Friday, June 21, 2013

Keunggulan Balanced Scorecard sebagai Sistem Manajemen Strategis yang Holistik


Penulis: Lianto, S.Ag., M.M.
Publikasi: Jurnal Ilmiah MABIS, Vol. 3, No. 2, Desember 2011



KEUNGGULAN BALANCED SCORECARD SEBAGAI  SISTEM MANAJEMEN STRATEGIS YANG HOLISTIK

Lianto
email: lianto71@yahoo.com
STIE Widya Dharma Pontianak

Abstract
For many organizations, the Balanced Scorecard has evolved from a measurement tool to what Kaplan and Norton have described as a Strategic Management system. While the original intent of the Balanced Scorecard system was to balance historical financial numbers with the drivers of future value for the firm, as more and more organizations experimented with the concept they found it to be a critical tool in aligning short-term actions with their strategy. In this paper, I’ll explore each of the four perspectives of the Balanced Scorecard and identify the benefits of the scorecard in overwhelming the limitations of financial measurements.

Key words: balanced scorecard, strategi, key performance indicator, financial husbandary

A. Pendahuluan
Sejak zaman dahulu, selama umur organisasi bisnis di muka bumi, metode tradisional pengukuran keberhasilan organisasi didasarkan pada ukuran finansial. Namun mulai tiga dekade terakhir, ketergantungan hanya pada ukuran finansial (financial husbandary) telah menjadi masalah yang disadari banyak perusahaan. Di samping masalah ini, perusahaan di era baru juga dihadapkan pada masalah dominansi aktiva tak berwujud dan kesulitan menjalankan strategi. Masalah-masalah ini kerap membuat organisasi bisnis kesulitan mengaitkan dan mensinergikan berbagai fungsi dalam organisasi.
Balanced Scorecard menekankan perlunya memandang organisasi secara holistik untuk mencapai sinergi lintas fungsional. Perspektif holistik yang ditawarkan menjadikannya alat yang andal dalam mengimplementasikan manajemen strategis perusahaan. Manajemen strategis, sejatinya, adalah upaya untuk mengintegrasikan berbagai fungsi dalam organisasi untuk mencapai keberhasilan. Studi kepustakaan ini akan memaparkan substansi Balanced Scorecard dan keunggulannya sebagai suatu framework manajemen strategis untuk mengomunikasikan misi dan strategi organisasi seraya menginspirasi para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi di tengah permasalahan fundamental yang dihadapi oleh banyak perusahaan modern.

B. Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard adalah suatu alat manajemen strategik yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan strategi menjadi aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator (finansial dan non-finansial) yang terjalin dalam hubungan kausal. Konsep ini merupakan hasil penelitian yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton. Hasil penelitian mereka dipublikasikan pada tahun 1992 dalam artikel berjudul “The Balanced Scorecard – Measures that Drive Performance” dalam Harvard Business Review.
Kata “balanced” menunjukkan adanya keseimbangan yang dijaga antara pelbagai indikator yang diukur. Indikator yang dimaksud ialah:
Ø  Indikator finansial dan non-finansial
Ø  Indikator kinerja internal dan eksternal
Ø  Indikator kinerja masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang
Ø  Indikator kinerja yang lagging (hasil/outcomes) dan leading (pemicu/driver)
Sedangkan “scorecard” secara harafiah dimengerti sebagai “kartu score” untuk mencatat penilaian atas pencapaian kinerja dari setiap strategi yang dibangun.
Menurut Kaplan dan Norton (1996: 10-11), Balanced Scorecard lebih daripada sekedar sistem pengukuran operasional. Perusahaan inovatif memanfaatkan Balanced Scorecard sebagai suatu sistem manajemen strategik untuk mengelola strategi jangka panjang. Mereka menggunakan fokus pengukuran Balanced Scorecard untuk menghasilkan proses-proses manajemen yang menentukan (critical), yakni:
Ø  memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi,
Ø  mengomunikasikan dan mengaitkan sasaran dan ukuran strategik,
Ø  merencanakan, menentukan target, dan menyelaraskan inisiatif strategik, dan
Ø  meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategik.
Keempat proses pengelolaan strategi tersebut digambarkan Kaplan dan Norton (1996: 197) dalam Gambar 1 berikut ini:
Gambar 1
Sistem Manajemen Balanced Scorecard untuk Implementasi Strategi








Memperjelas dan Menerjemahkan Visi & Strategi
 





 



           
 










Konsep Balanced Scorecard menawarkan empat perspektif yang harus diukur secara seimbang. Keempat perspektif itu adalah perspektif  Finansial, Pelanggan, Proses Internal, dan Pembelajaran dan Pertumbuhan. Kaplan dan Norton (1996: 34-35) berpendapat bahwa empat perspektif itu cukup untuk mengukur dan menerjemahkan visi dan strategi ke dalam sasaran dan inisiatif strategik. Terlalu banyak ukuran, selain tidak efisien, juga akan membingungkan karena informasi yang harus dikumpulkan menjadi bertambah. Mengukur sedikit hal yang berkaitan lebih berharga daripada mengukur banyak hal yang tidak berkaitan atau sulit ditemukan kaitan kausalnya.
Kata “perspektif” untuk keempat tolok ukur menunjukkan sudut atau fokus pandangan yang harus dititikberatkan. Dengan kata lain, keempat perspektif dalam Balanced Scorecard merupakan peta wilayah tempat di mana seseorang harus meletakkan strategi-strategi yang relevan. Menurut Luis dan Biromo (2007:24), strategi-strategi  relevan yang dimaksud tidak lain ialah sasaran strategik yang sebetulnya merupakan strategi itu sendiri. Berikut ini dipaparkan keempat perspektif yang dijadikan tolok ukur untuk mencapai tujuan organisasi.
C. Empat Perspektif Balanced Scorecard
1.  Perspektif Finansial
            Kendati tidak memadai jika dijadikan tolok ukur tunggal, Perspektif Finansial tetap tak dapat ditinggalkan. Kaplan dan Norton (1996: 25) tetap memperhitungkan Perspektif Finansial karena ukuran finansial tetap penting dalam memberikan ringkasan konsekuensi tindakan ekonomis yang telah diambil. Entah suatu organisasi berorientasi laba maupun nirlaba, Perspektif Finansial tetap patut menyita perhatian karena untuk mengelola organisasi dibutuhkan kinerja keuangan yang baik. Masalahnya adalah tidak tepat jika suatu organisasi hanya menjadikan Perspektif Finansial sebagai satu-satunya tolok ukur penciptaan nilai. Dikatakan tidak tepat karena ukuran finansial merupakan hasil (outcomes) yang ditentukan oleh keberhasilan organisasi dalam mengeksekusi ukuran-ukuran pemicu. Dengan kata lain, ukuran dan tujuan Perspektif Finansial tidak bisa dicapai tanpa mencapai ukuran dan tujuan perspektif lain. Oleh karena itu, Kaplan dan  Norton menyebut indikator dalam perspektif ini sebagai lagging indicator, yang ada karena pencapaian indikator lain yang menunjangnya. Tidak dapat dibicarakan kiat untuk meningkatkan kinerja keuangan tanpa berbicara tentang bagaimana kiat untuk memuaskan pelanggan, menciptakan proses yang baik, dan membina manusia yang produktif dan berdaya cipta. Menjalankan perusahaan hanya dengan mengandalkan ukuran finansial bagaikan menerbangkan pesawat yang hanya punya meteran kecepatan saja. Berhubung ukuran finansial hanya mencerminkan kinerja masa lalu, keterpakuan hanya pada ukuran finansial laksana menjalankan mobil dengan terus-menerus terpaku pada kaca spion dan lalai melihat arah tujuan ke depan.       
Umumnya, tujuan perspektif finansial tidak jauh dari soal profit improvement yang diukur dari laba operasi, return on capital employed (ROCE), atau economic value added (EVA). Pengukuran Perspektif Finansial ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi yang dimasuki perusahaan sehubungan dengan tiga tahap siklus kehidupan bisnis, yakni: tahap bertumbuh (growth), bertahan (sustain), dan menuai (harvest). Tiap tahap memiliki tujuan dan penekanan yang berbeda sehingga ukuran yang ditetapkan berbeda pula.
            Perusahaan-perusahaan yang sedang bertumbuh berada pada awal siklus kehidupan bisnis. Kondisi pada tahapan ini dilukiskan Kaplan dan Norton (1996: 48) sebagai berikut:
Mereka mempunyai produk atau jasa yang berpotensial tumbuh secara signifikan. Untuk memanfaatkan potensi ini, mereka mungkin harus mengerahkan sumberdaya yang cukup besar untuk mengembangkan dan meningkatkan pelbagai produk dan jasa baru; membangun dan memperluas fasilitas produksi; membangun kapabilitas operasi; investasi dalam sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang menunjang hubungan global; dan memelihara dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.

Kaplan dan Norton juga mengingatkan bahwa pada tahap ini, perusahaan bisa jadi beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian modal yang rendah. Investasi yang ditanamkan untuk jangka panjang barangkali akan memakai cash yang lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan sekarang oleh produk, jasa, dan pelanggan yang masih terbatas. Oleh karena itu, tujuan finansial yang relevan dengan tahap ini adalah tingkat pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari produk dan jasa baru, pelanggan baru, dan/atau melalui saluran pemasaran, penjualan, dan distribusi baru.
            Pada tahap bertahan, biasanya unit bisnis masih diharapkan dapat memelihara pangsa pasar yang sudah ada dan tumbuh bertahap sehingga masih menyimpan daya tarik untuk investasi. Proyek investasi umumnya lebih diarahkan untuk mengatasi pelbagai kendala, memperluas kapasitas, dan meningkatkan perbaikan yang berkelanjutan, daripada investasi untuk imbal hasil dan pertumbuhan jangka panjang seperti yang dilakukan pada tahapan awal. Tujuan finansial di tahap ini berkaitan dengan profitabilitas. Ukuran yang relevan misalnya laba operasi (operating income) dan margin kotor (gross margin). Ukuran ini mengandaikan investasi modal sudah diberikan, dan oleh sebab itu diharapkan pendapatan dari investasi modal dapat dimaksimalkan. Kinerja unit-unit bisnis diharapkan juga dapat mengelola tingkat investasi modal yang ditanamkan dalam unit bisnis mereka. Ukuran yang biasa dipakai misalnya ROI, ROCE, dan EVA.
            Tahap ketiga menunjukkan tahap kedewasaan yang di dalamnya perusahaan mau menuai hasil investasi yang ditanamkan pada dua tahap sebelumnya. Investasi sejauh perlu berkisar seputar pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Tujuan finansial yang relevan ialah memaksimalkan arus kas operasi (sebelum depresiasi) dan pengurangan modal kerja. Dalam tahap menuai, setiap investasi harus memberikan kembalian kas (cash payback) yang pasti dan segera. Di sini ukuran ROI, laba operasi, atau  EVA kurang relevan karena investasi utama sudah dilakukan. Sasarannya bukan memaksimalkan tingkat ROI yang justru akan mendorong dana investasi tambahan, melainkan untuk memaksimalkan pengembalian kas dari seluruh investasi yang telah ditanamkan di masa lalu.  
            Perbedaan tujuan dan ukuran di tiap tahapan siklus hidup bisnis perusahaan mengondisikan perlunya dialog aktif antara manajer puncak (CEO) dengan manajer keuangan (CFO) untuk mempertajam kategori dan sasaran finansial yang relevan. Dialog itu mensyaratkan keduanya memiliki strategi finansial yang jelas bagi setiap unit bisnis. Ketiga tahapan hanyalah gambaran umum, dan jangan dilihat sebagai tahapan yang kaku atau terpilah pasti. Bisa jadi produk atau jasa suatu unit bisnis awalnya mengikuti alur siklus dan kembali berbalik ke tahap pertumbuhan. Suatu perubahan yang tiba-tiba dalam teknologi, trend, pasar, atau regulasi dapat mengubah produk atau jasa yang mature menjadi berpotensi kembali mengalami pertumbuhan tinggi. Kondisi ini akan mengubah tujuan finansial dan investasi untuk unit bisnis yang bersangkutan. Itulah sebabnya Kaplan dan Norton mengatakan bahwa positioning unit bisnis dalam suatu kategori finansial tidak immutable dan tujuan finansial harus ditinjau ulang secara periodik (minimal tahunan) untuk memastikan strategi finansial tetap relevan dengan kondisi yang dihadapi.
2. Perspektif Pelanggan
            Perspektif Pelanggan Balanced Scorecard mau mempertanyakan status bagaimana kita harus menampilkan diri di hadapan pelanggan. Fokus ini sejalan dengan gaung era globalisasi yang mengkondisikan transformasi dari sellers’ market menjadi buyers’ market. Fokus perusahaan harus berubah dari orientasi produk menjadi orientasi pelanggan. Hal ini, menurut Yuwono, Sukarno, dan Ichsan  (2007:32), membuat manajemen modern memperdalam filosofi yang menunjukkan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Michael Hammer, dalam buku spektakuler The Agenda, menegaskan berulang-ulang agar organisasi memikirkan para pelanggannya sebagai nomor satu. Ungkapnya (Hammer, 2004: 339):
Untuk mengapresiasikan perubahan yang mulai timbul, Anda harus mengesampingkan sudut pandang Anda dan mengadopsi sudut pandang para pelanggan Anda. Berpikirlah dalam keadaan mereka; rasakan kehidupan mereka. Jangan melihat mereka hanya melalui kacamata kebutuhan Anda untuk meningkatkan penjualan. Pahamilah kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak dinyatakan dan tidak dipenuhi, dan hargai masalah-masalah mereka, tak peduli ada atau tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda jual.

Untuk menghadapi perubahan itu, dalam perspektif ini, Kaplan dan Norton (1996: 68-72; dalam Yuwono et al., 2007: 33-35) mengemukakan dua kategori pengukuran, yakni: pengukuran inti pelanggan (customer core measurement) dan proposisi nilai pelanggan (customer value  proposition).

2.1 Customer Core Measurement
Pengukuran inti pelanggan dapat didalami dengan menyimak pengukuran market share, customer retention, customer acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability. Untuk menghasilkan dampak yang optimal, kelima ukuran harus disesuaikan dengan kelompok segmen pelanggan yang diharapkan dapat memberikan pertumbuhan dan profitabilitas paling tinggi.
Market share atau pangsa pasar mencerminkan tingkat proporsi bisnis yang dikuasai oleh perusahaan (unit bisnis) dari keseluruhan pasar dalam bentuk jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit yang terjual. Indikator yang mempengaruhi market share adalah customer retention dan customer acquisition. Keduanya dipicu oleh (akibat dari) customer satisfaction. Customer retention mengukur tingkat sejauh mana perusahaan dapat mempertahankan atau memelihara hubungan dengan pelanggan yang sudah ada. Mempertahankan pelanggan yang ada merupakan cara penting dalam mempertahankan pangsa pasar. Customer Acquisition mengukur sejauh mana perusahaan dapat menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru. Dengan demikian ukuran yang dipakai di sini adalah banyaknya jumlah pelanggan baru atau jumlah penjualan kepada pelanggan baru di segmen yang ada. Kendati customer acquisition membutuhkan biaya lebih tinggi daripada customer retention, hal itu dipandang sangat critical jika perusahaan menginginkan pertumbuhan. Dalam bisnis, biasanya terjadi penurunan jumlah pelanggan yang sudah ada. Jika customer acquisition lebih kecil daripada customer retention, maka akan terjadi negative growth. Customer acquisition merupakan akibat langsung dari customer satisfaction. Hubungan sebab-akibat ukuran-ukuran inti itu tergambar pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2
Pengukuran Inti Pelanggan (Kaplan & Norton, 1996: 68)
















Bevel: Market
Share













Up Arrow Callout: Customer Satisfaction






 

















Calon pelanggan yang puas akan pelayanan (misalnya informasi produk yang dijual) akan memutuskan membeli (menjadi pelanggan). Selanjutnya pelanggan yang puas akan merekomendasikan produk kepada orang lain yang seterusnya akan meningkatkan jumlah pelanggan baru. Oleh karena itu, dalam semua ukuran inti pelanggan, kepuasan pelanggan (customer satisfaction) merupakan leading indicator utama yang menjadi keharusan bagi perusahaan.
Pada dasarnya, customer satisfaction adalah pemenuhan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Ukuran kepuasan pelanggan memberikan feedback tentang sejauh mana perusahaan telah menjalankan bisnis dengan baik. Tidak gampang untuk mengukur kepuasan pelanggan. Namun kesulitan pengukuran tidak mengurangi perlunya kepuasan pelanggan terus-menerus diukur. Di tengah badai kompetisi yang sengit, bahkan tercipta aksioma bahwa pebisnis harus melampaui ekspektasi pelanggan. Tingkat kepuasan pelanggan hanya dapat diketahui jika pelanggan menilai hubungannya dengan pebisnis sebagai pengalaman yang memuaskan. Kepuasan pelanggan memang pemicu (driving force) utama bagi customer retention dan customer acquisition. Tapi logika ini tak bisa dibalik, dalam arti bahwa jika terjadi customer retention, sudah pasti telah terjadi customer satisfaction.
Akhirnya, Customer profitability mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari pelanggan setelah dikurangi berbagai pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Terciptanya kepuasan pelanggan, terjadinya customer retention dan acquisition, serta meningkatnya pangsa pasar, tidak menjamin tercapainya customer profitability. Ketika perusahaan menerapkan “Perang Harga”, keempat sasaran ukuran itu bisa jadi tercapai, tetapi belum tentu berlaku untuk customer profitability. Oleh karena itu sasaran ini juga harus diukur untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak jauh dari tujuan umum perusahaan. Bisnis apa pun memang muskil diharapkan dapat memuaskan semua pelanggan dengan kebutuhan dan behavior yang berbeda. Tidak semua permintaan pelanggan dapat dipuaskan dengan cara yang sekaligus dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Oleh karena itu, untuk memastikan customer profitability, sejumlah kalangan mensyaratkan identifikasi pelanggan dan segmen pasar yang akan dimasuki. Teristimewa jika pasar terlalu besar, perusahaan harus menyeleksi segmen-segmen yang akan diprioritaskan agar produk atau jasanya dapat memenuhi kebutuhan pelanggan secara lebih tepat. Bahkan di dalam segmen pelanggan yang dimasuki masih dapat ditemukan key customers yang harus mendapat prioritas utama. Hukum Pareto dapat terjadi di mana-mana, juga dalam segmen pelanggan, di mana 20% pelanggan memberikan 80% kontribusi pada penjualan. Bila perusahaan dapat lebih memfokuskan diri pada 20% key customer, beban biaya dipersempit, dan customer profitability akan lebih terjamin. Inilah inti buku Richard Koch, The 80/20 Principle, yang menawarkan kiat bagaimana memperoleh lebih banyak hasil dengan lebih sedikit usaha (Koch: 1997).

2.2 Customer Value Proposition
Pada era sellers market, proposisi nilai tidak terlalu penting karena pelanggan sudah puas jika dapat memperoleh produk yang dicarinya. Keadaan umum sekarang telah menjadi buyer’s market di mana produklah yang harus mencari pelanggan. Harga murah dan produk bermutu saja kadang tidak cukup untuk memuaskan pelanggan. Terdapat pelanggan yang membutuhkan dan mengharapkan lebih daripada sekedar murah dan bermutu. Ada atribut lain yang sering menjadi faktor penentu bagi pelanggan untuk membeli suatu produk, misalnya pelayanan yang baik atau brand yang terkenal (image).    
Proposisi nilai mau memperlihatkan atribut yang disediakan perusahaan dalam produk dan jasanya untuk menciptakan loyalitas dan kepuasan bagi segmen pelanggan yang dimasuki. Proposisi nilai ini merupakan konsep kunci untuk memahami pemicu kepuasan, akuisisi, retensi, dan pangsa pasar. Setiap industri dan segmen pasar yang berbeda menuntut atribut yang berbeda. Secara umum (generik) dapat dikemukakan tiga atribut yang tertemukan di hampir semua industri yang dapat membantu membentuk balanced scorecard. Ketiga atribut itu adalah atribut produk atau jasa, hubungan pelanggan, dan citra (image) & reputasi.
Setiap pelanggan mempunyai preferensi yang berbeda-beda atas atribut produk/jasa yang ditawarkan. Atribut-atribut itu meliputi manfaat atau fitur, harga, kualitas, dan atau kemasan. Produsen harus mengidentifikasi atribut apa yang lebih diinginkan pelanggannya dan berupaya memenuhinya.
Hubungan Pelanggan berbicara tentang bagaimana perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk/jasa. Perasaan itu menyangkut daya tanggap (responsivitas) dan komitmen perusahaan dalam delivery produk/jasa yang tepat waktu. Hubungan pelanggan merupakan salah satu sumber untuk mengetahui pendapat pelanggan (voice of customer/VOC) tentang value proposition perusahaan. Dewasa ini atribut ini disadari sebagai faktor yang sangat menentukan sehingga muncul teori-teori mengenai relationship yang dikenal dengan Customer Relationship Management (CRM). Proses menjalin hubungan pelanggan telah dimulai sebelum terjadi penjualan. Proses itu masih dilanjutkan setelah terjadi penjualan (layanan purna jual/after sales service). Faktor ini mendapat perhatian besar terlebih ketika akuisisi pelanggan menjadi sulit dan mahal. Pengusaha cenderung membina hubungan pelanggan untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada.  Berbeda dari atribut produk yang bersiklus waktu pendek, hubungan pelanggan merupakan atribut value proposition yang mempunyai siklus waktu lebih panjang.
Citra (image) dan reputasi menggambarkan faktor-faktor tak berwujud (intangible) yang menarik pelanggan untuk membeli suatu produk/jasa. Sejumlah perusahaan menggunakan komunikasi melalui iklan dan jaminan mutu seperti yang dijanjikan untuk menciptakan customer loyalty. Nilai citra dan reputasi itu terkadang jauh lebih tinggi daripada aspek berwujud (tangible) produk/jasa itu sendiri.
3. Perspektif Proses Internal
Proses internal dimengerti sebagai serangkaian aktivitas yang ada dalam organisasi (internal) yang biasanya tersusun dalam suatu rantai nilai (value chain). Melalui analisis atas proses penyampaian nilai itu, perusahaan dimungkinkan untuk mengetahui seberapa baik bisnis telah dijalankan dan sejauh mana produk/jasa yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Diyakini bahwa setiap bisnis memiliki serangkaian proses aktivitas untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan memberikan hasil finansial bagi organisasi. Kaplan dan Norton (1996:96) menawarkan tiga proses umum yang dapat disesuaikan oleh setiap perusahaan untuk menyusun perspektif Proses Internal, yakni: inovasi, operasi, dan layanan purna jual. Gambar 3 berikut ini menggambarkan secara visual rantai nilai yang dimaksud.


Gambar 3
Rantai Nilai Perspektif Proses Internal (Kaplan & Norton, 1996: 96)

Proses Inovasi                       Proses Operasi                      Proses
Purna Jual


 





3.1 Inovasi
Dalam proses inovasi, perusahaan harus menelaah kebutuhan yang sedang berkembang bahkan yang masih tersembunyi dari segmen pelanggan yang dimasuki. Kemudian perusahaan menciptakan produk/jasa yang akan memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Peter Drucker, “Bisnis memiliki dua- dan hanya dua- fungsi pokok: marketing dan inovasi. Marketing dan inovasi memberikan hasil; semua yang lain adalah biaya.” Argumen ini terasa ekstrem, namun bahwa “inovasi memberikan hasil” amat sangat benar. Jika efisiensi berbicara tentang pengurangan biaya, efektivitas berbicara soal inovasi. Inovasi lebih daripada sekedar menciptakan produk baru (invention). Invention adalah menciptakan produk baru, sedangkan inovasi adalah menciptakan solusi baru yang bernilai tambah. Produk telefon genggam, kamera, pemutar lagu, dan perekam video adalah invention. Tetapi menggabungkan alat-alat itu dalam sebuah telefon selular modern adalah inovasi. Proses inovasi biasanya dilakukan oleh bagian R&D dan merupakan aktivitas penting dalam penciptaan nilai jangka panjang. Harga mahal yang biasanya menjadi momok untuk inovasi bisa ditebus dengan kesadaran akan nilai berjangka panjang yang dapat diciptakan. Pengalaman Merck membuktikan bahwa biaya jutaan dollar untuk R&D tidak berarti banyak jika dibandingkan dengan nilai (finansial dan sosial) yang dihasilkan dari inovasi produk mereka.
Proses inovasi terdiri dari dua komponen, yakni pengenalan pasar dan penciptaan produk yang sesuai. Pengenalan pasar mencakup ukuran pasar, bentuk preferensi pelanggan, dan tingkat harga. Dari pengalaman penerapan Balanced Scorecard di pelbagai perusahaan, Kaplan dan Norton menegaskan untuk memperlakukan proses inovasi sebagai elemen utama yang sangat penting dalam penciptaan nilai, bukan hanya sekedar proses pendukung sebagaimana biasa ditemukan dalam rantai nilai tradisional (Kaplan & Norton, 1996: 97-98).
3.2 Operasi
Dalam proses operasi, perusahaan memproduksi dan menyampaikan produk/jasa kepada pelanggan. Tujuan dan ukuran yang biasa ditetapkan tidak jauh seputar metode pelaksanaan yang baik (kualitas), tepat waktu, dan menghemat biaya. Berbeda dari proses inovasi, proses operasi menampilkan penciptaan nilai berjangka lebih pendek, di mana perusahaan hanya menyampaikan produk/jasa kepada pelanggan yang ada saat ini. Proses ini menekankan aktivitas penyampaian produk/jasa secara efisien, konsisten, dan tepat waktu.
3.3 Layanan Purna Jual
Proses layanan purna jual merupakan bentuk pelayanan kepada pelanggan setelah terjadi penjualan produk/jasa. Aktivitas yang terjadi mencakup antara lain penanganan garansi mutu, perbaikan dan penggantian produk yang rusak, dan pemrosesan pembayaran. Perusahaan yang menjual produk teknologi canggih bahkan memberikan pelatihan agar pelanggannya  dapat memanfaatkan produk/jasa yang dibeli dengan efektif dan efisien. Untuk mengukur sejauh mana proses ini dijalankan, perusahaan dapat meneliti apakah layanan ini telah memenuhi kebutuhan pelanggan dari aspek waktu tanggap, kualitas, dan biaya seperti dalam proses operasi.
Sejalan dengan prinsip hubungan kausal di antara keempat perspektif, tujuan dan ukuran dalam perspektif Proses Internal harus mengidentifikasi berbagai proses yang critical untuk mencapai tujuan perspektif Pelanggan dan perspektif Finansial. Karena Balanced Scorecard merumuskan sebab yang memicu akibat, maka ukuran dan tujuan perspektif ini dikembangkan setelah perusahaan merumuskan tujuan dan ukuran dua perspektif di atasnya. Urutan ini akan memungkinkan perusahaan memfokuskan diri kepada proses yang akan mendorong pencapaian tujuan yang ditetapkan untuk perspektif Pelanggan dan Finansial.

