Tuesday, March 16, 2010

Yesus Ngamuk: Ekspresi Kontra Ketidakadilan



Sehari setelah memasuki kota Yerusalem, Yesus menuju Bait Allah. Di situ Ia menjungkirbalikkan meja dagangan orang (penukar uang dan pedagang merpati). Kejadian ini sering dilihat secara negatif sebagai tindakan temperamental. Mengapa Yesus “ngamuk”? Tinjauan konteks religio-historis berikut ini mungkin bisa sedikit klarifikasi.


Pada masa Yesus, Yerusalem merupakan pusat keagamaan bangsa Yahudi. Menjelang Paskah Yahudi, orang Yahudi dari seluruh pelosok negeri datang ke Yerusalem untuk merayakan hari terbesar dalam almanak liturgi ini. Belum ada catatan tentang jumlah massa yang berkumpul pada pesta raya ini. Namun Flavius Yosefus (sejarawan Yahudi abad pertama) pernah mencatat bahwa sebanyak 255.600 ekor domba dipotong dan disantap pada suatu perayaan Paskah di Yerusalem. Jika seekor domba disantap oleh 10 orang, maka diperkirakan 2,5 juta orang berkumpul di Yerusalem pada pekan ini. Obyek kunjungan terutama adalah Bait Allah yang menurut tradisi Alkitab berada di puncak bukit tempat Abraham mempersembahkan kurban. Bait Allah ini dikuasai oleh imam-imam kepala yang dipimpin oleh Imam Agung Kayafas.

Tidak semua orang dapat mengambil bagian dalam ritual Bait Allah. Terdapat banyak aturan yang harus dilewati orang untuk dapat memasuki tempat kudus ini. Orang harus menyucikan diri terlebih dahulu dalam kolam penyucian agar pantas masuk Bait Allah. Penggalian arkeologis masa kini menemukan adanya kolam-kolam untuk ritual penyucian ini. Bayaran yang mahal untuk penyucian harafiah itu tidak akan sanggup dilakukan oleh orang miskin. Ritual penyucian mengondisikan penyaringan orang apa yang dikehendaki para imam untuk masuk Bait Allah. Menurut Kitab Misnah (aturan ritual), orang cacat, buta, sakit, dan lumpuh dilarang masuk kolam penyucian. Barangkali hal inilah yang membuat Yesus “gerah”. Reformasi Yesus: semua orang berhak atas rahmat kebaikan Allah tanpa rintangan finansial.

Di samping itu, orang masih harus menukar uangnya dengan koin Bait Allah yang suci. Tentu dengan nilai kurs yang ditentukan imam-imam kepala. Koin suci itu dipakai untuk membeli merpati putih tak bernoda untuk korban persembahan. Inilah yang menjelaskan keberadaan money changer dan pedagang merpati di halaman Bait Allah. Perlawanan Yesus atas komersialisasi dan ketidakadilan Bait Allah diungkapkan dengan menjungkirbalikkan meja dagangan dan gagasan amat berani: peruntuhan Bait Allah. Semua ini menyebabkan Yesus dilihat sebagai figur yang berbahaya.

Aturan dibuat demi ketertiban umum. Barangkali ini argumen para imam kepala. Dalam kasus Bait Allah, aturan yang sangat berbau komersial tak bisa dijunjung karena telah bertentangan dengan aturan (hukum) yang lebih tinggi, yakni keadilan. Tindakan Yesus di halaman Bait Allah tidak lain sebagai ungkapan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masa itu. Dari awal kiprah-Nya di Kapernaum dan sekitarnya, Yesus telah menjatuhkan optio fundamentalis-Nya: memperjuangkan keadilan Kerajaan Allah. Mau tak mau Ia harus berhadapan dengan status quo penguasa keagamaan. Ia mendekati orang-orang marjinal yang dianggap najis oleh Taurat, menyembuhkan orang sakit pada hari terlarang (Sabat), mengampuni dosa, dan menyambut para “kafir” (menurut tafsiran para imam: orang Samaria dan orang-orang non-Yahudi).
Tindakan Yesus menyampaikan dua hal. Pertama, apa yang dilakukan Yesus merupakan ekspresi klimaks dari sikap kontra ketidakadilan. Kedua, aturan dan hukum hendaknya tidak mematikan cinta kasih dan keadilan. Aturan dan hukum akan selalu mempunyai “lubang” ketika berhadapan dengan kasus-kasus moral yang belum terpikirkan oleh si pembuat hukum tatkala merumuskannya. Dibutuhkan tafsiran atas hukum bukan berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat yang tersirat di dalamnya (epikeia). Thomas Aquinas melihat epikeia ini sebagai suatu keutamaan (virtue). Ini bukan usaha pelarian orang dari kewajiban tertentu, melainkan tanggapan dan junjungan untuk hukum yang lebih tinggi: keadilan.