Wednesday, June 19, 2013

Mencari Bahasa Teologi


Penulis: Dr. Willybrodus, a.k.a. William Chang
Publikasi: Jurnal Ledalero, Vol. 12, No. 2, Desember 2012 ), Jurnal Ilmiah Nasional Terakreditasi (Dikti No. 66b/DIKTI/KEP/2011) ISSN 1412-5420



1. Omong-omong tentang Tuhan
Secara geografis, Kalimantan adalah pulau ketiga terbesar sedunia, setelah Greenland dan Papua. Dalam pulau ini terdapat tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia (Kalimantan Utara: Sarawak dan Sabah) dan Brunai. Kawasan Indonesia terluas. SBY menganggap Kalimantan sebagai pulau pengharapan di masa depan. Penduduk Kalimantan (Indonesia) berkisar 10 jutaan. Banjarmasin adalah kawasan terpadat. Suku-suku mayoritas dalam pulau ini adalah Dayak, Tionghoa, Melayu dan etnis-etnis lain.[1]
Kemajemukan iman-kepercayaan di pulau ini dilatarbelakangi oleh keanekaragaman latar belakang keluarga, mentalitas, budaya, pendidikan, dan lingkungan sosial. Omongan tentang Tuhan setua usia manusia. Dalam hati setiap manusia telah tertanam benih kesadaran akan diri, alam dan ketergantungan pada Pencipta langit dan bumi. Hanya, nama atau sapaan bagi Yang Ilahi berbeda menurut keyakinan masing-masing. Biasanya Yang Ilahi disapa dengan Pencipta, Panompa, Thien, Jubata, Debata dlsb. Masyarakat umumnya meyakini adanya penguasa lain di luar diri manusia, yang menentukan, menggerakkan dan menghentikan hidup manusia.
Omongan tentang Tuhan berbentuk cerita, pantun, poesia, syair, catatan pribadi, rumusan mantera tradisional, doa dan upacara-upacara adat tradisional. Dalam bentuk-bentuk sastra ini termuat pemikiran teologis. Masyarakat pulau ini pada dasarnya mewarisi keyakinan tradisional sejak berabad-abad. Ini termasuk langgam teologi yang menuntun manusia untuk melakukan tindakan transformatif yang lintas-golongan, etnis, agama, kebudayaan dan mentalitas.[2]
Kenyataan rohani ini terungkap pada waktu dilangsungkan ritus keagamaan tradisional. Yang memimpin seluruh upacara itu biasanya seorang imam tradisional, seperti dukun, sin theuw atau lao ya. Mereka memiliki kontak langsung dengan dunia adikodrati. Tak heran, umumnya mereka akan bertransendensi dengan keadaan di sekitarnya. Roh-roh (nenek moyang, dewa/i atau penguasa lain) akan menguasai mereka, sehingga mereka tidak menyadari keadaan sekitarnya. Selama upacara berlangsung, seorang penerjemah akan duduk di samping si imam untuk menerangkan maksud pesan dewa/i melalui imam tradisional kepada mereka yang membutuhkan pertolongan ilahi.
Sebelum agama Hindu, Katolik Roma, Protestan, Buddha, Islam dan Kong Hu Cu masuk ke pulau ini, ternyata kepercayaan akan Sang Pencipta langit dan bumi terkait erat dengan aliran keyakinan tradisional, seperti kaharingan, animisme, dinamisme, dan taoisme. Mereka meyakini keberadaan dan peran Sang Pencipta. Keyakinan ini diwarisi dari generasi ke generasi. Lambat-laun, keyakinan tradisional ini mulai diabadikan dalam bentuk tulisan.
Sejarah mencatat, perbenturan agamawi belum terjadi di pulau ini. Penganut agama saling menghargai. Pada waktu terjadi pertikaian antaretnik di beberapa lokasi (Sanggau Ledo, Sambas, Sampit) menjelang akhir abad ke-20, tempat-tempat ibadat tidak diganggu. Belakangan ini pengaruh aliran ekstrem dan radikal dengan bendera agama tertentu dari luar pulau Kalimantan mulai menggoncang kerukunan hidup beragama.
Peraturan pemerintah tentang izin pendirian rumah ibadah pada dasarnya mengandung benih-benih konfliktual di kalangan kaum beriman. Kedudukan mayoritas dan minoritas ditonjolkan oleh pemerintah. Haruskah negara mengatur hak dasar setiap manusia untuk menunaikan kewajibannya kepada Tuhan? Apakah peraturan pemerintah tentang izin pendirian rumah ibadat tidak bertentangan dengan cita-cita dasar negara kita? Apakah peraturan ini seiring dengan aspirasi masyarakat dari bawah? Keadaan ini ikut mempengaruhi perjalanan keimanan masyarakat Kalimantan.
Dalam pulau ini tersebar delapan keuskupan (Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Samarinda, Keuskupan Palangkaraya, Keuskupan Banjarmasin dan Keuskupan Tanjungselor). Kehadiran Gereja Katolik sejak Antonino Ventimiglia, seorang anggota tarekat Theatin, di Banjarmasin (2 Februari 1688) membawa pandangan baru tentang Tuhan di kalangan masyarakat Kalimantan pada waktu itu. Dia bertemu dengan orang Melayu dan Dayak Ngaju. Sejak saat itu, mereka mulai memiliki gambaran khas tentang Tuhan dalam bingkai pemikiran teologis Gereja Katolik Roma.

2.     Pengaruh dari luar Kalimantan
Di samping memiliki khazanah iman tradisional tentang Tuhan, kedatangan para penambang, petani dan saudagar dari Tiongkok, misionaris Katolik dan Protestan dari Eropah Barat (Belanda, Jerman, Swis, Inggeris, Amerika Serikat, Perancis, Polandia) dan pelaut dan saudagar dari kawasan Arab telah memperkenalkan wajah Tuhan yang berwarna-warni. Melalui jalur hidup sosial, pendidikan, asrama, pertanian, penambangan, pelayanan rumah sakit dan kelautan, masyarakat pulau ini mengenal gambaran lain tentang Tuhan. Semula mereka memeluk paham animisme dan dinamisme. Namun, sekarang mereka memiliki paham yang lebih banyak dan luas tentang Tuhan dari waktu ke waktu.[3]
          Wajah Tuhan yang berwarna-warni mulai merambah pulau ini seiring dengan para pendatang dari luar pulau. Dalam wajah yang berwarna-warni ini terkandung muatan berwarna-warni pula. Kulit dan isi paham tentang Tuhan saling berhubungan. Sosialisasi pandangan tentang Tuhan yang berwarna-warni sedang terjadi. Pandangan tentang Tuhan ini mempengaruhi hidup sosial. Lambat-laun pengkotak-kotakan sosial terjadi di seluruh pulau. Rumah ibadat, cara doa dan cara hidup yang berbeda menghiasi kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.
          Sekarang, umumnya warga Kalimantan telah menganut salah satu agama, walaupun pemelukan agama acap kali hanya sebuah formalisme, supaya tidak dicap sebagai seorang atheis. Benarkah seseorang yang beragama itu sungguh menerapkan ajaran agama semestinya? Pertanyaan ini menjadi bahan olahan utama seluruh lapisan masyarakat. Kalau benar menghidupi ajaran agama dengan baik, mengapa tingkat kejahatan belum menurun? Pencurian, penodongan, perampokan, konflik sosial dan tindak kekerasan lain masih terjadi di tengah-tengah masyarakat yang mengaku beragama dan berketuhanan. Keadaan sosial sebuah masyarakat pada dasarnya mencerminkan penghayatan dan pengamalan hidup keagamaan mereka. Bagaimanakah gambaran tentang Tuhan dalam sebuah masyarakat yang memiliki tindak kejahatan yang tinggi?

3.     Mencari bahasa teologis yang kontekstual
Apakah bahasa teologis yang digunakan selama ini belum kontekstual? Sejauh manakah sebuah bahasa teologis berciri kontekstual? Bahasa yang dimaksudkan dalam konteks ini bukan hanya bahasa omongan yang mencerminkan isi pikiran dan hati seseorang, namun bahasa ini sudah diuangkan dalam bentuk seluruh hidup dan perbuatan nyata manusia di tengah-tengah masyarakat luas (J.M. Prior).
Bahasa teologi ini pada dasarnya berdimensi komunikatif dan mengungkapkan keluhuran ilahi. Yesus, anak seorang tukang kayu, cerdas menggunakan bahasa sederhana dan jelas untuk menjabarkan pemahaman yang tinggi tentang Tuhan, seperti cinta kasih, Kerajaan Allah, kekuatiran dan masa depan dengan perumpamaan-perumpamaan sederhana. Dia mengisahkan keagungan Sang Pencipta dengan perumpamaan, cerita dan kenyataan hidup sehari-hari. Dia tidak menggunakan cara pengajaran yang membingungkan orang banyak. Kalaupun ada perumpamaan yang belum terang, Dia menjelaskannya dengan kata-kata sederhana.
          Bahasa teologi yang digunakan Yesus adalah bahasa sehari-hari. Dia menggunakan benda-benda di sekitar-Nya sebagai alat peraga. Dalam pengajaran Yesus menggunakan banyak perumpamaan (Mrk 4:2). Dia mengajar murid-murid-Nya untuk membaca tanda-tanda jaman dengan mengarahkan pandangan ke awan yang naik ke sebelah barat. Awan demikian menjadi pertanda hujan akan turun (Luk 12:54). Dia berbicara tentang Kerajaan Allah seperti biji sesawi (Luk 13;18-21), dan harta terpendam (Mat 13:44). Dia melukiskan Sabda Tuhan seperti benih tanaman (Mrk 4:1-20). Dia meminta manusia untuk tidak menjadi kuatir dengan belajar dari burung-burung di udara (Mat 6:25-34). Unsur-unsur dari dunia pertanian, kelautan, hewan dan alam digunakan untuk menyampaikan pesan ilahi bagi mereka yang mengikuti-Nya.
          Bahasa sederhana dan tidak berbelit menunjukkan keadaan hati dan pikiran manusia yang tidak rumit. Seluruh hidup Yesus mencerminkan kehadiran Bapa surgawi. Barangsiapa melihat Yesus berarti melihat Bapa. Dalam diri Yesus manusia dapat menyentuh, melihat dan berkomunikasi dengan Bapa surgawi. Yesus adalah bahasa teologi yang nyata dalam zaman-Nya dan dewasa ini.

4.     Merintis Sekolah Teologi
Perlunya sebuah wadah untuk mengolah teologi secara mendalam di pulau ini merupakan tanggapan atas situasi Gereja Katolik lokal. Gereja perlu menjawab kebutuhan umat yang terus berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Hingga tanggal 14 September 1998 belum ada satu pun Sekolah Tinggi Teologi Gereja Katolik di pulau ini. Melihat kebutuhan umat yang terus berkembang ini, Mgr. Pietro Sambi (Nuntius Vatikan untuk Indonesia) mendorong para uskup se-Kalimantan untuk memulai sekolah teologi ini. Dalam sidang KWI pertengahan November 1996 di Wisma Klender-Jakarta, dalam jamuan makan para Uskup Regio Kalimantan bersama Nuntius, ditanyakan kembali rencana konkret untuk mendirikan Sekolah Tinggi Teologi di Kalimantan. Maka, berdasarkan kesepakatan para wali Gereja Regio Kalimantan (Palangkaraya, 24 Januari 1997) dibentuklah Panitia Persiapan Pendirian STT yang diketuai oleh Mgr. Giulio Mencuccini, CP. Kemudian, dibentuklah Panitia Operasional Persiapan STT di Sanggau pada tanggal 17 Februari 1997. Diputuskan, perkuliahan teologi STT ini akan dimulai pada tanggal 15 September 1998.
Sebelum kuliah, dilangsungkan perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap di kapel paroki. Kuliah pertama bertempat  di loteng pastoran Maria Ratu Pencinta Damai, Pontianak. Jumlah frater hanya tiga orang, dari Keuskupan Agung Samarinda, Sanggau dan Ketapang. Misa promulgatio STT Pastor Bonus pada tanggal 4 Oktober 1998 di Gereja Katedral St. Yoseph Pontianak, yang dihadiri oleh semua Uskup se-Kalimantan dan Administrator Apostolik Palangkaraya pada waktu itu. Sebuah wadah berteologi telah dirintis.
          STT Pastor Bonus pada prinsipnya bertujuan (1) membina kepribadian calon imam dengan hidup, kebijaksanaan dan pengetahuan (iman) yang mencakup muatan-muatan alkitabiah, teologis, liturgis dan pastoral sesuai dengan wajah Gereja lokal di Kalimantan sambil memperhatikan kebudayaan dan falsafah hidup masyarakat setempat tanpa melupakan katolisitas Gereja kita. (2) Membekali para calon imam dengan modal pelayanan pastoral yang sesuai dengan kebutuhan umat dalam terang iman sebagai murid Yesus Kristus di tengah zaman modern. Dari tujuan ini tampak arah teologi yang akan dibangun di sekolah ini. Sekolah ini menjadi wadah atau rumah pengolahan kepribadian manusia yang bijaksana, cerdas, beriman, beradab, sosial dalam seluruh proses penyelamatan manusia.[4]
          Pengalaman hidup manusiawi sebagai calon imam akan diolah dan digodok menurut pedoman resmi pembinaan calon imam. Tuntutan dasar sebagai seorang calon imam dipenuhi dengan baik. Namun ruang untuk berteologi secara kontekstual mendapat perhatian utama lembaga teologis ini. Tak heran, mata kuliah seperti Hukum Adat, Teologi Damai, Manajemen Pastoral, Intregative Seminar, Sejarah Gereja Lokal dan Liturgi (Praktikum) disajikan di sekolah ini. Minat mahasiswa dalam bidang perkawinan antara kebudayaan dan teologi bisa dilihat dari daftar tema tesis sebelum meninggal tempat pendidikan ini. Ternyata, kecintaan pada budaya tampak dari diskusi, tulisan dan penyelidikan ilmiah mahasiswa.
          Masa libur mahasiswa menjelang Natal dan Paskah diatur sedemikian rupa, sehingga mereka mendapat waktu memadai untuk terjun di lapangan. Interaksi mahasiswa dengan keadaan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kesusastraan sangat terasa. Mereka berminat untuk menganalisis kejadian yang sedang berlangsung. Pertemuan dengan umat dan anggota masyarakat memperluas cakrawala mahasiswa dalam proses berteologi. Acap kali dalam pembicaraan harian tersingkap maksud, keinginan, kehendak dan bahkan pandangan kritis tentang hidup menggereja di daerah kita. Bagaimanakah kita bisa menghadirkan Tuhan dalam situasi hidup sosial yang sebegitu majemuk. Dimensi ini diperhatikan oleh STT Pastor Bonus mengingat metodologi kontekstual yang dikemukakan FABC VI (1995). Bagaimanakah proses berteologi di Kalimantan?      

5.     Berteologi di Kalimantan[5]
Dalam Doing Theology in Kalimantan, saya menggarisbawahi bahwa kesadaran akan kekhasan pulau ini sebagai sebuah masyarakat majemuk mempengaruhi seluruh proses berteologi. Perbedaan bahasa, kebudayaan, cara berpikir, cara hidup dan mentalitas mewarnai seluruh metode berteologi. Sebuah masyarakat yang berwarna-warni pada hakikatnya memiliki problematika dan masalah sosial yang rumit, seperti kemanusiaan, ketidakadilan sosial, diskriminasi terselubung, penegakan hukum positif, kemiskinan dan konflik sosial. Runtuhnya bahasa moral telah meniadakan gagasan tentang ‘tidak boleh’, ‘seharusnya’, ‘tanggung jawab’ dan ‘kewajiban’. Manusia cenderung menggunakan kebebasan penuh tanpa batas dan sistem kontrol semestinya.
Memahami kemajemukan kebudayaan lokal merupakan kunci utama untuk berteologi di pulau ini. Proses berteologi ini mengandaikan kesediaan kita untuk menyelami kebudayaan masyarakat dan memahami alur pikiran dan gerak hati masyarakat. Menyelami kebudayaan orang lain berarti memasuki seluk-beluk kebudayaan itu dan menggali perjuangan dalam kebudayaan itu. Apa yang sebenarnya dikehendaki oleh kebudayaan suatu masyarakat? Dengan mengetahui kehendak ini maka dunia teologi dapat menjawab kebutuhan mereka secara mendasar dan mendalam. Sistem berteologi seharusnya menyentuh jantung hidup masyarakat dan tidak hanya mengawang.
Metode berteologi di pulau ini perlu mempertimbangkan lima langgam bahasa yang sesuai dengan keadaan pulau ini. Pertama, pengajar teologi menggunakan langgam bahasa perkawinan antara Sabda Tuhan dengan keadaan kultural masyarakat. Teologi yang menjawab kebutuhan Gereja berusaha mengawinkan ajaran alkitabiah dan kristiani dengan situasi konkret. Ajaran alkitabiah dan kristiani bukan berasal dari daerah Kalimantan. Bagaimanakah ajaran tentang Tuhan dari latar belakang kebudayaan Timur Tengah dan Eropah Barat dapat berjumpa dengan kebudayaan lokal Kalimantan yang memiliki warnaya tersendiri? Sebuah kunci masuk pertemuan antarkebudayaan yang berlatar belakang kultural ini sangat penting. Pemahaman keunikan dan perbedaan antropologi, kebudayaan, mentalitas dan bahasa sebuah masyarakat akan menolong dialog tentang kepercayaan ini. Akibatnya, setiap orang yang ingin berteologi dengan baik perlu mengenal dan mendalami latar belakang dan asal-muasal teologi itu.
Kedua, langgam bahasa responsif diperlukan. Bagaimanakah suatu proses teologi dapat menanggapi dan memenuhi kebutuhan religius suatu masyarakat? Bagaimanakah seorang pakar dalam bidang ilmu ketuhanan sebaiknya berbicara tentang Tuhan dalam bahasa sehari-hari, sehingga tidak membingungkan? Kerumitan bahasa teologi seringkali membuat umat tidak berniat mendalami dan mengembangkan teologi. Seorang teolog sejati seharusnya belajar dari sang teolog agung, Yesus Kristus, yang mengajar dan berbicara tentang Tuhan dan Kerajaan-Nya dalam bahasa sederhana, sehingga dapat dipahami dengan baik. Kalaupun masih berbelit, Dia memberikan keterangan yang menolong pemahaman.
Ketiga, langgam bahasa yang sesuai dengan locus theologicus sangat diperlukan. Dengan dan kepada siapakah kita berbicara tentang Tuhan? Bagaimana kita bisa berbicara tentang Tuhan di hadapan mereka yang buta huruf, namun memiliki kecerdasan hati? Latar belakang pendidikan dan kebudayaan masyarakat menjadi dasar pertimbangan dalam pembicaraan ini. Terkadang teolog membingungkan umat dalam mencari Tuhan. Gaya bahasa mereka terbang terkadang setinggi burung di langit dan tidak menyentuh permukaan bumi. Wajah Yesus yang bagaimanakah diperkenalkan kepada masyarakat Kalimantan? Yang jelas, Dia berasal dari benua yang sama dan dilahirkan dari keluarga, kawasan, kebudayaan, bahasa dan mentalitas berbeda dengan kita.
Keempat, langgam bahasa komunikatif diperlukan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara pengajar dan penggumul teologi tak terhindarkan. Bagaimanakah pemikiran-pemikiran teologis bisa dikomunikasikan dengan sederhana dan efektif, sehingga pengetahuan tentang Tuhan akan memotivasi manusia untuk lebih mencintai Tuhan? Di samping perlu penguasaan bahan teologi dengan baik, seorang pengajar teologi semestinya trampil menyampaikannya kepada mereka yang sedang mendalami teologi. Teknik penyampaian materi teologi termasuk unsur penting supaya manusia lebih mengenal Tuhan dari waktu ke waktu. Proses berteologi mengandaikan kepekaan untuk membaca dan menanggapi tanda-tanda jaman yang nyata dalam jaman modern.
Kelima, dengan gaya bahasa bagaimanakah seorang teolog dapat menampilkan wajah Yesus yang menanggapi keadaan masyarakat pulau ini? Kehadiran seorang Gembala yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Kalimantan tak terhindarkan. Gembala ini mencari mereka yang hilang, menuntun mereka ke air yang tenang, merawat mereka yang sedang sakit, menghibur mereka yang sedih dan meringankan mereka yang berbeban berat. Gembala yang mau mendengarkan dan menanggapi kebutuhan domba-domba dengan penuh perhatian sedang dinantikan. Metodologi berteologi ini mengandaikan ketajaman analisis sosial masyarakat, sehingga kehausan dunia teologis dapat dipenuhi dengan baik. Kehadiran Kabar Baik sangat penting, supaya umat sungguh merasakan kehadiran Sang Juruselamat di tengah-tengah kesulitan yang sedang melilit.[6]

6.     Gagasan utama dalam berteologi
            Kemanusiaan
Nilai dasar kemanusiaan sebagai batu penjuru falsafah bangsa kita mulai luput dari perhatian negara (termasuk di dalamnya pemerintah). Terkesan sebegitu sibuk, sehingga negara tidak mengenal anak bangsa yang tidak mampu berobat, kelaparan, tersiksa karena ketidakadilan dan dipinggirkan. Akibatnya, mereka yang hidup dalam keadaan depresif berat bertekad menghabisi nyawa mereka dengan cara yang tidak wajar karena hidup tanpa harapan dan kepedulian sosial. Keterpurukan perhatian pada nilai dasar kemanusiaan memang memilukan, walaupun bangsa kita telah mengecapi kemerdekaan 67 tahun.
Dunia teologi di pulau ini bertugas memulihkan kembali harkat dan martabat manusia sebagai citra Tuhan (Kej 1:26-27), yang dalam dirinya adalah kudus, mulia dan bermartabat luhur. Kurangnya perhatian terhadap keluhuran martabat manusia mencerminkan ketidaksadaran akan siapakah manusia itu sebenarnya. Manusia pada hakikatnya adalah buah cinta kasih Sang Pencipta. Dengan melihat manusia sebagai ciptaan Tuhan seharusnya kita mengingat kehadiran Sang Pencipta. Kehadiran Sang Pencipta dalam diri manusia tak tersangkalkan.
Restorasi pandangan tentang manusia sebagai citra Sang Pencipta akan melahirkan sikap baru terhadap manusia sebagai ciptaan Tuhan. Manusia tidak lagi diperlakukan sewenang-wenang tanpa penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Restorasi pandangan ini tidak hanya melahirkan sikap hormat terhadap manusia, tetapi manusia sungguh merasa bertanggung jawab atas diri sesamanya. Kewajiban moral untuk menghargai kehadiran Sang Pencipta dan lebih memanusiawikan manusia menjadi isi panggilan setiap manusia.
     Kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai dengan rumusan dalam Pancasila, akan terwujud kalau teologi sungguh menggali kekayaan dalam setiap diri manusia sebagai citra Sang Pencipta. Yang sedang terjadi sekarang adalah jurang pemisah antara ortodoksis dan ortopraksis. Umumnya dunia teologi menenggelamkan diri dalam perdebatan tentang perumusan teologis yang bercorak doktrinal. Teologi acapkali melupakan koneksitas sebuah ilmu dengan praksis hidup sehari-hari. Nilai sebuah ilmu akan semakin tinggi kalau terkait dengan keadaan hidup nyata manusia.
     Dalam konteks ini, setiap manusia seharusnya menggunakan langgam bahasa yang manusiawi. Kemanusiaan menjadi sebuah wadah untuk menilai dan mengkaji kekuatan pandangan teologis. Kalau seseorang sungguh beriman-kepercayaan, maka dia akan memiliki sikap khas terhadap sesama manusia. Setiap kali melihat dan berjumpa dengan sesama manusia, dia melihat kehadiran Sang Pencipta. Kesadaran rohani akan mendorong manusia untuk mengambil sikap dasar yang menghargai dan menghormati sesama manusia. Tidak ada alasan apa pun bagi manusia untuk memperlakukan sesama manusia dengan kasar, keras, keji dan tidak manusiawi, karena sikap ini bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta. Bukankah kita mengakui diri sebagai anak-anak dari Bapa yang satu dan sama, yaitu Pencipta langit dan bumi? Apa pun yang kita lakukan terhadap sesama manusia berarti kita melakukan hal itu bagi Sang Pencipta (bdk. Mat 25:37-46).
    
