportolo Bernardi). Mendengar hal itu, Fransiskus sangat sedih. Ia mengutus dua saudara untuk mengumpulkan kedua pihak dan orang-orang terkemuka di halaman istana uskup. Kedua saudara menyanyikan kidung itu di hadapan mereka. Kemudian terjadilah mukjizat seperti yang diharapkan Fransiskus. Nyala kebencian berubah menjadi nyala cinta. Uskup dan podesta saling mengampuni, berpelukan, dan berdamai kembali atas cara yang mengharukan.

Ketika mendapat kepastian dari dokter (Yohanes Arezzo) bahwa ajalnya telah dekat, Fransiskus menambahkan bait baru tentang kematian yang disapanya sebagai Saudari Maut. Padahal bagi banyak orang, maut merupakan hal yang paling ditakuti. Kisah Ketiga Sahabat mencatat bahwa Fransiskus menyambut Saudari Maut-nya dengan penuh keriangan kepada Tuhan. Ia mengajak para saudaranya untuk bernyanyi dengan gembira tatkala maut menjemputnya. Kegembiraannya sedemikian mencolok sehingga Sdr. Elias tidak tahan dan menegurnya. Vita mutatur, non tollitur. Hidup diubah, bukan dibuang.

Cara pandang kontemplatif Fransiskus sepatutnya menginspirasi kita. Cara pandang seperti ini dewasa ini populer dengan istilah inside out; melihat dan menilai sesuatu dengan menyelam ke hakekat yang paling asasi. Seringkali masalah yang kita hadapi tak kunjung beres karena kita terpaku pada hal-hal lahiriah yang tampak. Kita tidak melihat akar masalah. Fransiskus melalui KidMat mau memperlihatkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan baik adanya. Semuanya diciptakan untuk kebaikan manusia. Oleh karena itu manusia hendaknya dapat memuji kebesaran Tuhan dalam dan melalui segenap ciptaan. Fransiskus melihat bahwa dirinya dan segala makhluk berada dalam tatanan keluarga. Ia sungguh merasa bersaudara dengan sekalian makhluk. Selayaknya manusia selalu sadar untuk solider dan berbela-rasa (compasio) dengan segenap alam ciptaan-Nya. Tentang cara pandang kontemplatif ini dalam diri Fransiskus, Chesterton berujar bahwa Fransiskus telah membuat salto untuk memandang segala makhluk dari pihak Allah. Dari pandangan Allah, Fransiskus memandang segala makhluk baik adanya.

Lianto

Sunday, April 11, 2010

Siapa Bilang Maria Magdalena Pelacur?


Tidak tahu lagi, bermula dari alasan apa dan dari siapa, Maria Magdalena dalam Injil digambarkan sebagai seorang pelacur. Nyaris dalam tiap pembicaraan atau ulasan, bahkan kotbah di gereja, orang suka menambahkan embel-embel “pelacur” pada pribadi ini. Atribut itu telah menjadi pandangan umum entah sejak kapan hingga sekarang. Apa dasarnya? Kitab Suci bagian manakah yang mengatakannya? Sungguh disayangkan, sangkaan tak berdasar itu dikenakan kepada orang (perempuan) pertama yang membawa kabar tentang kebangkitan Yesus. Tulisan ini mencoba memulihkan nama baik Maria Magdalena.

Identifikasi yang tidak akurat atas Maria Magdalena disebabkan oleh sedemikian banyak nama Maria dalam Injil. Rupanya nama “Maria” di kalangan orang Yahudi adalah nama yang pasaran. Ada Maria, ibu Yesus. Figur ini tidak punya masalah terkait kasus kita. Ada Maria saudari Marta dan Lazarus yang muncul dalam Lukas dan Yohanes. Ada lagi Maria, ibu Yakobus (Mat 27:56), Maria isteri Klopas (Yoh 19:25), bahkan “Maria yang lain” (Mat 27:61; 28:1). Banyaknya pribadi bernama Maria dalam Injil terkadang membuyarkan pemilahan yang jelas dalam pikiran pembaca. Lebih jauh, beberapa karakter sejumlah perempuan lain juga dikenakan pada Maria Magdalena tanpa dasar yang kuat. Mari kita telusuri satu demi satu.

Injil (Mrk 16:9; Luk 8:2) memperkenalkan Maria Magdalena sebagai seorang perempuan yang darinya Yesus mengusir tujuh roh jahat. Dia merupakan salah satu dari rombongan perempuan yang setelah disembuhkan, mengikuti dan melayani Yesus dan para murid (Luk 8:1-3). Atribut itu silakan dipegang teguh. Maria Magdalena ini berbeda dari Maria, saudari Marta dan Lazarus, yang digambarkan dalam Lukas dan Yohanes. Lukas melukiskan Maria ini sebagai murid dengan sikap terpuji: duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan ajaran-Nya. Sedangkan Yohanes mencatat bahwa Maria, saudari Marta ini, meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal, kemudian menyeka dengan rambutnya.

Kesalahan umum terbesar adalah menyamakan Maria Magdalena ini (yang disembuhkan Yesus dari kuasa tujuh roh jahat) dengan dua perempuan lain (tak ada catatan namanya) yang diceritakan dalam ketiga Injil Sinoptik dan Injil Yohanes.
Perempuan pertama diceritakan oleh ketiga Injil Sinoptik (Mat 26:6-13; Mrk 14:3-9; Luk 7:36-50) sebagai perempuan yang datang mendekati Yesus dengan membawa tempayan berisi minyak yang mahal ketika Yesus sedang makan di rumah seorang pemimpin Yahudi bernama Simon. Kalau kita baca ketiga perikop di atas, semuanya secara tersirat (implisit) melukiskan bahwa perempuan itu bukanlah orang yang termasuk rombongan yang selama ini selalu mengikuti dan melayani Yesus dan para murid. Misalnya Lukas 7:37 menulis: “Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia....” Jika perempuan ini adalah Maria Magdalena yang selama ini mengikuti Yesus, dia pasti tahu Yesus ada di mana dan tidak perlu “mendengar” dari orang lain. Jelas bahwa perempuan ini hanya “figuran” yang muncul sebentar lalu hilang.

Perempuan kedua diceritakan Injil Yohanes (8:3-11) sebagai perempuan yang diseret para ahli Taurat dan orang Farisi ke hadapan Yesus karena kedapatan berbuat zinah. Hal itu dilakukan untuk menjebak Yesus. Menurut hukum, perempuan itu harus dirajam. Yesus mempersilakan hadirin yang merasa diri tidak punya dosa untuk melemparkan batu pertama. Satu demi satu hadirin bubar, mulai dari yang tertua. Akhirnya Yesus berkata kepada perempuan itu, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi”. Coba selidik, Injil tidak menyebut nama perempuan itu. Di mana dasar argumen yang mengidentikkan perempuan ini sebagai Maria Magdalena? Masih mendingan orang menyamakan perempuan yang kedapatan berzinah ini dengan perempuan yang meminyaki Yesus di rumah Simon, mengingat kedua-duanya tidak disebutkan nama dan sama-sama dianggap orang yang berdosa. Walaupun masih terbuka kemungkinan luas bahwa mereka adalah dua perempuan yang berbeda. Tetapi mengaitkan atau menyamakan mereka sebagai Maria Magdalena sama sekali tidak berdasar dan ngawur. Kesaksian Injil menyebut dengan jelas nama Maria Magdalena dalam tiap kejadian di mana dirinya terlibat. Jika kedua perempuan tersebut dimaksudkan sebagai Maria Magdalena, kiranya tidak ada alasan bagi para penginjil utk tidak menyebutkan namanya.

