Wednesday, July 23, 2008

Provokasi Yesus di Bait Allah: Simbol Kontra Ketidakadilan


Injil mencatat, sehari setelah memasuki kota Yerusalem, Yesus menuju Bait Allah. Di situ Ia menjungkirbalikkan meja dagangan orang (penukar uang dan pedagang merpati) untuk menyucikan Bait Allah. Kejadian ini sering dilihat secara negatif sebagai tindakan temperamental. Bahkan tidak jarang orang memanfaatkan tindakan Yesus ini untuk membenarkan perilaku “marah”, “ngamuk”, dan pelbagai ekspresi temperamental lainnya. Mengapa Yesus harus “marah” dan “ngamuk”? Tinjauan atas konteks religio-historis berikut ini kiranya bisa sedikit membantu.

Praktek Ketidakadilan Bait Allah
Pada masa Yesus, Yerusalem merupakan pusat keagamaan bangsa Yahudi. Menjelang Paskah Yahudi, orang Yahudi dari seluruh pelosok negeri datang ke Yerusalem untuk merayakan hari terbesar dalam almanak liturgi ini. Belum ada catatan tentang jumlah massa yang berkumpul pada pesta raya ini. Namun Yosefus (sejarawan Yahudi abad pertama) pernah mencatat bahwa sebanyak 255.600 ekor domba dipotong dan disantap pada suatu perayaan Paskah di Yerusalem. Jika seekor domba disantap oleh 10 orang, maka diperkirakan 2,5 juta orang yang berkumpul di Yerusalem pada pekan ini. Obyek kunjungan terutama adalah Bait Allah yang menurut tradisi Alkitab berada di puncak bukit tempat Abraham mempersembahkan kurban. Bait Allah ini dikuasai oleh imam-imam kepala yang dipimpin oleh Imam Agung Kayafas.

Tidak semua orang dapat mengambil bagian dalam ritual Bait Allah. Terdapat banyak aturan yang harus dilewati orang untuk dapat memasuki tempat kudus ini. Orang harus menyucikan diri terlebih dahulu dalam kolam penyucian agar pantas masuk Bait Allah. Penggalian arkeologis masa kini menemukan adanya kolam-kolam untuk ritual penyucian ini. Bayaran yang mahal untuk penyucian harafiah itu tidak akan sanggup dilakukan oleh orang miskin. Ritual penyucian mengkondisikan penyaringan orang apa yang dikehendaki para imam untuk masuk Bait Allah. Menurut Kitab Misnah (aturan ritual), orang cacat, buta, sakit, dan lumpuh dilarang masuk kolam penyucian. Barangkali hal inilah yang membuat Yesus “gerah”. Reformasi Yesus: semua orang berhak atas rahmat kebaikan Allah tanpa rintangan finansial.

Di samping itu, orang masih harus menukar uangnya dengan koin Bait Allah yang suci. Tentu dengan nilai kurs yang ditentukan imam-imam kepala. Koin suci itu dipakai untuk membeli merpati putih tak bernoda untuk korban persembahan. Inilah yang menjelaskan keberadaan money changer dan pedagang merpati di halaman Bait Allah. Perlawanan Yesus atas sistem komersial dan ketidakadilan Bait Allah diungkapkan dengan menjungkirbalikkan meja dagangan dan gagasan amat berani: peruntuhan Bait Allah. Semua ini menyebabkan Yesus dilihat sebagai figur yang berbahaya.

Aturan dibuat demi ketertiban umum. Barangkali ini argumen para imam kepala. Dalam kasus Bait Allah, aturan yang sangat berbau komersil tak bisa dijunjung karena telah bertentangan dengan aturan (hukum) yang lebih tinggi, yakni keadilan. Tindakan Yesus di halaman Bait Allah tidak lain sebagai ungkapan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masa itu. Dari awal kiprah-Nya di Kapernaum dan sekitarnya, Yesus telah menjatuhkan optio fundamentalis-Nya: memperjuangkan keadilan Kerajaan Allah. Mau tak mau Ia harus berhadapan dengan status quo penguasa keagamaan. Ia mendekati orang-orang marjinal yang dianggap najis oleh Taurat, menyembuhkan orang sakit pada hari terlarang (Sabat), mengampuni dosa, dan menyambut para “kafir” (menurut tafsiran para imam: orang Samaria dan orang-orang non-Yahudi).

Tindakan Yesus menyampaikan dua hal. Pertama, apa yang dilakukan Yesus merupakan ekspresi klimaks dari sikap kontra ketidakadilan. Kedua, aturan dan hukum hendaknya tidak mematikan cinta kasih dan keadilan. Aturan dan hukum akan selalu mempunyai “lubang” ketika berhadapan dengan kasus-kasus moral yang belum terpikirkan oleh si pembuat hukum tatkala merumuskannya. Dibutuhkan tafsiran atas hukum bukan hanya berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat yang tersirat di dalamnya (epikeia). Thomas Aquinas melihat epikeia ini sebagai suatu keutamaan (virtue). Ini bukan usaha pelarian orang dari kewajiban tertentu, melainkan tanggapan dan junjungan untuk hukum yang lebih tinggi: keadilan.

Aplikasi Kontekstual Masa Kini
Benarlah kata orang bahwa roda zaman selalu berputar. Sejarah bisa dipakai untuk meramalkan masa depan. Apa yang pernah terjadi di masa lalu dapat terjadi kembali kendati dalam konteks yang tidak persis sama. Konflik Yesus di halaman Bait Allah dapat menjadi bahan refleksi dan introspeksi untuk kita. Sejauh mana karya sosial umat Allah (misalnya pelayanan pendidikan dan kesehatan) telah dilakukan dengan nafas kasih yang berlaku bagi semua orang? Sejauh mana aturan yang dibuat dapat diselaraskan dengan rasa keadilan? Pendidikan dan kesehatan memang tidak murah. Kebanyakan orang menyadari hal ini. Masalah yang timbul umumnya muncul dari adanya aturan atau sistem kaku yang melulu menguntungkan lembaga pelayanan yang berkarya atas nama kasih. Dunia bisnis juga tidak melalaikan etika. Benarkah kita sungguh melayani dengan cinta kasih? Sayangnya, Injil tidak berminat terlalu jauh mencatat. Bukan tidak mungkin para imam kepala juga punya motto pelayanan yang sama. Bila semboyan hidup terlalu jauh dari kenyataan, seindah apa pun kata yang tertera, tidak lebih berharga dari ocehan burung kakatua.

Di masa kini, Yesus-Yesus yang mengungkapkan sikap anti ketidakadilan pun harus mengalami nasib serupa. Mereka juga “marah” dan mencoba memperbaiki struktur bobrok dalam lembaga tempat mereka berkarya. Mereka terancam dimutasikan bahkan di-PHK. Memang demikianlah resiko yang harus dihadapi setiap pejuang keadilan. Martin Luther King dan Uskup Oscar Romero bahkan harus mengorbankan nyawa. Namun sejarah mengajarkan bahwa ketidakadilan takkan bertahan lama. Akan tiba saatnya kebenaran dan keadilan menunjukkan diri. Kita tunggu saja tanggal mainnya. Selamat berjuang pembela keadilan. “IHS”: in hoc signo vinces: dalam tanda ini Anda akan menang.


Lianto (Publikasi: Majalah Didache April 2007)

No comments: