Wednesday, October 15, 2008

Nilai Seikat Kembang




Seorang pria turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum. Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan. Setelah memberi salam, pria yang ternyata adalah sopir itu berkata, "Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi beliau akan meninggal!"

Penjaga kuburan itu menganggukkan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu.

Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan itu sambil berkata, "Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat kembang dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."

"O, jadi Nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan kembang, tetapi saya tidak pernah menaruh kembang itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.

"Apa, maaf?" tanya wanita itu dengan gusar.

"Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh kembang itu di sana karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat kembang. Karena itu setiap kembang yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman kembang-kembang itu, Nyonya," jawab pria itu.

Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.

Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan.

"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny.Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal.

Ketika saya secara langsung mengantarkan kembang-kembang itu ke rumah sakit atau panti jompo, kembang-kembang itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia.

Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"

Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri akan membuat kita terperangkap di kubangan kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu dengan menolong orang lain sesungguhnya kita menolong diri sendiri.

Anonim

Monday, September 29, 2008

Untuk Apa ber-Filsafat?



Dalam percakapan sehari-hari, kata filsafat seringkali disamakan dengan kecakapan berdebat. Tidak jarang pula dimengerti sebagai kumpulan “kata mutiara”. Pemahaman ini mereduksi filsafat menjadi cuilan-cuilan yang memang merupakan tampilan luar filsafat. Sesungguhnya filsafat maupun (tindakan) berfilsafat melekat dalam diri kita secara eksistensial. Tanpa disadari, filsafat sudah tumbuh sejak seorang manusia cilik “melihat” diri dan dunia. Pertanyaan si bocah: “Mama, apa ini? Apa itu?” “Papa, kenapa begini? Kenapa begitu?” adalah pencarian filosofis perdana manusia. Filsafat bermula dari rasa kagum, rasa heran, rasa sangsi, dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam alam raya seluas segala kenyataan. Tindakan berfilsafat berada bersama dengan keberadaan manusia. Ketika Anda mengagumi seekor kupu-kupu, merasa heran dan bertanya dari mana asalnya, menyangsikan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya, dan berpikir lagi untuk menggali sebab-sebab yang lebih dalam, Anda telah berfilsafat.

Filsafat sebagai “Ilmu”
Keseharian filosofis seperti terungkap di atas menjadi “ilmu” tatkala jalan pemikiran ditata sedemikian sehingga bersifat metodis, koheren, dan sistematis. Dengan demikian, secara sederhana, filsafat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren yang menyelidiki segala sesuatu dengan mencari sebab-sebab terdalam berdasarkan daya pikiran manusia.

Sifat metodis (menggunakan metode tertentu), koheren (kaitan logis antara ide yang satu dengan yang lain), dan sistematis (pemikiran tertuang dalam keteraturan) membawa filsafat menjadi pengetahuan yang ilmiah.

Lapangan penelitian filsafat mencakup segala sesuatu yang ada. Obyek material dari filsafat ini membedakannya dari ilmu pengetahuan (sains) yang meneliti bidang tertentu dari kenyataan. Pencarian sebab-sebab terdalam menunjukkan obyek formal filsafat. Berbeda dari sains umumnya yang mencari sebab yang dekat (causa proxima), filsafat mau membedah realitas hingga mencapai sebab-sebab terdalam (causa ultima).

Titik tolak daya pikiran manusia membedakan filsafat dari teologi yang mendasarkan pemikirannya pada buku suci agama-agama. Dengan titik tolak ini, filsafat menghasilkan buah pemikiran yang berlaku universal melampaui kotak-kotak agama. Dalam ranah filsafat, semua orang (baik teis maupun ateis) bisa duduk bersama untuk mendiskusikan wacana ketuhanan, kemanusiaan, dan dunia.

Definisi filsafat di atas sekaligus menunjukkan posisi perbedaan filsafat dari sains dan teologi. Perbedaan tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman antara ketiga ranah. Tentang hal itu, Bertrand Russel dalam History of Western Philosophy berujar: “Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun ilmu pengetahuan. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat.”

Filsafat sebagai Jantung Akademis
Kendati berbeda dari sains dan teologi, peranan filsafat dalam pembentukan dan pengembangan kedua bidang tersebut tidak dapat dilupakan. Dalam sejarah, banyak ilmuwan handal (Albert Einstein, Isaac Newton, Copernikus) dan teolog masyhur (Agustinus, Thomas Aquinas, Ibnu Sina, Ibnu Rushd) adalah filsuf yang piawai. Fakultas Filsafat di universitas sering disebut inter-fakultas, karena sains yang dipelajari dalam fakultas-fakultas lain terbentuk dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menjadi ilmu. Di sisi lanjut, penelaahan sains tidak jarang menjumpai permasalahan-permasalahan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Permasalahan-permasalahan itu dikembalikan lagi kepada filsafat.

Hal yang sama terjadi dalam penelaahan teologi. Teologi sebagai ekspresi eksistensial manusia selaku makhluk religius tidak dapat mengabaikan sisi manusia selaku makhluk berakal budi. Ungkapan iman pun harus diusahakan agar dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Teologi yang disampaikan tanpa pengujian filosofis terancam menjadi indoktrinisasi dan ideologisasi yang bakal menciptakan fundamentalisme. Pemikiran filosofis membiasakan orang untuk berpikir kritis. Kritis berarti tidak gampang menerima maupun menolak sesuatu sebelum menelaahnya berdasarkan kriteria yang sesuai. Sikap kritis membuat orang untuk selalu mendudukkan persoalan ke tempat yang proporsional. Dalam konteks ini filsafat dapat menjadi jantung akademis bagi sains dan teologi. Dalam fungsi ini, filsafat tidak lagi menjadi “daerah tak bertuan yang diserang baik oleh sains maupun teologi”, melainkan mitra bagi keduanya.

Filsafat Makin Populer
Akhir-akhir ini media massa menunjukkan apresiasi yang besar pada risalah-risalah filsafat. Acungan jempol pantas diberikan kepada sejumlah penerbit buku (misalnya: Mizan, Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, Jendela, Jalasutra, dll.) yang tiada hentinya menerbitkan buku-buku filsafat yang bermutu. Barangkali masyarakat luas mulai bosan dengan menjamurnya buku-buku how to, self-help, do-it-yourself dan pelbagai buku tentang kiat-kiat praktis pedoman hidup. Lama kelamaan orang mulai merasa bahwa kiat-kiat itu sebenarnya tidak sepraktis yang dipromosikan. Buku-buku filsafat yang mengasah kemampuan berpikir untuk menemukan sendiri akar masalah kehidupan merupakan perimbangan bagi wacana era baru kita. Dalam kalangan artis, kita melihat minat filsafat dalam diri Dian Sastro dan Rieke Diah Pitaloka. Rak filsafat di toko buku pun mulai dikunjungi pembaca.

Sejauh manakah kaum akademisi telah mengapresiasi peranan filsafat? Sejauh mana lembaga-lembaga sekolah tinggi mengakomodasi kuliah filsafat di samping kuliah sains dan teologi? Sudah selayaknya hal ini menjadi kepedulian bersama di era milenium baru kita.

Lianto

Friday, August 8, 2008

Optical Illusion



Judul ini bukan bercerita tentang seluk-beluk bisnis optikal yang saya geluti. Optical Illusion berkaitan dengan tipuan-tipuan mata atau interpretasi yang keliru ketika mata (indera) mencerap (mempersepsi) suatu obyek. Contoh-contoh berupa gambar yang menunjukkan gejala ini dapat disimak dalam situs Optical Illusions dalam link blog ini. Bermula dari rasa iseng untuk mengunjungi situs ini, akhirnya saya terkesan dan dibimbing kepada kelana filosofis untuk memilah apa yang sejatinya merupakan kenyataan (an sich) dari apa yang hanya “tampak” oleh mata. Manusia melihat matahari terbit dan berkata “Lihat itu, matahari telah terbit”. Kenyataannya, matahari tak pernah terbit maupun terbenam. Sebaliknya, bumilah yang mengitarinya.

Ternyata, manusia sebagai subyek seringkali menilai kenyataan menurut sudut pandangnya. Akibatnya, kenyataan seolah bermakna-ganda, tergantung pada subyek (manusia) yang memandangnya. Obyek yang satu dan sama bisa berarti A bagi saya, sekaligus B untuk orang lain. Pencerahan lain, ternyata apa yang mulanya bagi saya merupakan suatu kemustahilan (coba lihat gambar kubus di atas), seiring berjalannya waktu, bisa menjadi tidak mustahil. Hal ini menunjukkan keterbatasan indera saya sebagai subyek dalam mengenal kenyataan. Apa yang saya dan Anda lihat tidak identik dengan kenyataan dalam dirinya. Sayangnya, tidak jarang orang menghabiskan energi untuk memaksakan opini yang subyektif kepada orang lain. Kerap pula, orang menganggap sesuatu “tidak mungkin” ketika ia tidak mampu mengerjakannya, atau sesuatu itu “tidak ada” ketika ia tidak melihatnya.

Idealisme vs Realisme
Apa itu kenyataan (realitas)? Dualisme Plato berpandangan bahwa realitas dibagi menjadi dua, yakni “dunia-atas” yang merupakan dasar kebenaran dan kenyataan yang kita kenal melalui indera (subyektif). Kenyataan yang dikenal melalui indera (gejala yang tampak) dianggap sebagai bayangan semata. Dualisme ini dalam pelbagai variasi diteruskan oleh Agustinus, Ibnu Sinna, Descartes, hingga berpuncak pada Immanuel Kant. Menurut Kant, kenyataan dibedakan menjadi “kenyataan yang dikenal” dan “kenyataan di seberang pengetahuan” (Das Ding an sich). Das Ding an sich tersembunyi bagi subyek. Antara keduanya, terbentang jurang yang tak terseberangi. Oleh karena itu, apa yang kita anggap realitas, sebenarnya merupakan kenyataan yang dikenal atau tampak bagi kita (subyek). Itulah sebabnya mengapa realitas yang satu dan sama bisa dilihat berbeda oleh beberapa subyek yang mencerapnya. Pandangan ini disebut idealisme. Aliran ini menekankan peranan subyek karena berkat kegiatan subyek, kenyataan menjadi “kenyataan yang dikenal”. Dengan kata lain, kenyataan diberi bentuk dan cap manusiawi.

Berseberangan dengan pandangan di atas, Aristoteles melihat bahwa kenyataan hanya satu, yakni kenyataan yang dikenal melalui indra. Hanya saja, kenyataan yang dikenal bersifat multidimensional. Di dalamnya terdapat dimensi inderawi dan dimensi rohani. Keduanya saling berkaitan erat dan tidak terpisahkan. Di antara kedua dimensi terbentang jarak (bukan jurang) yang tidak mustahil dapat dicapai melalui proses. Aliran ini disebut realisme. Berbeda dari idealisme, realisme menekankan peranan kenyataan (obyek). Manusia sebagai subyek dapat sampai pada pengetahuan yang benar jika “membiarkan kenyataan menyatakan diri”. Untuk Aristoteles, “melalui indera” tidak sama dengan “terbatas pada indera”. Pembedaan ini mengalami bias ketika muncul sejumlah filsuf yang meyamakan keduanya. Akibatnya, realisme ini diabsolutkan menjadi materialisme, empirisme, dan positivisme, yang melihat bahwa tidak ada kenyataan lain selain dari kenyataan yang dapat diverifikasi melalui observasi. Dewasa ini, aliran ini disebut saintisme yang melihat bahwa tidak ada kenyataan lain selain kenyataan yang dapat dibenarkan oleh metode sains. Menurut aliran ini, kenyataan bersifat eka-dimensional: pokoknya mesti EMPIRIS! "Buanglah buku (yang tidak memuat penyelidikan empiris) ke dalam api!", kata David Hume.

Jalan Tengah: Antara Idealisme dan Realisme
Dimanakah Anda berpijak: idealisme atau realisme? Umumnya manusia sulit hidup dengan hal-hal yang berlawanan. Orang sering berpikir bahwa harus ada satu yang benar di antara dua hal bertentangan. Manusia umumnya tidak gampang untuk menerima suatu paradoks (dua hal berbeda/bertentangan tapi benar keduanya, atau masing-masing ada benarnya). Makanya banyak orang lebih berpihak ke kanan atau ke kiri, hitam atau putih (tidak ada abu-abu). Pola pikir ini dikuasai oleh tirani “atau”. Tirani “atau” mendesak orang untuk percaya bahwa keputusan haruslah memilih A atau B, bukan keduanya.

Idealisme Plato-Kant ada benarnya dalam arti kenyataan yang dikenal memang tidak identik dengan kenyataan yang sebenarnya. Realisme Aristoteles-Thomistik ada benarnya dalam hal kenyataan berdimensi inderawi yang harus berproses dan mengalami dinamika menuju kenyataan yang berdimensi rohani. Jarak antara keduanya berdasar pada jarak implisitasi dan eksplisitasi. Dalam eksplisitasi, kenyataan yang dikenal tidak identik (non-identitas) lagi dengan kenyataan-dalam-dirinya. Ini ciri khas pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia selalu pengetahuan menurut cara manusia (modo humano). Di samping menjelaskan keterbatasan dan keunikan pengenalan di antara manusia yang satu dengan yang lain, kekhasan cara mengenal yang manusiawi ini juga menjelaskan adanya ketidak-identikan antara kenyataan yang dikenal dengan kenyataan-dalam-dirinya (Das Ding an sich).

Menerima paradoks ini berarti menjaga keseimbangan antara aktivitas (memperoleh) pengenalan dan pasivitas (menerima) pe-nyataan. Jika subyek terlalu aktif, maka kenyataan yang diperoleh akan lebih merupakan kenyataan yang dikenal (subyek aktif; subyektif). Tetapi jika aktivitas subyek bersifat menerima, niscaya kenyataan yang dikenal akan lebih berdimensi rohani; lebih dekat dengan kenyataan yang sebenarnya (obyektif). Kendati Das Ding an sich tersembunyi dan tidak identik sama dengan kenyataan yang dikenal, tidak berarti tia tak dapat didekati.

Membiarkan kenyataan menyatakan diri tidak berarti bahwa subyek melulu pasif. Membiarkan kenyataan menyatakan diri merupakan aktivitas subyek yang bersifat “mendengarkan”. Tampaknya pasif, tapi sesungguhnya “mendengarkan” lebih aktif dari yang dapat dibayangkan. Lihat saja, manusia umumnya lebih gampang untuk berbicara daripada mendengarkan.

Kendati tampaknya subyeklah yang aktif dalam pengenalan obyek, dari segi isinya, subyek sama sekali tergantung pada obyek. Kekeliruan justru terjadi karena subyek tidak atau kurang membiarkan obyek (kenyataan) “berbicara” atau menghadirkan dirinya. Matahari tetap tidak terbit dan terbenam meskipun manusia tetap ngotot mengatakannya terbit dan terbenam. Pohon jambu tetaplah pohon jambu tidak tergantung pada subyek yang mengatakannya sebagai pohon beringin. Obyeklah yang menentukan apa yang saya lihat, bukan sebaliknya. Jelas bahwa esse mendahului cognoscere. Kenyataan diketahui karena memang ber-ada, dan bukan berada karena diketahui.

Akhirnya, pengetahuan akan ketidak-identikan antara Das Ding an sich dengan kenyataan-dikenal yang terbatas mengindikasikan adanya kenyataan tak terbatas, satu, dan identik dalam diri subyek. Sebagaimana suatu lingkaran tidak sempurna mengindikasikasikan pengetahuan tentang lingkaran sempurna yang ada dalam diri subyek. Ini berarti bahwa pengetahuan berawal dari kenyataan yang satu, identik, dan tak terbatas. Menjadi terbatas, “dua”, dan non-identik ketika pengetahuan dieksplisitasi (diungkapkan). Pengetahuan manusiawi itu obyektif sekaligus relatif; identik sekaligus tidak-identik; tak terbatas sekaligus terbatas; imanen sekaligus transenden!

Lianto
Sumber: Kuliah Filsafat Pengetahuan Adelbert Snijders

Tuesday, August 5, 2008

Gereja dan Negara



Gereja dan politik adalah saudara kandung. Mereka terkait erat karena mempunyai kepedulian yang sama. Politik sejatinya adalah upaya pemenuhan kesejahteraan umum (bonum commune). Gereja sendiri (baik dalam arti institusi maupun umat Allah) terpanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah yang dimaksud adalah situasi hidup manusia di mana kebenaran, keadilan, dan kedamaian mendominasi dunia. Karena mereka itu sekandung, keduanya semestinya punya hubungan baik, namun tidak boleh “dinikahkan”. “Pernikahan” Gereja (sebagai institusi) dan negara (politik) melahirkan bencana. Hal ini nyata dari sejarah kelam Gereja Katolik ketika urusan Gereja dan urusan negara (politik) disatukan.

Sejarah Gereja membuktikan bahwa ketika gereja menjadi “gereja-negara” dan negara menjadi “negara-gereja”, keduanya berakhir pada jalan buntu. Tatkala negara mendominasi (Gereja), gereja direduksi menjadi hanya lembaga sekular manusiawi. Padahal Gereja adalah persekutuan rohani yang dibentuk Allah sendiri. Sebaliknya, ketika Gereja mendominasi (negara), negara disakralkan, dan kebijakan negara (politik) disejajarkan dengan isi wahyu. Tanpa pemilahan yang jelas, hubungan keduanya justru menjadi carut-marut. Keduanya saling eksploitasi dengan aneka trik. Kredibilitas keduanya merosot di mata rakyat dan umat.

Pemilahan antara kedua saudara kandung tersebut harus diperjelas teristimewa dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Umat Allah (Gereja) semestinya membedakan peran mereka dalam politik di satu pihak sebagai pribadi atau kolektif selaku warganegara, dan di lain pihak berperan dalam tugas kemanusiaan atas nama Gereja. Gereja sebagai institusi harus menghindarkan diri dari keterlibatan politik (praktis) berdasarkan agama yang dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat majemuk. Di samping itu, bila menyimak pelbagai praktek politik berbasis agama, agama biasanya hanya menjadi palu di tangan politisi, yang setelah dipakai kemudian dilempar kembali ke kotak perkakas.

Pemilahan antara Gereja dan politik tidak berarti bahwa umat kristiani tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik. (Perlu dipilah jelas makna Gereja sebagai institusi dan sebagai umat Allah). Justru sebaliknya, umat kristiani sebagai Gereja yang terpanggil untuk menghadirkan kebenaran, keadilan, dan kedamaian harus terlibat proaktif dalam upaya pemenuhan kesejahteraan umum yang merupakan tujuan dari politik. Setiap umat kristiani bersama seluruh komponen bangsa harus mengupayakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Berbagai kerusuhan massa seperti pembunuhan massal, pembakaran/penutupan gereja, ancaman bom, dan aneka bentuk diskriminasi menunjukkan realita negara tidak mampu memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Ini berkaitan dengan kebijakan politik para negarawan. Keterlibatan umat kristiani dalam proses politik diharapkan dapat ikut mempengaruhi pengambilan kebijakan politik yang lebih adil. Dengan kata lain, politik merupakan salah satu jalan dan arena di mana nasib dan masa depan seluruh rakyat ditentukan. Melihat kondisi Indonesia, keterlibatan umat kristiani dalam proses politik bukan lagi suatu pilihan fakultatif, melainkan telah menjadi kebutuhan yang mendesak. Atas nama perlindungan martabat manusia, umat kristiani selaku Gereja yang terpanggil menghadirkan Kerajaan Allah wajib bersuara lantang di manapun martabat manusia ditindas dan direndahkan.

Bagaimana dengan selentingan bahwa Gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis? Dalam konteks ini, makna Gereja yang dituju adalah institusi dan hirarki religius (uskup, imam, diakon). Dalam pandangan Katolik, Gereja sebagai institusi keagamaan dan kaum religiusnya (uskup, imam, diakon) harus berada di luar koridor politik praktis. Konkritnya, uskup-imam-diakon tidak boleh ikut dalam partai politik atau memegang jabatan politik. Tetapi mereka tetap bisa dan harus “berpolitik” dalam arti menyuarakan keadilan, damai, dan kebenaran demi perbaikan kesejahteraan umum. Hal ini sesuai dengan teladan Yesus yang tak terbendung dalam meneriakkan keadilan dan kebenaran, namun menolak ketika rakyat menginginkan-Nya menjadi raja (mesias) duniawi. Gereja sebagai institusi keagamaan pun tidak mendirikan partai politik. Partai dengan embel-embel “Katolik” tidak didirikan oleh Gereja sebagai institusi. Itu adalah manifestasi politik sebagian umat Allah yang mungkin terpanggil untuk berpartisipasi dalam perbaikan kesejahteraan umum melalui proses politik. Gereja sebagai institusi, bersifat netral, tidak memihak maupun menolak pihak mana pun. Deklarasi Kaukus Dai Cross, forum di Bandung yang mengatasnamakan umat Kristiani dan Katolik untuk secara terbuka mendukung pasangan Danny Setiawan dan Iwan Sulanjana pada Pilkada Jabar 13 April yang lampau adalah suatu kesalahan. Kaukus Dai Cross telah secara tak bertanggung jawab membangun klaim sepihak yang tidak benar. Ini contoh praktek politik yang berniat memanfaatkan agama sebagai kendaraan politik.

Dalam kancah pilkada yang sedang marak dewasa ini, umat Allah dipanggil untuk berpartisipasi aktif dalam memilih secara bebas calon yang dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Dengan menjatuhkan pilihan yang tepat sesuai dengan hati nurani, kita telah ikut berperan dalam proses politik untuk menentukan masa depan yang lebih baik dan demokratis. “Suara hati yang benar seorang Kristen tidak akan membiarkan dirinya untuk memilih sebuah program politik atau hukum yang menentang isi fundamental ajaran iman dan moral” (The Participation of Catholics in Political Life, 2002). Ini adalah pedoman etis dari Vatikan untuk setiap umat Katolik dalam partisipasi politik. ****

Lianto

Tuesday, July 29, 2008

Aku Percaya, Maka Aku Bertanya



Akhir-akhir ini umat beriman beruntun diresahkan oleh pelbagai literatur yang dianggap mengguncang keyakinan. Setelah The Da Vinci Code berlalu, kini rak toko buku dipenuhi dengan karya-karya sensasional, antara lain: The Jesus Family Tomb (Simcha Jacobovici dan Charles R. Pellegrino), Misquoting Jesus (Bart D. Ehrman), The Jesus Dinasty (James Tabor), dan The Lost Gospel (Herb Krosney, tentang Injil Yudas). Keyakinan kita yang terpelihara selama berabad-abad serasa ditelanjangi. Keraguan terbersit. Sebagian orang memilih diam dan membiarkan pikiran tidak beranjak untuk menelisik lebih jauh. Yang lain mencoba menanggapi keraguan dengan menelaah dan mengolah pikiran untuk menemukan kebenaran yang teguh.

“Keraguan adalah bagian dari cinta akan kebenaran”, kata Ernest Renan. “Ketakpernahraguan” sesungguhnya lebih mencerminkan apatisme ketimbang keteguhan pada keyakinan. Keraguan adalah karakter intrinsik makhluk insani berakal budi. Orang yang mengecam keraguan justru adalah orang yang ragu-ragu. Bila kita yakin apa yang kita percayai adalah kebenaran, mengapa kita takut dan gerah ketika kebenaran itu diuji? Pepatah Cina mengatakan: “Emas murni tak takut pada api (cen cing put pha huo)”. Dibakar dengan api apa pun, emas murni tetaplah emas murni. Begitu pula dengan kebenaran. Apakah keraguan mengakibatkan hilangnya iman, masih harus diteliti lebih jauh. Tapi benar bahwa keraguan dan sikap kritis dapat mengubah beberapa sudut pandang. Tanpa tekanan media sensasional di atas pun, sikap iman akan berkembang seiring dengan waktu. Bila dulu, segala hal diterima begitu saja, sekarang kita membutuhkan telaah yang lebih dalam. Kendati demikian, keterbatasan daya nalar tetap menyadarkan bahwa kita tidak bisa memiliki jawaban yang pasti untuk segala sesuatu.

Dalam tanggapan atas karya Da Vinci Code, Romo Franz Magnis-suseno dalam Tempo edisi 28 Mei 2006, berujar: “Yang saya anggap sebagai tragedi banyak orang Kristen ialah bahwa mereka menarik kesimpulan cengeng dari bahaya-bahaya itu. Daripada menanggapinya sebagai tantangan, mereka mengutuknya sebagai anti-Tuhan, dan lari ke dalam jemaat-jemaat tempat mereka merasa aman dari dunia buruk,…. Bagi saya, sikap ini melarikan diri dari perutusan Gereja ke dalam dunia….” Keraguan yang menerpa pikiran tak perlu dianggap ancaman. Lagi pula Gereja telah melewati abad-abad “pertengahan”: abad di mana kita berada pada tahap “mediocare”, setengah-dewasa. Kita telah melewati “masa banteng”. Tatkala sesuatu membuat marah, seekor banteng menurunkan tanduk, menaikkan buntut, mata memicing tajam menuju sasaran, tanpa pikir panjang, menyerang lurus ke depan.

Karya-karya sensasional di atas menantang kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Yesus memiliki anak dari Maria Magdalena? Apakah benar kuburan-Nya sekeluarga telah ditemukan? Apakah Ia pura-pura mati, menyelinap pergi, dan melarikan diri ke Mesir? Apakah ayah kandung-Nya bernama Panthera? Apakah Injil-injil bisa dipercaya? Adakah sumber lain yang lebih lengkap tentang hidup Yesus? Dan yang paling parah: Apakah Yesus sungguh-sungguh pernah hidup? Sungguh, tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat diajukan. Para penulis tampaknya cenderung mencari sumber di luar keempat Injil untuk mendapatkan data tentang Yesus. Padahal dari sisi historis maupun arkeologis, keempat Injil merupakan bahan tertua. Ironisnya, mereka lebih berminat pada kitab-kitab abad-abad selanjutnya. Anehnya, tiga karya yang disebut terakhir di atas berasal dari ahli yang berkompeten. Tampaknya rasionalitas dan obyektivitas telah ditarik dari sumbu rodanya.

Itulah tantangan iman zaman baru kita. Jika dahulu Yesus disalibkan oleh pemuka agama Yahudi dan penguasa Roma, kini Dia disalibkan oleh media massa. Mereka memaku-Nya dengan pasak pena, menikam-Nya dengan gambaran fiksi berkedok fakta; legenda dan mitos bertopeng sejarah. Dalam penyaliban ini, di mana posisi kita? Pontang-panting melarikan diri, berdiri jauh-jauh, atau ada di kaki salib-Nya?

Masalah yang lebih utama bukanlah ancaman semu yang muncul dari karya-karya sensasional yang dianggap menggoyahkan keyakinan. Masalahnya ada dalam diri kita. Sejauh mana kita berani menelisik keyakinan iman kita. Barangkali kita lebih tenang dan merasa aman dengan “angin surga” yang melingkungi keyakinan-keyakinan kita. Kita tidak siap menghadapi kemungkinan untuk hidup dengan iman yang resah. Yang kita dambakan mungkin keyakinan tanpa gangguan seolah kehidupan merupakan jalan lurus dan rata.

Keraguan dan bertanya adalah awal pengetahuan dan wujud nyata kecintaan akan kebenaran. Paradigma harus diubah. Bukan: “Aku tak percaya, maka aku bertanya, melainkan “Aku percaya, maka aku bertanya”. Credo ergo interrogo! Aku percaya, dan untuk meneguhkan kepercayaan, maka aku bertanya. Keyakinan pun sedapat mungkin dipertanggungjawabkan secara rasional. Rasional tapi bukan rasionalistik! Yang dibutuhkan adalah rasionalitas, bukan rasionalisme! Rasionalistik adalah ciri dari rasionalisme. Rasional berarti menelaah anggapan atau kepercayaan dengan akal sehat. Sementara rasionalistik mengharuskan segala sesuatu diuji terlebih dahulu sebelum diterima. Rasionalisme radikal menuntut agar orang tidak menerima kepercayaan sebelum terbukti benar. Dalam banyak hal, sikap rasionalistik tidak mungkin terlaksana dan tidak perlu! Tidak mungkin kita harus selalu menguji apakah setiap jembatan yang akan kita lewati masih kuat. Sikap rasionalistik juga tidak perlu, karena kita bukanlah manusia pertama dan satu-satunya yang hidup di dunia. Maka tidak mungkin dan tidak perlu kita memastikan segala sesuatu sendirian. Kita bisa percaya pada orang lain dan mendasarkan diri pada pelbagai tradisi yang memuat pengalaman generasi-generasi terdahulu. Sesekali kita dapat bertanya dan bertanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan sesuai dengan zaman kita.

Karena kita diberi anugerah khusus akal budi sebagai makhluk insani, marilah kita memanfaatkannya. Kita tidak lebih suci dan saleh dengan mengatakan bahwa keyakinan harus diterima kendati bertentangan dengan akal sehat. Apa boleh buat, kita hidup sekarang dan di sini. Kita tidak hidup di zaman para Rasul, seperti Petrus, yang ke mana-mana membawa pedang terhunus. Kita juga aman dari penguasa yang berusaha memberanguskan kekristenan di zaman Nero. Setiap zaman memiliki tantangan dan tanggung jawab yang berbeda. Zaman baru ini menuntut agar kita ke mana-mana selalu siap dengan akal budi terus bernyala. Baiklah kita menaruh lentera budi anugerah Tuhan bukan di dalam tempayan, melainkan di tempat yang tinggi untuk menerangi kegelapan dunia.

Lianto

Saturday, July 26, 2008

Kelahiran Yesus: Teologi atau Sejarah?



Sebagian orang mungkin dibingungkan oleh tulisan Injil-injil Perjanjian Baru seputar kelahiran Yesus. Kisah kelahiran Yesus ditemukan dalam Injil menurut Matius dan Lukas. Keduanya memberikan detail yang berbeda. Lukas menyajikan kisah masyhur tentang perjalanan Yosef dan Maria yang melelahkan dari Nazareth ke Betlehem. Setiba di sana, tibalah saat bagi Maria untuk melahirkan. Bayi Yesus yang dilahirkan dibaringkan di palungan. Mereka harus berbagi tempat dengan hewan di kandang karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Matius tidak menyebut tentang perjalanan itu. Mereka telah ada di Betlehem. Dan Maria melahirkan bayinya di rumah. Apakah bagi Matius, kisah perjalanan Nazareth-Betlehem tidak penting? Di lain sisi, Matius bertutur tentang kunjungan orang-orang majus dari Timur dan bicara soal perbintangan. Namun Lukas sepertinya tidak berminat dengan hal itu. Lukas menulis tentang para gembala yang mendapat anugerah pertama menerima warta keselamatan. Siapa gerangan orang-orang majus itu? Siapa gerangan para gembala? Lazimkah sebuah bintang mula-mula berjalan menuju Yerusalem kemudian melesat ke arah Betlehem? Bagaimana fakta sejarah (bila itu maksud tujuannya) dijelaskan oleh dua data yang berbeda?

Tatkala pertanyaan-pertanyaan ini menempel ke langit-langit kepala, rasa puyeng melanda. Apakah cerita itu hanya isapan jempol belaka? Peristiwa kebangkitan adalah jawabannya. Kuncinya: iman kebangkitan menjadi titik tolak penulisan seluruh kisah. Teks-teks tentang kelahiran bukanlah teks tertua, melainkan teks termuda yang muncul setelah dikenalnya seluruh teologi tentang Yesus, kematian, dan kebangkitan-Nya. Justru setelah semua bahan (perumpamaan, mukjizat, gelar-gelar Yesus, kisah sengsara, kebangkitan,...) tersusun rapi, muncul pertanyaan tentang awal: bagaimana kisah kelahiran-Nya. Bagi jemaat perdana ketika kedua Injil ditulis (80 - 90 M), jelas Yesus merupakan Mesias, Penyelamat, dan Putera Allah. Bertolak dari sudut pandang ini, jemaat menafsirkan peristiwa-peristiwa sekitar kelahiran Yesus. Dari hal ini jelas bahwa apa yang dilukiskan penulis lebih merupakan warta iman daripada sebuah jurnal sejarah. Benarlah kata Jürgen Moltman, seorang teolog Jerman, bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ada iman yang tidak mulai a priori dengan kebangkitan Yesus. Matius maupun Lukas berangkat dari titik tolak yang sama, namun dengan tujuan sasaran yang berbeda. Pemilihan bahan, penekanan, dan redaksi bahan ikut ditentukan oleh kebutuhan jemaat sasarannya. Kondisi itulah yang menyebabkan perbedaan dalam detail kisah. Siapa sasaran tulisan mereka?

Injil Matius ditulis sekitar tahun 80-90 untuk lingkungan jemaat Kristen Yahudi. Maka dapat dimengerti mengapa Matius paling banyak mengutip Perjanjian Lama dibandingkan penulis Injil lainnya. Gelar Mesias mendapat tekanan kuat. Pada kepenuhan waktu, raja-raja dan bangsa-bangsa akan datang ke Yerusalem untuk menyembah-Nya (Yes. 60:6). Karena itu, Matius memuat kisah tentang orang-orang majus. Ilmu perbintangan juga tidak luput dari perhatian Matius. Kelahiran Abraham, Isaak dan Yakob juga diiringi terbitnya bintang di langit. Hal itu lumrah dikenal Yudaisme pada era Gereja perdana. Tampaknya teks-teks PL yang dipadukan dengan gejala astronomi mendorong Matius untuk menyusun cerita ini. Dengan itu Matius hendak mewartakan iman Gereja tentang Yesus sebagai Mesias yang datang pada kepenuhan zaman.

Astronomi sejak penemuan Yohanes Kepler mendukung cerita Matius. Dari perhitungan astronomis, orang tahu bahwa sekitar tahun 6 SM terjadi pertemuan (konjungsi) antara planet Jupiter dan Saturnus dalam konstelasi Pisces. Dalam astronomi, Jupiter (planet terbesar) melambangkan raja yang agung dalam semesta, sedangkan Saturnus adalah bintang kaum Yahudi. Konstelasi Pisces menandakan akhir dunia. Ketika konjungsi itu terjadi, orang-orang majus tahu pasti: di negeri Yahudi (Saturnus), seorang Raja Agung (Jupiter), pada kepenuhan masa (Pisces) telah lahir. Pendapat terkini memang mengatakan bahwa Yesus lahir pada zaman pemerintahan Herodes Agung, kemungkinan besar pada tahun 6 SM.

Injil Lukas juga ditulis antara tahun 80-90 untuk jemaat yang terdiri dari mayoritas bangsa bukan Yahudi. Itulah sebabnya Lukas lebih berminat pada figur gembala-gembala sederhana di padang Betlehem. Dengan warna teologis Lukas, para gembala dilihat sebagai wakil kaum miskin yang kepadanya Yesus diutus. Dalam kalangan Yahudi, para gembala adalah kelompok yang tersingkir. Pekerjaan mereka menjadikan mereka cacat di depan hukum. Dengan ini, Lukas mau menegaskan bahwa Yesus adalah Penyelamat bagi semua bangsa manusia.

Minat teologis, sifat, dan tujuan penulisan ternyata sangat menentukan redaksi para penulis Injil. Pemahaman akan sulit dijangkau bila pendekatan terhadap kisah Injil meleset dari aspek yang ditekankan atau dikehendaki penulis. Kisah dalam Injil (terutama kisah kelahiran Yesus) tidak dimaksudkan untuk laporan sejarah, melainkan lebih pada pewartaan dengan isi fakta, nubuat Kitab Suci, dan ungkapan iman zaman itu, yang diramu dan disajikan untuk kepentingan iman dan kebenaran yang hendak diwartakan.

Barangkali inilah alasan mengapa Gereja menyatakan kepada para pembaca untuk menangkap apa yang mau disampaikan Allah. Para penafsir harus mencermati apa yang mau disampaikan oleh para penulis suci; apa yang mau dinyatakan Allah melalui kata-kata mereka. Penting diperhatikan jenis-jenis sastra (Dei Verbum 12). Jenis sastra yang lazim dipakai pada masa PB adalah midrash haggadah. Gaya sastra ini mengambil suatu fakta atau ungkapan biblis, mengolah dan memperindahnya dengan tujuan untuk menggarisbawahi dan mewartakan kebenaran iman. Gaya inilah yang membungkus kisah kelahiran Yesus. Dalam gaya sastra ini terkandung pesan yang harus ditemukan dan diwartakan.

Bila kita ngotot dan menghabiskan waktu untuk mempermasalahkan historisitas setiap detail kisah kelahiran, kita akan kehilangan pesan yang ingin disampaikan. Dengan itu kita menempatkan diri di luar arena iman yang diciptakan Matius dan Lukas. Dalam arena itu, tidak perduli apakah bintang pernah muncul atau tidak; tidak perduli apakah benar orang-orang majus yang berkunjung atau para gembala. Hal utama adalah apa makna rohani kedatangan bayi mungil Yesus, yang harus disambut bukan terutama dalam dinginnya akal sedingin kandang Betlehem, melainkan di dalam kehangatan hati yang sarat iman.

Lianto
sumber utama: Leonardo Boff, Jesus Christ Liberator, A Critical Christology of Our Time

Roti dan Anggur: Hanya Lambang?



Setiap minggu bahkan setiap hari, umat beriman dapat mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi. Bukan tidak mungkin aktivitas ini bakal jatuh ke dalam rutinitas yang kurang bermakna. Oleh sebab itu, pada Minggu kedua setelah Pentekosta, Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Barangkali ini semacam penegasan dan “peringatan-ulang” tahunan akan apa yang sesungguhnya ada dalam dan terjadi pada “roti” dan “anggur” Ekaristi.

Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi
Melalui Konsili Trente, Gereja mengajarkan bahwa dalam Ekaristi yang mahakudus, secara sungguh, real, dan substansial ada tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus, bersama dengan jiwa dan keallahan-Nya. Kehadiran Kristus dalam Ekaristi disebabkan oleh perubahan seluruh substansi roti dan anggur menjadi substansi tubuh dan darah. Yang tinggal kasat mata hanya rupa roti dan anggur saja. Gereja menyebut perubahan ini dengan istilah “transubstansiasi” (DS* 1651, 1652). Peristiwa ini terjadi waktu konsekrasi dalam perayaan Ekaristi. Bagaimana kehadiran itu terjadi tidak dijelaskan. Keterbatasan bahasa manusia tidak memungkinkan pengungkapan misteri iman ini. Istilah “transubstansiasi” hanya menerangkan bagaimana kehadiran Kristus dapat dipikirkan ketika roti dan anggur dikonsekrasi, bukan bagaimana cara terjadinya.

Filsafat Aristoteles: Substansi dan Aksidens
Untuk mengerti “transubstansiasi”, filsafat Aristoteles kiranya dapat membantu. Menurut Aristoteles, segala sesuatu di dunia ini mempunyai hakikat (substansi) yang tak kelihatan. Substansi inilah yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu, dan bukan menjadi yang lain. Misalnya hakikat kucing adalah apa yang membuat kucing itu kucing, tak peduli apakah kucing itu besar, kurus, kurapan, berbulu hitam atau putih. Hakikat meja adalah apa yang membuat berbagai meja dengan bentuk apa pun (bulat, lonjong, segiempat) menjadi meja. Sedangkan aksidens adalah bentuk lahiriah (gemuk, kurus, hitam, putih, bulat, lonjong, dsb.) yang ditambahkan pada substansi. Substansi dan aksidens membentuk segala makhluk/benda konkret.

