Penulis: Dr Willybrodus, a.k.a. William Chang
Publikasi: Jurnal Diskursus, Vol. 10, No.2, Oktober 2011 ISSN 1412-3878
Abstract
There
is no society without social communication. One of the key roles of social
communication is to promote truth and responsibility in a multicultural
society. Everybody has his/her right to get true information in
the communication world. Being responsible for
all activities in the
social communication is a main
obligation of a good communicator. The main goal of this essay is to analyse
the real situation of the mass communication in daily life. Those who get
involved in the social
communication world need to know more about the true meaning of truth and
reponsibility so that they can respect the values of truth and responsibility
in this field.
1. Peran komunikasi sosial dalam masyarakat majemuk
Sejak tahun 1990-an dunia komunikasi sosial menjadi
sebuah crucial issue dan menentukan masa
depan umat manusia. Peran komunikasi sosial sebegitu penting sehingga dapat
mendukung perujukan kembali atau penghancuran dalam hidup sosial. Dari satu
sisi, dunia komunikasi sosial dapat menularkan pengetahuan, kebenaran dan
ilham; namun dari sisi lain dunia komunikasi sosial dapat menebarkan kebohongan
dan informasi yang menyesatkan. Kesimpulan ini muncul dari sekitar 450 orang
dari lebih 80 negara dalam Kongres Dunia pertama yang diselenggarakan oleh WACC
di Manila, Oktober 1989.[1]
Pengaruh dan peran komunikasi sosial dalam perubahan
sosial, ekonomi, politik dan religius tak tersangkalkan. Seorang kepala negara
dapat dilengserkan melalui rentetan SMS (Short Message Service) di kalangan
masyarakat kecil. Kerusuhan massa muncul dalam tempo singkat di Ambon setelah
tersebar sebuah berita provokatif melalui SMS. Ketenangan sosial dapat segera
dipulihkan setelah menerima sejumlah pesan penting melalui SMS. Bagaimanakah
manusia dapat menggunakan sarana komunikasi sosial untuk membangun hidup
manusia yang lebih baik, adil, damai dan sejahtera?
Tanpa kejelian untuk membaca kebenaran berita dalam dunia
komunikasi sosial biasanya manusia terperangkap di dalam reaksi yang merugikan
banyak pihak. Kebenaran dalam sebuah pemberitaan merupakan syarat mutlak yang
perlu dipertahankan dalam menjamin ketenangan dan kedamaian sosial. Dimensi
tanggung jawab sangat penting dalam penyaluran isi berita yang benar, adil dan
mengandung kedamaian. Tampak sebuah interaksi sosial segera muncul setelah
seseorang atau sekelompok masyarakat menerima berita yang datang dari pelbagai
pihak yang tidak bertanggung jawab. Dus, peran dunia komunikasi sosial dapat
diibaratkan dengan sebilah pedang bermata ganda. Dari satu sisi, dunia
komunikasi dapat membangun kehidupan bersama dalam persaudaraan, namun dari
sisi lain dunia komunikasi dapat menghancurkan kehidupan bersama.
2. Hak
atas kebenaran
Makna kebenaran dalam dunia komunikasi sosial
dapat disoroti dari pelbagai sudut pandang karena kebenaran sebegitu kaya dalam
dirinya dan berada dalam hubungan dengan yang lain. Mengingat keterbatasan
dalam dirinya, pemahaman manusia tentang kebenaran
bisa saja berciri subyektif,
partial dan relatif. Lalu, bagaimanakah kita bisa
membedah makna kebenaran dalam dunia komunikasi sosial dalam sebuah masyarakat majemuk?
Ada beberapa jenis kebenaran,
seperti kebenaran matematis (ilmu pasti),
kebenaran epistemologis (adaequatio
mentis et rei), kebenaran moral (tugas,
tanggung jawab, kewajiban, pikiran, perkataan dan perbuatan), kebenaran
injili (Sang Penyelamat). Pandangan
tentang beberapa jenis kebenaran ini mendatangkan perspektif berbeda tentang kebenaran dalam dunia komunikasi
sosial. Diskursus tentang kebenaran dalam dunia komunikasi sosial mengundang
kita untuk menyelami hakikat dan pentingnya kebenaran dalam hidup sosial.
Setiap insan dalam
dunia komunikasi sosial (penyampai dan penerima pesan) pada dasarnya
bertanggung jawab dan berhak menegakkan kebenaran dalam pemberitaan, sehingga
tidak menimbulkan miskomunikasi dan ketegangan sosial dalam masyarakat.
Penegakan kebenaran ini akan terwujud kalau dipantau atau dikontrol dengan
saksama dalam hidup harian. Si penerima berita dapat membandingkan pemberitaan
dalam pelbagai media massa yang berbeda dan menemukan kebenaran yang dapat
dipertanggung-jawabkan.
2.1. Kebenaran
yang bagaimana?
Dalam sebuah komunikasi
eksistensial terdapat relasi beberapa pihak yang tak tersangkalkan, yaitu
antara “saya”, “engkau” (“Engkau”) dan “kita”. Dalam komunikasi tipe ini
diterapkan prinsip “locutio secundum
mentem”, yang menjunjung tinggi nilai kebenaran. Bahasa yang digunakan seharusnya
mengandung kebenaran dalam proses berkomunikasi dengan sesama dan Sang
Pencipta. Sumpah-sumpah jabatan pada waktu pengukuhan jabatan publik dalam
Negara kita juga mengungkapkan keberadaan para calon pejabat. Komunikasi antarpribadi
(antarmanusia dan antara manusia dengan Sang Pencipta) pada hakikatnya
bertujuan menghidupi dan mengungkapkan diri dalam kebenaran dalam seluruh hidup
dan kegiatan mereka, sehingga manusia bisa memberikan kesaksian asli tentang
diri-sendiri dan kebenarannya dengan semua yang dibicarakan dan dikerjakannya.
Pertimbangan tentang kebenaran ini
terkait dengan tiga unsur hakiki dalam dunia komunikasi, yaitu (1) pengirim
berita; (2) isi berita dan (3) penerima berita.[2]
Apakah di dalam ketiga unsur itu terkandung unsur-unsur kejahatan yang
merugikan diri-sendiri dan masyarakat?
Apakah yang dimaksud dengan “kebenaran dalam
perkataan”
(Italia: veridicita)? Setidaknya
dapat dikemukakan dua tinjauan utama:
Pertama,
kebenaran ini
dikaitkan dengan perintah Tuhan yang disampaikan kepada Musa di Gunung Sinai (sekitar
3250 tahun lampau) yang berbunyi: “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang
sesamamu.” Setidaknya, perintah ini menggarisbawahi supaya manusia tidak
memberikan kesaksian palsu di depan umum (pengadilan). Kesaksian menyoroti bagaimanakah manusia
seharusnya berperilaku di hadapan sesama manusia. Dalam komunikasi ini si
pengirim berita harus mencintai kebenaran dalam setiap berita dan jauh dari setiap
bentuk kebohongan; sementara itu si penerima berita harus mampu memegang
rahasia berita setiap orang. Sangat penting bahwa kebenaran berita tidak hanya
ditunjukkan dari langgam bahasa yang digunakan, melainkan dari seluruh pribadi
si pembawa atau penyalur berita.
Kedua,
kebenaran perkataan dalam komunikasi sosial terkait dengan seluruh kepribadian
si pembawa berita. Ini tidak hanya terletak pada unsur bahasa yang digunakan,
melainkan juga tingkah laku spontan, refleksif, apakah disengaja atau tidak! Sebenarnya
gerakan, perkataan, nada suara, tingkah laku, reaksi adalah “bahasa”, suatu
“kesaksian” pesan hati seseorang, seluruh pribadi manusia.
Terdapat dua prinsip etis tentang
kebenaran: (1) secara negatif, dunia
komunikasi tidak dibolehkan menimbulkan skandal, tidak boleh mengandung kepalsuan,
namun harus mengandung kebenaran,memerangi farisiisme yang
pada dasarnya berlawanan dengan kebenaran dan cinta kasih; (2) secara positif, dunia komunikasi diminta
supaya membangun, memajukan
kebenaran dalam cinta kasih (Ef 4:15), keadilan dan kesetia-kawanan. Dalam hal
ini berlaku sebuah aksioma klasik bahwa hati nurani yang lurus adalah yang
bertindak dalam kebenaran, yang adalah dan harus menjadi norma setiap tingkah laku
dan tindakan moral.[3]
Kebenaran dalam dunia komunikasi sosial merupakan
keutamaan moral yang tidak hanya menuntut supaya bahasa yang digunakan dalam
komunikasi selalu setia pada dan dalam kebenaran, namun kebenaran ini mencakup
seluruh pribadi dan tingkah laku si penyampai berita. Menjadi manusia berarti
mengatakan kebenaran dalam hubungan dengan orang lain. Tingkah laku yang benar,
lurus dan otentik diminta dari si penyalur berita. Dasar kebenaran ini bertitik
tolak pada perintah cinta kasih Tuhan. Tuhan selalu benar dalam perkataan dan tindakan-Nya. Tiada
kebohongan di dalam diri-Nya. Manusia sebagai citra Tuhan dipanggil untuk
melakukan apa yang dirintis oleh Tuhan sendiri. Seorang bayi atau anak-anak
pada tahap tertentu masih polos dan mengatakan kebenaran dalam cinta kasih,
sehingga kebenaran bukan sesuatu yang abstrak, melainkan kenyataan dalam diri si penyalur
berita.
Hanya, dalam proses penyampaian
suatu kebenaran si penyalur berita hendaknya “bijaksana”. Keutamaan moral kebijaksanaan (discretio) terkait erat dengan tanggung
jawab etis dari pihak penyampai berita, orang tua dan pendidik. Tanpa
memerhatikan keutamaan ini, kemungkinan besar akan muncul pelbagai masalah yang
tak terpikirkan dan dikehendaki sebelumnya. Dalam setiap keadaan, keutamaan ini
mengharuskan hati nurani terbina dan terdidik dengan baik untuk membedakan “ya”
dan “tidak”, apakah mengatakan kebenaran dalam keadaan tertentu atau tidak
menyimpannya. Keutamaan ini tahu menyembunyikan sesuatu yang harus tinggal
sebagai rahasia.[4]
2.2. Kebenaran
dalam masyarakat majemuk
Menurut Giannino Piana, nilai dasar
yang berperan penting dalam dunia komunikasi sosial adalah kebenaran. Ada tiga
sorotan utama atas kebenaran:
Pertama,
kebenaran dalam komunikasi adalah ciri khas hubungan antarpribadi. Dalam hal
ini tidak disoroti nilai kebenaran dalam dirinya, sebab kebenaran lebih berupa
suatu ruangan untuk gagasan antarsubyek dan dialogal: kebenaran melalui
hubungan dan dikembangkan dalam hubungan. Kebenaran dipertimbangkan sebagai
suatu peristiwa yang dibentuk dalam hubungan dengan yang lain, melalui gabungan
cakrawala-cakrawala pengertian tentang makna realitas. Kebenaran dalam
komunikasi menyoroti otensitas diri dan kebenaran
dalam saling ketergantungan. Penerimaan diri dan diversitas merupakan syarat
penerimaan perbedaan dalam diri orang lain. Komunikasi mengandaikan sikap dasar
menerima pihak lain dalam segala kelebihan dan kekurangan.
Kedua,
kebenaran dalam
komunikasi ditekankan sebagai ciri kesejarahan (historisitas). Dibicarakan
tentang suatu nilai dinamis yang berkembang di dalam dan melalui sejarah.
Kebenaran tidak dipandang sebagai sesuatu yang definitif (mutlak) dan statis,
namun sesuatu yang selalui diperoleh secara partial. Dinamisme kebenaran justru
dilator-belakangi oleh dinamisme kepribadian manusia. Sejarah akan semakin
mendewasakan pengertian-pengertian tentang kebenaran yang baru dan berbeda.
Proses pemahaman suatu kebenaran membutuhkan waktu dan perhatian. Pendekatan
terhadap kebenaran sering dipandang sebagai tindakan pengertian yang memertimbangkan
unsur rasional, efektif dan rohani.
Ketiga,
kebenaran dalam komunikasi dibangun dari ciri transparansi dan keindahan. Ini
dipandang sebagai dimensi terdalam untuk memasuki kebenaran dalam praktek
komunikasi: Yang indah adalah sintese tertinggi antara yang benar dan yang
baik. Suatu kebenaran tanpa keindahan mengandung risiko bahwa kebenaran itu
mentransformasi diri ke dalam dogmatisme yang tidak toleran; sebaliknya, secara
analog dapat dikatakan kalau kebaikan moral dipisahkan dari dimensi keindahan,
maka kebaikan itu ditransformasi ke dalam aturan-aturan tingkah laku yang
bersifat minim, yang melahirkan seperangkat tindakan lahiriah dengan godaan
jatuh ke dalam bahaya farisiisme. Menurut Piana, bahasa tentang kebenaran dalam
komunikasi adalah bahasa simbolik, yang membuka wawasan yang tak tergarap dan
selalu bersifat baru terhadap pengetahuan manusia.[5]
3. Tanggung
jawab
3.1. Dalam
komunikasi sosial
Sebagai pisau bermata ganda, dunia
komunikasi sosial dapat menjadi sarana multi-fungsi dalam memajukan masyarakat
dan dunia, karena dunia komunikasi menyalurkan
berita, pengetahuan dan keadaan terakhir dalam masyarakat kita. Manusia diisi
dan diperkaya dunia komunikasi sosial, kalau disalahgunakan dapat menjadi
sarana yang memrovokasi keadan yang buruk dalam masyarakat kita. Pengaruh dunia
komunikasi sangat ditentukan oleh mereka yang menjalaninya. Beberapa patah kata
saja dapat menimbulkan kerusuhan dan ketidak-tenangan sosial. Karena itu, dari
pihak pelaksana komunikasi sosial diminta tanggung jawab yang tidak kecil.
Dunia komunikasi sosial memiliki tanggung jawab lebih berat kalau harus
menyajikan berita kepada sebagian besar masyarakat yang belum memiliki daya
kritis untuk membaca dan menyerap berita yang disampaikan oleh wartawan atau
penyiar berita. Masyarakat sederhana yang belum sempat mengecap pendidikan
formal tinggi umumnya cukup cepat langsung mempercayai apa yang disajikan oleh
dunia komunikasi. Sementara itu, bagi mereka yang kritis umumnya tidak
terlampau mudah dan cepat memercayai berita-berita yang disajikan media massa.
Mula-mula mereka akan memertanyakan kebenaran berita, kemudian mereka akan
mengambil pandangan dan sikap mengenai pemberitaan.
Tanggung jawab yang tidak ringan
diminta dari mereka yang langsung menangani dunia komunikasi sosial.
Pertama,
para pengelola mesti
memerhatikan dan memerhitungkan dampak positif dan negatif suatu pemberitaan
bagi kehidupan sosial bersama dalam masyarakat, karena masyarakat luas akan
menikmati berita yang diturunkan media massa. Apakah isi pemberitaan itu
sungguh benar? Dapatkah dipertanggungjawabkan? Apakah pemberitaan itu hasil
rekayasa dan mengandung unsur politis tertentu? Apa motivasi penulisan sebuah
berita? Pengelola dunia komunikasi yang bijaksana umumnya akan memperhitungkan
keuntungan dan kerugian yang muncul dari suatu pemberitaan. Reaksi sampingan
apakah yang akan muncul kalau berita yang diturunkan
bernada demikian? Para pengelola itu bertanggung jawab atas pemberitaan dalam
media yang ditangani. Bahwa dunia komunikasi sosial harus menyalurkan
nilai-nilai dasar merupakan kesepakatan umum.
