Showing posts with label Autonomy. Show all posts
Showing posts with label Autonomy. Show all posts

Friday, March 13, 2009

Pikiran di Balik Tindakan Yudas Iskariot


Tak ayal lagi, Yudas Iskariot selalu digambarkan sebagai tokoh yang menjijikkan karena tindakan pengkhianatannya. Yudas adalah satu-satunya murid Yesus yang bukan orang Galilea. Sebutan Iskariot bisa jadi menunjukkan daerah asalnya Kerijot (Yudea Selatan). “Iskariot” dapat pula berarti Sikarius, golongan militan dari partai Zelot. Asal dan juga karakter yang berbeda membuat pribadi ini unik di antara kumpulan ke-12 murid Yesus. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela tindakan Yudas, melainkan hanya mencoba melihat dan menelisik pikiran yang mungkin mendasari tindakan Yudas dari perspektif yang lain. 


Yudas dididik untuk menjadi pahlawan yang peduli dengan kebebasan bangsanya. Ayahnya adalah pejuang yang melawan kelaliman penguasa Roma. Sebagaimana lumrahnya pemuda yang berasal dari keluarga pejuang, Yudas memiliki semangat yang menggelora dan memimpikan kemerdekaan bagi bangsa Israel yang telah lama menderita karena penjajahan bangsa Romawi. Selama 500 tahun, setiap demonstrasi yg dilakukan selalu diganjar dengan pembantaian. Ayahnya adalah salah satu di antara ratusan pejuang yang dihukum dengan penyaliban. Hal itu disaksikan sendiri oleh Yudas kecil. Bisa dibayangkan, betapa besar kebencian yang tertanam dan betapa tinggi semangat untuk membebaskan bangsanya dari cengkeraman penjajah. Di tengah semangat bergelora, Yudas mendengar tentang seorang pembaptis di sungai Yordan yang terpanggil untuk menyiapkan kedatangan Mesias, Sang Pembebas Israel.

Mendengar kotbah Yohanes, Yudas semakin yakin bahwa kedatangan Mesias sudah amat dekat. Sambil mencari Mesias yang dikotbahkan Yohanes, Yudas mendengar kabar burung tentang Yesus yang melakukan aneka mukjizat di Galilea. Setelah melihat dengan mata sendiri, Yudas yg awalnya tidak percaya, menjadi percaya. Namun kepercayaan Yudas disertai dengan suatu harapan akan kemerdekaan bangsa Israel tatkala Mesias ini datang untuk mendirikan kembali kerajaan Israel seraya menggulingkan penguasa Roma. 

Yudas, seorang yng bersedia meninggalkan keluarga utk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, rasanya tidak mungkin menjual seorang tokoh yang dilihatnya punya potensi besar utk mewujudkan cita-citanya dengan 30 keping perak. Ia telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Yesus menyembuhkan orang kusta, menghidupkan orang mati, menyembuhkan si buta, dan berbagai karya besar yang luar biasa. Di matanya, Yesus pastilah Mesias yang dijanjikan utk memerdekakan bangsanya. Namun di tengah kekaguman terhadap kuasa dan potensi yang dimiliki Yesus, dari Kotbah di Bukit, Yudas melihat sepertinya misi yg dipikirkan Yesus tidak seperti yg dibayangkannya. Yudas membayangkan Mesias yang kuat kuasa dan revolusioner utk menggulingkan penjajah. Sementara dalam Kotbah di Bukit, Yesus mengajarkan keindahan dari mencintai musuh, penderitaan, dan kerendahaan hati. Lebih jauh, Yudas melihat sendiri bagaimana Yesus berbelas kasih dengan menyembuhkan anak perwira Romawi. Bahkan Yesus mengagungkan perwira tersebut sebagai pribadi hebat yang belum ada di antara orang Israel. Bagi Yudas, hal ini cukup mencemaskan. Musuh ditolong. Bagaimana Dia dapat diharapkan utk melibatkan diri dalam pergolakan kemerdekaan yg menuntut pertumpahan darah? Dalam bayangannya tentang Mesias yang membebaskan bangsa terjajah, cinta kasih yang diproklamasikan Yesus merupakan kelemahan. Tatanan kerajaan baru yang dipikirkan Yesus berbeda dengan tatanan kerajaan duniawi dan jasmani yang dipikirkan Yudas.

Konflik Yudas menciptakan frustrasi dalam dirinya. Setelah lama berkelana untuk menemukan Mesias yang akan memerdekakan bangsanya, kini, Yesus yang dianggapnya berpotensi untuk menggapai cita-cita malah terkesan tidak sedikit pun menaruh minat pada apa yang diidamkannya. Dalam kesemrawutan pikiran, Yudas menemukan ide “cemerlang”. Ia yakin, jika Yesus ditangkap, akan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, pengikut Yesus yang telah mencapai ribuan orang akan melawan sehingga terjadilah pemberontakan yg dapat menggulingkan penguasa Romawi. Kedua, tekanan pada keselamatan diri dan para pengikut-Nya akan “memaksa” Yesus untuk mengeluarkan kuasa terhebat yang dimiliki-Nya. Kuasa yang tak dapat diragukan lagi setelah sekian banyak mukjizat yang dilakukan-Nya. Yudas yakin sekali, jika dua kemungkinan ini terjadi, maka penguasa Romawi akan berhasil digulingkan. 

Muskil rasanya jika Yudas mau menukar pribadi yang diagungkannya itu dengan 30 keping perak. Menjual Yesus sama dengan menggadaikan perjuangan dan pengorbanan Yudas sendiri dan ayahnya yang terbunuh secara kejam di kayu salib. Lagipula tidak satu pun petunjuk yang memperlihatkan adanya kesepakatan transaksi 30 keping perak untuk membayar “pengkhianatan” Yudas. Pembayaran yang dilakukan oleh imam kepala kepada Yudas setelah penyerahan Yesus merupakan tips yang wajib dan lumrah pada zaman itu jika seseorang dianggap telah memberikan layanan jasa yang dibutuhkan. Di zaman sekarang, hal itu mirip dengan tips yang harus diberikan aparat kepolisian untuk informasi yang diterima untuk mengungkap kasus kejahatan.

Setelah penyerahan, Yudas dilanda frustrasi yang lebih berat lagi. Yesus ternyata tidak melawan. Para pengikut-Nya pun lari terbirit-birit. Apa yang dapat diharapkan dari orang-orang bernyali kerdil seperti ini. Petrus, si “mulut besar” bahkan dengan pengecut menyangkal-Nya hingga 3 kali. Khalayak ramai lebih menginginkan pembebasan Barabas. Sepertinya ribuan orang yang mengikuti-Nya hanya menginginkan kuasa penyembuhan dan roti yang dapat Ia “gandakan” untuk memuaskan kelaparan perut mereka. Sungguh hal yang amat sangat mengecewakan. Di hari-hari itu, Yudas melihat betapa lemahnya Yesus, ditangkap, dihina, ditendang, disiksa, dan terpaku lunglai di kayu salib, sama seperti ayahnya dan ratusan orang yang selama ini telah menumpahkan darah demi pembebasan bangsanya. Bayaran 30 keping perak dihamburkannya ke hadapan imam agung karena memang bukan itu yang diinginkannya. Frustrasi dan kekecewaan yang mendalam ini menggiring Yudas hingga pada satu titik di mana dia tidak mampu lagi bertindak lain, kecuali membunuh diri. Yudas menggantungkan nyawanya bersama cita-cita besar yang diidamkannya sekian lama untuk perjuangan kemerdekaan.

Perspektif alternatif untuk menilai tindakan Yudas memungkinkan kita untuk lebih memahami mengapa ia menyerahkan junjungannya. Sekiranya kita berada dalam situasi, konteks, latar belakang pemikiran seperti Yudas, barangkali kita juga akan melakukan hal yang sama. Bukan tidak mungkin, Yudas, yang menurut pendapat umum merupakan tokoh hitam ini, ada di sekitar kita, bahkan dalam diri kita.

L. Lianto

Tuesday, July 29, 2008

Aku Percaya, Maka Aku Bertanya



Akhir-akhir ini umat beriman beruntun diresahkan oleh pelbagai literatur yang dianggap mengguncang keyakinan. Setelah The Da Vinci Code berlalu, kini rak toko buku dipenuhi dengan karya-karya sensasional, antara lain: The Jesus Family Tomb (Simcha Jacobovici dan Charles R. Pellegrino), Misquoting Jesus (Bart D. Ehrman), The Jesus Dinasty (James Tabor), dan The Lost Gospel (Herb Krosney, tentang Injil Yudas). Keyakinan kita yang terpelihara selama berabad-abad serasa ditelanjangi. Keraguan terbersit. Sebagian orang memilih diam dan membiarkan pikiran tidak beranjak untuk menelisik lebih jauh. Yang lain mencoba menanggapi keraguan dengan menelaah dan mengolah pikiran untuk menemukan kebenaran yang teguh.

“Keraguan adalah bagian dari cinta akan kebenaran”, kata Ernest Renan. “Ketakpernahraguan” sesungguhnya lebih mencerminkan apatisme ketimbang keteguhan pada keyakinan. Keraguan adalah karakter intrinsik makhluk insani berakal budi. Orang yang mengecam keraguan justru adalah orang yang ragu-ragu. Bila kita yakin apa yang kita percayai adalah kebenaran, mengapa kita takut dan gerah ketika kebenaran itu diuji? Pepatah Cina mengatakan: “Emas murni tak takut pada api (cen cing put pha huo)”. Dibakar dengan api apa pun, emas murni tetaplah emas murni. Begitu pula dengan kebenaran. Apakah keraguan mengakibatkan hilangnya iman, masih harus diteliti lebih jauh. Tapi benar bahwa keraguan dan sikap kritis dapat mengubah beberapa sudut pandang. Tanpa tekanan media sensasional di atas pun, sikap iman akan berkembang seiring dengan waktu. Bila dulu, segala hal diterima begitu saja, sekarang kita membutuhkan telaah yang lebih dalam. Kendati demikian, keterbatasan daya nalar tetap menyadarkan bahwa kita tidak bisa memiliki jawaban yang pasti untuk segala sesuatu.

Dalam tanggapan atas karya Da Vinci Code, Romo Franz Magnis-suseno dalam Tempo edisi 28 Mei 2006, berujar: “Yang saya anggap sebagai tragedi banyak orang Kristen ialah bahwa mereka menarik kesimpulan cengeng dari bahaya-bahaya itu. Daripada menanggapinya sebagai tantangan, mereka mengutuknya sebagai anti-Tuhan, dan lari ke dalam jemaat-jemaat tempat mereka merasa aman dari dunia buruk,…. Bagi saya, sikap ini melarikan diri dari perutusan Gereja ke dalam dunia….” Keraguan yang menerpa pikiran tak perlu dianggap ancaman. Lagi pula Gereja telah melewati abad-abad “pertengahan”: abad di mana kita berada pada tahap “mediocare”, setengah-dewasa. Kita telah melewati “masa banteng”. Tatkala sesuatu membuat marah, seekor banteng menurunkan tanduk, menaikkan buntut, mata memicing tajam menuju sasaran, tanpa pikir panjang, menyerang lurus ke depan.

Karya-karya sensasional di atas menantang kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Yesus memiliki anak dari Maria Magdalena? Apakah benar kuburan-Nya sekeluarga telah ditemukan? Apakah Ia pura-pura mati, menyelinap pergi, dan melarikan diri ke Mesir? Apakah ayah kandung-Nya bernama Panthera? Apakah Injil-injil bisa dipercaya? Adakah sumber lain yang lebih lengkap tentang hidup Yesus? Dan yang paling parah: Apakah Yesus sungguh-sungguh pernah hidup? Sungguh, tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat diajukan. Para penulis tampaknya cenderung mencari sumber di luar keempat Injil untuk mendapatkan data tentang Yesus. Padahal dari sisi historis maupun arkeologis, keempat Injil merupakan bahan tertua. Ironisnya, mereka lebih berminat pada kitab-kitab abad-abad selanjutnya. Anehnya, tiga karya yang disebut terakhir di atas berasal dari ahli yang berkompeten. Tampaknya rasionalitas dan obyektivitas telah ditarik dari sumbu rodanya.

Itulah tantangan iman zaman baru kita. Jika dahulu Yesus disalibkan oleh pemuka agama Yahudi dan penguasa Roma, kini Dia disalibkan oleh media massa. Mereka memaku-Nya dengan pasak pena, menikam-Nya dengan gambaran fiksi berkedok fakta; legenda dan mitos bertopeng sejarah. Dalam penyaliban ini, di mana posisi kita? Pontang-panting melarikan diri, berdiri jauh-jauh, atau ada di kaki salib-Nya?

Masalah yang lebih utama bukanlah ancaman semu yang muncul dari karya-karya sensasional yang dianggap menggoyahkan keyakinan. Masalahnya ada dalam diri kita. Sejauh mana kita berani menelisik keyakinan iman kita. Barangkali kita lebih tenang dan merasa aman dengan “angin surga” yang melingkungi keyakinan-keyakinan kita. Kita tidak siap menghadapi kemungkinan untuk hidup dengan iman yang resah. Yang kita dambakan mungkin keyakinan tanpa gangguan seolah kehidupan merupakan jalan lurus dan rata.

Keraguan dan bertanya adalah awal pengetahuan dan wujud nyata kecintaan akan kebenaran. Paradigma harus diubah. Bukan: “Aku tak percaya, maka aku bertanya, melainkan “Aku percaya, maka aku bertanya”. Credo ergo interrogo! Aku percaya, dan untuk meneguhkan kepercayaan, maka aku bertanya. Keyakinan pun sedapat mungkin dipertanggungjawabkan secara rasional. Rasional tapi bukan rasionalistik! Yang dibutuhkan adalah rasionalitas, bukan rasionalisme! Rasionalistik adalah ciri dari rasionalisme. Rasional berarti menelaah anggapan atau kepercayaan dengan akal sehat. Sementara rasionalistik mengharuskan segala sesuatu diuji terlebih dahulu sebelum diterima. Rasionalisme radikal menuntut agar orang tidak menerima kepercayaan sebelum terbukti benar. Dalam banyak hal, sikap rasionalistik tidak mungkin terlaksana dan tidak perlu! Tidak mungkin kita harus selalu menguji apakah setiap jembatan yang akan kita lewati masih kuat. Sikap rasionalistik juga tidak perlu, karena kita bukanlah manusia pertama dan satu-satunya yang hidup di dunia. Maka tidak mungkin dan tidak perlu kita memastikan segala sesuatu sendirian. Kita bisa percaya pada orang lain dan mendasarkan diri pada pelbagai tradisi yang memuat pengalaman generasi-generasi terdahulu. Sesekali kita dapat bertanya dan bertanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan sesuai dengan zaman kita.

Karena kita diberi anugerah khusus akal budi sebagai makhluk insani, marilah kita memanfaatkannya. Kita tidak lebih suci dan saleh dengan mengatakan bahwa keyakinan harus diterima kendati bertentangan dengan akal sehat. Apa boleh buat, kita hidup sekarang dan di sini. Kita tidak hidup di zaman para Rasul, seperti Petrus, yang ke mana-mana membawa pedang terhunus. Kita juga aman dari penguasa yang berusaha memberanguskan kekristenan di zaman Nero. Setiap zaman memiliki tantangan dan tanggung jawab yang berbeda. Zaman baru ini menuntut agar kita ke mana-mana selalu siap dengan akal budi terus bernyala. Baiklah kita menaruh lentera budi anugerah Tuhan bukan di dalam tempayan, melainkan di tempat yang tinggi untuk menerangi kegelapan dunia.

Lianto

Monday, July 21, 2008

Menelusuri Jejak Pembunuhan Yesus


Setiap tahun orang Katolik seluruh dunia merayakan kematian Yesus mulai dari perayaan Minggu Palma hingga Paskah Kebangkitan. Penyaliban Yesus adalah fakta yang paling terbukti benar dalam sejarah. Bukan saja disebut lebih dari 80 kali dalam Alkitab, tapi juga dicatat oleh sejarahwan abad pertama; Yosefus. Tulisan ini semacam rekonstruksi kasus pembunuhan Yesus. Apa motif pembunuhan? Siapa yang bertanggung jawab? Kayafas? Ponsius Pilatus? Atau…, Yesus sendiri?

Iklim Sosial Politik Yerusalem Zaman Yesus
Bangsa Yahudi dijajah oleh Kekaisaran Romawi. Untuk mempertahankan status quo, pemerintah Romawi membagi kuasa dengan Dewan Penasehat Negeri masyarakat Yahudi; Sanhedrin. Dewan ini terdiri dari 71 anggota. Kursi mayoritas berada di tangan kaum imam (yang berpaham Saduki). Sisanya diisi oleh wakil dari kaum bangsawan non-rohani. Sejak Ratu Alexandra berkuasa (77-67 SM), kaum Farisi juga terwakili di dalamnya. Ini trik cerdas yang mengubah kaum Farisi sebagai kaum oposisi menjadi kelompok yang (walaupun untuk sementara) bersedia menerima situasi politik saat itu. Dewan ini diberi kuasa untuk mengatur kehidupan sosial keagamaan masyarakat. Syaratnya, mereka ikut bertanggung jawab dalam menjaga keamanan yang kondusif.

Sejarah bangsa Yahudi diwarnai siklus kemungkaran-jatuh-bertobat-pembebasan. Berkali-kali dalam sejarah mereka dijajah oleh bangsa lain, mulai dari bangsa Mesir hingga Romawi. Saat ini pun mereka menantikan seorang pembebas yang mereka sebut Mesias. Sejumlah pribadi dan kelompok nasionalis bermunculan dengan label “Mesias”. Mereka adalah ancaman keamanan bagi orang Romawi dan terus menjadi buronan target operasi. Kaum Zelot adalah contoh terutama. Pendirinya adalah Yudas orang Galilea. Ia terbunuh dan pengikutnya tercerai berai. Dua putranya, Yakub dan Simon muncul kembali sekitar tahun 46-48 M. Mereka ditangkap dan disalibkan. Putra Yudas yang lain, Menahen memimpin pemberontakan pada tahun 66 M. Di Samaria ada tokoh bernama Taheb yang menamakan diri Mesias dari Samaria. Ia mengumpulkan banyak pengikut di Bukit Gerizim. Mereka melawan secara gerilya dengan markas tersembunyi di gua-gua. Terus menjadi duri dalam daging bagi pemerintah Roma. Suhu ketegangan politik biasanya memuncak pada hari perayaan Paskah Yahudi; peringatan atas pembebasan bangsa Yahudi dari jajahan Mesir. Serdadu Romawi dengan ketat menyisir seluruh pelosok kota di hari-hari menjelang hari raya ini. Inilah saat di mana orang Yahudi merenungkan kembali makna nasionalisme, keadilan, dan kemerdekaan dari jajahan bangsa lain. Ini saat dengan kondisi sosial yang sangat tidak menyenangkan bagi penguasa Roma dan imam Yahudi. Suhu ketegangan dan kepanikan yang tinggi membuat para penguasa bisa bertindak apa saja demi keamanan negara. Bukan kebetulan saja jika kebanyakan kerusuhan abad pertama terjadi di sini, Yerusalem, dan saat ini, pada perayaan Paskah.

Yesus, Mesias yang Menderita
Apakah Yesus ikut bertanggung jawab atas kematian-Nya sendiri? Kiprahnya sebelum masuk kota Yerusalem telah menunjukkan sikap anti status quo lembaga keagamaan Yahudi. Ia mendekati orang-orang marjinal yang dianggap najis oleh Taurat, menyembuhkan orang sakit pada hari terlarang; Sabat, mengampuni dosa, dan menyambut para “kafir” (menurut tafsiran para imam; orang Samaria dan orang-orang non-Yahudi).

Berbeda dari kaum revolusioner yang bersembunyi di gua-gua, Yesus beraksi terbuka di Kapernaum dan sekitarnya. Dan pada suatu hari menjelang Paskah Yahudi, Yesus memutuskan untuk berhadapan dengan para penguasa vis-รก-vis di Yerusalem. Ia muncul pada hari yang “panas” dengan pelbagai agenda reformasi. Dengan menunggangi keledai, Ia masuk kota Yerusalem melalui Gerbang Timur, persis dengan detail ramalan dalam Kitab Zakaria tentang kedatangan Mesias. Masyarakat menyambut-Nya seperti Raja dengan melambaikan daun palma. Dengan terang-terangan, Yesus menunjukkan jati diri-Nya. Aksi yang amat provokatif!

Esok harinya, Ia menuju halaman Bait Allah di mana orang sibuk berdagang di hari pasaran yang ramai. Protes atas ketidakadilan sistem Bait Allah diungkapkan dengan tindakan menjungkirbalikkan meja penukaran uang. Pada saat itu, peziarah yang akan merayakan Paskah harus menukar uangnya dengan uang koin Bait Allah yang suci. Tentu, dengan kurs tinggi yang mendatangkan keuntungan besar. Koin itu dipakai untuk membeli merpati putih tak bernoda untuk korban bagi Tuhan. Yesus juga mengecam ritual penyucian untuk orang-orang yang mau masuk Bait Allah. Bayaran yang mahal untuk penyucian harafiah itu tidak akan sanggup dilakukan oleh orang miskin. Ritual penyucian mengkondisikan penyaringan orang apa yang dikehendaki para imam untuk masuk Bait Allah. Menurut Kitab Misnah (aturan ritual), orang cacat, buta, sakit, dan lumpuh dilarang masuk kolam penyucian. Reformasi Yesus: semua orang berhak atas rahmat Allah tanpa perlu membayar. Perlawanan Yesus atas sistem komersial Bait Allah diungkapkan dengan gagasan amat berani: peruntuhan Bait Allah. Semua ini menyebabkan Yesus dilihat sebagai figur yang berbahaya.

Setelah aksi provokatif di Bait Allah, Yesus bukannya meloloskan diri, melainkan merayakan Paskah bersama murid-murid-Nya sesuai rencana. Tatkala berada di Taman Getsemani yang ada di luar benteng kota, Yesus juga tidak berniat “lari”. Sebagai orang yang hidup di Yudea, Yesus tentu tahu resiko yang harus ditanggung karena melawan penguasa Yahudi dan Roma. Mengapa kesempatan meloloskan diri tidak dimanfaatkan-Nya? Ada apa dengan-Mu, Yesus? Motif-Nya hanya satu: menjawab panggilan jati diri-Nya sebagai Hamba Tuhan yang menderita seperti dikidungkan dalam Kitab Yesaya.

Kayafas, Imam Agung Bait Allah
Kayafas-kah yang bertanggung jawab? Sepertinya dialah yang paling berkepentingan untuk menyingkirkan Yesus. Dari sudut pandang politik, ekonomi, dan sosial keagamaan, figur Yesus memang ancaman besar baginya. Kayafas adalah Imam Agung yang paling berkuasa dalam sejarah Yudea. Dia menjabat sebagai Imam Agung selama 18 tahun. Sementara imam-imam lain hanya bertahan rata-rata 4 tahun. Ia terkenal cerdik dalam memainkan kerja sama politik dengan penguasa Roma. Kendati Yudea dikuasai bangsa Romawi, hukum sipil dan agama dipegang oleh Sanhedrin yang dipimpin Kayafas. Pembagian kuasa ini bisa langgeng bila Sanhedrin dapat menjaga ketertiban hidup masyarakat.

Gerakan Yesus adalah ancaman nyata. Tak seorang pun dapat menjamin bahwa sosok Yesus tak akan memancing pemberontakan. Hari menjelang Paskah adalah moment panik bagi Kayafas karena para peziarah datang ke Yerusalem dari pelbagai pelosok wilayah. Muka dan kuasa Kayafas sungguh dipertaruhkan. Yosefus mencatat bahwa 255.600 ekor domba dipotong dan disantap pada suatu perayaan Paskah di Yerusalem. Jika seekor domba disantap oleh 10 orang, maka diperkirakan 2,5 juta orang yang berkumpul di Yerusalem pada pekan ini. Ini sungguh ancaman yang layak diperhitungkan.

Tidak banyak bukti yang bisa dipakai Kayafas untuk menyeret Yesus. Pengadilan yang diadakan Kayafas jelas ilegal dan cacat hukum. Tempat pengadilan bukan di ruang majelis yang semestinya, melainkan di kediaman Kayafas sendiri. Diadakan pada malam hari (tidak umum) dan pada hari raya yang melarang tindakan pengadilan. Setelah gagal dalam pembuktian tuduhan hasutan, Kayafas mencoba memancing Yesus untuk mengeluarkan kata-kata yang dapat dianggap hujatan. Mungkin ide Mesias dan Raja Yahudi bisa dimanfaatkan. Keduanya dapat menyeret Yesus ke dalam pertentangan dengan penguasa Roma. Kali ini Kayafas berhasil. Yesus tidak menyangkal hal itu. Malahan Ia memperuncing masalah itu dengan kata-kata bahwa mereka kelak akan melihat-Nya duduk di sebelah kanan Allah. Dengan ini Kayafas diuntungkan dalam dua segi. Ia sekarang dapat menggugat Yesus di hadapan penguasa Roma sebagai ancaman keamanan dan di hadapan rakyat Yahudi sebagai penghujat hukum Taurat yang harus dihukum mati. Hak untuk memutuskan hukuman mati ada di tangan wali negeri Ponsius Pilatus.

Ponsius Pilatus, Wali Negeri Yudea
Philo (teolog dan filsuf Yahudi abad pertama) menyebut Pilatus sebagai orang yang arogan, licik, dan sangat anti-Yahudi. Keterlibatannya dalam kasus pengadilan Yesus mungkin lumayan penting mengingat namanya tercantum dalam Credo (Aku Percaya). Yesus bukanlah korban satu-satunya. Sebagai wali negeri, ia memegang kuasa penuh atas hidup dan mati seseorang. Ia dibenci oleh orang Yahudi karena kebijakan yang semena-mena. Yosefus mencatat perlawanan orang Yahudi ketika Pilatus memakai uang perbendaharaan Bait Allah untuk membangun saluran air. Bentrokan itu menewaskan tidak sedikit orang Yahudi yang berdemonstrasi. Ia juga bertindak berlebihan ketika membunuh sejumlah orang Samaria di Bukit Gerizim. Tidak ada alasan khusus yang membuatnya harus lebih memperhatikan keadilan bagi Yesus. Yang dipikirkan Pilatus hanyalah bagaimana ia dapat menjaga ketertiban dalam wilayah kekuasaannya.

Di mata Pilatus, Yesus beda dari pemberontak yang pernah ia lihat. Ia tidak berbahaya. Pilatus bahkan bermaksud membebaskan-Nya. Ia bisa saja menutup kasus itu ketika mengatakan bahwa Yesus tidak bersalah. Tapi ada hal lain yang harus diperhitungkannya; massa! Kabar mesianis juga menggalaukan pikirannya. Kalau pun pribadi Yesus tidak berbahaya, gagasan tentang identitas Mesias bisa saja menciptakan semangat pemberontakan. Di saat menegangkan seperti ini, percikan api kecil bisa menyulut bencana besar. Oleh karena itu Pilatus menciptakan kondisi seolah dia tidak bertanggung jawab atas vonis Yesus. Vonis diberikan atas tuntutan rakyat Yahudi. Dan Yesus sendiri sebagai tertuduh tidak membela diri. Amnesti Paskah yang ditawarkan Pilatus juga tidak berhasil membebaskan Yesus. Massa Yahudi lebih memilih Barabas ketimbang Yesus. Pilatus memang ikut berperan secara tidak sengaja. Dia ikut bertanggung jawab karena bagaimanapun juga vonis dijatuhkan oleh kuasa yang dimilikinya. Dilema Pilatus diakhiri dengan keputusan yang kontradiktif; menyatakan Yesus tidak bersalah seraya menghukum mati Dia dengan penyaliban.

Semuanya bertanggung jawab dengan porsi yang berbeda. Kayafas punya motif, Pilatus menjatuhkan vonis, Yesus pasrah total menjawab panggilan-Nya sebagai Mesias yang menderita. Konflik dengan imam Yahudi dan ketaatan Yesus pada misi perutusan-Nya bagaikan dua rel yang bertemu di satu titik; vonis mati di salib.
Setelah kasus ini ditutup dengan penyaliban Yesus, bagaimana nasib ketiga tokoh tersebut? Konon kabarnya, Kayafas dipecat segera sesudah wafat Yesus. Ia tinggal menyepi di tanah pertanian dekat Galilea, meninggal dan dikuburkan di Talpiot, Yerusalem. Pilatus ditarik kembali ke Roma untuk diadili dengan tuduhan aneka tindak kejahatan. Dalam perjalanan kembali ke Roma, Kaisar Tiberius mangkat. Hasil pengadilan tidak diketahui. Tapi Eusebius menyimpan laporan dari ahli sejarah Yunani anonim yang menyatakan bahwa Pilatus dipaksa bunuh diri pada waktu pemerintahan Gayus (37-41 M), tidak lama sesudah kematian Yesus. Setelah penyaliban, babak pertama kehidupan Yesus telah berakhir. Namun kisah-Nya tidak selesai sampai di situ. Ia menjadi tokoh utama dalam sejarah dunia dan hidup terus dalam hati miliaran manusia di seluruh dunia. Benarlah kata pepatah Cina: “Emas murni tak takut pada api”. Dibakar sampai kapan pun, emas tetap emas. Kebenaran tetaplah kebenaran.



Lianto (Publikasi: Majalah Duta Maret 2007)