Friday, February 5, 2010

Rasa Keadilan: “Trademark” Baru Kasus Hukum

Akhir-akhir ini, dalam ranah hukum, semakin populis ungkapan “rasa keadilan”. Ungkapan ini telah menjadi semacam “etiket” yang ditempelkan pada hampir tiap kasus hukum di negeri ini. Sejatinya apa itu rasa keadilan? Mengapa istilah itu mengemuka?

Berita penahanan Anggodo Widjojo dinilai bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Fasilitas mewah untuk Artalyta Suryani di Lapas Wanita Pondok Bambu ditengarai telah mencederai rasa keadilan. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD., melihat vonis bebas Prita Mulyasari telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pun pula, penahanan pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, dianggap merobek rasa keadilan. Terkesan, masyarakat atau rakyat awam adalah “pemilik” eksklusif cita rasa ini.

Apa itu Rasa Keadilan?
Penegak hukum sekaliber Jaksa Agung, Hendarman Supanji, mengaku bingung merumuskan apa itu “rasa keadilan”. Beliau meminta para jaksa utk lebih peka dan mewujudkannya dalam tugas penegakan hukum (DetikNews, 16/12/2009). Mungkin besarnya keluasan makna “rasa keadilan” menjadi penyebab kebingungan. Bisa jadi pula, rasa itu tidak dimiliki, atau tersimpan jauh di salah satu sudut lubuk hati. Tertimpa acak oleh pelbagai aturan, sistem, rumusan tata perundangan, dan atau aneka kepentingan hukum dan politik yang mendesak untuk diutamakan. Kalau seseorang tidak memiliki sesuatu, dia tidak bisa memberikan sesuatu itu kepada orang lain. Nemo dat quod non habet, kata Thomas Aquinas.

Markus Dirk Dubber melihat rasa keadilan sebagai sensibilitas, kesadaran atau empati yang ada dalam diri manusia untuk memperlakukan sesama manusia seperti diri sendiri ingin diperlakukan. Dengan kata lain, rasa keadilan itu kemampuan untuk menilai apakah seseorang telah diperlakukan seadil mungkin (The Sense of Justice: Empathy in Law and Punishment, 2006).

Rasa keadilan, seperti halnya hati nurani, (seharusnya) dimiliki oleh setiap manusia sejauh dia manusia. Setiap orang sama-sama dilahirkan dengan kemampuan untuk membedakan apa yang benar dan salah, adil dan tak adil. Predikat “dilahirkan” dalam konteks ini berarti “dibekali” dengan rasa keadilan sesuai dengan norma dan nilai dari komunitas tempat seseorang dilahirkan. Masalahnya, tidak semua orang “masih” menyimpannya. Itu sebabnya, ada kesan bahwa rasa keadilan hanya milik masyarakat awam-hukum dan tidak jarang dipertentangkan dengan keadilan prosedural yang diperjuangkan para penegak hukum. Barangkali para penegak hukum kita terpenjara dalam rutinitas formal dan rumusan bahasa hukum yang dingin dan kaku. Mereka kehilangan kepekaan untuk mengindera rasa keadilan yang pernah dimiliki. Tentu saja jangan tergesa-gesa menggeneralisasi gejala ini. Nyatanya, penegak hukum setulus Mahfud MD masih memilikinya.

Paradoks, Bukan Kontradiksi
Berhubung sama-sama bermuara pada pencarian keadilan, rasa keadilan maupun keadilan prosedural seharusnya tidak dipertentangkan. Para penegak hukum perlu mempertajam fakultas batin bernama rasa keadilan ini, di samping tetap menjalankan fungsi dan sistem penegakan hukum. Di sisi lain, masyarakat awam-hukum pun perlu memahami dan mempelajari sistem dan tatanan perundangan formal. Tatkala dalam konteks tertentu keduanya dialami dilematis, dibutuhkan kecerdasan dan kebijaksanaan untuk menjaga perimbangan. Kecerdasan dan kebijaksanaan diuji oleh sejauh mana kita bisa hidup dalam dua hal yang paradoksal.

Terangkatnya istilah rasa keadilan yang hampir menjadi trademark setiap kasus hukum dewasa ini memperlihatkan setidaknya dua hal.

Pertama, ada lubang atau celah dalam rumusan hukum positif yang berpotensi menimbulkan multitafsir (pasal karet). Sebetulnya keterbatasan dalam rumusan hukum buatan manusia adalah hal lumrah. Peran yang lebih critical sebetulnya berada di tangan penegak hukum. Produk hukum yang buruk bisa menjadi baik di tangan penegak hukum yang baik. Lebih jauh, di tangan penegak hukum yang buruk, produk hukum yang bagus pun bisa menjadi buruk.

Kedua, ada gejala dekadensi nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang terkait erat dengan optio fundamentalis sejumlah penegak hukum. Keterbatasan dalam rumusan hukum justru dimanfaatkan untuk memenangkan kepentingan sekelompok orang. Yang dicari adalah kemenangan kasus yang ditangani, bukan kebenaran dan keadilan. Sejumlah kasus “aneh”, misalnya penahanan terhadap Prita dan Bibit-Chandra, yang oleh sejumlah lembaga penegak hukum dinilai telah sesuai dengan hukum yang berlaku, memaksa masyarakat luas untuk mengaspirasikan rasa keadilan.




Lianto
Opini Pontianak Post 03 Februari 2010