Sementara itu, kedua, bagi dunia komunikasi sosial yang bergerak dalam bidang
keagamaan mesti mengakui bahwa tanggung jawab pengelola media massa memang
berat. Mereka yang terjun dalam dunia ini seharusnya memiliki integritas
personal tanpa mengabaikan profesionalisme mereka, sebab tanpa profesionalisme
maka dunia komunikasi sosial kita akan kalah saing dengan media massa lain. Pengelola
media agama seharusnya secara umum mengomunikasikan nilai-nilai universal dalam
sebuah agama sehingga dapat menjunjung kemanusiaan, kedamaian dan kesejahteraan
hidup bersama sebagai sebuah masyarakat majemuk. Pesan-pesan religius yang
mendukung harmoni sosial sudah waktunya diproklamasikan dan bukan berita-berita
provokatif yang memecah belah kesatuan atau persatuan umat manusia.
Media massa dalam dunia modern
hendaknya memerhatikan moralitas personal dan publik. Kalau begitu, penggunaan sarana komunikasi seperti
radio, televisi, surat kabar, majalah dan bioskop seharusnya mengutamakan nilai
moral dan bukan hanya mendahulukan dimensi komersial dan bisnis. Kalau tidak,
maka nilai-nilai dasar moral akan luntur dan generasi mendatang akan kehilangan
orientasi masa depan yang baik. Unsur-unsur yang merusak moralitas personal dan
publik mesti diwaspadai.
Hanya, generasi muda tidak bisa dikekang atau dilarang begitu saja tanpa
memperoleh keterangan semestinya. Larangan yang terlampau ketat akan
mengerdilkan kaum muda dalam proses pengembangan kreativitas mereka.[6]
Tanggung jawab utama dunia
komunikasi sosial adalah memromosikan dan mengusahakan damai di tengah-tengah
masyarakat dan dunia yang sedang membangun. Kalau begitu, dunia komunikasi
sosial harus memerhatikan keadaan sosial dan politik dalam kehidupan bersama.
Misi utama untuk memerjuangkan damai ini akan menjadi pendorong mereka yang
terjun langsung dalam dunia komunikasi sosial. Mengusahakan damai termasuk
salah satu misi pokok kehadiran Gereja di tengah masyarakat majemuk yang sedang
membangun.[7]
Dalam hal ini sekurang-kurangnya
perlu diperhatikan tiga dimensi utama kegiatan dalam dunia komunikasi. Dalam
tanggung jawab moral ini, perlu digarisbawahi ketiga unsur penting ini: (1)
Dalam berkomunikasi mesti kita junjung tinggi nilai kebenaran dengan cara
mengatasi segala bentuk manipulasi dan ideologisasi; (2) Sasaran untuk
pembentukan mentalitas masyarakat yang positif mesti disadari oleh mereka yang
mengelola dunia komunikasi sosial. Keseimbangan antara keutamaan discretio dalam rahasia profesional dan
kegunaan informasi; (3) Hal tersulit adalah mendidik penerima berita dalam
menanggapi berita yang bersifat relatif, ketidaksamaan antara bahasa dan isi
berita. Bagaimanakah seharusnya mereka mencerna kebenaran sebuah berita?[8]
3.2. Dalam
reklame
Pada tanggal 22 Februari 1997 telah
dikeluarkan sebuah pedoman mengenai Etika Reklame.[9]
Mereka yang langsung terlibat dalam dunia reklame secara moral bertanggung
jawab atas usaha apa yang digunakan untuk menggerakkan orang lain untuk berbuat
sesuatu. Tanggung jawab ini ikut diemban oleh penerbit, penyiar dan mereka yang
terkait dengan pemasangan reklame itu. Isi pesan dalam sebuah reklame mesti
dipertimbangkan dan dipertanggungjawabkan secara saksama. Tanggung jawab ini
juga mencakup sarana yang digunakan pada waktu bereklame: apakah sarana yang
digunakan itu bersifat manipulative, eksploatatif dan korup?[10]
Beberapa prinsip moral dalam dunia