6.2. Keadilan sosial[7]
Kesenjangan sosial antarkelompok sangat terasa. Jurang antara si kaya dan si miskin, terdidik dan buta huruf, penguasa dan rakyat kian melebar. Kesenjangan ini muncul, antara lain, karena sistem hukum, pemerintahan dan situasi sosial yang tidak adil. Penerapan hukum positif memprihatinkan dan rakyat kecil acapkali tidak berdaya. Orang besar hampir tak tersentuh hukum. Yang cerdik dalam bidang hukum positif mencekik yang buta hukum. Jumlah rakyat yang menderita belum-belum menurun. Diskriminasi terselubung dalam pelayanan pemerintah masih terasa.
          Akar ketidakadilan sosial adalah kemanusiaan yang belum sungguh-sungguh dihargai dan dihormati. Manusia belum sanggup memandang dan memperlakukan sesama manusia seperti dirinya sendiri. Manusia masih memandang sesamanya dengan takaran subyektif dan terkotak-kotak. Terkadang manusia memandang sesamanya hanya dengan sebelah mata.
          Manusia perlu belajar dari matahari dan hujan. Kedua makhluk ciptaan ini dapat diangkat menjadi guru resmi dalam bidang keadilan sosial. Pada waktu terbit, matahari menyebarkan sinarnya bagi semua orang dan segenap makhluk ciptaan. Pada waktu hujan turun, setiap anak manusia dan makhluk hidup lainnya dapat menikmati air hujan itu. Matahari dan hujan tidak menerapkan pandangan manusia sesan. Matahari dan hujan tidak membeda-bedakan manusia sebagai manusia. Yang membeda-bedakan manusia adalah manusia.
          Ketidakadilan sosial mencerminkan kegagalan manusia untuk memperlakukan sesama sebagaimana mestinya. Justru itu, pemahaman teologis tentang kemanusiaan (bdk. 6.1. Kemanusiaan) perlu mendapat sorotan utama dalam pengolahan teologis, karena kemanusiaan merupakan batu sendi seluruh proses teologi di pulau ini. Dengan mengangkat harkat dan martabat manusia ini berarti manusia menghargai Sang Pencipta langit dan bumi. Religiositas setiap kaum beriman tampak dalam perlakuannya terhadap sesama manusia.
          Sebagai perwujudan keadilan sosial ini, Gereja Katolik telah merintis dan memperkenalkan Credit Union di kalangan masyarakat (Dayak) supaya masyarakat mengusahakan prinsip menolong diri-sendiri dan bergotong royong dalam proses menyejahterakan hidup sehari-hari. CU dianggap sebagai bahasa yang memperlancar komunikasi dalam damai dan saling pengertian. Malah, CU dianggap sebagai kendaraan menuju kesejahteraan.[8]
          Bahasa teologi yang cocok di sini adalah bahasa yang membawa terang di tengah kegelapan ibarat matahari yang menerangi kegelapan dan bahasa yang mendatangkan berkat ibarat hujan yang membasahi bumi tanpa pilih kasih. Bahasa ini tidak memandang bulu, tidak pilih kasih dan tidak mengkotak-kotakkan manusia. Bahasa ini menjunjung prinsip keadilan dalam setiap keadaan hidup. Manusia sebagai manusia dihargai penuh. Manusia tidak lagi dihargai karena pangkat, kedudukan sosial, kekayaan dan pengaruh sosial. Semua manusia pada dasarnya memiliki harkat dan martabat yang sederajat. Di hadapan Sang Pencipta semua ciptaan adalah sederajat, namun di hadapan manusia terjadilah perbedaan dan pengkotak-kotakan sosial.

