Friday, August 8, 2008

Optical Illusion



Judul ini bukan bercerita tentang seluk-beluk bisnis optikal yang saya geluti. Optical Illusion berkaitan dengan tipuan-tipuan mata atau interpretasi yang keliru ketika mata (indera) mencerap (mempersepsi) suatu obyek. Contoh-contoh berupa gambar yang menunjukkan gejala ini dapat disimak dalam situs Optical Illusions dalam link blog ini. Bermula dari rasa iseng untuk mengunjungi situs ini, akhirnya saya terkesan dan dibimbing kepada kelana filosofis untuk memilah apa yang sejatinya merupakan kenyataan (an sich) dari apa yang hanya “tampak” oleh mata. Manusia melihat matahari terbit dan berkata “Lihat itu, matahari telah terbit”. Kenyataannya, matahari tak pernah terbit maupun terbenam. Sebaliknya, bumilah yang mengitarinya.

Ternyata, manusia sebagai subyek seringkali menilai kenyataan menurut sudut pandangnya. Akibatnya, kenyataan seolah bermakna-ganda, tergantung pada subyek (manusia) yang memandangnya. Obyek yang satu dan sama bisa berarti A bagi saya, sekaligus B untuk orang lain. Pencerahan lain, ternyata apa yang mulanya bagi saya merupakan suatu kemustahilan (coba lihat gambar kubus di atas), seiring berjalannya waktu, bisa menjadi tidak mustahil. Hal ini menunjukkan keterbatasan indera saya sebagai subyek dalam mengenal kenyataan. Apa yang saya dan Anda lihat tidak identik dengan kenyataan dalam dirinya. Sayangnya, tidak jarang orang menghabiskan energi untuk memaksakan opini yang subyektif kepada orang lain. Kerap pula, orang menganggap sesuatu “tidak mungkin” ketika ia tidak mampu mengerjakannya, atau sesuatu itu “tidak ada” ketika ia tidak melihatnya.

Idealisme vs Realisme
Apa itu kenyataan (realitas)? Dualisme Plato berpandangan bahwa realitas dibagi menjadi dua, yakni “dunia-atas” yang merupakan dasar kebenaran dan kenyataan yang kita kenal melalui indera (subyektif). Kenyataan yang dikenal melalui indera (gejala yang tampak) dianggap sebagai bayangan semata. Dualisme ini dalam pelbagai variasi diteruskan oleh Agustinus, Ibnu Sinna, Descartes, hingga berpuncak pada Immanuel Kant. Menurut Kant, kenyataan dibedakan menjadi “kenyataan yang dikenal” dan “kenyataan di seberang pengetahuan” (Das Ding an sich). Das Ding an sich tersembunyi bagi subyek. Antara keduanya, terbentang jurang yang tak terseberangi. Oleh karena itu, apa yang kita anggap realitas, sebenarnya merupakan kenyataan yang dikenal atau tampak bagi kita (subyek). Itulah sebabnya mengapa realitas yang satu dan sama bisa dilihat berbeda oleh beberapa subyek yang mencerapnya. Pandangan ini disebut idealisme. Aliran ini menekankan peranan subyek karena berkat kegiatan subyek, kenyataan menjadi “kenyataan yang dikenal”. Dengan kata lain, kenyataan diberi bentuk dan cap manusiawi.

Berseberangan dengan pandangan di atas, Aristoteles melihat bahwa kenyataan hanya satu, yakni kenyataan yang dikenal melalui indra. Hanya saja, kenyataan yang dikenal bersifat multidimensional. Di dalamnya terdapat dimensi inderawi dan dimensi rohani. Keduanya saling berkaitan erat dan tidak terpisahkan. Di antara kedua dimensi terbentang jarak (bukan jurang) yang tidak mustahil dapat dicapai melalui proses. Aliran ini disebut realisme. Berbeda dari idealisme, realisme menekankan peranan kenyataan (obyek). Manusia sebagai subyek dapat sampai pada pengetahuan yang benar jika “membiarkan kenyataan menyatakan diri”. Untuk Aristoteles, “melalui indera” tidak sama dengan “terbatas pada indera”. Pembedaan ini mengalami bias ketika muncul sejumlah filsuf yang meyamakan keduanya. Akibatnya, realisme ini diabsolutkan menjadi materialisme, empirisme, dan positivisme, yang melihat bahwa tidak ada kenyataan lain selain dari kenyataan yang dapat diverifikasi melalui observasi. Dewasa ini, aliran ini disebut saintisme yang melihat bahwa tidak ada kenyataan lain selain kenyataan yang dapat dibenarkan oleh metode sains. Menurut aliran ini, kenyataan bersifat eka-dimensional: pokoknya mesti EMPIRIS! "Buanglah buku (yang tidak memuat penyelidikan empiris) ke dalam api!", kata David Hume.

Jalan Tengah: Antara Idealisme dan Realisme
Dimanakah Anda berpijak: idealisme atau realisme? Umumnya manusia sulit hidup dengan hal-hal yang berlawanan. Orang sering berpikir bahwa harus ada satu yang benar di antara dua hal bertentangan. Manusia umumnya tidak gampang untuk menerima suatu paradoks (dua hal berbeda/bertentangan tapi benar keduanya, atau masing-masing ada benarnya). Makanya banyak orang lebih berpihak ke kanan atau ke kiri, hitam atau putih (tidak ada abu-abu). Pola pikir ini dikuasai oleh tirani “atau”. Tirani “atau” mendesak orang untuk percaya bahwa keputusan haruslah memilih A atau B, bukan keduanya.

Idealisme Plato-Kant ada benarnya dalam arti kenyataan yang dikenal memang tidak identik dengan kenyataan yang sebenarnya. Realisme Aristoteles-Thomistik ada benarnya dalam hal kenyataan berdimensi inderawi yang harus berproses dan mengalami dinamika menuju kenyataan yang berdimensi rohani. Jarak antara keduanya berdasar pada jarak implisitasi dan eksplisitasi. Dalam eksplisitasi, kenyataan yang dikenal tidak identik (non-identitas) lagi dengan kenyataan-dalam-dirinya. Ini ciri khas pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia selalu pengetahuan menurut cara manusia (modo humano). Di samping menjelaskan keterbatasan dan keunikan pengenalan di antara manusia yang satu dengan yang lain, kekhasan cara mengenal yang manusiawi ini juga menjelaskan adanya ketidak-identikan antara kenyataan yang dikenal dengan kenyataan-dalam-dirinya (Das Ding an sich).

Menerima paradoks ini berarti menjaga keseimbangan antara aktivitas (memperoleh) pengenalan dan pasivitas (menerima) pe-nyataan. Jika subyek terlalu aktif, maka kenyataan yang diperoleh akan lebih merupakan kenyataan yang dikenal (subyek aktif; subyektif). Tetapi jika aktivitas subyek bersifat menerima, niscaya kenyataan yang dikenal akan lebih berdimensi rohani; lebih dekat dengan kenyataan yang sebenarnya (obyektif). Kendati Das Ding an sich tersembunyi dan tidak identik sama dengan kenyataan yang dikenal, tidak berarti tia tak dapat didekati.

Membiarkan kenyataan menyatakan diri tidak berarti bahwa subyek melulu pasif. Membiarkan kenyataan menyatakan diri merupakan aktivitas subyek yang bersifat “mendengarkan”. Tampaknya pasif, tapi sesungguhnya “mendengarkan” lebih aktif dari yang dapat dibayangkan. Lihat saja, manusia umumnya lebih gampang untuk berbicara daripada mendengarkan.

Kendati tampaknya subyeklah yang aktif dalam pengenalan obyek, dari segi isinya, subyek sama sekali tergantung pada obyek. Kekeliruan justru terjadi karena subyek tidak atau kurang membiarkan obyek (kenyataan) “berbicara” atau menghadirkan dirinya. Matahari tetap tidak terbit dan terbenam meskipun manusia tetap ngotot mengatakannya terbit dan terbenam. Pohon jambu tetaplah pohon jambu tidak tergantung pada subyek yang mengatakannya sebagai pohon beringin. Obyeklah yang menentukan apa yang saya lihat, bukan sebaliknya. Jelas bahwa esse mendahului cognoscere. Kenyataan diketahui karena memang ber-ada, dan bukan berada karena diketahui.

Akhirnya, pengetahuan akan ketidak-identikan antara Das Ding an sich dengan kenyataan-dikenal yang terbatas mengindikasikan adanya kenyataan tak terbatas, satu, dan identik dalam diri subyek. Sebagaimana suatu lingkaran tidak sempurna mengindikasikasikan pengetahuan tentang lingkaran sempurna yang ada dalam diri subyek. Ini berarti bahwa pengetahuan berawal dari kenyataan yang satu, identik, dan tak terbatas. Menjadi terbatas, “dua”, dan non-identik ketika pengetahuan dieksplisitasi (diungkapkan). Pengetahuan manusiawi itu obyektif sekaligus relatif; identik sekaligus tidak-identik; tak terbatas sekaligus terbatas; imanen sekaligus transenden!

Lianto
Sumber: Kuliah Filsafat Pengetahuan Adelbert Snijders

Tuesday, August 5, 2008

Gereja dan Negara



Gereja dan politik adalah saudara kandung. Mereka terkait erat karena mempunyai kepedulian yang sama. Politik sejatinya adalah upaya pemenuhan kesejahteraan umum (bonum commune). Gereja sendiri (baik dalam arti institusi maupun umat Allah) terpanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah yang dimaksud adalah situasi hidup manusia di mana kebenaran, keadilan, dan kedamaian mendominasi dunia. Karena mereka itu sekandung, keduanya semestinya punya hubungan baik, namun tidak boleh “dinikahkan”. “Pernikahan” Gereja (sebagai institusi) dan negara (politik) melahirkan bencana. Hal ini nyata dari sejarah kelam Gereja Katolik ketika urusan Gereja dan urusan negara (politik) disatukan.