Dengan demikian pengenalan manusia mencakup dua aspek: pengenalan akan substansi yang ditangkap oleh rasio, dan pengenalan akan aksidens yang ditangkap indera. Dari sini, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa dalam konsekrasi, seluruh substansi roti dan anggur (yakni apa yang membuat roti dan anggur menjadi roti dan anggur) diubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus, meskipun sifat dan rupa (aksidens) roti dan anggur tetap sama.

Dari Beda Pendapat Menuju Dialog
Soal kehadiran nyata Kristus rupanya menimbulkan perselisihan pendapat dalam sejarah. Tokoh protestan Ulrich Zwingli menegaskan bahwa ekaristi melulu simbolis saja dan menolak terjadinya perubahan apa pun. Martin Luther menerima kehadiran nyata tapi menolak perubahan substansi. Ia menawarkan istilah “konsubstansiasi”: substansi roti dan anggur tetap ada bersamaan dengan substansi tubuh dan darah Kristus. Dan kehadiran Kristus terjadi bukan pada waktu konsekrasi, melainkan ketika Ekaristi kudus diterimakan kepada umat beriman. Konsili Trente menegaskan keyakinan teguh tentang konsekrasi, kehadiran nyata, dan perubahan substansi sembari menekankan perlunya penyembahan tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur (DS 1651-1654; 1356). Yang harus dipegang teguh adalah bahwa dalam Ekaristi, Kristus benar-benar hadir dalam rupa roti dan anggur, dan bukan sekedar lambang atau tanda saja.

Di era baru sekarang, Gereja pasca Konsili Vatikan II mendekati misteri Ekaristi tidak melulu dengan filsafat Aristoteles. Tanpa meninggalkan kekayaan teologi Konsili Trente, Gereja era baru melirik sudut pandang hubungan personal antara Kristus dan Tubuh Mistik-Nya: Gereja. Kristus hadir sebagai pribadi yang tidak terikat pada dimensi ruang dan mengadakan hubungan secara personal-real dengan orang beriman. Hal ini sejalan dengan pandangan tradisional St. Thomas Aquinas: Kristus bukan di tempat tertentu, melainkan menganugerahkan Diri-Nya kepada orang beriman yang menerima-Nya. Pendekatan ini bisa membuka jalan bagi dialog dengan Gereja-gereja tetangga. (bdk. Pernyataan Lima, Peru, 1982).

Masalah Praktis: Komuni Dua Rupa
Sejumlah tokoh protestan berpendapat bahwa menyambut komuni satu rupa (roti saja) kurang daripada dua rupa (roti dan anggur). Masalah praktis ini rupanya sangat ditekankan Luther yang menginginkan semua umat beriman menyambut komuni dua rupa. Untuk hal ini, Konsili Trente memutuskan bahwa “dalam sakramen Ekaristi yang terhormat di bawah masing-masing rupa dan di bawah setiap bagian dari kedua rupa tersendiri ada seluruh Kristus” (DS 1653). Dengan ini ditegaskan bahwa dengan menyantap satu rupa orang tidak mendapat kurang daripada menyantap dua rupa. Baik dalam roti maupun anggur tersendiri, Kristus hadir dalam arti sepenuhnya.

Berkaitan dengan tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi, seorang sahabat berumur 40-an membagikan kegembiraan dan kesedihannya. Dia gembira, karena diperkenankan menerima Kristus dalam komuni. Dia sedih, karena setelah puluhan tahun menjadi Katolik, sekarang baru tahu bahwa apa yang diterima selama ini dalam komuni adalah sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus. Tak diragukan lagi, sungguh-sungguh!: dalam Ekaristi, Kristus hadir secara istimewa melebihi kehadiran-Nya dalam sakramen-sakramen yang lain! Ketika Tubuh dan Darah-Nya diangkat waktu konsekrasi, sembahlah Dia! Kecap kenikmatan rohani yang luar biasa ini!


*DS (singkatan dari Denzinger-Schonmetzer) adalah kumpulan dokumen Gereja yang untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Heinrich Joseph Denzinger (=D) pada tahun 1854. Pada tahun 1973, Adolf Schonmetzer (=S) menerbitkan cetakan yang ke-35 dengan aneka revisi.

Lianto (Publikasi: Majalah Didache Juni 2007)

Allah Tritunggal Mahakudus



Pada hari Minggu pertama sesudah perayaan Pentekosta, kita merayakan pokok iman Kristiani yang utama, yakni iman akan Allah Tritunggal. Barangkali inilah ajaran tersulit dalam rumusan teologi Kristen sepanjang sejarah. Kita menyapa Allah sebagai Allah-Bapa, Allah-Putera, dan Allah-Roh Kudus. Ini tidak berarti bahwa kekristenan percaya akan tiga (jumlah) Allah. Sama seperti agama monoteis lainnya, kita juga mengimani bahwa Allah itu esa. Bagaimana keesaan dan ketigaan dijelaskan? Tulisan kecil ini mencoba menjadi sebatang korek api yang bernyala tidak lama. Kiranya cukup lama untuk memberi terang untuk menemukan lilin, lentera, lampu emergency, atau sumber cahaya lainnya. Cahaya misteri Allah Tritunggal sedemikian terang sehingga “membutakan” mata budi yang memandang-Nya.

Keterbatasan Budi
Pertama-tama harus disadari bahwa budi manusia mana pun tak mampu memahami misteri Allah Tritunggal sepenuhnya. Allah yang dapat dimengerti, bukan lagi Allah yang Mahatinggi. Hakikat dan keagungan Allah tidak sebanding dengan daya tangkap budi kita. Karena keterbatasan budi, kita hanya mampu mendekati misteri ini dengan bekal cercah-cercah cahaya.

Allah Tritunggal dalam Kitab Suci
Istilah “Tritunggal” atau “Trinitas” memang tidak ditemukan dalam Kitab Suci. Namun makna yang dimaksudkan dalam istilah teologis ini terkandung jelas dalam Kitab Suci. Misteri Tritunggal tersirat dalam bab pertama Injil Markus tentang pembaptisan Yesus (Mark 1:9-11). Bagian ini merupakan intisari wahyu Allah Tritunggal: Allah-Bapa mewahyukan Yesus sebagai Putera-Nya yang terkasih, sementara Roh Kudus memperlihatkan Diri dalam rupa merpati.

Injil Matius melangkah lebih jauh. Dalam Matius, Yesus yang bangkit mengutus para murid untuk mengajar segala bangsa dan membaptis mereka atas nama (bentuk singular) Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat 28:19). Ayat ini mengembangkan konsep dasar ajaran Tritunggal dalam Perjanjian Baru bukan melulu sebagai uraian teoritis, melainkan sebagai rumusan praktis untuk membaptis umat beriman.

Dalam Yohanes, konsep Tritunggal tersirat dalam hubungan kekal antara Bapa dan Sabda (Yoh 1:1-18). Roh Kudus dilukiskan sebagai yang berasal dari Bapa (Yoh 15:26) dan diutus oleh Putera (Yoh 16:7) untuk melanjutkan apa yang telah dimulai Putera (Yoh 16:13). Pengalaman Stefanus dalam Kis 7:55 juga turut memperkaya makna triniter dalam KS. Tidak ketinggalan Paulus, yang dalam surat-suratnya memberikan salam: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah serta persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2Kor 13:13 dan ayat-ayat paralel lainnya).

Allah Tritunggal dalam Teologi
Pengalaman iman akan Allah Bapa-Putera-Roh Kudus sebagaimana tersirat dalam Kitab Suci itu kemudian diwartakan. Atas dasar Alkitab, Gereja merefleksikan kebenaran ini dan merumuskannya dalam teologi. Dalam sejarah, muncul aneka pandangan sesat tentang Allah Tritunggal terutama pada abad ke-3 dan ke-4. Teologi Gereja berfungsi menampik pandangan sesat yang muncul dan sedapat mungkin mengembalikan makna iman sesuai wahyu dalam Injil.

Tentu saja rumusan teologi pun belum sepenuhnya memadai jika dibandingkan dengan pengalaman rohani yang hidup dan keADAan Allah Tritunggal yang sebenarnya. Gereja telah menempuh perjalanan panjang dalam usaha merumuskan dan mempertahankan ajaran iman Allah Tritunggal. Dua konsili ekumenis yang pantas disebut adalah Konsili Nikea (325) dan Konsili Konstantinopel I (381). Secara ringkas, ajaran konsili dapat dirumuskan berikut ini. Allah-Bapa (Sumber-tak-bersumber) sejak kekal (awal-tanpa-permulaan) menerimakan seluruh Diri-Nya kepada Allah-Putera. Maka Bapa dan Putera sama dalam segala hal, kecuali dalam cara “memiliki” ke-Allahan (menerima dan menerimakan). Penerimaan seluruh ke-Allahan dari Bapa dan dari Putera ialah Roh Kudus. Allah memberi Diri seluruhnya secara tak terbagi. Kemahaesaan adalah hakikat-Nya sehingga mustahil terbagi-bagi dalam unsur-unsur yang bisa dijumlahkan. Angka “satu” dan “tiga” harus dimengerti secara analogis. Allah itu Mahaesa; satu dalam Kodrat-Nya, dan ber-Pribadi tiga.

Harus ditegaskan di sini bahwa keberADAan Allah tidak sama dengan keberadaan ciptaan mana pun di dunia. Maka hal itu tak akan terungkapkan secara memuaskan dalam kata dan bahasa mana pun di dunia. Sifat analogis dalam pemakaian kata “satu” dan “tiga” mengharuskan kita untuk mengartikannya secara berbeda dari pengertian sehari-hari tentang angka. Tiga pribadi bukan bilangan (angka) yang bisa dijumlahkan. Ke-tiga-an menghindarkan orang untuk mengerti Ke-satu-an Ilahi secara terlalu manusiawi. Kesatuan Ilahi pun tidak sama dengan kesatuan ciptaan mana pun di dunia. Keesaan dan ketigaan ini jauh dari segala pengertian kuantitatif manusia. Kesatuan Allah menjadi jelas bagi kita justru dalam Ketigaan-Nya. Konsep Tritunggal bukan hanya tidak mengurangi keesaan Allah, melainkan malah memperdalam, mempribadikan, dan mengrohanikannya jauh di atas kesatuan duniawi apa pun yang dapat dipikirkan.

Allah Tritunggal dalam Gambaran Sederhana
Dalam sejarah, kita mengenal aneka gambaran untuk memudahkan pengertian tentang misteri Allah Tritunggal. Dalam bahasa sederhana, “ketigaan” dikemukakan dalam “kesatuan-tak-terpisahkan” misalnya dengan gambaran: “matahari-cahaya-kehangatannya” (St. Tertulianus). St. Agustinus mengajukan model psikologis “berada-mengenal-mencinta”. Richard dari St. Victor memakai model cinta kasih: Yang-mencinta (Bapa), Yang-dicinta (Putera), dan Cinta itu sendiri (Roh Kudus). “Tentang Allah Tritunggal hanya dapat dikatakan bahwa Dialah Cintakasih; sebab cintakasih mustahil sendirian.” (Jürgen Moltman). Ada pula yang melihat bahwa dari sudut pandang manusia, Bapa adalah Allah di atas kita, Putera adalah Allah bersama kita, dan Roh Kudus adalah Allah di dalam kita. Filsafat personalis “Aku-Engkau-Kita” yang dikembangkan Martin Buber turut memperkaya gambaran kita.

Allah Tritunggal dalam Silang Pendapat
Tatkala penjelasan positif (Tritunggal adalah ini atau itu) dirasa tidak memadai, kajian tentang aneka perselisihan berkaitan dengan ajaran Tritunggal kiranya dapat membantu. Dengan menyimak ajaran yang ditolak Gereja, kita mendapat masukan tentang kesalahan pengertian orang tentang ajaran yang bersangkutan.

Dalam sejarah, salah paham terbesar adalah paham monarkianisme. Paham ini terlalu menekankan kesatuan (bilangan/angka) Allah sehingga menolak Putera ilahi sebagai yang berpribadi sendiri. Aliran ini terwujud dalam dua pandangan, yakni modalisme dan subordinasionisme. Modalisme memandang Bapa, Putera, dan Roh Kudus hanya sebagai tiga cara penampakan Diri Allah. Mereka menolak bahwa ketiganya merupakan pribadi yang berbeda-beda. Sedangkan subordinasionisme atau arianisme menempatkan Putera dan Roh Kudus sebagai Allah yang lebih rendah dari Allah-Bapa. Paham-paham ini ditolak dan dianggap bidah oleh Gereja. Gereja menegaskan bahwa Allah-Putera sehakikat dengan Allah-Bapa. Maka Putera bukanlah makhluk di antara Allah dan ciptaan. Gereja juga mengajarkan bahwa Allah-Roh Kudus sama dalam keagungan (dan pantas dihormati dengan penghormatan yang sama) dengan Bapa dan Putera. Dalam menyebut misteri realitas Allah ini: ketigaan dan kesatuan, Gereja memakai istilah manusia yang amat terbatas: Tritunggal! Apa mau dikata, itulah perbendaharaan kata yang tersedia.

Bagaimana dengan bantahan sebagian saudara muslim yang merujuk nas Al-Quran yang menyebut bahwa Allah itu satu, tidak beranak dan atau diperanakkan, dan bahwa tiada tuhan selain Allah? Di zaman hidup nabi Muhammad, ada pandangan dari kaum Jahiliah yang menganut kepercayaan bahwa Allah mempunyai tiga anak yang bernama al-Lat, al-Uzza, dan al-Manat. Pandangan Al-Quran di atas muncul sebagai perlawanan atas keyakinan adanya tiga anak Allah dan bukan ditujukan untuk pandangan Tritunggal agama Kristen. Adalah salah alamat bila nas Al-Quran dipakai untuk membantah pandangan Tritunggal Mahakudus.

Lianto (Publikasi: Majalah Didache Juni 2007)

Pindah Agama: Rumput Tetangga Lebih Hijau



Ibuku seorang budhis, memegang peranan penting di salah satu wihara. Ia sering mendapat tugas untuk mengajar calon-calon penganut Budha di berbagai kota dan desa. Berkali-kali ibuku dianjurkan untuk “menginjili”-ku, agar pindah menjadi penganut Budha. Untuk menolak misi tersebut, ibuku menjawab: “Ide itu tak usah dipikirkan, kita harus bersyukur bahwa dia tidak menarikku masuk gereja”. Tapi rekan-rekan ibu masih penasaran, bahkan petinggi dari Taiwan mencoba mendekatiku. Saya utarakan pandangan pribadi tentang agama dan pindah agama.
Hingga kini, mereka tidak berminat lagi untuk membahas hal itu denganku.

Bagiku, memilih dan memeluk agama dapat diibaratkan memilih dan menikahi seorang isteri atau suami. Kita tidak boleh menikahi orang sana-sini dengan alasan cinta. Demikian pula kita tidak bisa menganut banyak agama dengan alasan semua agama sama-sama menyembah Tuhan YME. Sama seperti pernikahan, pembaptisan juga mensyaratkan komitmen dan janji setia. Dalam arti tertentu, agama yang dipilih adalah isteri atau suami kita. Tidak ada alasan apa pun yang bisa dipakai untuk menduakannya. Kepada rekan-rekan seiman ibuku, saya katakan bahwa saya telah beristri (maksudnya: beragama) yang kucintai dan kuyakini. Menurutku, dalam kelebihan dan kekurangan yang ada, dialah (agama Katolik) yang terbaik. Pantaskah Anda sekalian para tetua menawarkan perempuan (agama) lain? Lawan bicara yang kebanyakan ibu-ibu termangu. Bagaimana perasaan Anda, bila suatu saat saya menawarkan seorang suami untuk menggantikan suamimu, atau menawarkan kepada suamimu seorang perempuan lain? Mereka masih terpaku. Karena tidak ada tanggapan, saya tutup pembicaraan dengan petuah Yesus tentang Golden Rule: “Janganlah memperlakukan pada orang lain hal yang engkau tidak ingin orang lain perbuat bagimu”. Petuah ini sangat popular di kalangan Tionghoa karena Kong Fu Tse juga mengajarkannya.

Kerapkali orang pindah agama bermula dari ajakan teman. Masalahnya sebetulnya ada dalam diri kita sendiri. Apakah kita adalah orang yang setia pada janji dan komitmen. Sama seperti pernikahan, agama bukanlah pakaian yang bisa diganti-ganti sesuai dengan selera warna dan mode. Orang yang gonta-ganti agama (gereja) menampilkan kedangkalan hidup. Mereka terpaku pada bentuk lahiriah, dan tidak menyelami hakikat agama itu sendiri. Kebanyakan orang yang pindah gereja mempermasalahkan ritus, liturgi, lagu-cara menyanyi, dan sebagainya. Mereka mengeluhkan pengulangan doa dan nyanyian yang membosankan. Mereka membanggakan kotbah yang menggebu-gebu. Ada pula yang mempermasalahkan hierarki gereja yang kaku. Maunya setiap orang bisa bersaksi, melayani, berkotbah, dan memimpin seturut dorongan “roh”. Benarkah kita sungguh terpanggil untuk mewarta, dan menurut bisikan roh harus dilakukan di mimbar gereja? Ataukah kita hanya merasa akan tersanjung bila kita bisa membagikan renungan menarik yang baru saja kita baca entah dari majalah apa. Barangkali setiap orang perlu terus bertanya diri: “Apa yang sesungguhnya kucari dengan melangkahkan kaki ke gereja?”

Orang-orang yang rumah tangganya bermasalah, sering menggumamkan pemeo: “Rumput tetangga lebih hijau”. Barangkali pemeo ini bisa pula menjadi refleksi bagi orang yang pindah agama. Mungkin inilah salah satu watak manusia yang tak pernah puas dengan apa yang dimiliki atau sedang dijalani. Kita kerap berpendapat bahwa apa yang dimiliki orang lain lebih baik dari yang kita miliki. Setelah kita memiliki “rumput” seperti yang ditanam tetangga, lama-lama perasaan kita menjadi biasa. Ternyata rutinitas yang dihindari ditemukan dalam semua agama. Apa yang tadinya baru dan menarik segera menjadi rutinitas setelah sekian waktu menjalaninya. Rupanya apa yang tampak indah di mata tidak selalu indah ketika kita memiliki atau menjalaninya. Sampai kapankah kita akan terus melirik rumput-rumput tetangga lainnya. Jauh lebih baik bila kita merawat dan menyiangi rumput kita. Biar tetangga magut-magut mengaguminya (maksudnya agama kita).

Hal yang patut disesali adalah bahwa kita sulit “melihat” sisi baik dari hal yang kita miliki. Ini berkaitan dengan cara pikir dan cara pandang terhadap hal-hal sekitar kita. Kita menilai sesuatu menurut pikiran kita tentang hal itu, dan bukan menurut apa yang memang hal itu.

Ada satu cerita. Suatu hari, Lidya datang ke kantor Anton, mantan suaminya. Anton sedang sibuk melayani seorang pelanggan. Melihat Lidya menunggu dengan gelisah, pimpinan Anton menghampirinya dan mengajaknya berbincang-bincang. “Saya sangat senang suami Anda bekerja di sini. Dia seorang yang sangat berarti dalam perusahaan kami, penuh perhatian, dan berbudi baik”, ujar si Boss. Lidya terperangah mendengar penilaian orang terhadap mantan suaminya, namun ia diam saja. Anton ternyata mendengar percakapan mereka. Setelah Lidya pergi, Anton menjelaskan kepada boss-nya bahwa mereka berdua telah berpisah sejak enam bulan yang lalu. Lidya mencarinya jika membutuhkan tambahan uang untuk biaya hidup putra mereka. Beberapa minggu kemudian telepon berbunyi untuk Anton. Ia mengangkatnya dan berkata, “Baiklah Ma, kita akan melihat rumah itu setelah pulang kerja.” Si Boss mengira Anton sudah mendapat pasangan baru. Anton menghampiri boss-nya dan berkata: “Lidya dan saya sepakat memulai kembali perkawinan kami. Lidya mulai melihat saya secara berbeda tak lama setelah Bapak berbincang dengannya tempo hari.” Di sini perubahan drastis terjadi karena perubahan cara melihat. Awalnya di mata Lidya, Anton itu orang yang membosankan dan menyebalkan. Ia tidak melihat Anton sebagaimana Anton adanya. Cara baru dalam “melihat” ini disebut cara pikir “inside out”. Benarlah Stephen Covey ketika mengatakan: “Bila Anda menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku Anda. Tetapi bila Anda menginginkan perubahan besar dan mendasar, garaplah paradigma (pola pikir) Anda.”

Disinyalir bahwa ada kaitan antara kesetiaan terhadap agama dengan kesetiaan terhadap pasangan hidup. Orang yang gampang pindah gereja juga gampang pindah “ke lain hati”. Masih dibutuhkan riset untuk membuktikan kebenarannya. Namun barangkali satu hal agak pasti: mereka adalah orang yang gampang tidak puas dengan apa yang ada. Sadar atau tidak, mereka tidak suka komitmen atau janji setia, karena keduanya mengandaikan rutinitas.

Lianto (Publikasi: Majalah Duta Desember 2007)

Mengapa Orang Pindah Agama (gereja)?



Sejumlah umat menyuarakan keprihatinan karena sebagian umat Katolik merasa lebih “enjoy” dengan kelompok atau gereja di luar Katolik, antara lain: Full Gospel, Gereja Sungai Yordan, dan Bethany Successful Family. Bermula dari ajakan teman, mereka mencoba untuk bergabung dengan “kawanan” lain, merasa kerasan, dan akhirnya memutuskan untuk hijrah gereja. Mengapa hal ini terjadi?

Apakah semua agama (gereja) sama saja? Yang penting: Yesus! Mau Katolik atau Protestan: terserah! Benarkah demikian? Jawabannya: Tidak! Sadar atau tidak, pandangan ini sering hinggap di kepala orang yang pindah gereja. Entah memang demikianlah pandangan yang dianut, atau sekedar rasionalisasi (mencari-cari alasan logis) untuk membenarkan keputusannya. Pandangan seperti ini disebut indiferentisme, yang menyatakan bahwa semua agama sama saja, sehingga tidak perlu dipersoalkan agama mana yang dianut seseorang. Paham ini sangat subyektif. Fakta menunjukkan bahwa agama-agama bukan hanya tidak sama, melainkan dalam berbagai hal pokok bertentangan satu sama lain. Pandangan atau sikap ini lebih mencerminkan apatisme (sikap masa bodoh) terhadap perbedaan-perbedaan daripada toleransi.

Berdasarkan sharing pengalaman dan pemikiran dengan sejumlah sahabat seiman, sejumlah hipotesa (kesimpulan sementara) dapat dipakai untuk menjelaskan gejala ini. Pertama, motivasi orang Katolik untuk pindah agama (gereja) ada kaitan erat dengan motivasi awalnya menjadi Katolik. Ini berlaku untuk orang yang masuk Katolik saat dewasa. Kedua, pribadi dengan dasar iman/keyakinan yang tidak kokoh atau mudah diombang-ambingkan. Ketiga, paradigma (pola pikir) yang terpaku atau terlalu mementingkan aspek lahiriah ketimbang aspek batiniah.

Motivasi Masuk vs Motivasi Keluar
Pada sebagian orang, sebab atau motivasi pindah gereja bisa digali dalam sebab atau motivasi beragama. Motivasi beragama adalah apa yang mendorong orang untuk memeluk atau memilih agama tertentu. Ada motivasi yang bersifat ekonomis, sosial, maupun pragmatis.

Sifat dan kepribadian manusia sangat kompleks sehingga dalam banyak tindakan, sulit digali apa yang sesungguhnya menjadi motivasi utama. Bila seseorang masuk atau memilih agama tertentu dengan motif ekonomis, tentunya mereka akan gampang pindah bila ada agama lain yang lebih bernilai ekonomis. Sulit dibayangkan ada agama dengan nilai ekonomis. Namun fakta menjelaskan bahwa terjadi sejumlah kasus orang pindah agama karena tertarik dengan iming-iming ekonomis (materi) dari agama lain.

Motivasi sosial dijelaskan dalam sikap atau alasan memeluk agama karena diajak teman. Dalam hal ini, orang merasa lebih “enjoy” dalam agama tertentu karena faktor kebersamaan dengan teman-teman terasa lebih kental. Ada pula orang yang memilih suatu agama karena merasa “trendy”. Tidak mengherankan, kelompok ini akan dengan gampang pindah agama bila ada tawaran kebersamaan yang lebih “asyik”, atau ada “trend” baru dengan memeluk agama tertentu dalam masyarakat.

Ada pula orang menjadi Katolik karena alasan pragmatis. Pragmatis di sini dimaksudkan sikap mengutamakan hal-hal yang praktis dan atau manfaat yang langsung terasa. Seorang perempuan Tionghoa paruh baya yang baru-baru ini dibaptis menjadi Katolik mengatakan bahwa ia menjadi Katolik karena tidak mau merepotkan anak-cucunya. Dengan menjadi Katolik, anak-cucunya tidak perlu repot mengurus pemakamannya dengan ritus budaya Tionghoa yang berbelit-belit, jika kelak ia dipanggil Yang Mahakuasa. Untuk ziarah tahunan pun, cukup dengan bunga dan doa. Kalaupun anak-cucunya tidak berbakti, masih ada panti jompo para suster yang bersedia menampung dan merawatnya. Ia juga tidak perlu mencemaskan soal kematiannya karena ada Yayasan Sosial Christoforus yang akan mengurusnya. Contoh ini menggambarkan motivasi beragama yang pragmatis.

