Saturday, July 26, 2008

Pindah Agama: Rumput Tetangga Lebih Hijau



Ibuku seorang budhis, memegang peranan penting di salah satu wihara. Ia sering mendapat tugas untuk mengajar calon-calon penganut Budha di berbagai kota dan desa. Berkali-kali ibuku dianjurkan untuk “menginjili”-ku, agar pindah menjadi penganut Budha. Untuk menolak misi tersebut, ibuku menjawab: “Ide itu tak usah dipikirkan, kita harus bersyukur bahwa dia tidak menarikku masuk gereja”. Tapi rekan-rekan ibu masih penasaran, bahkan petinggi dari Taiwan mencoba mendekatiku. Saya utarakan pandangan pribadi tentang agama dan pindah agama.
Hingga kini, mereka tidak berminat lagi untuk membahas hal itu denganku.

Bagiku, memilih dan memeluk agama dapat diibaratkan memilih dan menikahi seorang isteri atau suami. Kita tidak boleh menikahi orang sana-sini dengan alasan cinta. Demikian pula kita tidak bisa menganut banyak agama dengan alasan semua agama sama-sama menyembah Tuhan YME. Sama seperti pernikahan, pembaptisan juga mensyaratkan komitmen dan janji setia. Dalam arti tertentu, agama yang dipilih adalah isteri atau suami kita. Tidak ada alasan apa pun yang bisa dipakai untuk menduakannya. Kepada rekan-rekan seiman ibuku, saya katakan bahwa saya telah beristri (maksudnya: beragama) yang kucintai dan kuyakini. Menurutku, dalam kelebihan dan kekurangan yang ada, dialah (agama Katolik) yang terbaik. Pantaskah Anda sekalian para tetua menawarkan perempuan (agama) lain? Lawan bicara yang kebanyakan ibu-ibu termangu. Bagaimana perasaan Anda, bila suatu saat saya menawarkan seorang suami untuk menggantikan suamimu, atau menawarkan kepada suamimu seorang perempuan lain? Mereka masih terpaku. Karena tidak ada tanggapan, saya tutup pembicaraan dengan petuah Yesus tentang Golden Rule: “Janganlah memperlakukan pada orang lain hal yang engkau tidak ingin orang lain perbuat bagimu”. Petuah ini sangat popular di kalangan Tionghoa karena Kong Fu Tse juga mengajarkannya.

Kerapkali orang pindah agama bermula dari ajakan teman. Masalahnya sebetulnya ada dalam diri kita sendiri. Apakah kita adalah orang yang setia pada janji dan komitmen. Sama seperti pernikahan, agama bukanlah pakaian yang bisa diganti-ganti sesuai dengan selera warna dan mode. Orang yang gonta-ganti agama (gereja) menampilkan kedangkalan hidup. Mereka terpaku pada bentuk lahiriah, dan tidak menyelami hakikat agama itu sendiri. Kebanyakan orang yang pindah gereja mempermasalahkan ritus, liturgi, lagu-cara menyanyi, dan sebagainya. Mereka mengeluhkan pengulangan doa dan nyanyian yang membosankan. Mereka membanggakan kotbah yang menggebu-gebu. Ada pula yang mempermasalahkan hierarki gereja yang kaku. Maunya setiap orang bisa bersaksi, melayani, berkotbah, dan memimpin seturut dorongan “roh”. Benarkah kita sungguh terpanggil untuk mewarta, dan menurut bisikan roh harus dilakukan di mimbar gereja? Ataukah kita hanya merasa akan tersanjung bila kita bisa membagikan renungan menarik yang baru saja kita baca entah dari majalah apa. Barangkali setiap orang perlu terus bertanya diri: “Apa yang sesungguhnya kucari dengan melangkahkan kaki ke gereja?”

Orang-orang yang rumah tangganya bermasalah, sering menggumamkan pemeo: “Rumput tetangga lebih hijau”. Barangkali pemeo ini bisa pula menjadi refleksi bagi orang yang pindah agama. Mungkin inilah salah satu watak manusia yang tak pernah puas dengan apa yang dimiliki atau sedang dijalani. Kita kerap berpendapat bahwa apa yang dimiliki orang lain lebih baik dari yang kita miliki. Setelah kita memiliki “rumput” seperti yang ditanam tetangga, lama-lama perasaan kita menjadi biasa. Ternyata rutinitas yang dihindari ditemukan dalam semua agama. Apa yang tadinya baru dan menarik segera menjadi rutinitas setelah sekian waktu menjalaninya. Rupanya apa yang tampak indah di mata tidak selalu indah ketika kita memiliki atau menjalaninya. Sampai kapankah kita akan terus melirik rumput-rumput tetangga lainnya. Jauh lebih baik bila kita merawat dan menyiangi rumput kita. Biar tetangga magut-magut mengaguminya (maksudnya agama kita).

Hal yang patut disesali adalah bahwa kita sulit “melihat” sisi baik dari hal yang kita miliki. Ini berkaitan dengan cara pikir dan cara pandang terhadap hal-hal sekitar kita. Kita menilai sesuatu menurut pikiran kita tentang hal itu, dan bukan menurut apa yang memang hal itu.

Ada satu cerita. Suatu hari, Lidya datang ke kantor Anton, mantan suaminya. Anton sedang sibuk melayani seorang pelanggan. Melihat Lidya menunggu dengan gelisah, pimpinan Anton menghampirinya dan mengajaknya berbincang-bincang. “Saya sangat senang suami Anda bekerja di sini. Dia seorang yang sangat berarti dalam perusahaan kami, penuh perhatian, dan berbudi baik”, ujar si Boss. Lidya terperangah mendengar penilaian orang terhadap mantan suaminya, namun ia diam saja. Anton ternyata mendengar percakapan mereka. Setelah Lidya pergi, Anton menjelaskan kepada boss-nya bahwa mereka berdua telah berpisah sejak enam bulan yang lalu. Lidya mencarinya jika membutuhkan tambahan uang untuk biaya hidup putra mereka. Beberapa minggu kemudian telepon berbunyi untuk Anton. Ia mengangkatnya dan berkata, “Baiklah Ma, kita akan melihat rumah itu setelah pulang kerja.” Si Boss mengira Anton sudah mendapat pasangan baru. Anton menghampiri boss-nya dan berkata: “Lidya dan saya sepakat memulai kembali perkawinan kami. Lidya mulai melihat saya secara berbeda tak lama setelah Bapak berbincang dengannya tempo hari.” Di sini perubahan drastis terjadi karena perubahan cara melihat. Awalnya di mata Lidya, Anton itu orang yang membosankan dan menyebalkan. Ia tidak melihat Anton sebagaimana Anton adanya. Cara baru dalam “melihat” ini disebut cara pikir “inside out”. Benarlah Stephen Covey ketika mengatakan: “Bila Anda menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku Anda. Tetapi bila Anda menginginkan perubahan besar dan mendasar, garaplah paradigma (pola pikir) Anda.”

Disinyalir bahwa ada kaitan antara kesetiaan terhadap agama dengan kesetiaan terhadap pasangan hidup. Orang yang gampang pindah gereja juga gampang pindah “ke lain hati”. Masih dibutuhkan riset untuk membuktikan kebenarannya. Namun barangkali satu hal agak pasti: mereka adalah orang yang gampang tidak puas dengan apa yang ada. Sadar atau tidak, mereka tidak suka komitmen atau janji setia, karena keduanya mengandaikan rutinitas.

Lianto (Publikasi: Majalah Duta Desember 2007)