Saturday, July 26, 2008

Kematian: Titian Kehidupan



Jika pernah melewati titian atau jembatan gantung di atas sungai, kita dapat merasakan betapa berdebarnya jantung kita tatkala melaluinya. Titian membangkitkan perasaan tak menentu, cemas, dan takut, apalagi alur atau jurang yang terbentang tampak curam. Semakin dekat ke titian, seorang penyeberang makin takut. Tapi, mau tak mau titian harus dilalui jika orang ingin sampai ke seberang.

Menurut seorang penyair Jerman, kematian adalah titian kehidupan. Melalui kematian, kita menyeberangi “dunia sini” menuju “dunia sana”; dunia fana menuju dunia kekal. Sama seperti terhadap titian, manusia selalu diliputi rasa cemas dan takut berhadapan dengan kematian. Maut sebagai maut, bisu untuk diajak tawar-menawar; buta untuk membedakan status, agama, dan warna kulit. Konon kabarnya, ketika mendapat serangan jantung yang hebat pada suatu hari Rabu, Paus Pius XI meminta para dokter untuk mengusahakan pelbagai cara agar hidupnya dapat bertahan sekurang-kurangnya sampai hari Sabtu. Sebab pada hari itu ia harus berbicara di depan Sinode Uskup-uskup Italia. Atau kalau bisa sampai pada hari Minggu, sehingga ia dapat merayakan peringatan sepuluh tahun Perjanjian Lateran. Tetapi kata-kata Paus ini tidak kuasa mengelakkan maut. Hari Kamis pagi, Paus yang masyhur ini meninggal dunia.

Apa itu kematian? Secara medis, kematian barangkali dapat dipahami sebagai disfungsi (tidak berfungsinya) organ-organ vital yang memungkinkan kehidupan. Bertolak dari kriteria-kriteria medis yang empiris (yang terasa dan terukur), seorang dokter dapat menyimpulkan bahwa pasien yang dirawat telah mati. Iman tentu punya kacamata lain. Kacamata iman membantu kita untuk “memandang” (kontemplasi) realita secara “tembus pandang” sehingga kita dapat melihat kesejatiannya. Apa yang tampak bagi mata hanyalah kulit pembungkus. Kesejatian realita adalah kebenaran yang ada di balik peristiwa.

Sebagai bagian dari alam raya, manusia dapat bercermin dari siklus hidup seekor kupu-kupu. Di kala mendapati seonggok kepompong, orang berpengetahuan kurang akan berpikir bahwa ulatnya telah mati. Padahal ulat itu telah berubah menjadi seekor kupu-kupu nan indah. Ilmuwan menyebutnya metamorfosa. Pemakaian kata “mati” untuk si ulat adalah salah. Kesalahan ini juga sering dikenakan pada matahari. Kita terlalu biasa mengatakan matahari “terbit” dan “terbenam”. Padahal nyatanya, matahari tidak pernah terbit maupun terbenam. Ia tetap berada pada posisinya. Namun karena bumi kita berputar mengelilinginya, tampaklah bagi kita seolah-olah matahari terbit dan terbenam. Dua lukisan alam ini mau mengatakan bahwa kebenaran tidak selalu identik dengan apa yang terlihat oleh mata.

Kata “meninggal” terasa lebih tepat dan imani karena kematian sebenarnya adalah “meninggalkan” dunia sini untuk hidup di dunia sana. Liturgi perayaan orang kudus meneguhkan pandangan ini. Santo-santa/martir diperingati bukan berdasarkan hari kelahirannya, melainkan hari kematiannya. Kematiannya di dunia sini adalah kelahirannya di dunia sana (surga).

Dalam Perjanjian Lama, Yesaya menegaskan keyakinan bahwa masih ada kehidupan setelah kematian. Kehidupan baru itu dilukiskan dengan perjamuan yang penuh dengan suasana kegembiraan, keakraban, dan kekeluargaan di antara segala bangsa dengan Allah. Di situ, kain perkabungan akan dilepaskan, maut ditiadakan, dan air mata dihapuskan (Yes. 25:6a. 7-9). Hal ini menegaskan pandangan iman bahwa kematian bukanlah perhentian atau titik akhir, melainkan peralihan atau titik awal dari kehidupan baru.

Dalam Perjanjian Baru, peristiwa kebangkitan Yesus adalah contoh terbaik. Kebangkitan Yesus menandakan bahwa kematian merupakan pintu keselamatan dan kehidupan baru. Kematian bukanlah pemusnahan, melainkan penciptaan. Kematian bukan rintangan, melainkan bagian dari kehidupan. Itulah titian yang harus dilewati setian insan. Orangtua, sanak-saudara, dan sahabat yang telah meninggal diciptakan menjadi ciptaan baru di dunia baru. Dalam arti tertentu, mereka mengalami metamorfosa. Mereka yang telah meninggalkan jasadnya (katakanlah kepompongnya) di kuburan sana, kini mempunyai sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga. Seperti sang surya, mereka “terbenam” di dunia ini, dan pada saat yang sama, mereka “terbit” di dunia baru. Dengan kacamata iman ini, hendaknya air mata kita adalah air mata keterharuan karena perpisahan, dan bukan keputusasaan. Mereka hanya mendahului kita. Pada saat yang dikehendaki, kita akan kembali bersama.

VITA MUTATUR, NON TOLLITUR. Hidup diubah, bukan dibuang. Kisah kebangkitan Yesus ditutup dengan seruan malaikat: “Jangan takut, Yesus yang kamu cari telah bangkit.” Tak henti-hentinya Injil mengulang kata “Jangan Takut”. Dalam seluruh KS, ungkapan “Jangan takut” ditemukan 366 kali. Ini berarti sepanjang tahun (365 hari), kita setiap hari diteguhkan dengan satu kali seruan “Jangan takut”. Satu kali sisanya disediakan untuk tahun panjang yang biasa disebut tahun kabisat. Semoga hati dan budi kita semakin diterangi untuk memaknai aneka peristiwa.

Lianto