6.3.   Kerukunan sosial[9]
Pernah saya bertanya kepada seorang dosen dari salah satu PTN Bandung yang sedang  mengambil program S-2 di Negeri Belanda. Mengapa Saudara memilih daerah Kalbar sebagai kawasan riset tentang konflik? Dia, antara lain, mengatakan bahwa daerah Kalbar dianggap sebagai “laboratorium konflik”.  Saya heran, kenapa bisa dipandang sebagai “laboratorium konflik”? Apakah ada pihak tertentu yang menjadikan daerah ini sebagai kawasan uji coba konflik?
Sejak jaman penjajahan Belanda, daerah ini telah dilanda konflik antara Belanda dengan masyarakat Tionghoa yang bekerja di perkongsian emas di Mandor. Pada masa pendudukan Jepang, tidak sedikit warga Kalbar disiksa dan dibunuh oleh Jepang. Setelah kemerdekaan, pada awal rezim Orde Baru, atas nama penumpasan pemberontak komunis, banyak warga Kalbar menjadi korban pembunuhan. Setelah itu terjadi belasan kali konflik antaretnik di pulau ini. Jumlah korban yang berjatuhan belum diketahui.
     Sampai sekarang sisa-sisa atau bekas perbenturan sosial masih terasa. Sejumlah warga masyarakat Kalbar masih menganggap Jepang sebagai penjajah kejam. Makam mandor adalah saksi hidup atas kekejaman ini. Hubungan antaretnik tidak selalu berjalan rukun. Salah pengertian, sikap saling curiga, dan perbenturan sosial adalah tanda ketidakrukunan sosial di tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun. Perbenturan sosial dalam masyarakat lambat-laun merembes ke dalam dunia hidup religius. Keadaan dalam Gereja tidak luput dari ketegangan sosial.
     Apa yang dapat dilakukan oleh Gereja Katolik menghadapi kenyataan sosial ini? Seiring dengan ajaran sosial dalam satu abad yang lampau, dan terutama sejak Paus Yohanes XXIII dan Konsili Vatikan II, Gereja dengan lantang menyerukan perdamaian dunia. Pengalaman pahit sejak Perang Dunia I dan II mengajarkan dunia untuk mengambil langkah-langkah damai demi kemanusiaan. Rentetan perang, termasuk perang dingin, dan perkembangan teknologi modern telah mencabik-cabik kemanusiaan. Tak heran, teologi yang sesuai dengan dunia Kalimantan (termasuk seluruh Indonesia) adalah gerakan pasifisme yang dirindukan oleh anak-anak bangsa. Dalam rangka mewujudkan teologi ini, diperlukan kerja sama yang erat dengan semua pihak yang berkehendak baik (Pacem in terries 172) dan usaha perdamaian ini mencakup seluruh komunitas dunia (GS 84).
     Teologi yang bersifat inklusif sangat penting supaya bisa merangkul semua pihak yang berkehendak baik untuk memperbaiki keadaan dunia dari waktu ke waktu. Teologi ini mengandaikan disposisi batin seorang teolog yang sungguh manusiawi, inklusif dan tidak tertutup dalam kepicikan pandangan tentang kemanusiaa, kedamaian dan kesejahteraan sosial. Setiap manusia dipanggil untuk menjalankan misi perdamaian dan kesejahteraan umum di dunia ini. Masyarakat dan dunia akan sulit terperbaiki tanpa kerja sama yang harmonis antarpihak yang berkehendak baik. Pembangunan teologi juga mengandaikan kerja sama dan keterbukaan antarpihak yang peduli dengan keadaan hidup sosial di sekitarnya.
          Justru itu, bahasa teologi yang perlu diterapkan dalam mewujudkan perdamaian ini adalah bahasa teologi yang menyejukkan, mendinginkan dan merukunkan. Gaya bahasa yang melangit dan memanaskan orang lain perlu dihindari, sehingga manusia tidak mudah terpancing oleh emosi dan melupakan peran akal sehat dalam menyelesaikan aneka bentuk perbenturan individual dan sosial. Bahasa teologi ini mengandaikan keterbukaan segenap pihak yang terkait perbenturan sosial untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai, tanpa kekerasan yang merugikan semua pihak yang sedang bertikai. Sanggupkah kita menggunakan langgam bahasa damai di tengah-tengah kekacauan sosial?


