Tuesday, July 29, 2008

Aku Percaya, Maka Aku Bertanya



Akhir-akhir ini umat beriman beruntun diresahkan oleh pelbagai literatur yang dianggap mengguncang keyakinan. Setelah The Da Vinci Code berlalu, kini rak toko buku dipenuhi dengan karya-karya sensasional, antara lain: The Jesus Family Tomb (Simcha Jacobovici dan Charles R. Pellegrino), Misquoting Jesus (Bart D. Ehrman), The Jesus Dinasty (James Tabor), dan The Lost Gospel (Herb Krosney, tentang Injil Yudas). Keyakinan kita yang terpelihara selama berabad-abad serasa ditelanjangi. Keraguan terbersit. Sebagian orang memilih diam dan membiarkan pikiran tidak beranjak untuk menelisik lebih jauh. Yang lain mencoba menanggapi keraguan dengan menelaah dan mengolah pikiran untuk menemukan kebenaran yang teguh.

“Keraguan adalah bagian dari cinta akan kebenaran”, kata Ernest Renan. “Ketakpernahraguan” sesungguhnya lebih mencerminkan apatisme ketimbang keteguhan pada keyakinan. Keraguan adalah karakter intrinsik makhluk insani berakal budi. Orang yang mengecam keraguan justru adalah orang yang ragu-ragu. Bila kita yakin apa yang kita percayai adalah kebenaran, mengapa kita takut dan gerah ketika kebenaran itu diuji? Pepatah Cina mengatakan: “Emas murni tak takut pada api (cen cing put pha huo)”. Dibakar dengan api apa pun, emas murni tetaplah emas murni. Begitu pula dengan kebenaran. Apakah keraguan mengakibatkan hilangnya iman, masih harus diteliti lebih jauh. Tapi benar bahwa keraguan dan sikap kritis dapat mengubah beberapa sudut pandang. Tanpa tekanan media sensasional di atas pun, sikap iman akan berkembang seiring dengan waktu. Bila dulu, segala hal diterima begitu saja, sekarang kita membutuhkan telaah yang lebih dalam. Kendati demikian, keterbatasan daya nalar tetap menyadarkan bahwa kita tidak bisa memiliki jawaban yang pasti untuk segala sesuatu.

Dalam tanggapan atas karya Da Vinci Code, Romo Franz Magnis-suseno dalam Tempo edisi 28 Mei 2006, berujar: “Yang saya anggap sebagai tragedi banyak orang Kristen ialah bahwa mereka menarik kesimpulan cengeng dari bahaya-bahaya itu. Daripada menanggapinya sebagai tantangan, mereka mengutuknya sebagai anti-Tuhan, dan lari ke dalam jemaat-jemaat tempat mereka merasa aman dari dunia buruk,…. Bagi saya, sikap ini melarikan diri dari perutusan Gereja ke dalam dunia….” Keraguan yang menerpa pikiran tak perlu dianggap ancaman. Lagi pula Gereja telah melewati abad-abad “pertengahan”: abad di mana kita berada pada tahap “mediocare”, setengah-dewasa. Kita telah melewati “masa banteng”. Tatkala sesuatu membuat marah, seekor banteng menurunkan tanduk, menaikkan buntut, mata memicing tajam menuju sasaran, tanpa pikir panjang, menyerang lurus ke depan.

Karya-karya sensasional di atas menantang kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Yesus memiliki anak dari Maria Magdalena? Apakah benar kuburan-Nya sekeluarga telah ditemukan? Apakah Ia pura-pura mati, menyelinap pergi, dan melarikan diri ke Mesir? Apakah ayah kandung-Nya bernama Panthera? Apakah Injil-injil bisa dipercaya? Adakah sumber lain yang lebih lengkap tentang hidup Yesus? Dan yang paling parah: Apakah Yesus sungguh-sungguh pernah hidup? Sungguh, tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat diajukan. Para penulis tampaknya cenderung mencari sumber di luar keempat Injil untuk mendapatkan data tentang Yesus. Padahal dari sisi historis maupun arkeologis, keempat Injil merupakan bahan tertua. Ironisnya, mereka lebih berminat pada kitab-kitab abad-abad selanjutnya. Anehnya, tiga karya yang disebut terakhir di atas berasal dari ahli yang berkompeten. Tampaknya rasionalitas dan obyektivitas telah ditarik dari sumbu rodanya.