Lebih jauh lagi, berkaitan dengan atribut “pelacur”, Injil juga tidak menyebut hal itu. Perempuan yang berdosa dan atau yang kedapatan berbuat zinah tidak secara otomatis dapat diidentikkan sebagai pelacur. Saya curiga, atribut “pelacur” hanyalah imaginasi liar kaum lelaki yang membatasi dosa kaum perempuan hanya pada dosa seksual. Logika sesatnya, kalau perempuan berdosa, itu pasti dosa karena pelacuran. Kesalahan berlapis yang dilakukan orang selama ini ialah: salah menyamakan Maria Magdalena sebagai kedua perempuan berdosa itu dan lebih salah lagi: menyebutnya sebagai pelacur.

Hal inilah yang mau diklarifikasi melalui tulisan ini. Kasihan Maria Magdalena, selama berabad-abad, diulas dalam tulisan, film, diskusi, cerita lisan dan sebagainya selaku seorang pelacur yang bertobat. Stigma ini harus dihentikan, bukan karena ingin mengutuk tindak pelacuran, melainkan karena identifikasi itu sama sekali tidak punya dasar alkitabiah. Dengan demikian kita bisa membaca figur Maria Magdalena, salah satu tokoh sentral dalam Gereja Perdana ini dengan paradigma baru. Dialah yang setia mengikuti perjalanan Yesus dari Galilea hingga disalibkan di Yerusalem. Dia ada bersama Bunda Maria di bawah kaki salib Yesus. Dia juga yang setia menunggui kubur Yesus. Dialah yang pertama melihat Yesus yang bangkit dan mengabarkannya kepada para rasul. Dalam tradisi sesudahnya, bahkan Maria Magdalena disebut rasul (“yang diutus”) kepada para rasul.

Lianto

Tuesday, March 16, 2010

Kebangkitan Yesus, Fakta Historis?



Sebagian orang tidak pernah atau merasa tidak relevan meragukannya. Kebangkitan Yesus tertulis dalam Injil. Habis perkara. Ada yang mempertanyakan apakah kebangkitan itu fakta historis? Ataukah hanya fiksi atau suatu episode yang dibuat untuk mengenang Yesus? Bisakah Injil dipercaya sebagai rekaman atas peristiwa yang betul-betul terjadi? Jika kebangkitan itu fakta historis, bagaimana rupa Yesus yang bangkit itu? Puluhan pertanyaan dapat diajukan berkaitan dengan kebangkitan.

Kritisisme atas naskah kuno mengangkat berbagai wacana tentang redaksi berlapis, otentisitas, dan warna sastra tertentu yang mewarnai ayat demi ayat Kitab Suci. Hal itu telah menimbulkan kesangsian dan pertanyaan seputar mana bagian kisah yang otentik dan mana yang tidak. Jika orang tidak percaya atau meragukan apa yang tertulis dalam Injil perihal kebangkitan, saya memang tidak memiliki sumber lain untuk menyambung pembicaraan. Mengapa? Karena tidak ada teks tertulis lain yang ada di tangan kita tentang kebangkitan Yesus selain Injil.

Untuk menyambung pembicaraan, seraya mengabaikan detail kisah kebangkitan, saya mengajak pembaca berlogika-ria untuk menemukan apa yang ada di balik rekaman Injil tentang kebangkitan Yesus.

Perempuan dan Kubur Kosong
Saya pilih Injil Markus karena inilah Injil tertua. Mrk 16:1-8 mencatat kejadian tiga perempuan yang pada pagi-pagi di hari pertama Minggu, pergi ke makam Yesus untuk meminyaki-Nya. Setelah sampai di sana, mereka mendapati makam Yesus kosong. Dari orang muda berjubah putih di samping kanan makam, mereka mendapat kabar bahwa Yesus telah bangkit. Oke, saya ikut abaikan detail kisah yang dituliskan. Lagipula tidak berguna jika orang tidak memercayainya. Saya hanya mau menggarisbawahi “perempuan” dalam rekaman Injil ini.

Ada masalah apa dengan “perempuan”? Di kalangan Yahudi, perempuan adalah makhluk yang tak bisa dipercaya. Mereka tidak diperkenankan menjadi saksi dalam pengadilan. Omongan yang keluar dari mulut perempuan dianggap “bullshit”. Dalam konteks ini, adalah suatu kebodohan bagi Markus menuliskan kisah kebangkitan yang dahsyat, yang disaksikan dan disampaikan kepada orang lain oleh tiga perempuan. Kita tidak merasakan adanya perbedaan kebenaran yang disampaikan oleh seorang perempuan atau laki-laki. Tapi di zaman Yesus, hal itu hanya akan mengundang tertawaan. Tapi Markus tetap menuliskannya. Hal ini menyiratkan bahwa apa yang tertulis memang demikianlah adanya. Dengan alur pikir seperti ini, saya mengajak Anda untuk menerima bahwa peristiwa kunjungan ketiga perempuan dan kubur yang kosong benar adanya. Anda dipersilahkan untuk mengabaikan detail lain yang mungkin bagi Anda hanya isapan jempol belaka.

Perubahan Karakter Para Murid
Berbeda dengan peristiwa kebangkitan, penyaliban dan kematian Yesus telah terbukti dalam sejarah. Jika Anda meragukan kesaksian Injil, Anda dapat membacanya dari kesaksian sejarahwan Yahudi abad pertama: Flavius Yosefus. Penyaliban dan kematian Yesus merupakan tragedi paling mengenaskan bagi para pengikut-Nya. Diberitakan dalam Injil bahwa para pengecut itu lari pontang-panting ketika Yesus ditangkap. Kebanyakan dari mereka hanya berani melihat dari kejauhan ketika Yesus disiksa dan disalibkan. Petrus, komandan dari keduabelas rasul bahkan menyangkal diri sebagai murid-Nya sampai tiga kali. Dasar si mulut besar! Percakapan kedua murid di jalan menuju Emaus juga memperlihatkan kekecewaan yang besar atas harapan mereka terhadap figur Yesus. Singkat cerita, bagi para pengikut-Nya, kematian Yesus merupakan akhir cerita. Tamatlah sudah!