Kesimpulan
          Bahasa teologi yang cocok dengan daerah Kalimantan adalah bahasa yang sungguh dipahami oleh orang-orang kecil yang selama ini luput dari perhatian semestinya dari pihak pemerintah. Bahasa kemanusiaan mencakup kemajemukan sosial. Bahasa ini menyentuh bidang kemanusiaan, keadilan sosial, dialog dan kedamaian yang bisa diterima oleh semua orang yang berkehendak baik.
Tata bahasa teologi ini bukan hanya menyentuh kecerdasan akal budi manusia, tapi juga kearifan manusia sebagai citra Sang Pencipta. Yang diperhatikan oleh bahasa ini bukan manusia yang hanya berintelek, melainkan juga manusia yang memiliki kekayaan rohani dalam dirinya. Kekayaan rohani mencerminkan kekayaan dalam pribadi manusia, yang memiliki keunikan dan perbedaannya. Bagaimanakah kekayaan rohani ini dapat ditumbuhkan secara sistematis dalam tugas pelayanan dunia teologi?
Seorang teolog di kawasan ini perlu terus-menerus mengasah kefasihan berkomunikasi dalam bahasa teologis yang menjawab kebutuhan hidup rohani umat. Bahasa teologi akan abstrak kalau tidak menyentuh realitas hidup masyarakat. Justru itu, kecerdasan dan kearifan seorang teolog sangat diperlukan di tengah-tengah dunia yang kian modern dan kehilangan arah pandangan hidup.
          Gaya Yesus mengajar seperti dikisahkan dalam Alkitab ternyata menggunakan langgam bahasa sederhana, mudah dipahami, menyentuh hidup sehari-hari, menggunakan sarana-sarana yang berasal dari dunia pertanian, peternakan dan kelautan. Dia tidak menggunakan langgam bahasa yang tinggi-tinggi dan membingungkan orang banyak. Justru dengan langgam bahasa sederhana dan mudah terjangkau ini, teologi akan lebih mudah dipahami dan dihidupi dalam kegiatan sehari-hari.



Kepustakaan

Buku

-----. Buku Panduan STT Pastor Bonus Tahun Kuliah 2012/2013.

Agung, Lilik A.M. (ed). Credit Union: Kendaraan Menuju Kemakmuran: Praktek Bisnis Sosial Model Indonesia. Jakarta: Kompas Gramedia, 2012².

ter Haar, Gerrie and Busuttil, James J.  Religion, Violence and Visions for Peace. Leiden-Boston: Brill, 2005.

Janssen, Bart OFMCap. Kuntum Coklat di Tengah Belantara Borneo: Cukilan Cerita 100 Tahun Kapusin (ed. William Chang, OFMCap) Pontianak, 2005.

Litbang Kompas. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.

Sacks, Jonathan. The Dignity of Difference: How to Avoid the Clash of Civilizations. London-New York: Continuum, 2003.




Majalah

Chang, William OFMCap. “(Wajah) Yesus yang Bagaimana?”, Sawi (Sarana Karya Perutusan Gereja). Jakarta: Komisi KKM KWI, 2008.

Chang, William OFMCap. “Doing Theology in Kalimantan” (paper), Pontianak, 25/8/2008.

Prior, John Mansford. “Teologi Kontekstual: Apakah Mungkin?”. Jurnal Ledalero: Wacana Iman dan Kebudayaan (Discourse on Faith and Culture). Vol. 9 No. 2 Desember 2010.


[1]Bdk. Litbang Kompas, Profil Daerah Kabupaten dan Kota (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), 379-469.
[2]Bdk. John Mansford Prior, “Teologi Kontekstual: Apakah Mungkin?”, Jurnal Ledalero: Wacana Iman dan Kebudayaan (Discourse on Faith and Culture) (Vol. 9 No. 2 Desember 2010), 152.
[3]Bdk. Bart Janssen, OFMCap, Kuntum Coklat di Tengah Belantara Borneo: Cukilan Cerita 100 Tahun Kapusin (ed. William Chang, OFMCap) (Pontianak, 2005), 8-9.
[4]Buku Panduan STT Pastor Bonus Tahun Kuliah 2012/2013, 1-2.
[5]William Chang, ofmcap, “Doing Theology in Kalimantan” (paper), (Pontianak, 25/8/2008).
[6]Dr. William Chang, OFMCap, “(Wajah) Yesus yang Bagaimana?”, Sawi (Sarana Karya Perutusan Gereja) (Jakarta: Komisi KKM KWI, 2008), 91-105.
[7]William Chang, OFMCap, “Refleksi Teologis tentang Kemiskinan”, Menghadirkan Wajah Yesus dalam Keragaman: Aku datang , supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10): Sidang Agung Gereja katolik Indonesia 2010 (Jakarta: KWI, 2011), 531-533.
[8]A.M. Lilik Agung (ed), Credit Union: Kendaraan Menuju Kemakmuran: Praktek Bisnis Sosial Model Indonesia (Jakarta: Kompas Gramedia, 2012), ed. 2, 124-151.
[9] Jonathan Sacks, The Dignity of Difference: How to Avoid the Clash of Civilizations (London-New York: Continuum, 2003), 177-191.Gagasan tentang pengampunan sebagai keutamaan religius dititikberatkan. Jantung gagasan ini adalah cinta kasih sejati antarmanusia yang nyata dalam hidup sehari-hari. Kerukunan pun mengandaikan pengampunan berdasarkan cinta kasih. Salah satu penghalang pengampunan adalah rasa balas dendam, emosi yang rendah dan tidak layak dalam diri manusia.