Friday, March 13, 2009

Pikiran di Balik Tindakan Yudas Iskariot


Tak ayal lagi, Yudas Iskariot selalu digambarkan sebagai tokoh yang menjijikkan karena tindakan pengkhianatannya. Yudas adalah satu-satunya murid Yesus yang bukan orang Galilea. Sebutan Iskariot bisa jadi menunjukkan daerah asalnya Kerijot (Yudea Selatan). “Iskariot” dapat pula berarti Sikarius, golongan militan dari partai Zelot. Asal dan juga karakter yang berbeda membuat pribadi ini unik di antara kumpulan ke-12 murid Yesus. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela tindakan Yudas, melainkan hanya mencoba melihat dan menelisik pikiran yang mungkin mendasari tindakan Yudas dari perspektif yang lain. 


Yudas dididik untuk menjadi pahlawan yang peduli dengan kebebasan bangsanya. Ayahnya adalah pejuang yang melawan kelaliman penguasa Roma. Sebagaimana lumrahnya pemuda yang berasal dari keluarga pejuang, Yudas memiliki semangat yang menggelora dan memimpikan kemerdekaan bagi bangsa Israel yang telah lama menderita karena penjajahan bangsa Romawi. Selama 500 tahun, setiap demonstrasi yg dilakukan selalu diganjar dengan pembantaian. Ayahnya adalah salah satu di antara ratusan pejuang yang dihukum dengan penyaliban. Hal itu disaksikan sendiri oleh Yudas kecil. Bisa dibayangkan, betapa besar kebencian yang tertanam dan betapa tinggi semangat untuk membebaskan bangsanya dari cengkeraman penjajah. Di tengah semangat bergelora, Yudas mendengar tentang seorang pembaptis di sungai Yordan yang terpanggil untuk menyiapkan kedatangan Mesias, Sang Pembebas Israel.

Mendengar kotbah Yohanes, Yudas semakin yakin bahwa kedatangan Mesias sudah amat dekat. Sambil mencari Mesias yang dikotbahkan Yohanes, Yudas mendengar kabar burung tentang Yesus yang melakukan aneka mukjizat di Galilea. Setelah melihat dengan mata sendiri, Yudas yg awalnya tidak percaya, menjadi percaya. Namun kepercayaan Yudas disertai dengan suatu harapan akan kemerdekaan bangsa Israel tatkala Mesias ini datang untuk mendirikan kembali kerajaan Israel seraya menggulingkan penguasa Roma. 

Yudas, seorang yng bersedia meninggalkan keluarga utk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, rasanya tidak mungkin menjual seorang tokoh yang dilihatnya punya potensi besar utk mewujudkan cita-citanya dengan 30 keping perak. Ia telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Yesus menyembuhkan orang kusta, menghidupkan orang mati, menyembuhkan si buta, dan berbagai karya besar yang luar biasa. Di matanya, Yesus pastilah Mesias yang dijanjikan utk memerdekakan bangsanya. Namun di tengah kekaguman terhadap kuasa dan potensi yang dimiliki Yesus, dari Kotbah di Bukit, Yudas melihat sepertinya misi yg dipikirkan Yesus tidak seperti yg dibayangkannya. Yudas membayangkan Mesias yang kuat kuasa dan revolusioner utk menggulingkan penjajah. Sementara dalam Kotbah di Bukit, Yesus mengajarkan keindahan dari mencintai musuh, penderitaan, dan kerendahaan hati. Lebih jauh, Yudas melihat sendiri bagaimana Yesus berbelas kasih dengan menyembuhkan anak perwira Romawi. Bahkan Yesus mengagungkan perwira tersebut sebagai pribadi hebat yang belum ada di antara orang Israel. Bagi Yudas, hal ini cukup mencemaskan. Musuh ditolong. Bagaimana Dia dapat diharapkan utk melibatkan diri dalam pergolakan kemerdekaan yg menuntut pertumpahan darah? Dalam bayangannya tentang Mesias yang membebaskan bangsa terjajah, cinta kasih yang diproklamasikan Yesus merupakan kelemahan. Tatanan kerajaan baru yang dipikirkan Yesus berbeda dengan tatanan kerajaan duniawi dan jasmani yang dipikirkan Yudas.