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Berhubung ketiga perspektif di atas direncanakan dan dilaksanakan oleh manusia, maka manusia merupakan aset utama bagi organisasi. Bertolak dari aksioma itu, perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan berfokus pada pengembangan karyawan agar menjadi SDM yang kapabel dan kompeten untuk menciptakan nilai bagi perusahaan. Perubahan era industri ke era informasi dewasa ini semakin mendesak perusahaan untuk memberi perhatian pada investasi human capital sebagai faktor kunci bagi keberhasilan organisasi. Perusahaan di negara berkembang dewasa ini mulai mengalami apa yang dialami perusahaan di negara maju di mana telah terjadi transformasi dari produktivitas manual worker ke produktivitas knowledge worker sebagai penggerak pertumbuhan ekonomis.
Setiap aksioma (kebenaran yang terang benderang sehingga tak perlu dibuktikan lagi) mengandung bahaya menjadi hanya lip service semata. Karena setiap orang mengakui kebenaran yang dikandungnya, kesadaran bahwa faktor manusia merupakan aset kunci keberhasilan biasanya kurang bergema. Semua orang dan organisasi menyadarinya namun tidak serta merta melaksanakannya. Agar pribadi dalam perusahaan menjadi pribadi yang learning dan dengan demikian memicu perusahaan untuk grow, perusahaan harus menjadi apa yang dikatakan Peter Senge sebagai learning organization.
Menurut Yuwono et al. (2007: 39), hasil pengukuran ketiga perspektif Balanced Scorecard sebelumnya biasanya memperlihatkan kesenjangan yang lebar antara kinerja yang diinginkan dengan kemampuan SDM, sistem, dan prosedur yang ada saat ini. Oleh karena itu, perspektif keempat dari Balanced Scorecard ini merupakan batu penjuru bagi keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kaplan dan Norton (1996: 126) menyimpulkan bahwa tujuan-tujuan dalam ketiga perspektif sebelumnya merupakan identifikasi tentang apa yang harus dikuasai perusahaan. Sedangkan tujuan di dalam perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan adalah identifikasi tentang infrastruktur yang memungkinkan tercapainya ketiga perspektif tersebut. Tiga kategori utama untuk perspektif ini adalah kapabilitas karyawan, kapabilitas sistem informasi, dan motivasi, pemberdayaan (empowerment), dan keselarasan (alignment).
4.1 Kapabilitas Karyawan
Pergeseran dan segala dampak akibat peralihan era industrial ke era informasi dewasa ini mendesak organisasi untuk mengembangkan manajemen baru tentang cara karyawan memberikan kontribusi kepada perusahaan. Perkembangan teknologi informasi dewasa ini membuat hampir semua pekerjaan rutin bisa dilakukan melalui sistem komputerisasi. Pergeseran ini mensyaratkan reskilling para karyawan sehingga keterampilan dan kreativitas mereka dapat diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi. Faktor kapabilitas ini dikembangkan dengan tiga ukuran, yakni: kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas karyawan.
Kepuasan karyawan penting diukur karena karyawan yang puas merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas, daya tanggap, mutu, dan layanan pelanggan. Ukuran retensi karyawan bertujuan mempertahankan karyawan yang memberikan kontribusi bagi perusahaan. Sesungguhnya perusahaan membuat investasi jangka panjang dalam diri karyawan sehingga berhentinya karyawan yang produktif merupakan kerugian dalam intellectual capital perusahaan. Retensi karyawan biasanya diukur dengan persentase berhentinya karyawan yang memegang jabatan kunci. Sedangkan produktivitas karyawan lebih merupakan suatu ukuran hasil dari semua usaha peningkatan keahlian karyawan, inovasi, proses internal, dan kepuasan pelanggan.
4.2 Kapabilitas Sistem Informasi
            Di samping modal karyawan yang terampil dan termotivasi, lingkungan kompetitif dewasa ini juga menuntut adanya sistem informasi yang memadai agar para karyawan dapat bekerja lebih efektif untuk mencapai sasaran yang luas dalam tujuan pelanggan dan proses internal. Abad ke-21 yang sering disebut juga sebagai Information Age menuntut perusahaan untuk memiliki banyak informasi mengenai pelanggan, proses internal, dan pelbagai konsekuensi finansial dari kebijakan perusahaan. Sistem informasi yang baik menjadi keperluan jika perusahaan ingin melakukan continous improvement proses bisnisnya.
4.3 Motivasi, Pemberdayaan, dan Keselarasan
            Kendati karyawan yang ada cukup terampil dan kapabel serta didukung oleh sistem informasi yang memadai, perusahaan masih membutuhkan kondisi yang mampu memotivasi para karyawan untuk bertindak optimal bagi keberhasilan perusahaan. Oleh karena itu, motivasi, pemberdayaan, dan keselarasan menjadi faktor enabler bagi tujuan perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Pemberdayaan dilakukan dengan pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan. Hal itu disertai dengan penyelarasan untuk menjamin kebijakan yang diambil tidak melenceng dari tujuan organisasi secara keseluruhan.

D. Hubungan Kausal Keempat Perspektif
Keempat perspektif yang telah dipaparkan di atas merupakan variable-variabel pokok yang dalam interaksinya akan mendorong organisasi tahap demi tahap mencapai tujuan jangka panjang. Hubungan itu digambarkan dalam Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4
Interaksi Empat Perspektif Balanced Scorecard
Hubungan kausal antar variabel dalam memicu pencapaian tujuan jangka panjang dapat dijelaskan secara sederhana berikut ini. Fokus organisasi nirlaba yang tertuju pada sasaran kepuasan pelanggan dicapai dengan menciptakan pelayanan dan reputasi atau citra yang baik. Membuat pelanggan puas berarti melihat organisasi dari perspektif pelanggan. Di sini dituntut perubahan pola pikir “product offered” menjadi pola pikir “market served”. Yang pertama berarti menawarkan produk (jasa) kepada pelanggan tanpa melihat apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan dicari pelanggan. Sementara yang kedua berarti merancang produk (jasa) yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan. Yang pertama menjual apa yang diproduksi, yang kedua memproduksi apa yang bisa dijual.
Perspektif (variabel) kepuasan pelanggan itu dipicu oleh proses pelayanan yang bagus (perspektif Proses Internal). Dengan kata lain, menciptakan produk (jasa) bermutu, pelayanan dan citra yang baik adalah memandang organisasi dari perspektif Proses Internal. Pentingnya mutu proses tak dapat diragukan lagi. Hal itu telah dibuktikan oleh keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang dan Amerika sehingga General Electric bahkan menetapkan sistem mutu Six Sigma sebagai syarat yang harus dipahami setiap karyawan.
Berhubung semua proses merupakan hasil karya manusia, maka proses pelayanan yang bermutu tergantung pada kompetensi orang yang melakukannya (perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan). Perspektif ini merupakan awal dari perubahan bersinambungan dan berjangka panjang. Perspektif ini menunjukkan pentingnya variabel sumberdaya manusia; intangible human capital, yang akan mendorong kinerja organisasi. Pribadi-pribadi dalam organisasi harus terus “learn” agar mampu mendorong organisasi untuk terus “grow”.
Improvement dalam ketiga perspektif ini, pada gilirannya akan mendongkrak income (perspektif Finansial) yang selanjutnya menjadi resources yang dialokasikan untuk lebih meningkatkan ketiga perspektif tersebut, dan seterusnya. Dalam organisasi nirlaba, kemajuan dalam perspektif finansial memastikan bahwa organisasi sedang menuai hasil, dan melakukannya dengan cara yang efisien sehingga meminimalkan biaya. Interaksi yang seimbang di antara keempat variabel pokok inilah yang akan mendorong organisasi mengimplementasikan strategi, memenuhi misi, dan mencapai visi.
Sejak terlahir dari buah pikiran Kaplan dan Norton hingga kini, Balanced Scorecard telah tumbuh luar biasa baik dalam bentuk maupun penerapannya. Tersiar statistik menakjubkan seputar penerapan Balanced Scorecard dalam dunia organisasi: diadopsi oleh sekitar 50% perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 1000, dipuja sebagai salah satu dari 75 ide bisnis yang paling berpengaruh pada abad ke-20, dan dimanfaatkan oleh perusahaan publik, swasta, dan nirlaba (Niven, 2005: xi, 34).
E. Masalah Organisasi Era Informasi dan Keunggulan Balanced Scorecard
1. Masalah Organisasi Era Informasi
Balanced Scorecard adalah salah satu dari sekian banyak metode perencanaan strategi. Sejak kelahirannya di tahun 1992, konsep ini dengan cepat menarik perhatian dunia bisnis di tengah hiruk-pikuk ratusan konsep obat mujarab bisnis potensial yang muncul dan tenggelam. Kebertahanan konsep Balanced Scorecard hingga kini terletak pada relevansinya menjawab tiga masalah mendasar yang menghantui bisnis dewasa ini. Ketiga masalah itu ialah: ketergantungan tradisional pada ukuran-ukuran finansial, dominansi aktiva tak berwujud, dan kesulitan dalam menjalankan strategi (Niven, 2005: 2).
1.1 Keterbatasan Pengukuran Finansial Semata (Financial Husbandary)
Usia pemakaian faktor finansial sebagai ukuran sukses perusahaan sudah setua umur bisnis di muka bumi. Mungkin ribuan tahun lalu hingga akhir abad ke-20, patokan finansial telah dipakai untuk mengukur kinerja sebagian besar organisasi, entah swasta, publik, atau nirlaba. Dewasa ini mulai ditemukan aneka keterbatasan dalam tolok ukur finansial. Ketidakrelevanan  bukan terletak pada sistem yang digunakan untuk ukuran finansial, melainkan jika kinerja organisasi semata-mata dinilai dan diukur hanya dengan ukuran finansial saja. Dalam dekade-dekade silam, masalah ini belum naik ke permukaan sebab pasarnya masih bersifat sellers market. Di masa kini, di mana pasar beralih ke buyer market, peranan posisi pelanggan tak dapat disangkal lagi. Tampaknya yang paling menentukan kelanjutan hidup perusahaan adalah pelanggan. Tidak mengherankan, Johnson & Johnson memberikan kursi teratas bagi pelanggan seperti bisa kita simak pada bait pertama Credo-nya.
Banyak organisasi di abad ke-21 mulai mempertanyakan kehandalan ukuran finansial untuk menggambarkan fundamental perusahaan. Berbagai kasus penyimpangan finansial yang terjadi turut memperkeruh suasana. Skandal finansial yang paling memalukan adalah kasus Enron. Niven dengan sangat baik menguraikan berbagai keterbatasan yang muncul jika organisasi hanya mengandalkan ukuran finansial, seperti dipaparkan berikut ini (Niven, 2002: 6-7; 2005, 6-9).
a.       Tidak konsisten dengan bisnis saat ini. Era informasi adalah era dominansi aktiva tak berwujud yang menjadi pendorong utama bagi perusahaan yang ingin bersaing efektif dalam bisnis modern. Terkait kenyataan ini, ukuran finansial  tidak relevan dengan kebutuhan penciptaan nilai dari aktiva ini.
b.      Ukuran finansial tidak memberi gambaran untuk masa depan. Menjalankan perusahaan laksana mengendarai mobil. Orang tidak dapat melihat apa yang ada di depan melalui kaca spion. Ukuran finansial hanya memberikan gambaran pencapaian masa lalu. Seberapa pun hebatnya prestasi finansial di masa lalu, tia tidak dapat menjamin atau memberikan indikasi tentang apa yang masih tersimpan di masa depan.
c.       Mengorbankan pola pikir jangka panjang. Sejumlah program seperti pelatihan, R&D, dan CRM hanya bisa dinikmati hasilnya dalam jangka panjang. Hasil dari program-program seperti itu tidak dapat ditunjukkan dalam ukuran finansial yang menggambarkan pencapaian angka-angka finansial saat ini. Fokus pada angka-angka finansial jangka pendek mengaburkan apa yang sungguh-sungguh membedakan perusahaan dari pesaing dalam jangka panjang.
d.      Ukuran finansial tidak relevan dengan organisasi era baru yang cross-functional. Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan suatu abstraksi (Latin “abstrahere” : menarik dari, terlepas dari, ditarik dari) yang ditarik dari laporan departemen-departemen secara individual berdasarkan area fungsional. Hal ini tidak relevan dengan organisasi cross-functional yang mengutamakan team dan kerja sama antar-fungsi untuk mencapai sasaran bersama organisasi.


1.2 Dominansi Aktiva Tak Berwujud
            Sekitar 30 tahun yang lalu, nilai aktiva tak berwujud pada organisasi pada umumnya berkisar 5%.  Akhir-akhir ini angka itu menjadi berlipat-lipat ganda menjadi 75-85%. Era industrial yang didominasi aktiva berwujud seperti properti, pabrik, dan perlengkapan, kini telah beralih. Ada dua perbedaan mendasar antara aktiva berwujud dan tak berwujud. Pertama, aktiva berwujud dihitung secara kaku dalam laporan keuangan. Sebaliknya aktiva tak berwujud sulit diberi harga. Tak ada yang bisa memberi harga angka untuk budaya inovatif yang menciptakan produk baru yang lebih cepat daripada pesaing. Jika aktiva berwujud gampang ditiru, aktiva tak berwujud sebaliknya. Suatu perusahaan bisa membeli sebuah mesin baru yang amat produktif. Tetapi tidak lama kemudian, hal itu diikuti oleh para pesaingnya. Sebaliknya aktiva tak berwujud adalah milik organisasi yang tak bisa dibeli dan dijiplak. Hubungan dengan konsumen yang dibangun dengan saling percaya dan memberikan keuntungan selama bertahun-tahun tak dapat dimiliki dengan mudah oleh pesaing. Kedua, yang menarik adalah bahwa aktiva berwujud menyusut seiring dengan pemakaiannya. Mesin atau perlengkapan yang dipakai, makin lama semakin tak berharga. Sebaliknya, aktiva tak berwujud makin berharga seiring dengan pemakaiannya. Kemampuan untuk membina komunikasi yang enak dengan pelanggan bagaikan bola salju yang makin lama makin besar.  Fenomen ini mau tak mau harus ditanggapi dengan menerapkan sistem pengukuran kinerja yang dapat mengukur aktiva tak berwujud. Dan Balanced Scorecard memenuhi tuntutan pengukuran vital itu. Ciri khas kerangka kerja Balanced Scorecard justru adalah  kemampuan untuk melacak aktiva tak berwujud dan menyediakan ukuran tentang perubahannya hingga mendapatkan hasil.

Gambar 5
Pertumbuhan yang Signifikan Aset Tak Berwujud
1.3 Kesulitan Menjalankan Strategi
            Kesadaran yang harus dibangkitkan sejak awal adalah perbedaan antara perumusan strategi dan pelaksanaannya. Strategi tanpa implementasi hanya bernilai satu dolar. Banyak organisasi mengasingkan diri ke tempat rekreasi yang sunyi dan melakukan rembug panjang untuk memunculkan suatu strategi baru. Namun sejauh mana strategi itu terkait dengan pola operasional sehari-hari adalah hal yang berbeda. Absensi keterkaitan itu sering dilalaikan sehingga strategi yang dirumuskan hanya tinggal rumusan yang tak bergaung sama sekali dengan aktivitas sehari-hari. Studi Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 10% organisasi menjalankan strateginya. Penelitian majalah Fortune menunjukkan bahwa 70% kegagalan CEO bukan akibat lemahnya strategi, melainkan ketidakmampuan untuk menerapkannya. Balanced Scorecard mau memastikan bahwa strategi yang dirumuskan terkait secara koheren dengan operasional sehari-hari. Kaplan dan Norton (1996: 192-196) meyakini ada empat kendala (barrier) yang harus dihancurkan agar strategi dapat dijalankan dengan efektif. Niven (2005: 16-17) menjelaskan hal itu dengan merangkumkannya menjadi empat kategori kendala, yakni: kendala visi, pelaku (orang), manajemen, dan sumberdaya.


Gambar 6
Empat Kendala Implementasi Strategi (Niven, 2005: 16)


 
















Kendala Visi
Kendala pada visi terjadi karena miskinnya komunikasi visi yang telah dibangun. Penelitian Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 5% karyawan yang memahami strategi perusahaannya. Pelaksanaan dari suatu strategi adalah hasil tindakan. Tindakan mengandaikan pemahaman yang berasal dari kesadaran. Bila suatu strategi dikembangkan tetapi tidak dikomunikasikan kepada karyawan, bisa dipastikan bahwa strategi, sebagus apa pun, hanya tinggal kumpulan kata mutiara. Ketidakpahaman visi dapat pula disebabkan oleh rumusan yang terlalu panjang, pengertian yang mengawang-awang, atau pemakaian bahasa yang rumit dicerna.
Kendala Pelaku
Karyawan adalah human capital yang critical agar organisasi dapat mencapai visinya. Untuk memotivasi mereka menerapkan strategi, organisasi perlu memetakan secara eksplisit kaitan antara pelaksanaan strategi dengan program insentif yang dapat diterima. Para pakar motivasi sepakat bahwa insentif yang diberikan harus jelas kaitannya dengan kinerja. Bila tidak, insentif yang diberikan tidak akan menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja. Kaplan dan Norton menunjukkan bahwa hanya 25%  organisasi yang mengaitkan insentif dengan strategi.

