Monday, July 20, 2009

Masyarakat Sipil Tionghoa Kalimantan Barat Terpikat Keelokan Gunung Emas

Oleh: Dr. William Chang (dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/11/nasional/terp28.htm)

SEBENARNYA Lo Fong Pak dan kawan-kawan bukan rombongan pertama dari Tiongkok yang mendarat di Bumi Kalimantan Barat. Sejak abad ke-7 hubungan Tiongkok dengan Kalbar sudah sering terjadi. Sekitar satu abad setelah kedatangan suku Melayu dari Johor dan tempat-tempat lain di Malaya ke Sambas dan Mempawah, Tayan, Meliau, Sanggau, Sintang, Silat, Selimbau, Piasa, Suhaid, Jongkong dan Bunut (seputar tahun 1290-an), beberapa anggota pasukan Tartar yang kalah perang dari pemuda ulung Raden Wijaya menetap di Kalbar, karena mereka takut menerima hukuman dari Kublai Khan.

Puisi 12 baris gubahan Lo Fong Pak itu membeberkan bahwa dalam abad 17 rombongan dari Tiongkok harus menghadapi setidak-tidaknya tiga masalah utama.
Pertama, perjalanan panjang mengarungi samudera luas dan ganas. Yang berani datang waktu itu hanya kaum pria, sedangkan kaum wanita tidak ikut serta dalam perjalanan itu.

Kedua, mereka harus menghadapi para Sultan Melayu selaku penguasa daerah Kalbar yang belum dikenal.

Ketiga, lingkungan dan muatan sosial kala itu memaksa mereka untuk bersikap secara tepat. Namun, demi sesuap nasi mereka berani meninggalkan tanah leluhur.

Sejarah mencatat, kedatangan mereka di Kalbar atas undangan Sultan-sultan Melayu setelah mendengar bahwa penambang bauksit asal Tiongkok berhasil memperkaya kesultanan di Palembang. Keahlian khusus para penambang emas (Hakka) ternyata menarik perhatian para Sultan Melayu di Kalbar. Waktu itu, kawasan Kalbar bisa dikatakan masih "perawan" dan belum banyak terjamah.

Pengelolaan tambang emas dipercayakan kepada para pekerja keras asal Tiongkok. Yuan Bingling, seorang pengamat sejarah berpendapat bahwa kedatangan para pekerja pertambangan emas dari Tiongkok tak terkait dengan penjajah Belanda, tetapi justru terpaut dengan sultan-sultan lokal di Kalbar (Chinese Democracies: A Study of the Kongsis of West Borneo (1776-1884)-The Netherlands, 2000, xi-22).

Menambang emas bukan hanya satu-satunya pekerjaan yang mereka tangani. Banyak dari antara mereka (khususnya dari kelompok dan Tiaociu) bekerja sebagai petani, pedagang, seniman, dan nelayan di kawasan Kalbar (Mandor, Montrado, Kulor, Sungai Duri, Mempawah). Mereka mengembangkan teknik pembuatan garam, pengawetan ikan, penanaman kelapa, padi, sayur-mayur, dan pemeliharaan babi. Diperkirakan terdapat 40-an pertambangan emas. Kala itu mereka sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, tanpa banyak ketergantungan dari luar kawasan Kalbar. Usaha dan kerja keras menjamin hidup mereka. Kerja sama dengan puak Dayak dan Melayu tampak dalam hidup, dunia pertambangan dan bisnis keperluan sehari-hari. Saling ketergantungan antarwarga masyarakat membuat mereka saling memerlukan dan bekerja sama satu dengan yang lain. Tenaga-tenaga orang Tionghoa diperlukan untuk membangun daerah dan kemajuan bersama sebagai masyarakat sipil (Dayak, Melayu, dan Tionghoa!).

Hubungan antara masyarakat Tionghoa dan Dayak, menurut Bingling, dilakukan khususnya melalui perkawinan, hubungan dengan orang-orang Melayu melalui bisnis dan kegiatan sosial sehari-hari. Hubungan dan kerja sama ketiga etnis yang telah berabad-abad lamanya patut dipertahankan dan dikembangkan dalam jaman sekarang.