Konflik Yudas menciptakan frustrasi dalam dirinya. Setelah lama berkelana untuk menemukan Mesias yang akan memerdekakan bangsanya, kini, Yesus yang dianggapnya berpotensi untuk menggapai cita-cita malah terkesan tidak sedikit pun menaruh minat pada apa yang diidamkannya. Dalam kesemrawutan pikiran, Yudas menemukan ide “cemerlang”. Ia yakin, jika Yesus ditangkap, akan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, pengikut Yesus yang telah mencapai ribuan orang akan melawan sehingga terjadilah pemberontakan yg dapat menggulingkan penguasa Romawi. Kedua, tekanan pada keselamatan diri dan para pengikut-Nya akan “memaksa” Yesus untuk mengeluarkan kuasa terhebat yang dimiliki-Nya. Kuasa yang tak dapat diragukan lagi setelah sekian banyak mukjizat yang dilakukan-Nya. Yudas yakin sekali, jika dua kemungkinan ini terjadi, maka penguasa Romawi akan berhasil digulingkan. 

Muskil rasanya jika Yudas mau menukar pribadi yang diagungkannya itu dengan 30 keping perak. Menjual Yesus sama dengan menggadaikan perjuangan dan pengorbanan Yudas sendiri dan ayahnya yang terbunuh secara kejam di kayu salib. Lagipula tidak satu pun petunjuk yang memperlihatkan adanya kesepakatan transaksi 30 keping perak untuk membayar “pengkhianatan” Yudas. Pembayaran yang dilakukan oleh imam kepala kepada Yudas setelah penyerahan Yesus merupakan tips yang wajib dan lumrah pada zaman itu jika seseorang dianggap telah memberikan layanan jasa yang dibutuhkan. Di zaman sekarang, hal itu mirip dengan tips yang harus diberikan aparat kepolisian untuk informasi yang diterima untuk mengungkap kasus kejahatan.

Setelah penyerahan, Yudas dilanda frustrasi yang lebih berat lagi. Yesus ternyata tidak melawan. Para pengikut-Nya pun lari terbirit-birit. Apa yang dapat diharapkan dari orang-orang bernyali kerdil seperti ini. Petrus, si “mulut besar” bahkan dengan pengecut menyangkal-Nya hingga 3 kali. Khalayak ramai lebih menginginkan pembebasan Barabas. Sepertinya ribuan orang yang mengikuti-Nya hanya menginginkan kuasa penyembuhan dan roti yang dapat Ia “gandakan” untuk memuaskan kelaparan perut mereka. Sungguh hal yang amat sangat mengecewakan. Di hari-hari itu, Yudas melihat betapa lemahnya Yesus, ditangkap, dihina, ditendang, disiksa, dan terpaku lunglai di kayu salib, sama seperti ayahnya dan ratusan orang yang selama ini telah menumpahkan darah demi pembebasan bangsanya. Bayaran 30 keping perak dihamburkannya ke hadapan imam agung karena memang bukan itu yang diinginkannya. Frustrasi dan kekecewaan yang mendalam ini menggiring Yudas hingga pada satu titik di mana dia tidak mampu lagi bertindak lain, kecuali membunuh diri. Yudas menggantungkan nyawanya bersama cita-cita besar yang diidamkannya sekian lama untuk perjuangan kemerdekaan.

Perspektif alternatif untuk menilai tindakan Yudas memungkinkan kita untuk lebih memahami mengapa ia menyerahkan junjungannya. Sekiranya kita berada dalam situasi, konteks, latar belakang pemikiran seperti Yudas, barangkali kita juga akan melakukan hal yang sama. Bukan tidak mungkin, Yudas, yang menurut pendapat umum merupakan tokoh hitam ini, ada di sekitar kita, bahkan dalam diri kita.

L. Lianto