Motivasi-motivasi seperti ini tidak salah. Lagipula tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan seseorang harus beragama dengan motivasi apa. Sayangnya, motivasi seperti itu tidak berkaitan langsung dengan hakikat agama yang dianut. Motivasi-motivasi seperti ini harus dimurnikan seiring dengan waktu. Banyak juga orang menjadi Katolik dengan motivasi awal seperti itu, namun seiring waktu mereka menemukan hakikat iman yang lebih bernilai daripada pertimbangan-pertimbangan awalnya. Dengan demikian motivasi awalnya dimurnikan, dan mereka menjadi jemaat yang teguh-iman.

Keteguhan Keyakinan
Barangkali inilah kata kuncinya: keteguhan keyakinan! Untuk jemaat Katolik yang dibaptis sejak bayi (berasal dari keluarga Katolik), pendidikan iman dalam keluarga memegang peranan pertama. Bagi jemaat yang dibaptis dewasa, pengenalan dini akan iman dalam masa katekumenat harus benar-benar diperhatikan. Pembangunan dan pembinaan iman seumpama mendirikan pondasi untuk bangunan. Jika pondasi didirikan di atas pasir, bangunan di atasnya pasti gampang roboh ketika angin dan banjir melanda. Sebaliknya jika pondasi dibangun di atas tanah dan batu yang keras, bangunannya akan lebih kokoh tentunya. Pembaptisan adalah pintu masuk (inisiasi) keanggotaan umat Allah. Karunia iman yang diterima harus dibina misalnya melalui doa pribadi, ibadat bersama, merenungkan dan mendalami Kitab Suci, menerima Tubuh dan Darah Kristus, mempelajari kekayaan-kekayaan dalam liturgi, dan sebagainya.

Aspek Lahiriah vs Aspek Batiniah
Sebagian orang menggantungkan citarasa iman pada apa yang terasa oleh indera. Bagi mereka, hal-hal lahiriah seperti lagu, cara menyanyi, doa, cara berdoa, ritus, dan semua metode yang bisa menciptakan suasana hati yang “nyaman” sangat penting. Mungkin tanpa sadar mereka lebih mementingkan hal-hal itu daripada tujuan untuk bertemu pribadi yang dicari: Yesus, yang sebetulnya ada dalam ruang batinnya yang paling dalam.

Kedekatan dengan Tuhan sebetulnya tidak diukur dari rasa inderawi seperti rasa enak-teduh dalam doa atau rasa kehadiran Tuhan yang mencekam. Orang yang mencapai tahap hidup rohani yang tinggi (misalnya: St. Yohanes Salib dan St. Teresia Avila) justru biasanya mengalami kekeringan doa yang menyiksa (ariditas). Orang yang pindah gereja karena ingin mencari cara ibadat yang meriah bisa jadi jatuh dalam perangkap inderanya sendiri. Yang mereka cari bukan Tuhan, tapi kepuasan dalam doa dan hiburan rohani (konsolasi). Mereka mencari hal-hal lahiriah dan lupa dengan hakikat utamanya.Yang mereka cari adalah diri (ego) mereka sendiri, sadar atau tidak sadar.

Komentar yang paling sering didengar dari mereka adalah bahwa liturgi Katolik kaku dan membosankan. Tatkala kekakuan liturgi dirasa tidak menciptakan suasana perasaan haru-biru, mereka pindah gereja yang katanya kaya dengan inovasi liturgis. Seorang sahabat yang aktif di komunitas persekutuan doa dengan tepat menilai masalah ini. Menurutnya, masalahnya bukan terletak pada liturgi atau metode doa apa pun. Masalahnya adalah sejauh mana seseorang membuka hati bagi sentuhan Roh. Dalam keterbukaan hati, dengan hanya membuat tanda salib pun, atau sekedar memandang Yesus yang tersalib, seseorang bisa masuk dalam keheningan doa dengan rasa remuk-redam.

Solusi: Komunitas Persekutuan Doa
Persoalan aspek lahiriah-batiniah tadi tidak dimaksudkan untuk melihat kedua hal tersebut secara dikotomis. Aspek lahiriah juga penting untuk menumbuhkan semangat doa. Untuk itu, Gereja Katolik terus berupaya mengakomodasi apa yang dibutuhkan jemaat pada umumnya. Kehadiran sejumlah komunitas rohani, misalnya: Komunitas Tritunggal Mahakudus, Komunitas Sel KKN, PERDUKI, dan aneka persekutuan doa lainnya merupakan wadah yang baik untuk mengalami kebersamaan yang lebih erat antara saudara seiman. Di dalamnya umat bisa saling membagikan pengalaman berharga yang meneguhkan iman. Sewaktu-waktu umat juga bisa ikut Kebangunan Rohani Katolik. Tampaknya Gereja cukup jeli untuk melihat apa yang dibutuhkan umatnya. Kalau pun masih ingin pindah gereja, tanyakan dengan jujur pada sisi batin paling dalam: “Apa yang sesungguhnya kucari?....Ada apa denganku?”

Lianto (Publikasi: Duta Desember 2007)

Kematian: Titian Kehidupan



Jika pernah melewati titian atau jembatan gantung di atas sungai, kita dapat merasakan betapa berdebarnya jantung kita tatkala melaluinya. Titian membangkitkan perasaan tak menentu, cemas, dan takut, apalagi alur atau jurang yang terbentang tampak curam. Semakin dekat ke titian, seorang penyeberang makin takut. Tapi, mau tak mau titian harus dilalui jika orang ingin sampai ke seberang.

Menurut seorang penyair Jerman, kematian adalah titian kehidupan. Melalui kematian, kita menyeberangi “dunia sini” menuju “dunia sana”; dunia fana menuju dunia kekal. Sama seperti terhadap titian, manusia selalu diliputi rasa cemas dan takut berhadapan dengan kematian. Maut sebagai maut, bisu untuk diajak tawar-menawar; buta untuk membedakan status, agama, dan warna kulit. Konon kabarnya, ketika mendapat serangan jantung yang hebat pada suatu hari Rabu, Paus Pius XI meminta para dokter untuk mengusahakan pelbagai cara agar hidupnya dapat bertahan sekurang-kurangnya sampai hari Sabtu. Sebab pada hari itu ia harus berbicara di depan Sinode Uskup-uskup Italia. Atau kalau bisa sampai pada hari Minggu, sehingga ia dapat merayakan peringatan sepuluh tahun Perjanjian Lateran. Tetapi kata-kata Paus ini tidak kuasa mengelakkan maut. Hari Kamis pagi, Paus yang masyhur ini meninggal dunia.

Apa itu kematian? Secara medis, kematian barangkali dapat dipahami sebagai disfungsi (tidak berfungsinya) organ-organ vital yang memungkinkan kehidupan. Bertolak dari kriteria-kriteria medis yang empiris (yang terasa dan terukur), seorang dokter dapat menyimpulkan bahwa pasien yang dirawat telah mati. Iman tentu punya kacamata lain. Kacamata iman membantu kita untuk “memandang” (kontemplasi) realita secara “tembus pandang” sehingga kita dapat melihat kesejatiannya. Apa yang tampak bagi mata hanyalah kulit pembungkus. Kesejatian realita adalah kebenaran yang ada di balik peristiwa.

Sebagai bagian dari alam raya, manusia dapat bercermin dari siklus hidup seekor kupu-kupu. Di kala mendapati seonggok kepompong, orang berpengetahuan kurang akan berpikir bahwa ulatnya telah mati. Padahal ulat itu telah berubah menjadi seekor kupu-kupu nan indah. Ilmuwan menyebutnya metamorfosa. Pemakaian kata “mati” untuk si ulat adalah salah. Kesalahan ini juga sering dikenakan pada matahari. Kita terlalu biasa mengatakan matahari “terbit” dan “terbenam”. Padahal nyatanya, matahari tidak pernah terbit maupun terbenam. Ia tetap berada pada posisinya. Namun karena bumi kita berputar mengelilinginya, tampaklah bagi kita seolah-olah matahari terbit dan terbenam. Dua lukisan alam ini mau mengatakan bahwa kebenaran tidak selalu identik dengan apa yang terlihat oleh mata.

Kata “meninggal” terasa lebih tepat dan imani karena kematian sebenarnya adalah “meninggalkan” dunia sini untuk hidup di dunia sana. Liturgi perayaan orang kudus meneguhkan pandangan ini. Santo-santa/martir diperingati bukan berdasarkan hari kelahirannya, melainkan hari kematiannya. Kematiannya di dunia sini adalah kelahirannya di dunia sana (surga).

Dalam Perjanjian Lama, Yesaya menegaskan keyakinan bahwa masih ada kehidupan setelah kematian. Kehidupan baru itu dilukiskan dengan perjamuan yang penuh dengan suasana kegembiraan, keakraban, dan kekeluargaan di antara segala bangsa dengan Allah. Di situ, kain perkabungan akan dilepaskan, maut ditiadakan, dan air mata dihapuskan (Yes. 25:6a. 7-9). Hal ini menegaskan pandangan iman bahwa kematian bukanlah perhentian atau titik akhir, melainkan peralihan atau titik awal dari kehidupan baru.

Dalam Perjanjian Baru, peristiwa kebangkitan Yesus adalah contoh terbaik. Kebangkitan Yesus menandakan bahwa kematian merupakan pintu keselamatan dan kehidupan baru. Kematian bukanlah pemusnahan, melainkan penciptaan. Kematian bukan rintangan, melainkan bagian dari kehidupan. Itulah titian yang harus dilewati setian insan. Orangtua, sanak-saudara, dan sahabat yang telah meninggal diciptakan menjadi ciptaan baru di dunia baru. Dalam arti tertentu, mereka mengalami metamorfosa. Mereka yang telah meninggalkan jasadnya (katakanlah kepompongnya) di kuburan sana, kini mempunyai sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga. Seperti sang surya, mereka “terbenam” di dunia ini, dan pada saat yang sama, mereka “terbit” di dunia baru. Dengan kacamata iman ini, hendaknya air mata kita adalah air mata keterharuan karena perpisahan, dan bukan keputusasaan. Mereka hanya mendahului kita. Pada saat yang dikehendaki, kita akan kembali bersama.

VITA MUTATUR, NON TOLLITUR. Hidup diubah, bukan dibuang. Kisah kebangkitan Yesus ditutup dengan seruan malaikat: “Jangan takut, Yesus yang kamu cari telah bangkit.” Tak henti-hentinya Injil mengulang kata “Jangan Takut”. Dalam seluruh KS, ungkapan “Jangan takut” ditemukan 366 kali. Ini berarti sepanjang tahun (365 hari), kita setiap hari diteguhkan dengan satu kali seruan “Jangan takut”. Satu kali sisanya disediakan untuk tahun panjang yang biasa disebut tahun kabisat. Semoga hati dan budi kita semakin diterangi untuk memaknai aneka peristiwa.

Lianto

Tanda Salib: Tanda Kemenangan



Bagi sebagian umat Katolik, tanda salib maupun miniatur salib telah menjadi hal atau barang yang biasa. Kita sudah terbiasa melihat salib di menara gereja, pemakaman Kristen, di dinding rumah, atau sebagai simbol bendera sejumlah negara. Salib juga biasa menjadi hiasan kalung dengan aneka model yang indah. Saking lumrahnya, salib tidak jarang menjadi kurang bermakna. Sama seperti seruan kaget “Oh, my God” yang tak dimaksudkan untuk ditujukan kepada Tuhan, demikian pun tanda salib sering dipandang tanpa makna. Orang Protestan pernah bertanya: “Mengapa orang Katolik menggores-gores dahi, mulut, dan dada ketika mendengarkan bacaan Injil di gereja?” Pertanyaan ini menyiratkan ketergesa-gesaan umat Katolik tatkala membuat tanda salib di dahi, mulut, dan dada tatkala Injil dibacakan dalam perayaan misa. Bila kita sejenak melihat kembali makna terdalam di balik tanda salib, kiranya kita dapat selalu ingat untuk menghindari rutinitas tak bermakna.

Pemakaian salib atau tanda salib sebenarnya tidak ditemukan dalam kebiasaan jemaat Kristen abad-abad pertama. Pada waktu itu, momok yang ditimbulkan dari hukuman salib amat membekas dalam ingatan orang. Disalibkan berarti menjalani hukuman mati secara pelan-pelan, yang diperuntukkan bagi penjahat dan pemberontak politik.

Mulanya orang Kristen agak malu dan takut dengan tanda salib. Oleh sebab itu, mereka menyamarkannya dalam gambar-gambar lain, misalnya: jangkar, monogram “pax Christi” (huruf P dan x disatukan) atau lambang kehidupan dari kepercayaan Mesir kuno (huruf T dengan lingkaran di atas). Baru setelah kemenangan Kaisar Konstantin (312) dalam pertempuran, orang-orang Kristen mulai bangga memperlihatkan tanda salibnya. Konon kabarnya, pada malam sebelum pertempuran yang sangat menentukan, Kaisar Konstantin yang masih kafir mendapat penampakan dari Tuhan Yesus yang mengatakan padanya: “Dalam tanda ini, engkau akan menang” (IHS = in hoc signo vinces). Sesudah berhasil memenangkan pertempuran, Konstantin menjadi Kristen dan menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Dialah kaisar Romawi pertama yang memberi kebebasan penuh kepada Gereja dan memasang salib sebagai tanda resmi bendera kekaisaran. Penghormatan terhadap salib makin meningkat setelah St. Helena, Ibu Suri Kaisar Konstantin, menemukan kembali salib Yesus yang asli dalam suatu sumur di Yerusalem (320).

Sejak saat itu, berabad-abad lamanya sampai hari ini, salib dihormati sebagai lambang kemenangan Kristus atas kejahatan dan kematian. Dan kita orang Kristen percaya, bahwa berkat tanda salib itu, kita pun sanggup melawan kejahatan dalam diri sendiri maupun ketidakadilan dalam masyarakat. Dalam sakramen-sakramen Gereja, salib selalu dijunjung tinggi. Dengan tanda salib, Gereja membaptis orang menjadi anak Allah. Dengan tanda salib pula, para imam menyampaikan berkat. Tanda salib juga dipancangkan di atas kuburan Kristen dengan keyakinan: dalam tanda ini orang diselamatkan. Kita juga selalu memulai ibadat dengan tanda salib sebagai tanda bahwa kita adalah milik Kristus. Tanda salib menjadi semacam tanda pengenal orang Kristen. Dengan tanda ini, kita akan menang!

Lianto

Teologi Mistik, Masih Relevankah?


Di penghujung abad ke-20, John Naisbitt, penulis Megatrends Asia, berujar provokatif: “Spirituality Yes, Organized Religion No”. James Redfield, pengarang The Celestine Prophecy, melihat adanya kegelisahan sekelompok orang yang mengalami ketidakpuasan terhadap jawaban akan makna kehidupan. Mereka kemudian melakukan pencarian batin secara intensif dalam aneka bentuk spiritualitas dunia. Bagaimanakah Gereja menjawab dan menanggapi tanda-tanda zaman ini?

Tatkala orang mengalami doa lisan dan meditasi terasa tak bermakna, apa jalan keluar yang ditempuhnya? Sebagian orang beralih ke pelbagai praktek meditatif ala kebijaksanaan Timur, misalnya Zen, yoga, dan meditasi prana. Padahal tradisi kristiani sejak abad-abad awal telah mengenal teologi praktis yang disebut teologi mistik. Bidang ini bertujuan mengajar orang bagaimana berdoa dan membimbing orang agar tetap berada di jalur tepat ketika “malam gelap” melanda. Ketika orang ditarik masuk ke tingkat kesadaran doa yang lebih mendalam, ia perlu bimbingan yang tepat. Tanpa arahan yang tepat, orang bisa saja tersesat dalam ilusi, kebimbangan, atau macet tanpa membuat kemajuan. Begitulah kira-kira inti ajaran teologi mistik sepanjang zaman.

Khazanah Gereja di ranah mistik begitu kaya. Kita mempunyai Life of Moses karya St. Gregorius dari Nyssa; Theologia Mystica dari seorang penulis Siria dengan nama samaran Dionisius Areopagus (Pseudo-Dionisius); Itinerarium Mentis in Deum dari St. Bonaventura; The Cloud of Unknowing dari pengarang Inggeris anonim; Abecedario Espiritual dari Fransiskus Osuna; El Castilo Interior dari St. Teresia dari Avila; belasan mahakarya dari St. Yohanes dari Salib; Philokalia dari Makarios dari Korintus; dan ratusan risalah lain yang tak dapat disebut satu per satu.

Pada paruh pertama abad ke-20, risalah-risalah mistik di atas masih diajarkan di fakultas-fakultas teologi di seluruh dunia. Ini merupakan bidang praktis dan pastoral yang mengajar para murid tentang bagaimana berdoa dan membimbing orang lain yang dijumpai dalam pelayanan di masa mendatang. Namun setelah Konsili Vatikan II, teologi mistik tidak lagi diajarkan. Buku Adolphe Tanquerey, The Spiritual Life: A Treatise on Ascetical and Mystical Theology setebal Alkitab tersusun tak rapi di perpustakaan-perpustakaan fakultas teologi. Posisinya ada di rak kumpulan buku-buku tua. Sebagian seminaris mungkin tidak menyadari keberadaannya. Hanya kutu bukulah yang masih meminatinya (kutu yang sebenarnya). Tapi dari jumlah eksemplar-nya, hampir bisa dipastikan, buku ini pernah menjadi buku pegangan wajib bagi seminaris. Mengapa? Situasi perubahan dunia apakah yang membuatnya tidak relevan lagi untuk diajarkan?

Memang tak disangkal bahwa risalah-risalah klasik mengandung banyak pernik pemikiran filosofis yang harus dibaca secara kontekstual di zaman kita. Skolastisisme Abad Pertengahan sangat mempengaruhi penelaahan teologi mistik di masa lalu. Namun hal ini bukan perkara esensial. Risalah-risalah tersebut bisa “di-hari-ini-kan” (aggiornamento) sehingga tetap dapat bergema di era kita.

Setelah khazanah mistik di era lalu disesuaikan dengan situasi zaman kini, Gereja akan tetap mampu menjawab kehausan manusia modern. Adaptasi itu kira-kira menyangkut hal bagaimana karya yang ditulis untuk para biarawan dan rahib (yang mempunyai waktu panjang di ruang doa) dapat dinikmati pula oleh manusia modern yang sibuk di pabrik, kantor, toko, dan sebagainya. Mereka juga dalam intensitas tertentu dipanggil untuk masuk ke dalam pengalaman mistik dengan Allah.

Teologi mistik era kita juga harus diarahkan pada sikap tidak menutup mata terhadap aneka keprihatinan sosial di dunia. Kobaran cinta Allah yang menggebu-gebu, (yang mendorong mistikus-mistikus di zaman lampau pergi bertapa di padang gurun) harus mendorong para mistikus modern menceburkan diri dalam dunia modern; berbela-rasa (compassio) untuk memerangi aneka struktur yang menindas kaum miskin dan merusak lingkungan. Ini bukan mission imposible, Edith Stein, Dietrich Bonhoeffer, Thomas Merton, Ibu Teresa dari Calcutta, Oscar Arnulfo Romero, dan Dom Hérder Câmara telah menunaikannya.

Dengan teologi mistik baru ini, Gereja dapat duduk bersama penganut agama-agama lain di dunia di era global, pun pula dengan kalangan ilmuwan modern yang di masa lalu sering dipertentangkan. Orang-orang di luar Gereja juga dibimbing kepada pengalaman iman (mistik) “dengan jalan yang hanya diketahui oleh Allah sendiri” (Ad Gentes art. 7a). Dengan teologi mistik baru, Gereja dapat kembali menyerukan ajakan Yesus: “Datanglah kepada-Ku,… Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”

Lianto

Pengalaman Mistik Selayang Pandang


Dalam masyarakat kita, kata "mistisisme" atau "pengalaman mistik" kerap dicampuradukkan dengan kata "magi". Mendengar kata tersebut, orang akan gampang mengaitkannya dengan gejala parapsikologis, ilmu sihir, tenung, santet, klenik, dan pelbagai praktek okultis. Pengalaman mistik juga sering disejajarkan dengan keadaan ekstase dan perubahan kesadaran yang dapat diusahakan secara artifisial dengan hipnose dan obat-obatan. Pengertian dan pemahaman  seperti itu mengaburkan dan mereduksi konsep mistisisme yang sebenarnya.

Problematika Terminologi "Mistisisme"
Secara etimologis, istilah "mistisisme" atau "pengalaman mistik" berasal dari kata Yunani "mystikos", yang dibentuk oleh kata kerja "myo" yang berarti "menutup mata". Pada mulanya istilah ini dipakai untuk menunjuk upacara-upacara rahasia (tersembunyi) yang hanya diketahui oleh mereka yang telah diinisiasikan. Di kemudian hari, istilah ini dimengerti sebagai usaha menutup budi terhadap pengaruh segala hal eksternal sehingga diri diselami dan disiapkan untuk menerima penerangan ilahi.

Pada abad ke-6, Pseudo-Dionysius memperkenalkan ungkapan "teologi mistik" melalui karyanya yang berjudul Theologia Mystica. Di dalam karyanya, Pseudo-Dionysius melukiskan pendakian Musa ke puncak gunung, dan masuk ke dalam awan gelap untuk berjumpa dengan Allah. Kegelapan awan ini ditafsirkan sebagai situasi di mana orang tinggal dalam kekosongan (ketidaktahuan), karena budi diistirahatkan dari segala kegiatan diskursif (yang mengandalkan daya pikir). Situasi ini tak dapat tidak akan dimasuki oleh para mistikus. Ia mengajarkan suatu kontemplasi mistik yang mengantar manusia untuk sampai pada pengetahuan (pengenalan) akan Allah sebagai Kegelapan Ilahi melalui jalan ketidaktahuan. Bagi Pseudo-Dionysius, pengalaman mistik merupakan pengalaman akan Allah yang diterima manusia secara pasif. Dengan demikian disadari bahwa pengalaman mistik bukanlah hasil usaha manusiawi, melainkan melulu anugerah Roh Kudus.

Para teolog modern mengalami kesulitan untuk menemukan suatu definisi yang sungguh adekuat. Kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya kesepakatan atas peristilahan yang dipakai, dan karena pengalaman mistik itu sendiri tidak dapat dilukiskan secara adekuat dalam kata-kata.

Aspek pengalaman dalam mistisisme yang terungkap dalam pandangan Pseudo-Dionysius, juga ditekankan oleh Edward Schillebeeckx. Menurut Schillebeeckx, pengalaman mistik adalah suatu bentuk intensif dari pengalaman iman akan Allah. Pengalaman ini mempunyai sifat langsung yang diperantarai, atau seperti ungkapan Schillebeeckx, kelangsungan yang tidak-langsung (mediated immediacy). Dari pihak Allah, kehadiran-Nya bersifat langsung. Tapi dari pihak manusia, kelangsungan itu harus diperantarai, yakni oleh situasi dan kondisi manusiawi.

Iman di sini tidak hanya dilihat sebagai kurnia adikodrati yang membuat kita menilai benar segala yang diwahyukan, melainkan terlebih sebagai kesatuan manusia dengan Allah sendiri. Menghayati iman sama dengan menghayati kontak persatuan dengan Allah. Penghayatan itu bersifat langsung, karena motif iman adalah Allah sendiri. Iman tidak punya dasar selain Allah sendiri yang mewahyukan diri. Pada dasarnya wahyu dan iman menunjuk pada realitas yang sama, yaitu kesatuan mistik Allah dan manusia. Dari sudut Allah, kita sebut kesatuan itu sebagai wahyu. Dan kesatuan itu menjadi kontak yang nyata bila kita menanggapinya dalam iman.

Sifat “intensif” (mendalam) perlu ditegaskan sebab mistik bukanlah pengalaman iman yang “biasa” [Tidak ada kata lain yang lebih cocok]. Mistik adalah penghayatan yang khusus dan mendalam dari kontak iman. Walter Hilton menekankan aspek “perasaan khusus” dalam kontak tersebut. Mungkin perasaan itulah yang disebut Thomas Aquinas sebagai “intuisi sederhana” dalam mengenal Allah. Dengan intuisi ini, orang mengalami Allah: “melihat”, “menyentuh”, dan “merasakan” Allah dengan cara yang tidak biasa.

Kajian ilmu psikologi dapat sedikit membantu. Menurut William James, sama seperti konsep "agama", konsep "mistisisme" atau "pengalaman mistik" sulit dirumuskan secara memadai. Ia (dalam The Varieties of Religion Experience) menawarkan empat sifat khas dari pengalaman mistik, yang membedakannya dari pengalaman biasa. Keempat sifat itu ialah:

1. Ineffability
Pengalaman mistik itu tak terungkapkan. Orang yang berada dalam pengalaman mistik, tidak dapat menerangkan apa yang dialaminya secara memadai dalam kata-kata. Keadaan mistik itu lebih merupakan keadaan perasaan (emosional) daripada keadaan intelektual. Untuk memahaminya dengan jelas, orang harus mengalaminya. Sama seperti kenyataan bahwa orang biasanya harus mempunyai "telinga musik" agar dapat menangkap nilai dari suatu simfoni.

2. Neotic
Pengalaman mistik mengandung unsur pengetahuan. Di samping merupakan keadaan perasaan, mistisisme juga merupakan keadaan pengetahuan. Mistisisme memberikan suatu pengetahuan bagi orang yang mengalaminya. Pengetahuan itu ialah pengertian yang menyentuh kedalaman kebenaran tanpa dicampuri pemikiran diskursif.

3. Transiency
Pengalaman mistik bersifat sementara dan tidak bertahan lama. Keadaan itu biasanya bertahan tidak lebih dari 30 menit. Dan bila diingat-ingat kembali, kerap hanya tinggal dalam bentuk yang tidak sempurna.

4. Passivity
Pengalaman mistik bersifat pasif. Artinya, orang yang berada dalam keadaan mistik merasa seolah kehendaknya terkatung-katung, atau merasa dirinya ditangkap oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya. Dengan kata lain, pengalaman ini diterima dan bukan diperoleh.

Doa Kontemplatif; Jalan Menuju Pengalaman Mistik
Teologi hidup rohani membedakan tiga tahap klasik dalam doa, yakni doa lisan, doa meditatif, dan doa kontemplatif. Doa lisan menekankan kata-kata yang diucapkan maupun dinyanyikan; dari teks tertulis maupun spontan. Doa meditatif memusatkan peranan akal budi dalam menggambarkan dan memikir-mikirkan hal-ikhwal mengenai Allah. Selangkah lebih maju dari doa lisan, doa meditatif tidak berkata-kata, mulut diam, akal budi bekerja. Sedangkan doa kontemplatif mengandalkan intuisi batin untuk menatap dan mengalami Allah. Di sini orang berdoa tanpa kata maupun pikiran, semata-mata kehendak untuk bersatu dengan yang Ilahi. Dalam kontemplasi, manusia menyeberangi batas kata-kata, pikiran-pikiran, dan konsep-konsep untuk mencapai “ada-bersama” dengan Allah. Tahap doa terakhir ini dipercaya lebih dekat dengan pengalaman persatuan mistik.

Psikologi doa tentang “modus-ganda kesadaran” bisa dipakai untuk menjelaskan hal ini. Secara teoritis, kesadaran kita dibedakan menjadi dua, yakni modus aktif dan modus reseptif. Yang pertama mengandalkan pemikiran logis, kontrol, analisa, dan penalaran. Yang kedua menekankan penyerahan, intuisi, dan rasa kagum. Diyakini bahwa dengan membiarkan kesadaran “kabur”, kita dimungkinkan untuk menerima keinsafan yang baru dan lebih luas. Hal ini tidak gampang bagi mereka yang telah terbiasa dengan doa lisan maupun doa meditatif. Peralihan dari modus aktif ke modus reseptif dibutuhkan bila orang ingin menikmati pengalaman yang lebih intim dengan Allah.

Menikmati keintiman dengan Allah jangan disamakan dengan menerima hiburan-hiburan (konsolasi) rohani. Sepanjang sejarah, teologi doa (apofatik) klasik -mulai dari Gregorius Nyssa, Pseudo-Dionysius, pengarang buku The Cloud of Unknowing, Bonaventura, Teresia Avila hingga Yohanes Salib- menggambarkan adanya “awan gelap” yang menyelimuti wajah Allah. Allah itu Cahaya yang sedemikian terang sehingga “membutakan” mata yang melihat-Nya. Lagi-lagi ditegaskan perlunya pelepasan kata-kata, imaginasi, dan penalaran diskursif untuk menerobos awan pekat ini. Rupanya Allah harus dilihat dengan cara “tidak melihat”; diketahui dengan cara “tidak tahu”.

Menyingkirkan pikiran dan penalaran dalam doa memang tidak segampang yang dikira. Pikiran yang diusir paksa sering kembali melanda pendoa dengan kekacauan yang lebih besar. Tidak jarang kita temukan diri atau orang lain duduk diam dan terus mengernyitkan kening ketika berdoa. Tradisi Gereja menawarkan aneka jalan menuju doa kontemplatif. “Doa Yesus” dengan mengulang-ulang nama “Yesus” seiring irama nafas adalah salah satu contoh yang baik. Pendarasan nama Yesus seiring irama nafas dapat membawa kita kepada tingkat kesadaran di mana pikiran disingkirkan secara halus. Rentetan pikiran itu masih tetap mengalir, dibiarkan, dan tidak dihiraukan. Tentang hal ini, simaklah buku Berdoa Tak Kunjung Putus: Kisah Seorang Peziarah.

Bila metode “Doa Yesus” dirasa tidak biasa, Doa Rosario adalah alternatifnya. Ambil posisi se-relaks mungkin, benamkan diri dalam “tidak tahu” (cloud of unknowing) tentang siapa Allah dan “tidak ingat” (cloud of forgetting) akan ciptaan, dan ulangi terus Salam Maria. Jika Allah menghendaki, Anda akan masuk dalam “cahaya Tabor” seperti pengalaman para Rasul Yesus. Jangan berkecil hati bila dirasa bahwa pendarasan doa terucap seperti tanpa rasa-makna, sebab dalam hal ini, pengulangan doa hanya metode untuk sampai pada kesadaran yang dimaksud. Juga tidak perlu kecewa bila kita merasa sepertinya baru saja bangun dari tidur kilat. Sebab kontemplasi (dalam artian kata yang terbatas) memang mirip “setengah tidur”.

“Orang beriman pada masa yang akan datang ialah seorang mistik, atau ia tidak bisa beriman lagi. Saudara-saudaraku, mari kita bertindak dengan perlahan-lahan, supaya kita jangan begitu ramai, sehingga sabda rahmat ilahi, yang tenang namun begitu berdaya jangan sampai tak terdengarkan karena kata-kata kita, yang terlampau keras namun tak berdaya.” (Karl Rahner)

Lianto

Thursday, July 24, 2008

Mengapa Doa Kering?


"Aku tak dapat berdoa lagi". Ini sering diungkapkan orang-orang yang mulai mengalami kesulitan dalam berdoa. Relasi dengan Allah dalam doa biasanya diawali dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan akan kehadiran Allah. Allah dialami sebagai Allah yang hidup, dekat, penuh cinta, senantiasa menghibur dan menguatkan. Hiburan-hiburan dan kegembiraan rohani ini mendorong orang untuk semakin bertekun dalam doa. Baginya, Allah adalah segala-galanya.

Dalam perjalanan rohani, akan tiba saatnya seseorang mengalami kekosongan dan kekeringan yang menyengsarakan dalam doa. Doa yang dahulu merupakan relasi intim dengan Allah, kini dialami sebagai tindakan tak bermakna, tidak menyentuh hati, kering, hampa, dan membosankan. Allah, yang dahulu dialami sebagai Allah yang hidup, hadir dekat, dan penuh cinta, kini dialami sebagai Allah yang tersembunyi, jauh, dingin, dan bisu. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mzm. 10:1); “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:2).

Kekeringan dalam doa seperti terungkap di atas bisa disebabkan oleh dosa, kelemahan, semangat suam-suam kuku, kemurungan hati, dan atau gangguan kesehatan. Tidak mengherankan bila orang yang bersemangat suam-suam kuku pada suatu ketika akan mengalami doanya terasa tak bermakna. Juga bukan hal yang luar biasa bila orang sulit berdoa dalam keadaan sakit atau galau hatinya.

Namun kekeringan dalam doa dapat pula disebabkan bukan oleh-hal-hal di atas, melainkan oleh Allah sendiri yang hendak menyucikan, menerangi, dan menyatukan pendoa dengan diri-Nya. Kekeringan yang bersumber pada karya Allah inilah yang disebut St. Yohanes dari Salib sebagai “malam gelap” dalam doa. Orang yang dilanda kekeringan mengalami seolah-olah Allah meninggalkannya dalam malam yang gelap gulita.

Dengan malam gelap, sesungguhnya Allah menunjukkan bahwa kenikmatan inderawi dan rohani yang dicari orang dalam doa bukanlah Allah sendiri, tetapi bunga-bunga kehadiran-Nya yang pada suatu ketika harus ditinggalkan. Malam gelap dalam bentuk kekeringan dalam doa bukanlah hal yang harus ditangisi, tetapi anugerah yang patut disyukuri. Dalam hal ini kekeringan dalam malam gelap justru merupakan tanda kemajuan dalam hidup rohani.

Ketidakpahaman akan pengalaman di atas dapat menyebabkan orang menjadi putus asa dan meninggalkan doa tatkala dilanda kekeringan. Ia berpikir bahwa kekeringan yang dialaminya merupakan tanda kejauhan Allah atau kemunduran hidup rohaninya. Ia “lari” justru pada saat tangan Allah hendak menariknya agar lebih dekat pada-Nya.

Menurut Yohanes dari Salib, kegelapan malam itu sesungguhnya merupakan “terang yang gelap” atau terang yang sedemikian terang sehingga membutakan mata yang memandangnya. Bagaikan mata kelelawar yang buta tatkala memandang cahaya terang benderang. Dalam bab IX buku I The Dark Night, ia memberikan tiga gejala atau tanda untuk menguji, apakah kekeringan yang dialami sungguh bersumber pada malam gelap, atau semata-mata bersumber pada kelemahan-kelemahan pribadi.

1. Tidak Menemukan Kepuasan dan Hiburan
Dalam malam gelap, doa dan kegiatan-kegiatan rohani yang dulu selalu mendatangkan kepuasan dan hiburan, akan terasa kering, kosong, membosankan, dan tak bermakna. Bukan hanya hal-hal rohani, hal-hal duniawi lain pun tidak mendatangkan kepuasan bagi dirinya.

Kekeringan yang dialami orang karena malam gelap ini sangat berbeda dari kekeringan yang dialami karena kelalaian atau kedangkalan hidup. Orang yang mengalami kekeringan akibat kemalasan dan kedangkalan hidup akan segera menemukan kepuasan dalam hal-hal lain. Sedangkan orang yang mulai dimurnikan Allah dalam malam gelap, tidak akan menemukan kesenangan dan kepuasan dalam hal apa pun. Kendati demikian, semangatnya untuk mengabdi Allah tetap hidup dan berkobar. Orang lain yang melihatnya barangkali berpendapat bahwa hidup rohaninya semakin berkembang, sebab usahanya untuk berdoa semakin besar. Namun ia sendiri merasa hampa, kering, dan tidak maju. Perasaannya menjadi kersang, seolah-olah kehilangan kepekaannya.

Dapat terjadi bahwa sekali-sekali ia masih menemukan kembali terang atau kekhusyukan yang dulu selalu dialaminya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Kekeringan dan kehampaan akan kembali menjemputnya. Secercah terang itu bagaikan kilat; yang muncul, lalu hilang seketika.

2. Mengingat Allah dengan Cemas dan Gelisah
Pengalaman atas gejala pertama menimbulkan pikiran dan prasangka dalam dirinya, bahwa ia tidak mengabdi Allah sebagaimana mestinya. Ia biasanya dikejar-kejar oleh pikiran bahwa hidup rohaninya tidak mengalami kemajuan, melainkan semakin merosot. Pikiran dan prasangka ini menyebabkan orang terus-menerus mengingat Allah dengan rasa cemas, gelisah, dan hati remuk-redam. Ia merasa bahwa Allah -yang dengan sepenuh hati ingin dicintainya- telah jauh darinya.
Ketika doa masih terasa menyenangkan, perihal Allah tidak terlalu dipersoalkan. Ia merasa diri mengenal Allah, dan mempunyai gambaran ilahi yang jelas. Tetapi sekarang gambaran itu mulai dikaburkan. Allah yang dianggapnya selalu hadir dekat karena hiburan yang dialaminya dalam doa, kini seakan jauh dan tersembunyi. Ia merasa diri kehilangan arah. Relasi dengan Allah menjadi suatu persoalan yang selalu dipikirkannya. Dalam hatinya, ia merasakan kerinduan yang mencekam untuk mengabdi Allah. Namun dengan jelas pula ia melihat bahwa pengabdiannya masih sangat kurang.

Dalam konteks kekeringan yang dialami, kiranya perasaan cemas dan gelisah sewaktu memikirkan Allah, wajar-wajar saja. Perasaan-perasaan itu muncul karena orang masih mengukur keberhasilan doa hanya dari aspek perasaan senang dan puas yang ditimbulkannya. Orang berpikir, Allah itu dekat, bila ia merasakan kehadiran-Nya dan hatinya puas dan senang karenanya. Sebaliknya, Allah itu jauh bila ia tidak merasakan apa-apa dalam doa. Ini pandangan yang keliru. Apakah Allah itu dekat atau jauh tidak dapat diukur atau ditentukan oleh rasa enak atau kering dalam doa.

3. Tidak Mampu Lagi Bermeditasi dengan Imaginasinya
Kemampuan dan usaha-usaha bermeditasi dengan memakai daya imaginasi, yang dahulu biasa dipraktekkannya, kini menjadi tak berdaya. Hal ini terjadi karena pada tahap ini, Allah tidak lagi mengomunikasikan diri-Nya secara inderawi melalui analisa diskursif (daya pikir), melainkan mulai mengomunikasikan diri-Nya dalam roh murni. Komunikasi ini terjadi dalam suatu kontemplasi yang tak dicapai oleh indera. Ketidakberdayaan unsur inderawi ini menyebabkan daya imaginasi dan fantasi tidak lagi mendapatkan tempat dalam renungan maupun meditasi.
Karena ketidakpahaman akan realitas malam gelap yang melandanya, orang sering masih terus berusaha bermeditasi. Bahkan dapat terjadi bahwa ia semakin tekun mencari metode-metode baru yang diharapkan dapat memperbaiki ketidakberdayaannya. Namun, hasilnya tetap kering dan kersang.

Orang yang mulai masuk ke dalam pembersihan yang gelap ini seharusnya menyadari bahwa dirinya sedang dituntun Allah untuk beralih dari jalan meditasi ke jalan kontemplasi. Dalam jalan baru ini, Allah memperkenalkan diri bukan dalam konsep-konsep dan ide-ide yang terbatas, tetapi dalam cinta yang tak terbatas. Dalam cinta inilah, Ia dikenal sebagaimana ada-Nya.
Bila Anda menemukan tiga gejala malam gelap di atas dalam kekeringan rohani, berbahagialah! Sebab Anda sedang dituntun Allah untuk bersatu dengan-Nya kendati melalui jalan derita.


Lianto