Friday, January 8, 2010

Putusan Bebas Prita: Epikeia dalam Penegakan Hukum



Perjuangan Prita Mulyasari mencari keadilan selama 1,5 tahun akhirnya menuai hasil. Pada tanggal 29 Desember 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang, yang diketuai Arthur Hangewa, membebaskan Prita dari seluruh dakwaan jaksa umum. Hakim menyatakan, Prita tak terbukti melakukan pencemaran nama baik dua dokter RS. Omni International Alam Sutra melalui surat elektronik yang ia kirim ke berbagai pihak.

Banyak pihak bergembira menyambut putusan PN Tangerang ini. Masyarakat luas menganggap putusan bebas Prita merupakan kemenangan rasa keadilan yang telah diaspirasikan melalui situs jejaring sosial maupun pengumpulan koin. Sejumlah politisi dan pejabat pun tidak ingin ketinggalan berkomentar. Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai kebebasan Prita sebagai perwujudan aspirasi rakyat. Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informatika, menyambut positif putusan hakim seraya membuka peluang untuk meninjau kembali Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfuf MD pun mengaku gembira atas putusan kasus Prita. Menurutnya, dalam kasus Prita, yang harus diutamakan adalah nilai kebenaran dan keadilan.

Dalam pernyataan Mahfud MD tersirat suatu indikator yang seharusnya turut dipertimbangkan di samping rumusan kalimat yang tersurat dalam berbagai produk perundangan. Indikator itu disebutnya sebagai nilai kebenaran dan keadilan. Tak sedikit pun ada maksud Ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengecilkan peran hukum positif dalam menjunjung nilai kebenaran dan keadilan. Hanya saja, pada waktu menyusun rumusan hukum, bisa terjadi si perumus belum memiliki gambaran serba lengkap tentang kondisi-kondisi yang berhubungan dengan hukum itu. Ditemukan ketidaksempurnaan dan celah di sana-sini yang memungkinkan ketidaksempurnaan penerapan kebenaran dan keadilan di masa depan. Dalam konteks ini, “epikeia” dibutuhkan untuk mengoreksi hukum positif yang belum lengkap dan atau multitafsir, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai “pasal karet”.

Kata Yunani “epikeia” dapat didefinisikan sebagai tafsiran atas hukum bukan berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat si perumus yang tersirat di dalam hukum itu. Epikeia dapat menjembatani jurang waktu penerapan hukum pada saat tertentu dengan saat hukum dirumuskan, ketika terdapat banyak kasus dan kondisi yang belum terpikirkan oleh si perumus. Seringkali wawasan si perumus hukum (pada saat tertentu) terlalu sempit dan atau kurang lengkap melihat sejumlah kemungkinan atau kekecualian. Keterbatasan bahasa juga acapkali menghambat keleluasaan untuk menerjemahkan maksud dan hakikat isi pikiran ke dalam bahasa formal. Penerapan epikeia dalam upaya menggapai keadilan di balik rumusan hukum menyaratkan ketulusan hati dari para praktisi hukum untuk mencari kebenaran. Tafsiran tersirat tidak bisa kontradiktif dengan yang tersurat.

Epikeia tidak dimaksudkan untuk mereduksi peranan suatu hukum, kendati di dalam praksisnya tampak seolah demikian demi mencapai kebaikan yang lebih besar. Kebaikan yang lebih besar bisa berbentuk rasa keadilan, kepentingan, atau pun kesejahteraan orang yang lebih banyak. Dalam konteks titik berat kesejahteraan umum, Thomas Aquinas bahkan memandang epikeia sebagai “virtue”. Dalam mengisi lubang ketidaksempurnaan hukum, epikeia bukanlah upaya pelarian diri dari hukum, melainkan tanggapan dan akomodasi atas dan untuk hukum yang lebih agung, yakni keadilan.

Dalam konteks bebasnya Prita, Ketua Mahkamah Agung, Harifin Tumpa, mengungkapkan kekhawatirannya akan gerakan people power yang dapat mengancam supremasi hukum. Ia menyatakan bahwa aksi people power merupakan bentuk intervensi terhadap supremasi hukum dan dapat menekan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sebetulnya people power yang mengawal kasus Prita merupakan reaksi (bukan aksi) atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Rakyat memang belum sepenuhnya melek hukum, tapi mereka tidak mati rasa terhadap keadilan. Lebih gampang dipikirkan adanya segelintir penegak hukum korup yang tidak mendapat kepercayaan rakyat daripada kemungkinan adanya massa besar yang sekongkol membela ketidakbenaran.

Sebenarnya, gagasan epikeia tidaklah baru dalam produk hukum Indonesia. Gagasan ini terdapat dalam acuan yang ada pada KUHAP pasal 183 yang berbunyi, “Hakim dalam memutuskan perkara didukung minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim.” Jika penegak hukum mau menggarisbawahi “keyakinan hakim”, kontribusi epikeia dalam mengisi kekosongan rumusan hukum akan semakin nyata.

Lianto