Sejarah Gereja membuktikan bahwa ketika gereja menjadi “gereja-negara” dan negara menjadi “negara-gereja”, keduanya berakhir pada jalan buntu. Tatkala negara mendominasi (Gereja), gereja direduksi menjadi hanya lembaga sekular manusiawi. Padahal Gereja adalah persekutuan rohani yang dibentuk Allah sendiri. Sebaliknya, ketika Gereja mendominasi (negara), negara disakralkan, dan kebijakan negara (politik) disejajarkan dengan isi wahyu. Tanpa pemilahan yang jelas, hubungan keduanya justru menjadi carut-marut. Keduanya saling eksploitasi dengan aneka trik. Kredibilitas keduanya merosot di mata rakyat dan umat.

Pemilahan antara kedua saudara kandung tersebut harus diperjelas teristimewa dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Umat Allah (Gereja) semestinya membedakan peran mereka dalam politik di satu pihak sebagai pribadi atau kolektif selaku warganegara, dan di lain pihak berperan dalam tugas kemanusiaan atas nama Gereja. Gereja sebagai institusi harus menghindarkan diri dari keterlibatan politik (praktis) berdasarkan agama yang dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat majemuk. Di samping itu, bila menyimak pelbagai praktek politik berbasis agama, agama biasanya hanya menjadi palu di tangan politisi, yang setelah dipakai kemudian dilempar kembali ke kotak perkakas.

Pemilahan antara Gereja dan politik tidak berarti bahwa umat kristiani tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik. (Perlu dipilah jelas makna Gereja sebagai institusi dan sebagai umat Allah). Justru sebaliknya, umat kristiani sebagai Gereja yang terpanggil untuk menghadirkan kebenaran, keadilan, dan kedamaian harus terlibat proaktif dalam upaya pemenuhan kesejahteraan umum yang merupakan tujuan dari politik. Setiap umat kristiani bersama seluruh komponen bangsa harus mengupayakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Berbagai kerusuhan massa seperti pembunuhan massal, pembakaran/penutupan gereja, ancaman bom, dan aneka bentuk diskriminasi menunjukkan realita negara tidak mampu memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Ini berkaitan dengan kebijakan politik para negarawan. Keterlibatan umat kristiani dalam proses politik diharapkan dapat ikut mempengaruhi pengambilan kebijakan politik yang lebih adil. Dengan kata lain, politik merupakan salah satu jalan dan arena di mana nasib dan masa depan seluruh rakyat ditentukan. Melihat kondisi Indonesia, keterlibatan umat kristiani dalam proses politik bukan lagi suatu pilihan fakultatif, melainkan telah menjadi kebutuhan yang mendesak. Atas nama perlindungan martabat manusia, umat kristiani selaku Gereja yang terpanggil menghadirkan Kerajaan Allah wajib bersuara lantang di manapun martabat manusia ditindas dan direndahkan.

Bagaimana dengan selentingan bahwa Gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis? Dalam konteks ini, makna Gereja yang dituju adalah institusi dan hirarki religius (uskup, imam, diakon). Dalam pandangan Katolik, Gereja sebagai institusi keagamaan dan kaum religiusnya (uskup, imam, diakon) harus berada di luar koridor politik praktis. Konkritnya, uskup-imam-diakon tidak boleh ikut dalam partai politik atau memegang jabatan politik. Tetapi mereka tetap bisa dan harus “berpolitik” dalam arti menyuarakan keadilan, damai, dan kebenaran demi perbaikan kesejahteraan umum. Hal ini sesuai dengan teladan Yesus yang tak terbendung dalam meneriakkan keadilan dan kebenaran, namun menolak ketika rakyat menginginkan-Nya menjadi raja (mesias) duniawi. Gereja sebagai institusi keagamaan pun tidak mendirikan partai politik. Partai dengan embel-embel “Katolik” tidak didirikan oleh Gereja sebagai institusi. Itu adalah manifestasi politik sebagian umat Allah yang mungkin terpanggil untuk berpartisipasi dalam perbaikan kesejahteraan umum melalui proses politik. Gereja sebagai institusi, bersifat netral, tidak memihak maupun menolak pihak mana pun. Deklarasi Kaukus Dai Cross, forum di Bandung yang mengatasnamakan umat Kristiani dan Katolik untuk secara terbuka mendukung pasangan Danny Setiawan dan Iwan Sulanjana pada Pilkada Jabar 13 April yang lampau adalah suatu kesalahan. Kaukus Dai Cross telah secara tak bertanggung jawab membangun klaim sepihak yang tidak benar. Ini contoh praktek politik yang berniat memanfaatkan agama sebagai kendaraan politik.

Dalam kancah pilkada yang sedang marak dewasa ini, umat Allah dipanggil untuk berpartisipasi aktif dalam memilih secara bebas calon yang dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Dengan menjatuhkan pilihan yang tepat sesuai dengan hati nurani, kita telah ikut berperan dalam proses politik untuk menentukan masa depan yang lebih baik dan demokratis. “Suara hati yang benar seorang Kristen tidak akan membiarkan dirinya untuk memilih sebuah program politik atau hukum yang menentang isi fundamental ajaran iman dan moral” (The Participation of Catholics in Political Life, 2002). Ini adalah pedoman etis dari Vatikan untuk setiap umat Katolik dalam partisipasi politik. ****

Lianto