Itulah tantangan iman zaman baru kita. Jika dahulu Yesus disalibkan oleh pemuka agama Yahudi dan penguasa Roma, kini Dia disalibkan oleh media massa. Mereka memaku-Nya dengan pasak pena, menikam-Nya dengan gambaran fiksi berkedok fakta; legenda dan mitos bertopeng sejarah. Dalam penyaliban ini, di mana posisi kita? Pontang-panting melarikan diri, berdiri jauh-jauh, atau ada di kaki salib-Nya?

Masalah yang lebih utama bukanlah ancaman semu yang muncul dari karya-karya sensasional yang dianggap menggoyahkan keyakinan. Masalahnya ada dalam diri kita. Sejauh mana kita berani menelisik keyakinan iman kita. Barangkali kita lebih tenang dan merasa aman dengan “angin surga” yang melingkungi keyakinan-keyakinan kita. Kita tidak siap menghadapi kemungkinan untuk hidup dengan iman yang resah. Yang kita dambakan mungkin keyakinan tanpa gangguan seolah kehidupan merupakan jalan lurus dan rata.

Keraguan dan bertanya adalah awal pengetahuan dan wujud nyata kecintaan akan kebenaran. Paradigma harus diubah. Bukan: “Aku tak percaya, maka aku bertanya, melainkan “Aku percaya, maka aku bertanya”. Credo ergo interrogo! Aku percaya, dan untuk meneguhkan kepercayaan, maka aku bertanya. Keyakinan pun sedapat mungkin dipertanggungjawabkan secara rasional. Rasional tapi bukan rasionalistik! Yang dibutuhkan adalah rasionalitas, bukan rasionalisme! Rasionalistik adalah ciri dari rasionalisme. Rasional berarti menelaah anggapan atau kepercayaan dengan akal sehat. Sementara rasionalistik mengharuskan segala sesuatu diuji terlebih dahulu sebelum diterima. Rasionalisme radikal menuntut agar orang tidak menerima kepercayaan sebelum terbukti benar. Dalam banyak hal, sikap rasionalistik tidak mungkin terlaksana dan tidak perlu! Tidak mungkin kita harus selalu menguji apakah setiap jembatan yang akan kita lewati masih kuat. Sikap rasionalistik juga tidak perlu, karena kita bukanlah manusia pertama dan satu-satunya yang hidup di dunia. Maka tidak mungkin dan tidak perlu kita memastikan segala sesuatu sendirian. Kita bisa percaya pada orang lain dan mendasarkan diri pada pelbagai tradisi yang memuat pengalaman generasi-generasi terdahulu. Sesekali kita dapat bertanya dan bertanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan sesuai dengan zaman kita.

Karena kita diberi anugerah khusus akal budi sebagai makhluk insani, marilah kita memanfaatkannya. Kita tidak lebih suci dan saleh dengan mengatakan bahwa keyakinan harus diterima kendati bertentangan dengan akal sehat. Apa boleh buat, kita hidup sekarang dan di sini. Kita tidak hidup di zaman para Rasul, seperti Petrus, yang ke mana-mana membawa pedang terhunus. Kita juga aman dari penguasa yang berusaha memberanguskan kekristenan di zaman Nero. Setiap zaman memiliki tantangan dan tanggung jawab yang berbeda. Zaman baru ini menuntut agar kita ke mana-mana selalu siap dengan akal budi terus bernyala. Baiklah kita menaruh lentera budi anugerah Tuhan bukan di dalam tempayan, melainkan di tempat yang tinggi untuk menerangi kegelapan dunia.

Lianto