Thursday, December 29, 2011

Rambu Pernikahan 18: Konsekwensi Keintiman


The only constant is change, kata Waterman. Keintiman dalam pernikahan pun tidak luput dari isu perubahan. Perubahan itu adalah perkembangan alamiah, laksana buah yang awalnya hijau, menjadi matang, hingga layu-membusuk. Setiap pernikahan akan mengalami hal-hal yang  dulunya baik kemudian menjadi buruk. Mengalami ini, tidak sedikit orang yang frustrasi. Dia, berbagai hal dalam hidup bersama, dan (kalau bisa jujur) saya sendiri, BERUBAH, tidak/bukan seperti yang dulu lagi.

Keintiman adalah contoh terbaik. Pernikahan adalah IKATAN terkuat secara sosial, emosional, dan fisik yang ada dalam sejarah dua insan yang ingin intim satu sama lain. Kita ingin saling MEMILIKI. Kebutuhan akan keintiman inilah kayu bakar pernikahan.

Tetapi buah yang bernama keintiman itu, dalam dirinya sendiri, mengandung elemen-elemen yang tidak mengenakkan. Bahkan untuk orang-orang yang berkesadaran matang pun, keintiman dalam pernikahan bisa melelahkan. Masing-masing kita punya ‘dunia’ tersendiri, yang ketika dimasuki orang lain akan terasa menyesakkan. Keintiman membuat kita tak dapat ‘bersembunyi’ terlalu lama. Jika diteliti lebih jauh, kita sebetulnya tidak mau terlalu dikenal (sampai detail) oleh orang lain. Benarlah Stevenson ketika berkata, “Dengan menikah, Anda, atas kehendak sendiri, mempersilahkan masuk seorang saksi ke dalam kehidupan Anda”. Inilah perkembangan alamiah yang dilihat sebagai perubahan. Pasangan-pasangan yang tidak cermat mengidentifikasi sebab perubahan. Mereka menemukan bahwa ada yang salah dengan cinta dan relasi mereka. Padahal, ini hanyalah bagian-bagian lain, biji-biji ‘keras’ dari buah keintiman.

Tak terhindarkan, dalam perjalanan pernikahan, intimacy akan berbenturan dengan privacy.

Kebersamaan yang kita janjikan bukan karena kita berpikir bahwa kita takkan pernah berubah, melainkan justru kita tahu segalanya akan berubah (Eric Zorn)