Thursday, July 24, 2008
Mengapa Doa Kering?
"Aku tak dapat berdoa lagi". Ini sering diungkapkan orang-orang yang mulai mengalami kesulitan dalam berdoa. Relasi dengan Allah dalam doa biasanya diawali dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan akan kehadiran Allah. Allah dialami sebagai Allah yang hidup, dekat, penuh cinta, senantiasa menghibur dan menguatkan. Hiburan-hiburan dan kegembiraan rohani ini mendorong orang untuk semakin bertekun dalam doa. Baginya, Allah adalah segala-galanya.
Dalam perjalanan rohani, akan tiba saatnya seseorang mengalami kekosongan dan kekeringan yang menyengsarakan dalam doa. Doa yang dahulu merupakan relasi intim dengan Allah, kini dialami sebagai tindakan tak bermakna, tidak menyentuh hati, kering, hampa, dan membosankan. Allah, yang dahulu dialami sebagai Allah yang hidup, hadir dekat, dan penuh cinta, kini dialami sebagai Allah yang tersembunyi, jauh, dingin, dan bisu. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mzm. 10:1); “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:2).
Kekeringan dalam doa seperti terungkap di atas bisa disebabkan oleh dosa, kelemahan, semangat suam-suam kuku, kemurungan hati, dan atau gangguan kesehatan. Tidak mengherankan bila orang yang bersemangat suam-suam kuku pada suatu ketika akan mengalami doanya terasa tak bermakna. Juga bukan hal yang luar biasa bila orang sulit berdoa dalam keadaan sakit atau galau hatinya.
Namun kekeringan dalam doa dapat pula disebabkan bukan oleh-hal-hal di atas, melainkan oleh Allah sendiri yang hendak menyucikan, menerangi, dan menyatukan pendoa dengan diri-Nya. Kekeringan yang bersumber pada karya Allah inilah yang disebut St. Yohanes dari Salib sebagai “malam gelap” dalam doa. Orang yang dilanda kekeringan mengalami seolah-olah Allah meninggalkannya dalam malam yang gelap gulita.
Dengan malam gelap, sesungguhnya Allah menunjukkan bahwa kenikmatan inderawi dan rohani yang dicari orang dalam doa bukanlah Allah sendiri, tetapi bunga-bunga kehadiran-Nya yang pada suatu ketika harus ditinggalkan. Malam gelap dalam bentuk kekeringan dalam doa bukanlah hal yang harus ditangisi, tetapi anugerah yang patut disyukuri. Dalam hal ini kekeringan dalam malam gelap justru merupakan tanda kemajuan dalam hidup rohani.
Ketidakpahaman akan pengalaman di atas dapat menyebabkan orang menjadi putus asa dan meninggalkan doa tatkala dilanda kekeringan. Ia berpikir bahwa kekeringan yang dialaminya merupakan tanda kejauhan Allah atau kemunduran hidup rohaninya. Ia “lari” justru pada saat tangan Allah hendak menariknya agar lebih dekat pada-Nya.
Menurut Yohanes dari Salib, kegelapan malam itu sesungguhnya merupakan “terang yang gelap” atau terang yang sedemikian terang sehingga membutakan mata yang memandangnya. Bagaikan mata kelelawar yang buta tatkala memandang cahaya terang benderang. Dalam bab IX buku I The Dark Night, ia memberikan tiga gejala atau tanda untuk menguji, apakah kekeringan yang dialami sungguh bersumber pada malam gelap, atau semata-mata bersumber pada kelemahan-kelemahan pribadi.
1. Tidak Menemukan Kepuasan dan Hiburan
Dalam malam gelap, doa dan kegiatan-kegiatan rohani yang dulu selalu mendatangkan kepuasan dan hiburan, akan terasa kering, kosong, membosankan, dan tak bermakna. Bukan hanya hal-hal rohani, hal-hal duniawi lain pun tidak mendatangkan kepuasan bagi dirinya.
Kekeringan yang dialami orang karena malam gelap ini sangat berbeda dari kekeringan yang dialami karena kelalaian atau kedangkalan hidup. Orang yang mengalami kekeringan akibat kemalasan dan kedangkalan hidup akan segera menemukan kepuasan dalam hal-hal lain. Sedangkan orang yang mulai dimurnikan Allah dalam malam gelap, tidak akan menemukan kesenangan dan kepuasan dalam hal apa pun. Kendati demikian, semangatnya untuk mengabdi Allah tetap hidup dan berkobar. Orang lain yang melihatnya barangkali berpendapat bahwa hidup rohaninya semakin berkembang, sebab usahanya untuk berdoa semakin besar. Namun ia sendiri merasa hampa, kering, dan tidak maju. Perasaannya menjadi kersang, seolah-olah kehilangan kepekaannya.