Ini merupakan salah satu modal dasar untuk mengembangkan daerah Kalbar yang terpuruk oleh pelbagai tragedi dari dulu hingga sekarang.

***
MASYARAKAT sipil Tionghoa terutama ditemukan dalam kawasan pertambangan, pertanian, perdagangan, dan perikanan. Masyarakat sipil dalam kongsi pertambangan emas memiliki peraturan-peraturan dan sistem keamanan. Dalam kongsi pertambangan emas yang berkaryawan sekitar 500 hingga 800 orang, misalnya, biasanya terdapat dua orang yang mengawasi kegiatan dalam pertambangan, seorang pengurus pembukuan, seorang kasir, seorang penjaga toko, dan delapan orang supervisor selokan.

Menurut WA van Rees, demokrasi masyarakat Tionghoa bersemi dalam perkongsian di Montrado (Talaluk). Hanya, dalam kawasan ini kadang muncul oligarki karena adanya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Kehidupan dalam kawasan pertambangan baik. Makanan dan minuman tersedia. Hidup tak pernah berkekurangan. Sistem organisasi mereka sebagai kongsi tak dapat dimasuki oleh Pemerintah Belanda. Justru karena itu, Pemerintah Belanda berusaha mencampuri urusan kongsi masyarakat Tionghoa agar kongsi tidak menjadi kekuatan yang membahayakan pemerintah penjajah.

Yang menarik, tugas-tugas dalam kongsi sudah dibagi dengan baik sehingga tiap pakar mendapat kursi sesuai keahliannya. Insinyur, pengawas, tukang masak dan pencatat hasil kerja menerima tanggung jawab yang jelas. Sistem kontrol berjalan baik. Peraturan dapat diterapkan semestinya.

Kondisi buruh tambang waktu itu kurang lebih begini: sebelum Matahari terbit, diawali sarapan berupa nasi mereka langsung bekerja. Pukul 09.00 pagi mereka kembali makan bubur kacang dan minum teh. Pukul 13.00 mereka makan siang berupa nasi dengan sayur, ikan kering dan daging. Pukul 18.00 makan malam penuh disediakan. Sehari mereka bekerja sembilan jam. Seminggu sekali mereka mendapat makanan khusus berupa daging babi. Tembakau tersedia.

Pencucian emas biasanya dilakukan pada waktu malam. Kalau tak berhasil, kerja itu diteruskan keesokan paginya. Terkadang mereka menggunakan darah anjing hitam untuk mencuci emas hasil dulang. Setelah berhasil mencuci emas, daging ayam, babi, dan anggur muncul dalam perjamuan makan. Biasanya jenis pesta ini diikuti oleh rakyat banyak. Pemberian uang perangsang secara berkala juga diberikan kepada mereka yang berprestasi mencari emas.

Ternyata, kesejahteraan para karyawan diperhatikan. Ini menunjukkan bahwa cita-cita dasar masyarakat sipil yang didengung-dengungkan dewasa ini telah diwujudkan dalam masyarakat Tionghoa sipil sejak era penjajahan. Kebutuhan-kebutuhan pokok perorangan dan tiap keluarga dipenuhi. Himpunan manusia dan keluarga yang ber-"komunitas sipil" sadar bahwa secara individual mereka tak mampu memenuhi kesejahteraan hidup manusia. Justru keadaan ini memerlukan suatu "pusat otoritas" untuk mengatur dan mengontrol hidup sosial, sehingga apapun yang diperlukan oleh setiap warga masyarakat dapat disediakan dan dipenuhi oleh pihak pengendali kekuasaan. Tanpa "pusat otoritas" itu dan pemenuhan tanggung jawab secara menyeluruh sangat sulit untuk mewujudkan kesejahteraan tiap individu.