Lalu apa? Mengapa para pengecut itu dalam waktu tidak lama setelah kematian Yesus tiba-tiba menjadi pemberani? Mereka sampai berani mengorbankan nyawa. Stefanus dirajam. Petrus si Mulut Besar disalibkan terbalik, Paulus yang awalnya mengejar para pengikut menjadi pewarta tangguh. Apakah menurut Anda, mereka ini adalah orang-orang gila? Pasti ada suatu kejadian LUAR BIASA setelah kematian Yesus yang powerful untuk mengubah sikap mereka. Mungkin peristiwa itu adalah, atau dekat, atau mirip, atau hanya dapat diungkapkan dengan istilah “bangkit”. Peristiwa itu pasti ada karena tak mungkin orang mau mengorbankan nyawa untuk sesuatu yang bagi dirinya sendiri tidak ada. Peristiwa itu pasti benar karena ingatan orang-orang yang hidup di zaman itu masih segar dan dengan gampang dapat diklarifikasi sekiranya apa yang diwartakan merupakan kebohongan.

Dengan logika ini, sekiranya Anda tidak percaya akan kebangkitan hanya karena lemahnya bukti, Anda harus percaya bahwa setelah kematian Yesus, suatu peristiwa luar biasa telah terjadi. Peristiwa yang berdaya agung untuk mengubah manusia pengecut menjadi pemberani, pendendam menjadi pengasih, pemarah menjadi peramah, dan peristiwa yang kebenarannya telah teruji oleh waktu. Muskil rasanya ada kebohongan yang dapat bertahan hingga 20 abad. Dengan alur pikir ini, tidak penting apakah kebangkitan itu fakta historis atau hanya simbol belaka. Terserah Anda mau terima yang mana.

Ungkapan pemikiran ini ditulis dengan asumsi Anda tidak memercayai atau meragukan kesaksian Injil. Jika Anda tidak punya masalah seperti itu, disarankan agar terus menimba kekayaan Injil dan buang jauh-jauh pemikiran saya dalam tong sampah. Selamat Paskah!

Lianto

Yesus Ngamuk: Ekspresi Kontra Ketidakadilan



Sehari setelah memasuki kota Yerusalem, Yesus menuju Bait Allah. Di situ Ia menjungkirbalikkan meja dagangan orang (penukar uang dan pedagang merpati). Kejadian ini sering dilihat secara negatif sebagai tindakan temperamental. Mengapa Yesus “ngamuk”? Tinjauan konteks religio-historis berikut ini mungkin bisa sedikit klarifikasi.


Pada masa Yesus, Yerusalem merupakan pusat keagamaan bangsa Yahudi. Menjelang Paskah Yahudi, orang Yahudi dari seluruh pelosok negeri datang ke Yerusalem untuk merayakan hari terbesar dalam almanak liturgi ini. Belum ada catatan tentang jumlah massa yang berkumpul pada pesta raya ini. Namun Flavius Yosefus (sejarawan Yahudi abad pertama) pernah mencatat bahwa sebanyak 255.600 ekor domba dipotong dan disantap pada suatu perayaan Paskah di Yerusalem. Jika seekor domba disantap oleh 10 orang, maka diperkirakan 2,5 juta orang berkumpul di Yerusalem pada pekan ini. Obyek kunjungan terutama adalah Bait Allah yang menurut tradisi Alkitab berada di puncak bukit tempat Abraham mempersembahkan kurban. Bait Allah ini dikuasai oleh imam-imam kepala yang dipimpin oleh Imam Agung Kayafas.

Tidak semua orang dapat mengambil bagian dalam ritual Bait Allah. Terdapat banyak aturan yang harus dilewati orang untuk dapat memasuki tempat kudus ini. Orang harus menyucikan diri terlebih dahulu dalam kolam penyucian agar pantas masuk Bait Allah. Penggalian arkeologis masa kini menemukan adanya kolam-kolam untuk ritual penyucian ini. Bayaran yang mahal untuk penyucian harafiah itu tidak akan sanggup dilakukan oleh orang miskin. Ritual penyucian mengondisikan penyaringan orang apa yang dikehendaki para imam untuk masuk Bait Allah. Menurut Kitab Misnah (aturan ritual), orang cacat, buta, sakit, dan lumpuh dilarang masuk kolam penyucian. Barangkali hal inilah yang membuat Yesus “gerah”. Reformasi Yesus: semua orang berhak atas rahmat kebaikan Allah tanpa rintangan finansial.

Di samping itu, orang masih harus menukar uangnya dengan koin Bait Allah yang suci. Tentu dengan nilai kurs yang ditentukan imam-imam kepala. Koin suci itu dipakai untuk membeli merpati putih tak bernoda untuk korban persembahan. Inilah yang menjelaskan keberadaan money changer dan pedagang merpati di halaman Bait Allah. Perlawanan Yesus atas komersialisasi dan ketidakadilan Bait Allah diungkapkan dengan menjungkirbalikkan meja dagangan dan gagasan amat berani: peruntuhan Bait Allah. Semua ini menyebabkan Yesus dilihat sebagai figur yang berbahaya.

Aturan dibuat demi ketertiban umum. Barangkali ini argumen para imam kepala. Dalam kasus Bait Allah, aturan yang sangat berbau komersial tak bisa dijunjung karena telah bertentangan dengan aturan (hukum) yang lebih tinggi, yakni keadilan. Tindakan Yesus di halaman Bait Allah tidak lain sebagai ungkapan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masa itu. Dari awal kiprah-Nya di Kapernaum dan sekitarnya, Yesus telah menjatuhkan optio fundamentalis-Nya: memperjuangkan keadilan Kerajaan Allah. Mau tak mau Ia harus berhadapan dengan status quo penguasa keagamaan. Ia mendekati orang-orang marjinal yang dianggap najis oleh Taurat, menyembuhkan orang sakit pada hari terlarang (Sabat), mengampuni dosa, dan menyambut para “kafir” (menurut tafsiran para imam: orang Samaria dan orang-orang non-Yahudi).
Tindakan Yesus menyampaikan dua hal. Pertama, apa yang dilakukan Yesus merupakan ekspresi klimaks dari sikap kontra ketidakadilan. Kedua, aturan dan hukum hendaknya tidak mematikan cinta kasih dan keadilan. Aturan dan hukum akan selalu mempunyai “lubang” ketika berhadapan dengan kasus-kasus moral yang belum terpikirkan oleh si pembuat hukum tatkala merumuskannya. Dibutuhkan tafsiran atas hukum bukan berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat yang tersirat di dalamnya (epikeia). Thomas Aquinas melihat epikeia ini sebagai suatu keutamaan (virtue). Ini bukan usaha pelarian orang dari kewajiban tertentu, melainkan tanggapan dan junjungan untuk hukum yang lebih tinggi: keadilan.

Tuesday, February 16, 2010

Pantang dan Puasa



Masa Prapaskah 2010 dimulai pada tanggal 17 Februari (Rabu Abu) dan berakhir pada tanggal 28 Maret 2010 (Minggu Palma). Masa Prapaskah yang berlangsung selama 40 hari ini merupakan kesempatan emas bagi umat beriman untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Sebagian orang menganggapnya sebagai retret agung untuk mengusir segala kekhawatiran, mengendalikan diri, lebih intim berkomunikasi dengan Tuhan, dan lebih peduli dengan sesama. Oleh karena itu, dalam Gereja hiduplah tradisi menjalankan puasa dan pantang, mempererat hubungan dengan Tuhan melalui doa dan bacaan firman Tuhan, dan mengamalkan kasih pada sesama yang membutuhkan. Setelah dibaptis, sebelum tampil di muka umum, Yesus sendiri mengasingkan diri dan berpuasa selama 40 hari di padang gurun.

Puasa berarti makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Yang wajib berpuasa adalah semua orang beriman yang berumur antara 18 tahun sampai awal 60 tahun. Puasa diwajibkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Jadi, selama masa Prapaskah, kewajiban berpuasa hanya dua hari saja.

Sedangkan pantang bisa dilakukan dengan tidak konsumsi antara lain daging, rokok, garam, gula, dan hiburan. Seturut kemampuan, orang Katolik dapat berpantang semua, sebagian, atau salah satu dari hal-hal tersebut. Yang wajib berpantang adalah semua orang beriman yang berumur genap 14 tahun ke atas. Pantang diwajibkan pada hari Rabu Abu, setiap Jumat selama Masa Prapaskah, dan Jumat Agung pada Pekan Suci. Jadi, selama Masa Prapaskah, kewajiban berpantang hanya 7 hari saja ditambah dengan 1 hari pada Jumat Agung.

Penetapan hari Rabu Abu, Jumat Agung dan setiap Jumat lainnya selama masa Prapaska sebagai hari-hari pantang dan puasa adalah aturan minimal dari Gereja. Adalah suatu tindakan yang patut dipuji jika setiap pribadi, keluarga atau komunitas Katolik, setelah melalui pembicaraan dan kesepakatan bersama, melaksanakan pantang dan puasa lebih dari sekedar memenuhi tuntutan yang minimal itu. Penetapan yang dilakukan di luar kewajiban Gereja bersifat tidak mengikat dan lebih didasarkan pada besarnya semangat tobat yang hendak dibangun baik secara pribadi maupun kelompok. Selama masa Prapaskah tidak dilarang untuk melangsungkan pernikahan. Namun demi sejalan dengan semangat tobat yang hendak dibangun, sedapat mungkin dihindari pesta-pesta yang meriah.

Karya amal kasih yang secara khusus dilakukan selama masa Prapaskah merupakan wujud pertobatan bersama demi terciptanya semangat solidaritas bagi sesama. Karya amal kasih itu, salah satunya diwujudkan melalui pengumpulan dana Aksi Puasa Pembangunan (APP). Agar tindakan pantang dan puasa terkait erat dengan karya amal kasih, sangatlah baik sekiranya dana APP yang terhimpun itu sungguh merupakan hasil dari pantang dan puasa. Artinya, sumbangan APP yang diberikan merupakan dana yang tidak jadi dibelanjakan karena seseorang, keluarga, atau komunitas Katolik berpantang dan berpuasa selama masa Prapaskah. Dengan demikian, pantang dan puasa memperlihatkan dimensi sosial yang di dalamnya seseorang berhemat demi orang lain.

Lianto

Saturday, February 13, 2010

Tahun Baru Imlek: Momentum Perubahan dan Pembaruan



Mulai tanggal 14 Pebruari 2010, orang Tionghoa memasuki Tahun Baru Shio Macan. Aneka persiapan dilakukan orang untuk menyongsong hari raya ini. Orang sibuk membersihkan rumah dari atas hingga ke bawah. Karena selama tiga hari pertama hari raya, orang tak boleh menyapu rumah. Takut kalau-kalau keberuntungan ikut tersapu keluar. Ada pula yang sibuk mecari pohon pir buatan, karena batang pohon itu diyakini bisa mengusir setan. Rumah dihiasi dengan pohon jeruk kecil (kim kit), karena pohon ini melambangkan emas. Diharapkan uang atau emas dapat mengalir lebih banyak ke rumah. Semua orang, entah tua atau muda keluar-masuk mall mencari pakaian baru. Ibu-ibu sibuk membuat kue. Kue yang tak terlupakan adalah kue keranjang. Konon, kue ini harus ada sebab selama musim dingin yang berlangsung k.l. tiga bulan, seluruh daratan Tiongkok tertutup salju. Karena itu tidak ada kayu bakar untuk memasak. Dalam situasi itu, kue yang tahan disimpan lama ini sangat berjasa untuk mempertahankan hidup manusia. Untuk alasan ini pula, kue keranjang disebut juga “phing an kue” (kue kesejahteraan) sebagai peringatan atas kemenangan manusia berhadapan dengan musim dingin yang menyiksa.

Menilik sejarah, perayaan Tahun Baru Imlek adalah perayaan datangnya musim semi. Orang Tionghoa yang lahir di Indonesia agak sulit menghayatinya sebab mereka tidak mengenal musim semi. Di daratan Tiongkok, tiga bulan yang lalu orang berjuang melawan musim dingin. Dalam masa itu, orang lebih suka mengurung diri di rumah atau memanasi diri dekat perapian. Tumbuh-tumbuhan seolah mati. Alam sunyi sepi. Tatkala musim berganti, semuanya seolah mendapat jiwa baru. Orang cepat-cepat bangun pagi, sibuk bersihkan daki. Burung-burung pun berkicau kembali. Bunga-bunga mekar bersemi. Ada perubahan, pembaruan, dan peralihan dari situasi yang mencekam dan menyedihkan menjadi situasi yang riang dan menggembirakan.

Adagium populer Change is the only constant menarik diselami. Satu-satunya yang tetap hanya perubahan itu sendiri. Mirip dengan pandangan filsuf Yunani Kuno Herakleitos: Everything flows, nothing stands still. Perayaan Tahun Baru Imlek dapat dimaknai dengan semangat untuk terus merubah dan membarui diri. Semangat itu mengandaikan kekuatan untuk beradaptasi dengan lingkungan tanpa kehilangan jati diri. Kitab Daxue II.1 tersurat : “Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah terus setiap hari dan jagalah agar senantiasa baharu selama-lamanya”. Dinosaurus kuat dan besar tapi punah dimakan zaman karena rendahnya daya adaptasi. The Survival of the Fittest Charles Darwin mau mengklarifikasi bahwa kelestarian hidup bukan terutama milik mereka yang cerdas dan kuat, melainkan milik mereka yang adaptif.

Dalam konteks pembangunan semangat kebangsaan yang berkelanjutan, Tahun Baru Imlek seyogianya menjadi perayaan ulang tahunan pembaruan jati diri sebagai bangsa Indonesia seutuhnya. Paradigma lama yang cenderung melihat diri secara inferior dalam tatanan hidup bermasyarakat harus dibarui. Semangat baru kebangsaan dapat diaktualisasi dalam bentuk kesetiakawanan sosial dan keterlibatan dalam setiap sendi kehidupan bangsa (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan). Intinya, Tionghoa Indonesia dapat memaknai Imlek sebagai momentum untuk mengingatkan diri tentang compassio (semangat bela rasa) sebagai bangsa.