Dapat terjadi bahwa sekali-sekali ia masih menemukan kembali terang atau kekhusyukan yang dulu selalu dialaminya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Kekeringan dan kehampaan akan kembali menjemputnya. Secercah terang itu bagaikan kilat; yang muncul, lalu hilang seketika.
2. Mengingat Allah dengan Cemas dan Gelisah
Pengalaman atas gejala pertama menimbulkan pikiran dan prasangka dalam dirinya, bahwa ia tidak mengabdi Allah sebagaimana mestinya. Ia biasanya dikejar-kejar oleh pikiran bahwa hidup rohaninya tidak mengalami kemajuan, melainkan semakin merosot. Pikiran dan prasangka ini menyebabkan orang terus-menerus mengingat Allah dengan rasa cemas, gelisah, dan hati remuk-redam. Ia merasa bahwa Allah -yang dengan sepenuh hati ingin dicintainya- telah jauh darinya.
Ketika doa masih terasa menyenangkan, perihal Allah tidak terlalu dipersoalkan. Ia merasa diri mengenal Allah, dan mempunyai gambaran ilahi yang jelas. Tetapi sekarang gambaran itu mulai dikaburkan. Allah yang dianggapnya selalu hadir dekat karena hiburan yang dialaminya dalam doa, kini seakan jauh dan tersembunyi. Ia merasa diri kehilangan arah. Relasi dengan Allah menjadi suatu persoalan yang selalu dipikirkannya. Dalam hatinya, ia merasakan kerinduan yang mencekam untuk mengabdi Allah. Namun dengan jelas pula ia melihat bahwa pengabdiannya masih sangat kurang.
Dalam konteks kekeringan yang dialami, kiranya perasaan cemas dan gelisah sewaktu memikirkan Allah, wajar-wajar saja. Perasaan-perasaan itu muncul karena orang masih mengukur keberhasilan doa hanya dari aspek perasaan senang dan puas yang ditimbulkannya. Orang berpikir, Allah itu dekat, bila ia merasakan kehadiran-Nya dan hatinya puas dan senang karenanya. Sebaliknya, Allah itu jauh bila ia tidak merasakan apa-apa dalam doa. Ini pandangan yang keliru. Apakah Allah itu dekat atau jauh tidak dapat diukur atau ditentukan oleh rasa enak atau kering dalam doa.
3. Tidak Mampu Lagi Bermeditasi dengan Imaginasinya
Kemampuan dan usaha-usaha bermeditasi dengan memakai daya imaginasi, yang dahulu biasa dipraktekkannya, kini menjadi tak berdaya. Hal ini terjadi karena pada tahap ini, Allah tidak lagi mengomunikasikan diri-Nya secara inderawi melalui analisa diskursif (daya pikir), melainkan mulai mengomunikasikan diri-Nya dalam roh murni. Komunikasi ini terjadi dalam suatu kontemplasi yang tak dicapai oleh indera. Ketidakberdayaan unsur inderawi ini menyebabkan daya imaginasi dan fantasi tidak lagi mendapatkan tempat dalam renungan maupun meditasi.
Karena ketidakpahaman akan realitas malam gelap yang melandanya, orang sering masih terus berusaha bermeditasi. Bahkan dapat terjadi bahwa ia semakin tekun mencari metode-metode baru yang diharapkan dapat memperbaiki ketidakberdayaannya. Namun, hasilnya tetap kering dan kersang.
Orang yang mulai masuk ke dalam pembersihan yang gelap ini seharusnya menyadari bahwa dirinya sedang dituntun Allah untuk beralih dari jalan meditasi ke jalan kontemplasi. Dalam jalan baru ini, Allah memperkenalkan diri bukan dalam konsep-konsep dan ide-ide yang terbatas, tetapi dalam cinta yang tak terbatas. Dalam cinta inilah, Ia dikenal sebagaimana ada-Nya.
Bila Anda menemukan tiga gejala malam gelap di atas dalam kekeringan rohani, berbahagialah! Sebab Anda sedang dituntun Allah untuk bersatu dengan-Nya kendati melalui jalan derita.
Lianto
Labels:
Spirituality
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment