Tuesday, March 24, 2009

Tuhan Terima Kita Apa Adanya


Seorang sahabat bertanya: “Kenapa Anda suka memikirkan hal-hal yang orang hindari untuk memikirkannya? Ineransi Alkitab, Anak-anak Maria, Kebangkitan, dan berbagai pikiran provokatif lainnya. Itu samadengan membangunkan macan yang tidur. Apa tidak ada bahasan lain yang lebih pasti membangun iman?” Pertanyaan ini membuat saya terkesima sambil menggosok janggutku yang tumbuh jarang dan tidak rata. Sahabat yang setia memberikan feedback untuk hampir setiap tulisanku itu ada benarnya. What is going on with you, Lianto? Jangan-jangan saya lebih percaya pada akal budi daripada Tuhan yang diimani. Jika itu yang terjadi, marahkah Tuhan padaku? Tersinggungkah Dia jika sekali-sekali saya mempertanyakan dan meragukan-Nya. Dulu, segala sesuatu diterima tanpa dicerna; percaya saja apa yang diajarkan guru agama. Apakah Tuhan lebih senang karenanya? Akh, peduli amat. Saya tidak pernah mengatur diri untuk seperti dulu atau sekarang. Semuanya terjadi begitu saja. Itulah ke-ada-an perjalanan imanku dari waktu ke waktu. 

Saya yakin, Dia tidak marah. Bahkan jika suatu hari saya akan pernah tidak mempercayai-Nya. Dia menyayangiku dan Anda semua apa adanya (kita). Jika ini salah, adalah salah-Nya juga kenapa memanjakanku. Dia tidak butuh pujian atau pengakuanku. Dia menyelami isi hati dan pikiranku lebih daripada yang dapat saya ketahui. Saya tidak dapat menyembunyikan apa pun bagi-Nya. Entah saya sedang percaya, ragu, atau tidak mempercayai-Nya. 

Saya ini orang keras kepala. Jika Dia marah atau tersinggung, mungkin saya akan lebih tidak mempercayai-Nya. Dia yang marah dan tersinggung pasti bukan Tuhan yang sebenarnya. Kendati buku-buku suci menggambarkan-Nya sebagai Allah yang senang dipuji, dimuliakan, bahkan Allah yang cemburu. I don’t think so!! Biarlah teman-teman yang berpikiran demikian menjalin relasi dengan Tuhan melalui pujian dan pemuliaan. Saya punya cara unik yang sesuai dengan ada-ku. Hebatnya, Dia bisa menerima semuanya, baik orang-orang yang kaya pujian maupun yang to the point seperti saya. Tuhan terlalu baik untuk bisa tersinggung, apalagi marah. Ini salah satu hal yang membuat saya suka dan salut pada-Nya.

Tuhan memberiku akal budi untuk mengenal-Nya dan hati untuk merasakan-Nya. Saya tidak tahu di mana ujung tali kembara pikiran ini akan tertambat. Satu hal yang pasti, Dia menyayangiku apa adanya, terlepas dari apa yang kupikirkan, kukatakan, dan kutuliskan. “Ayolah Tuhan, katakan sesuatu. Koq dari tadi hanya senyum-senyum melulu?”

L. Lianto