Tahun Baru Imlek juga merupakan ajang silahturahmi. Kini saatnya memaafkan yang salah; membina sikap baru, hati baru, semangat cinta sesama dan pengharapan baru akan hari esok yang lebih baik. Selamat Tahun Baru Imlek. Kiung Hie Sin Nian, Sin Cia Ju Ie.


Lianto

Friday, February 5, 2010

Rasa Keadilan: “Trademark” Baru Kasus Hukum

Akhir-akhir ini, dalam ranah hukum, semakin populis ungkapan “rasa keadilan”. Ungkapan ini telah menjadi semacam “etiket” yang ditempelkan pada hampir tiap kasus hukum di negeri ini. Sejatinya apa itu rasa keadilan? Mengapa istilah itu mengemuka?

Berita penahanan Anggodo Widjojo dinilai bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Fasilitas mewah untuk Artalyta Suryani di Lapas Wanita Pondok Bambu ditengarai telah mencederai rasa keadilan. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD., melihat vonis bebas Prita Mulyasari telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pun pula, penahanan pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, dianggap merobek rasa keadilan. Terkesan, masyarakat atau rakyat awam adalah “pemilik” eksklusif cita rasa ini.

Apa itu Rasa Keadilan?
Penegak hukum sekaliber Jaksa Agung, Hendarman Supanji, mengaku bingung merumuskan apa itu “rasa keadilan”. Beliau meminta para jaksa utk lebih peka dan mewujudkannya dalam tugas penegakan hukum (DetikNews, 16/12/2009). Mungkin besarnya keluasan makna “rasa keadilan” menjadi penyebab kebingungan. Bisa jadi pula, rasa itu tidak dimiliki, atau tersimpan jauh di salah satu sudut lubuk hati. Tertimpa acak oleh pelbagai aturan, sistem, rumusan tata perundangan, dan atau aneka kepentingan hukum dan politik yang mendesak untuk diutamakan. Kalau seseorang tidak memiliki sesuatu, dia tidak bisa memberikan sesuatu itu kepada orang lain. Nemo dat quod non habet, kata Thomas Aquinas.

Markus Dirk Dubber melihat rasa keadilan sebagai sensibilitas, kesadaran atau empati yang ada dalam diri manusia untuk memperlakukan sesama manusia seperti diri sendiri ingin diperlakukan. Dengan kata lain, rasa keadilan itu kemampuan untuk menilai apakah seseorang telah diperlakukan seadil mungkin (The Sense of Justice: Empathy in Law and Punishment, 2006).

Rasa keadilan, seperti halnya hati nurani, (seharusnya) dimiliki oleh setiap manusia sejauh dia manusia. Setiap orang sama-sama dilahirkan dengan kemampuan untuk membedakan apa yang benar dan salah, adil dan tak adil. Predikat “dilahirkan” dalam konteks ini berarti “dibekali” dengan rasa keadilan sesuai dengan norma dan nilai dari komunitas tempat seseorang dilahirkan. Masalahnya, tidak semua orang “masih” menyimpannya. Itu sebabnya, ada kesan bahwa rasa keadilan hanya milik masyarakat awam-hukum dan tidak jarang dipertentangkan dengan keadilan prosedural yang diperjuangkan para penegak hukum. Barangkali para penegak hukum kita terpenjara dalam rutinitas formal dan rumusan bahasa hukum yang dingin dan kaku. Mereka kehilangan kepekaan untuk mengindera rasa keadilan yang pernah dimiliki. Tentu saja jangan tergesa-gesa menggeneralisasi gejala ini. Nyatanya, penegak hukum setulus Mahfud MD masih memilikinya.

Paradoks, Bukan Kontradiksi
Berhubung sama-sama bermuara pada pencarian keadilan, rasa keadilan maupun keadilan prosedural seharusnya tidak dipertentangkan. Para penegak hukum perlu mempertajam fakultas batin bernama rasa keadilan ini, di samping tetap menjalankan fungsi dan sistem penegakan hukum. Di sisi lain, masyarakat awam-hukum pun perlu memahami dan mempelajari sistem dan tatanan perundangan formal. Tatkala dalam konteks tertentu keduanya dialami dilematis, dibutuhkan kecerdasan dan kebijaksanaan untuk menjaga perimbangan. Kecerdasan dan kebijaksanaan diuji oleh sejauh mana kita bisa hidup dalam dua hal yang paradoksal.

Terangkatnya istilah rasa keadilan yang hampir menjadi trademark setiap kasus hukum dewasa ini memperlihatkan setidaknya dua hal.

Pertama, ada lubang atau celah dalam rumusan hukum positif yang berpotensi menimbulkan multitafsir (pasal karet). Sebetulnya keterbatasan dalam rumusan hukum buatan manusia adalah hal lumrah. Peran yang lebih critical sebetulnya berada di tangan penegak hukum. Produk hukum yang buruk bisa menjadi baik di tangan penegak hukum yang baik. Lebih jauh, di tangan penegak hukum yang buruk, produk hukum yang bagus pun bisa menjadi buruk.

Kedua, ada gejala dekadensi nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang terkait erat dengan optio fundamentalis sejumlah penegak hukum. Keterbatasan dalam rumusan hukum justru dimanfaatkan untuk memenangkan kepentingan sekelompok orang. Yang dicari adalah kemenangan kasus yang ditangani, bukan kebenaran dan keadilan. Sejumlah kasus “aneh”, misalnya penahanan terhadap Prita dan Bibit-Chandra, yang oleh sejumlah lembaga penegak hukum dinilai telah sesuai dengan hukum yang berlaku, memaksa masyarakat luas untuk mengaspirasikan rasa keadilan.




Lianto
Opini Pontianak Post 03 Februari 2010

Tuesday, January 19, 2010

St. Fransiskus Assisi, Pelindung Pelestari Lingkungan



Di tengah kegalauan penduduk bumi menghadapi aneka bencana alam akibat kerusakan lingkungan, menarik kiranya menonjolkan kembali figur agung St. Fransiskus Assisi. Santo pelindung lingkungan hidup ini mempunyai sejuta pengalaman rohani dengan alam yang tak habis-habisnya menginspirasi manusia sesudahnya. Di era kita, hampir delapan abad setelah kematian sang poverello, cara pandang dan perlakuan sang santo terhadap alam masih bergaung keras di hati para pemerhati lingkungan. Sungguh amat tepat, pada 29 September 1996, Paus Yohanes Paulus II mengukuhkannya sebagai pelindung ekologi.

Manusia dan Alam
Pada zaman dahulu kala, tatkala mitos masih menguasai manusia, alam dilihat sebagai kekuatan yang pantang diganggu-gugat. Manusia meyakini ada semacam dewa pemilik sungai dan hutan. Manusia takut melakukan hal yang dianggap dapat mengusik ketenangan dewa-dewa. Ketika akal sehat mendominasi, terjadilah demitologisasi. Manusia meninggalkan mitos dan beralih ke rasio. Peranan manusia beralih dari pihak yang tunduk dan hormat terhadap alam menjadi penguasa dan raja semesta alam. Alam diperlakukan sebagai obyek yang dapat dieksploitasi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Solidaritas terhadap alam terkikis hingga manusia sendiri lupa atau tidak sadar lagi bahwa alam merupakan bagian besar dari dirinya dan sebaliknya. Manusia sama sekali tidak sadar bahwa merusak alam tidak berbeda dengan merusak hidup manusia sendiri. Akibat dari perilaku ini amat jelas dalam era kita. Hutan rusak, sungai tercemar, udara kotor dan berbau, dan banjir di mana-mana. Semua itu merupakan bukti bahwa manusia dan alam terkait erat. Merusak alam sama dengan merusak diri sendiri.

Fransiskus dan Alam
Dalam cara pandang dan perlakuan Fransiskus terhadap alam, kita menemukan perspektif yang unik. Berhadapan dengan alam, Fransiskus tidak takut seolah-olah dalam alam tersembunyi dewa-dewa penunggu. Ia jauh dari mitos dan takhyul orang zaman dulu. Namun ia juga tidak semena-mena terhadap alam atau memandang alam sebagai obyek yang lepas dari diri manusia sehingga bisa dan harus dikuasai. Melampaui kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari alam, Fransiskus menyelam lebih dalam hingga melihat alam sebagai jejak kaki Sang Pencipta. Sedemikian kuat kesadaran itu sehingga Fransiskus menyebut matahari, bulan, angin, air, udara, api, dan segala ciptaan sebagai saudara dan saudarinya. Di hadapan Sang Pencipta, Fransiskus melihat segenap ciptaan setara dengan dirinya yang selayaknya dihormati. Menarik untut dicatat, visi ini justru terangkat ketika dunia Barat menyambut alam pikir rasionalisme di ambang zaman Renaissance; permulaan abad modern yang mengagungkan logos (rasio) di atas mitos. Kala itu manusia mulai melihat alam sebagai obyek yang harus dikuasai dan dieksploitasi. Hal ini menunjukkan betapa sosok Fransiskus merupakan figur yang tidak suka ikut arus zaman begitu saja.

Seruan Bagi Manusia Modern
Sikap Fransiskus terhadap alam sepatutnya digaungkan kembali dalam benak kita. Isu global warming memperlihatkan kepanikan manusia modern atas alam yang telah rusak karena kerakusan manusia. Kita manusia modern cenderung memandang alam seperti seorang ilmuwan yang hanya tertarik pada gejala dan hukum pasti. Atau sebagai seniman yang terpesona. Yang lain berlaku sebagai peguasa alam yang memperlakukannya sebagai obyek sumber devisa. Manusia modern jauh dari kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari alam sehingga alam merupakan “rumah” yang harus dipelihara. Solidaritas dengan alam bukanlah hal luar biasa, melainkan hal sepatutnya. Sebab melestarikan alam berarti melestarikan hidup manusia sendiri. Sebaliknya, perusakan alam tidak lain merupakan pemusnahan riwayat manusia.

Kenangan akan figur Fransiskus di era modern ini selayaknya menyerukan kembali kesadaran ini. Dengan itu barulah kita dapat, bersama Fransiskus, menyebut matahari, bulan, udara, air, dan sekalian makhluk sebagai saudara dan saudari.


Lianto

Pastor Dr. Samuel Oton Sidin: Bentara Ekologi Rumah Pelangi



Pastor Samuel Oton Sidin, OFM. Cap. lahir di Peranuk, Bengkayang, 12 Desember 1954. Pada tahun 1984, ia ditahbiskan menjadi imam dari Ordo Kapusin. Setahun kemudian, ia berangkat ke Roma, Italia, untuk menempuh pendidikan doktorat di bidang spiritualitas fransiskan. Pada tahun 1990, pendidikan doctorat dari Antonianum, Roma, diselesaikan dengan disertasi berjudul: The Role of Creatures in Saint Francis’ Praising of God. Pakar fransiskanologi ini terlibat lama dalam bidang pendidikan calon imam Kapusin di Parapat dan Pematangsiantar, Sumatera Utara. Lianto dari Duta sempat berdialog dengan Pastor Samuel Oton Sidin (SOS), pendekar ekologi dari Gunung Benuah. Berikut petikan pembicaraannya.

Duta: Pater, sejatinya, gagasan apa yang ada di balik Rumah Pelangi (RP)?

SOS: Keberadaan RP tidak terlepas dari upaya untuk ikut secara nyata melestarikan lingkungan hidup. Ada banyak dasar untuk melakukan hal tersebut. Pertama, sebagai bagian dari kemanusiaan atau masyarakat manusia, bumi adalah satu-satunya tempat tinggal manusia. Siapa pun dia, punya tanggung jawab untuk memelihara “rumah” tempat tinggalnya ini. Kedua, sebagai orang beriman, kita menerima warta Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Kejadian 21:8; Allah memberi “kuasa” kepada manusia atas segala makhluk. Dalam perintah itu terkandung suatu tanggung jawab pemanfaatan, pengelolaan, dan pelestarian alam seturut kehendak Allah. Selanjutnya, dalam kaitan dengan penebusan [Perjanjian Baru], manusia beserta seluruh alam ditebus: menjadi manusia dan alam baru. Seharusnya dengan itu, manusia dengan “rumah”-nya kembali pada posisi dan kondisi firdausi di mana mereka hidup dalam harmoni. Ketiga, sebagai fransiskan, kami mengikuti spiritualitas St. Fransiskus dari Assisi. Semua fransiskan dipanggil mencintai dan menyayangi alam. Bumi dengan segala isinya adalah buah karya Allah. Hormat dan cinta akan Allah tercermin dalam hormat dan cinta akan hasil karya-Nya. Keempat, coba simak kehidupan aktual kita. Kita berada pada saat bumi mengalami pemanasan global akibat pelbagai ulah manusia. Pada kenyataannya, bumi, rumah kita telah rusak. Sekecil apa pun upaya perbaikan dan pemeliharaan yang kita lakukan, sudah punya arti. Karya riil memang lebih bernilai daripada hanya wacana. Nah, dengan RP, diharapkan kapusin bisa tinggal menyatu dengan alam dalam upaya mewujudnyatakan hal-hal yang saya sebutkan tadi.

Duta: Konkritnya, bagaimana gagasan itu direalisasikan di RP?

SOS: Pertama, kita tinggal dalam hutan. Kedua, kita melindungi hutan yang masih ada. Ketiga, kita menanam pohon-pohon, terutama pohon buah-buahan dan pohon-pohon khas Kalimantan agar pelbagai jenisnya dapat dilestarikan. Keempat, kita mendirikan pusat pendidikan ekologis. Di RP, kita punya gedung pertemuan sederhana. Ada camping ground, tempat orang dengan leluasa menyatu dengan alam. Kita juga buat program pendidikan informal melalui rekoleksi, konferensi singkat, atau retret ekologis. Kelima, kelak kita akan menjadikan RP sebagai tempat wisata rohani dan ekologis.

Duta: Pater, apa reaksi atau respon masyarakat sekitar atas apa yang Pater lakukan di RP?

SOS: Masyarakat setempat masih sederhana. Pemahaman akan ekologi juga terbatas. Sebagian mendukung dan ambil bagian aktif melestarikan alam, sebagian lagi acuh tak acuh.

Duta: Lalu bagaimana dengan Pemda setempat? Apakah mereka pernah memberikan sokongan dana?

SOS: [Pastor Samuel terdiam sejenak, seraya melempar pandangan mata kosong dan dahi berkerut, dia menjawab pertanyaan Duta] Pemprov telah menyatakan dukungannya melalui Dinas Kehutanan dengan memberikan piagam penghargaan. Sejauh ini, kita baru mendapat bantuan “moril”. Dukungan finansial tidak ada. Kita harap lebih dari itu. Pemkab belum ada reaksi apa-apa. Mereka tidak proaktif mendukung. Mungkin karena mereka tidak tahu keberadaan kita.

Duta: Selama melakukan konservasi, apa saja kesulitan dan tantangan yang dihadapi RP?

SOS: Pertama, berhadapan dengan para penebang pohon: pohon-pohon di lahan kita pernah ditebang oleh orang luar. Kita coba mendatangi yang bersangkutan dan memberikan pemahaman agar tidak meneruskan kegiatannya di lahan kita. Di luar lahan kita, penebangan jalan terus, termasuk pengambilan cerucuk. Kedua, kesulitan keuangan. Kita tidak mendapat bantuan finansial dari mana pun. Namun kita coba jalan terus semampunya. Ketiga, sikap acuh tak acuh masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum menangkap makna pelestarian lingkungan hidup. Hal itu terbukti dari penebangan yang tiada hentinya, termasuk penjualan tanah, eksploitasi tambang yang merusak alam, pembukaan lahan hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit yang merambah hutan resapan air. Keempat, sikap yang kurang proaktif dari pemerintah, baik propinsi maupun kabupaten. Kami rasanya berjalan sendiri saja [tatapannya menerawang jauh ke hamparan “saudara-saudari” pepohonannya].

Duta: Mengapa diberi nama “Rumah Pelangi”?

SOS: Kata kunci “pelangi” diambil dari kisah Nabi Nuh. Setelah 40 hari 40 malam banjir raya menimpa manusia, muncul pelangi di cakrawala. Pelangi adalah tanda perdamaian dan harmoni dengan semua; Allah dan ciptaan-Nya, antara langit dan bumi dan dengan sekalian makhluk. Dengan memakai “pelangi” sebagai nama, kita berharap, rumah ini menjadi penebar harmoni. Setiap orang yang datang, datang dengan damai dan mau mengupayakan damai dengan semua. Dari rumah ini, kiranya muncul “pelangi” damai. Kita harap, simbol ini bisa menjadi kenyataan.

Rumah Pelangi: Berdamai dengan Alam



Rumah Pelangi adalah sebuah kawasan konservasi hutan dan lahan seluas 90 hektar di Dusun Gunung Benuah, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kawasan ini berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Pontianak ke arah Tayan. Rumah pelangi dirintis oleh Pastor Samuel Oton Sidin, OFM Cap. pada tahun 2003. Kendati luas konservasi sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan kritis yang ada, apa yang dilakukan Rumah Pelangi merupakan seruan etis kepada khalayak ramai untuk memulai suatu habitus (paradigma) baru yang lebih bersahabat dan ramah terhadap alam. Selama ini wacana pelestarian lingkungan hanya tinggal wacana lip service tanpa tindakan nyata. Pelbagai seminar tentang “Global Warming” terselenggara tanpa tindak lanjut yang jelas. Dengan prinsip “mulai dari diri sendiri”, Pastor Samuel merealisasi kecintaan dan hormatnya terhadap alam melalui proyek Rumah Pelangi. Action Rumah Pelangi yang “kecil” lebih bernilai daripada pelbagai gagasan dan statement ekologis yang hanya tinggal jargon semata. “Magnum in parvo”: bernilai besar dalam hal-hal kecil. Itulah yang dilakukan Rumah Pelangi.

Pastor Samuel Oton Sidin adalah seorang pastor biarawan dari Ordo Kapusin; doktor fransiskanologi dari Universitas Antonianum, Roma – Italia. Kiprahnya dalam pelestarian alam merupakan salah satu wujud penghayatan teladan hidup Fransiskus dari Assisi (pendiri ordo fransiskan) yang terkenal sebagai pelindung ekologi. Setelah menunaikan tugas sebagai minister propinsial Ordo Kapusin Pontianak selama dua periode (1997-2003), Pastor Samuel mengabdikan hidupnya untuk upaya konservasi alam di Rumah Pelangi. Pada waktu pemilihan minister propinsial Kapusin pada tahun 2009, ia terpilih kembali untuk memimpin Propinsi Kapusin Pontianak periode 2009-2012.

Ketika Pastor Samuel membeli kawasan yang akan dijadikan Rumah Pelangi di hamparan seluas 70 hektar pada tahun 2000, sebagian besar lahan di perbukitan dan rawa-rawa itu merupakan lahan yang rusak. Sisi utara dan selatan area tersebut banyak yang terbakar, sementara di sebelah barat nyaris tanpa pohon karena sudah ditebang. Keanekaragaman hayati sebagai kekayaan alam yang tersimpan di bumi khatulistiwa, turut lenyap dengan musnahnya hutan. Sedikit demi sedikit, kawasan yang rusak itu direhabilitasi. Secara bertahap, area lahan lain seluas 20 hektar juga dibeli sehingga kawasan konservasi bertambah luas.

Selain menjadi kawasan konservasi, Rumah Pelangi juga mengedukasi masyarakat tentang bagaimana mengolah lahan yang baik, mengembangkan bibit tanaman, dan mengembangkan usaha produktif dari bercocok tanam. Salah satu metode yang dikembangkan adalah membuat percontohan saluran irigasi dan sawah serta pelestarian mata air. Pastor Samuel membuat sebuah bendungan kecil untuk mengaliri sawah sekitar satu hektare. Selain menjadi sumber air Rumah Pelangi, bendungan itu juga turut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar.

Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam upaya penyadaran dan pembelajaran terhadap masyarakat sekitar, Pastor Samuel memakai prinsip inside-out. Kesadaran harus ditumbuhkan dari dalam. Ia mengampanyekan pelestarian alam bukan dengan menyalahkan atau melarang masyarakat sekitar yang kebanyakan menebang pohon demi asap dapur. Ia menggugah kesadaran dan rasa hormat terhadap alam melalui contoh teladan dan pendekatan persuasif.

