Tuesday, August 5, 2008

Gereja dan Negara



Gereja dan politik adalah saudara kandung. Mereka terkait erat karena mempunyai kepedulian yang sama. Politik sejatinya adalah upaya pemenuhan kesejahteraan umum (bonum commune). Gereja sendiri (baik dalam arti institusi maupun umat Allah) terpanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah yang dimaksud adalah situasi hidup manusia di mana kebenaran, keadilan, dan kedamaian mendominasi dunia. Karena mereka itu sekandung, keduanya semestinya punya hubungan baik, namun tidak boleh “dinikahkan”. “Pernikahan” Gereja (sebagai institusi) dan negara (politik) melahirkan bencana. Hal ini nyata dari sejarah kelam Gereja Katolik ketika urusan Gereja dan urusan negara (politik) disatukan.

Sejarah Gereja membuktikan bahwa ketika gereja menjadi “gereja-negara” dan negara menjadi “negara-gereja”, keduanya berakhir pada jalan buntu. Tatkala negara mendominasi (Gereja), gereja direduksi menjadi hanya lembaga sekular manusiawi. Padahal Gereja adalah persekutuan rohani yang dibentuk Allah sendiri. Sebaliknya, ketika Gereja mendominasi (negara), negara disakralkan, dan kebijakan negara (politik) disejajarkan dengan isi wahyu. Tanpa pemilahan yang jelas, hubungan keduanya justru menjadi carut-marut. Keduanya saling eksploitasi dengan aneka trik. Kredibilitas keduanya merosot di mata rakyat dan umat.

Pemilahan antara kedua saudara kandung tersebut harus diperjelas teristimewa dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Umat Allah (Gereja) semestinya membedakan peran mereka dalam politik di satu pihak sebagai pribadi atau kolektif selaku warganegara, dan di lain pihak berperan dalam tugas kemanusiaan atas nama Gereja. Gereja sebagai institusi harus menghindarkan diri dari keterlibatan politik (praktis) berdasarkan agama yang dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat majemuk. Di samping itu, bila menyimak pelbagai praktek politik berbasis agama, agama biasanya hanya menjadi palu di tangan politisi, yang setelah dipakai kemudian dilempar kembali ke kotak perkakas.

Pemilahan antara Gereja dan politik tidak berarti bahwa umat kristiani tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik. (Perlu dipilah jelas makna Gereja sebagai institusi dan sebagai umat Allah). Justru sebaliknya, umat kristiani sebagai Gereja yang terpanggil untuk menghadirkan kebenaran, keadilan, dan kedamaian harus terlibat proaktif dalam upaya pemenuhan kesejahteraan umum yang merupakan tujuan dari politik. Setiap umat kristiani bersama seluruh komponen bangsa harus mengupayakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Berbagai kerusuhan massa seperti pembunuhan massal, pembakaran/penutupan gereja, ancaman bom, dan aneka bentuk diskriminasi menunjukkan realita negara tidak mampu memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Ini berkaitan dengan kebijakan politik para negarawan. Keterlibatan umat kristiani dalam proses politik diharapkan dapat ikut mempengaruhi pengambilan kebijakan politik yang lebih adil. Dengan kata lain, politik merupakan salah satu jalan dan arena di mana nasib dan masa depan seluruh rakyat ditentukan. Melihat kondisi Indonesia, keterlibatan umat kristiani dalam proses politik bukan lagi suatu pilihan fakultatif, melainkan telah menjadi kebutuhan yang mendesak. Atas nama perlindungan martabat manusia, umat kristiani selaku Gereja yang terpanggil menghadirkan Kerajaan Allah wajib bersuara lantang di manapun martabat manusia ditindas dan direndahkan.

Bagaimana dengan selentingan bahwa Gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis? Dalam konteks ini, makna Gereja yang dituju adalah institusi dan hirarki religius (uskup, imam, diakon). Dalam pandangan Katolik, Gereja sebagai institusi keagamaan dan kaum religiusnya (uskup, imam, diakon) harus berada di luar koridor politik praktis. Konkritnya, uskup-imam-diakon tidak boleh ikut dalam partai politik atau memegang jabatan politik. Tetapi mereka tetap bisa dan harus “berpolitik” dalam arti menyuarakan keadilan, damai, dan kebenaran demi perbaikan kesejahteraan umum. Hal ini sesuai dengan teladan Yesus yang tak terbendung dalam meneriakkan keadilan dan kebenaran, namun menolak ketika rakyat menginginkan-Nya menjadi raja (mesias) duniawi. Gereja sebagai institusi keagamaan pun tidak mendirikan partai politik. Partai dengan embel-embel “Katolik” tidak didirikan oleh Gereja sebagai institusi. Itu adalah manifestasi politik sebagian umat Allah yang mungkin terpanggil untuk berpartisipasi dalam perbaikan kesejahteraan umum melalui proses politik. Gereja sebagai institusi, bersifat netral, tidak memihak maupun menolak pihak mana pun. Deklarasi Kaukus Dai Cross, forum di Bandung yang mengatasnamakan umat Kristiani dan Katolik untuk secara terbuka mendukung pasangan Danny Setiawan dan Iwan Sulanjana pada Pilkada Jabar 13 April yang lampau adalah suatu kesalahan. Kaukus Dai Cross telah secara tak bertanggung jawab membangun klaim sepihak yang tidak benar. Ini contoh praktek politik yang berniat memanfaatkan agama sebagai kendaraan politik.

Dalam kancah pilkada yang sedang marak dewasa ini, umat Allah dipanggil untuk berpartisipasi aktif dalam memilih secara bebas calon yang dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Dengan menjatuhkan pilihan yang tepat sesuai dengan hati nurani, kita telah ikut berperan dalam proses politik untuk menentukan masa depan yang lebih baik dan demokratis. “Suara hati yang benar seorang Kristen tidak akan membiarkan dirinya untuk memilih sebuah program politik atau hukum yang menentang isi fundamental ajaran iman dan moral” (The Participation of Catholics in Political Life, 2002). Ini adalah pedoman etis dari Vatikan untuk setiap umat Katolik dalam partisipasi politik. ****

Lianto