***

SEBENARNYA masalah "otonomi", yang akan diterapkan sebentar lagi, sudah dipraktikkan di kalangan masyarakat Tionghoa yang hidup dan bekerja dalam perkongsian emas dan masyarakat biasa. Sistem peraturan mengikat para penambang emas, sehingga dunia perkongsian dapat menyediakan kesembilan bahan pokok hidup masyarakat. Sejak pertengahan abad 18 Montrado dan Mandor sudah memiliki pasar yang dapat memenuhi kehidupan masyarakat. Mereka hidup dalam kecukupan dan keperluan hidup terpenuhi dengan baik.

Tokoh-tokoh utama dalam perkongsian emas bersemangat militan untuk menghadapi Pemerintah Belanda yang ingin membubarkan kongsi-kongsi emas di daerah Kalbar. Masyarakat Tionghoa membentuk pasukan perang yang bisa terdiri dari 100-400 orang menghadapi serangan Belanda. Dalam masyarakat sipil ini tampak perilaku untuk memerangi segala bentuk pendudukan dan penjajahan, sebab mereka tidak ingin diatur oleh kelompok luar, tapi oleh diri-sendiri dan kalangan sendiri. Pada tahun 1854 pertahanan dan perlawanan masyarakat ini dipatahkan oleh Belanda.

Nilai sistem otonomi yang disumbangkan oleh kongsi emas untuk masyarakat dewasa ini adalah penolakan terhadap campur tangan luar yang memporak-porandakan kehidupan internal mereka. Kebutuhan-kebutuhan hidup fisik terpenuhi. Tenaga yang diperlukan, seperti pandai besi, tukang jahit, tukang masak, tabib, dan tenaga keamanan tersedia. Seandainya sistem kongsi emas masih diterapkan di daerah Kalbar, tentu monopoli dalam bidang jeruk di Kalbar yang dilakukan oleh keturunan penguasa Orde Baru dengan kedok "koperasi-koperasian" tidak pernah akan terjadi. Masyarakat penanam jeruk di Kalbar tidak akan jatuh miskin seperti sekarang.

Kekhasan yang tak terlupakan adalah "jiwa otonomi" dalam masyarakat Tionghoa tradisional dalam mengelola lingkungan hidup. Sejak tahun 1930-an kawasan seperti Anjungan, Kayu Putih, Segedong, Pemangat dan beberapa daerah lain di Kabupaten Sambas termasuk kawasan pertanian padi tersohor di Kalbar. Gudang padi dari kawasan ini mengagumkan! Swasembada beras terjamin. Produksi karet merupakan komoditi ekspor terkenal dari Kalbar. Hingga tahun 1960-an, misalnya, daerah Pancaroba-Sei Ambawang dan sekitarnya masih mampu memproduk karet sekitar satu ton per hari.

Malah, dalam jaman Belanda masyarakat ini telah sanggup mengekspor durian ke Eropa Barat dengan teknik pengawetan khusus, yang belum diketahui banyak orang hingga sekarang.

"Jiwa otonomi" sejak jaman Belanda masih tetap aktual dalam mewujudkan otonomi daerah Kalbar. Otonomi daerah Kalbar akan terwujud baik, asal disertai oleh aparat Pemda yang sungguh bersih, bertanggung jawab, mengutamakan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bersama. Oknum-oknum penegak hukum sipil yang terlibat KKN (tanpa kecuali!) harus dibersihkan secepatnya sebelum otonomi daerah diterapkan.

Dalam hal ini para wakil rakyat harus jeli menilai dan memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk membersihkan mereka yang dianggap akan melestarikan dan memperpanjang KKN dan menggagalkan usaha otonomi daerah Kalbar.

Kalau tidak, mungkin, masalah otonomi daerah Kalbar hanya sebuah mimpi dan tak pernah mampu memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Tentu, penegakan hukum seadil-adilnya dan konsisten perlu segera dilaksanakan.

Sebaiknya, ada tim khusus yang memantau pelaksanaan otonomi daerah dan mereka yang mengkhianati program ini harus dikenakan sanksi hukum. Sebuah tim juri khusus pemantau pelaksanaan otonomi daerah dalam masyarakat sipil di Kalbar segera diperlukan!

* William Chang, pengamat sosial, tinggal di Pontianak.