Upaya konservasi Rumah Pelangi dilakukan dengan menanam kembali tanaman asli Kalimantan. Ratusan jenis tanaman buah dan pepohonan asli Kalimantan dikembangkan di kawasan itu. Dapat disebut antara lain pohon asam (18 jenis), bambu (15 jenis), pohon keras (14 jenis, misalnya belian, tapang, sengaon, gaharu), dan berbagai jenis buah-buahan seperti rambutan, mangga, langsat, jambu, nangka, dan durian. Sejumlah bunga juga ditemukan seperti pelbagai jenis anggrek dan kantung semar. Rumah Pelangi juga menangkar hewan landak yang makin langka.

Hal yang menarik untuk diketahui adalah Pastor Samuel memberi perhatian khusus untuk tanaman alam (hutan) yang tidak memberikan nilai ekonomis. Menurutnya, masyarakat cenderung memusnahkannya dan menggantikannya dengan tanaman yang laku di pasar. Pertimbangan masyarakat tentu bisa dimaklumi. Pastor Samuel justru melestarikannya agar generasi-generasi mendatang tidak hanya sekedar mendengar cerita, melainkan masih dapat melihatnya. Pelbagai tanaman langka itu antara lain mangga hutan, asam bawang, bacang, rambutan hutan, kandis, dan gandaria.

Pelangi: Simbol Harmoni dan Perdamaian
Nama “Rumah Pelangi” terinspirasi dari kisah Nabi Nuh dalam Kitab Suci. Setelah 40 hari 40 malam banjir raya menimpa manusia, muncul pelangi di cakrawala. Menurut Dr. Samuel, pelangi adalah tanda perdamaian dengan semua; damai dengan alam, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Ia berharap, kehadiran konservasi Rumah Pelangi bisa menjadi seruan bagi kita semua untuk mewujudkan perdamaian dengan alam seperti tersirat dalam simbol pelangi.


Lianto

Friday, January 8, 2010

Putusan Bebas Prita: Epikeia dalam Penegakan Hukum



Perjuangan Prita Mulyasari mencari keadilan selama 1,5 tahun akhirnya menuai hasil. Pada tanggal 29 Desember 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang, yang diketuai Arthur Hangewa, membebaskan Prita dari seluruh dakwaan jaksa umum. Hakim menyatakan, Prita tak terbukti melakukan pencemaran nama baik dua dokter RS. Omni International Alam Sutra melalui surat elektronik yang ia kirim ke berbagai pihak.

Banyak pihak bergembira menyambut putusan PN Tangerang ini. Masyarakat luas menganggap putusan bebas Prita merupakan kemenangan rasa keadilan yang telah diaspirasikan melalui situs jejaring sosial maupun pengumpulan koin. Sejumlah politisi dan pejabat pun tidak ingin ketinggalan berkomentar. Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai kebebasan Prita sebagai perwujudan aspirasi rakyat. Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informatika, menyambut positif putusan hakim seraya membuka peluang untuk meninjau kembali Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfuf MD pun mengaku gembira atas putusan kasus Prita. Menurutnya, dalam kasus Prita, yang harus diutamakan adalah nilai kebenaran dan keadilan.

Dalam pernyataan Mahfud MD tersirat suatu indikator yang seharusnya turut dipertimbangkan di samping rumusan kalimat yang tersurat dalam berbagai produk perundangan. Indikator itu disebutnya sebagai nilai kebenaran dan keadilan. Tak sedikit pun ada maksud Ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengecilkan peran hukum positif dalam menjunjung nilai kebenaran dan keadilan. Hanya saja, pada waktu menyusun rumusan hukum, bisa terjadi si perumus belum memiliki gambaran serba lengkap tentang kondisi-kondisi yang berhubungan dengan hukum itu. Ditemukan ketidaksempurnaan dan celah di sana-sini yang memungkinkan ketidaksempurnaan penerapan kebenaran dan keadilan di masa depan. Dalam konteks ini, “epikeia” dibutuhkan untuk mengoreksi hukum positif yang belum lengkap dan atau multitafsir, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai “pasal karet”.

Kata Yunani “epikeia” dapat didefinisikan sebagai tafsiran atas hukum bukan berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat si perumus yang tersirat di dalam hukum itu. Epikeia dapat menjembatani jurang waktu penerapan hukum pada saat tertentu dengan saat hukum dirumuskan, ketika terdapat banyak kasus dan kondisi yang belum terpikirkan oleh si perumus. Seringkali wawasan si perumus hukum (pada saat tertentu) terlalu sempit dan atau kurang lengkap melihat sejumlah kemungkinan atau kekecualian. Keterbatasan bahasa juga acapkali menghambat keleluasaan untuk menerjemahkan maksud dan hakikat isi pikiran ke dalam bahasa formal. Penerapan epikeia dalam upaya menggapai keadilan di balik rumusan hukum menyaratkan ketulusan hati dari para praktisi hukum untuk mencari kebenaran. Tafsiran tersirat tidak bisa kontradiktif dengan yang tersurat.

Epikeia tidak dimaksudkan untuk mereduksi peranan suatu hukum, kendati di dalam praksisnya tampak seolah demikian demi mencapai kebaikan yang lebih besar. Kebaikan yang lebih besar bisa berbentuk rasa keadilan, kepentingan, atau pun kesejahteraan orang yang lebih banyak. Dalam konteks titik berat kesejahteraan umum, Thomas Aquinas bahkan memandang epikeia sebagai “virtue”. Dalam mengisi lubang ketidaksempurnaan hukum, epikeia bukanlah upaya pelarian diri dari hukum, melainkan tanggapan dan akomodasi atas dan untuk hukum yang lebih agung, yakni keadilan.

Dalam konteks bebasnya Prita, Ketua Mahkamah Agung, Harifin Tumpa, mengungkapkan kekhawatirannya akan gerakan people power yang dapat mengancam supremasi hukum. Ia menyatakan bahwa aksi people power merupakan bentuk intervensi terhadap supremasi hukum dan dapat menekan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sebetulnya people power yang mengawal kasus Prita merupakan reaksi (bukan aksi) atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Rakyat memang belum sepenuhnya melek hukum, tapi mereka tidak mati rasa terhadap keadilan. Lebih gampang dipikirkan adanya segelintir penegak hukum korup yang tidak mendapat kepercayaan rakyat daripada kemungkinan adanya massa besar yang sekongkol membela ketidakbenaran.

Sebenarnya, gagasan epikeia tidaklah baru dalam produk hukum Indonesia. Gagasan ini terdapat dalam acuan yang ada pada KUHAP pasal 183 yang berbunyi, “Hakim dalam memutuskan perkara didukung minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim.” Jika penegak hukum mau menggarisbawahi “keyakinan hakim”, kontribusi epikeia dalam mengisi kekosongan rumusan hukum akan semakin nyata.

Lianto