Kendala Manajemen
Riset Kaplan dan Norton memperlihatkan bahwa 85% pihak manajemen menghabiskan waktu kurang dari 1 jam per bulan untuk membahas strategi. Data ini menunjukkan betapa miskinnya visi para manajer. Para manajer lebih terfokus pada hal-hal seperti keuangan, penjualan, inventori, dan hal-hal lain berkaitan dengan operasional. Bukannya menganalisis blueprint (strategi) yang harus dikembangkan, mereka menghabiskan waktu panjang untuk mendebatkan laporan rugi-laba, penghasilan kotor, dan atau harga pokok penjualan. Tidak disangkal bahwa hal-hal itu penting bagi kesuksesan, tapi para manajer seharusnya memiliki skala prioritas yang lebih seimbang untuk hal-hal lain yang lebih bersifat strategis. Mereka terpaku pada hasil tapi melalaikan perhatian pada proses.

Kendala Sumberdaya
Kendala ini berkaitan dengan modal (anggaran). Studi Kaplan dan Norton memperlihatkan bahwa 60% organisasi tidak mengaitkan anggaran yang dibuat dengan strategi. Ini kesalahan yang muskil, namun sering dilakukan. Dikatakan muskil karena jika suatu anggaran tidak dikaitkan dengan strategi, lantas dengan apa anggaran tersebut terkait? Yang harus dilakukan adalah selalu kembali ke pertanyaan: Berdasarkan strategi, inisiatif apa yang dapat membedakan kita dari pesaing, dan sumberdaya apa yang diperlukan?
           Empat kendala inilah yang menyebabkan terhambatnya eksekusi strategi yang telah dibangun organisasi. Kendala-kendala itu dapat diatasi dengan penerapan Balanced Scorecard seperti diuraikan dalam keunggulan-keunggulannya berikut ini.  
2. Keunggulan Balanced Scorecard
Bertolak dari masalah-masalah yang dihadapi organisasi di era informasi seperti terungkap di atas, konsep Balanced Scorecard dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut berdasarkan solusi dan keunggulan berikut ini (Luis dan Biromo, 2007: 48-51).
  1. Balanced Scorecard dapat dipakai sebagai alat untuk mengkomunikasikan strategi di antara manajemen, karyawan, pelanggan, maupun komunitas sekitar. Dengannya, pelbagai stakeholder dalam organisasi dapat menyelaraskan persepsi dengan bahasa yang sama. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada visi.
  2. Balanced Scorecard melalui konsep peta strategi memberikan peluang untuk merumuskan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan, baik yang tangible maupun intangible. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada manajemen sekaligus menjawab permasalahan dominansi intangible asset dalam bisnis era informasi.
  3. Balanced Scorecard mengaitkan logika antara strategi dan kinerja (eksekusi strategi). Konsep ini memungkinkan organisasi mengaitkan strategi yang dibangun dengan proses penerapannya. Proses itu pun dapat dipantau tingkat pencapaiannya dengan menyimak key performance indicator (KPI) di tiap perspektif. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pelaku dan manajemen.
  4. Di dalam Balanced Scorecard dikenal istilah hubungan sebab-akibat (causal relationship). Setiap perspektif mempunyai serangkaian sasaran strategik (strategic objective). Sasaran strategik untuk setiap perspektif itu dijelaskan hubungan sebab akibatnya. Ini menjadikan konsep ini memiliki sifat koherensi di antara variabel-variabel pemicu pertumbuhan. Dengan logika ini, masing-masing pelaku strategi mendapat gambaran yang jelas tentang tanggung jawab mereka dalam mencapai sukses dan keterkaitannya satu sama lain dalam organisasi secara keseluruhan. Dengan demikian mereka akan berupaya meningkatkan kerja sama team, karena keberhasilan di satu bagian mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bagian lain. Manfaat ini juga dapat mengatasi kendala pelaku dan manajemen.
  5. Karena Balanced Scorecard menerjemahkan strategi ke dalam inisiatif-inisiatif strategik yang konkrit, organisasi dapat memanfaatkannya sebagai rujukan dalam menyusun anggaran yang terkait dengan strategi. Organisasi dapat mengetahui kegiatan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai target-targetnya, dan mengalokasikan sumberdaya yang cocok untuk dimasukkan dalam anggaran. Manfaat ini dapat mengatasi kendala sumberdaya dan manajemen.

F. Kesimpulan
Konsep Balanced Scorecard menawarkan pengukuran yang lebih holistik dan komprehensif. Cara pandang yang ditawarkan terhadap aspek-aspek perusahaan bersifat menyeluruh, bukan fragmentaris. Balanced Scorecard juga memberikan konsep yang koheren (ada pertalian satu sama lain). Sesuai dengan namanya, Balanced Scorecard memberikan keseimbangan di antara keempat perspektif yang dijadikan measurement. Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan dalam empat perspektif meliputi jangka pendek dan panjang yang berfokus pada faktor internal dan eksternal. Logika yang menonjol dalam konsep Balanced Scorecard membantu sasaran strategik keempat perspektif lebih gampang diukur, dikelola, dan dicapai. If we can measure it, we can manage it. If we can manage it, we can achieve it.
DAFTAR PUSTAKA

Hammer, Michael. 2004. The Agenda: Apa yang Harus Dilakukan Setiap Bisnis untuk Menguasai Masa Depan. Jakarta: Gramedia.
Hill, Charles W.L. & Gareth R. Jones.  2001. Strategic Management: An Integrated Approach. Boston: Houghton Mifflin.
Indrajit, R. Eko & R. Djokopranoto.  2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kaplan, Robert S. & David P. Norton.  1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action. Boston: Harvard Business School Press.
                        .  2004. Strategy Maps: Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes. Boston: Harvard Business School Press.
Koch, Richard.  The 80/20 Principle: Rahasia untuk Memperoleh Lebih Banyak Hasil dengan Lebih Sedikit Usaha. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Luis, Suwardi, B.Psy., MBA & Dr. Ir. Prima A. Biromo.  2007. Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to Functional Scorecards. Jakarta: Gramedia.
Niven, Paul R. 2002. Balanced Scorecard Step-by-Step: Maximizing Performance and Maintaining Results. New York: Wiley & Sons, Inc.
                        . 2005. Balanced Scorecard Diagnostics: Mempertahankan Kinerja Maksimal. Terjemahan Andre Wiriadi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Yuwono, Sony., Edy Sukarno, & Muhammad Ichsan.  2007. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard: Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi. Jakarta: Gramedia.