reklame: (1) Kebenaran dalam reklame: nilai kebenaran harus dijunjung tinggi
dan dijamin dalam sebuah reklame. Indahnya bahasa dalam reklame mesti seiring
dengan kebenaran isi bahasa itu. Ini sangat diperlukan untuk menghindari
kecenderungan manusia untuk menipu pendengar melalui slogan-slogan dan gambar-gambar
yang mengelabui mata manusia. Apa yang disampaikan harus sesuai dengan
kenyataan dan kebenaran dan tidak dimanipulasi oleh dunia reklame.[11] (2) Keluhuran martabat manusia: salah satu
tuntutan dasar dalam dunia reklame adalah menghormati pribadi manusia, hak dan
tanggung jawab untuk memilih sesuatu secara bebas tanpa paksaan apapun. Mesti
diingat bahwa reklame dapat melanggar keluhuran martabat manusia baik melalui
isi maupun dampak yang muncul dari reklamenya. Seandainya gejala ini tidak
disadari, maka akan muncul bahaya perusakan moralitas manusia, mulai dari
kalangan anak-anak hingga orang tua.[12]
(3) Reklame dan tanggung jawab sosial: gagasan tentang tanggung jawab sosial
begitu luas sehingga kita di sini hanya bisa mencatat beberapa hal yang relevan
dengan masalah reklame. (a) masalah ekologis: reklame yang mengakibatkan
pembuangan sampah secara tak teratur dan di mana-mana akan merugikan lingkungan
hidup masyarakat. Reklame yang mengerdilkan kemajuan manusia dengan menggunakan
barang-barang yang menimbulkan pencemaran dan pengotoran lingkungan hidup menunjukkan adanya
salah pengertian tentang perkembangan dan pertumbuhan manusia; (b) mereka yang
bereklame bertanggung jawab untuk mengungkapkan visi otentik tentang
perkembangan manusia dalam dimensi-dimensi material, cultural dan spiritual.
Suatu komunikasi yang memenuhi standar ini adalah ungkapan kesetia-kawanan
dengan sesama dan dunia. Komunikasi dan kesetia-kawanan saling berkaitan dan
tak terpisahkan sedikitpun.[13]
Dunia kita sekarang sedang mengalami krisis
multidimensi, terutama krisis
dalam bidang kesetia-kawanan, sebab banyak manusia
cenderung mengutamakan kepentingan diri atau kelompok tertentu dan mengabaikan
kepentingan dan kesejahteraan umum umat manusia sebagai sebuah keluarga.
3.3. Rahasia[14]
Dalam dunia komunikasi kita
mengenal apa yang disebut rahasia. Apakah rahasia itu? Rahasia adalah suatu kenyataan
tersembunyi yang tak bisa dibocorkan atau diberitahukan. Fakta yang tersembunyi
itu bisa jadi sesuatu yang salah atau cacat, misalnya masalah korupsi keuangan,
tindak pencemaran nama baik, atau rahasia tentang Negara dan pertahanan
nasional.
Terdapat beberapa jenis rahasia.
Ini tergantung pada “cara” yang ditempuh untuk menyampaikan rahasia itu. Ada
rahasia yang menyangkut pribadi kita; ada pertimbangan kebijaksanaan.
Setidak-tidaknya terdapat empat jenis rahasia: (1) rahasia kodrati-personal;
(2) rahasia yang dijanjikan; (3) rahasia yang dipercayakan; (4) rahasia profesional.
Pertama,
disebut rahasia kodrati yang bersifat personal karena kewajiban untuk
merahasiakannya langsung muncul dari hokum kodrat dan berkenan dengan keluhuran
martabat manusia. Tidak diperlukan konvensi atau persetujuan yang membuat
rahasia itu mengikat manusia. Masalah persaudaraan dan kodrat persaudaraan
antarmanusia menuntut kerahasiaan. Rahasia ini menyangkut kedalaman batin
seseorang (“privacy”) seseorang.
Rahasia ini mencakup semua fakta yang tersembunyi yang penyingkapannya dari
kodratnya akan melukai atau tak menyenangkan orang lain.
Kedua,
rahasia yang dijanjikan adalah rahasia yang telah dijanjikan seseorang untuk
dirahasikan, setelah seseorang mengetahui rahasia itu, walaupun si penerima itu
tidak wajib merahasiakannya. Kalau suatu janji berkenan dengan suatu rahasia
yang pada waktu yang sama adalah suatu rahasia kodrati, maka kewajiban
menyimpan rahasia itu adalah ganda, muncul dari belas kasih atau keadilan dan
dari kesetiaan pada janjinya. Suatu janji dalam kerahasiaan tentang hal-hal
yang tidak berguna dan tak sah sifatnya, tidak mengikat.
Ketiga,
rahasia yang dipercayakan adalah rahasia berupa pengetahuan yang diperoleh dari
seseorang hanya dengan syarat bahwa orang itu akan merahasiakannya. Kerahasiaan
dijamin sebelum seseorang menerima pengetahuan rahasia itu. Persetujuan bisa
terjadi secara eksplisit atau implisit.
Keempat,
rahasia professional harus dipegang mereka yang menekuni profesi itu, seperti
superior, magister, pastor, dokter, ahli hukum dlsb. Rahasia ini rahasia yang
paling mengikat. Rahasia yang paling ketat dan paling kudus adalah rahasia
pengakuan dalam tugas imamat. Ada yang mengklaim bahwa rahasia pengakuan adalah
rahasia yang paling ketat, kudus, mutlak kalau dibandingkan dengan semua
rahasia manusiawi. Rahasia pengakuan ini seringkali disebut “sigillum”.
Penyingkapan rahasia kodrati tanpa
alasan yang memadai termasuk tindakan (berat atau ringan) yang melawan cinta
kasih atau keadilan menurut berat atau ringannya luka yang ditimbulkan oleh
pewahyuan itu. Sedangkan pelanggaran terhadap rahasia professional dianggap
sebagai tindakan yang mengundang dosa berat. Ini harus dipulihkan dalam
keadilan. Kewajiban untuk memelihara suatu rahasia berakhir bila: (1) pemilik
rahasia itu mengijinkan penyingkapan rahasia tersebut; (2) materi dalam rahasia
itu telah berhenti sebagai rahasia karena telah disingkapkan oleh orang lain;
(3) alasan yang memadai membenarkan penyingkapan itu. Rahasia yang dipercayakan
tidak boleh dibocorkan, bahkan kepada seorang superior kecuali karena salah
satu alasan berikut: (1) untuk menghindari bahaya berat bagi kesejahteraan umum; (2) untuk
menghindari bahaya yang sungguh-sungguh bagi pihak ketiga, pihak yang tak
bersalah, bahaya yang ditimbulkan oleh yang mempercayakan rahasia itu secara
tidak adil, mengingat tak ada rahasia yang dipercayakan dapat dipertahankan
kalau rahasia itu melawan hak orang yang tak bersalah, yang harus dilindungi
menghadapi serangan ketidak-adilan; (3) untuk menghindari kejahatan serius dari
yang menyimpan rahasia, misalnya, kalau dia ingin bunuh diri; (4) untuk
menghindaribahaya serius bagi yang menerima rahasia.
Dalam dunia komunikasi sosial, kita
tidak dapat sesuka hati mengungkapkan secara lisan dan tertulis apa yang kita
ketahui dari atau mengenai orang lain di depan umum. Pemberitaan yang sehat dan
seharusnya mengenal batas-batas yang tidak melanggar hak-hak pribadi orang
lain, kecuali kalau pemberitaan itu menyangkut kepentingan dan keselamatan
umum. Perlu diperhatikan bahwa boleh atau tidaknya pemberitaan disiarkan atau
diturunkan umumnya menyangkut keluhuran pribadi manusia, keselamatan pribadi
atau masyarakat dan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum/bersama. Kalau
suatu rahasia antarpribadi yang berkenaan dengan kepentingan dan keselamatan
umum, maka orang yang mengetahui rahasia itu boleh membeberkan isi berita itu,
karena menyangkut kepentingan orang banyak. Kalau tidak, maka bakal muncul
dampak negatif
yang menimpa banyak orang dan merugikan mereka. Walaupun demikian, rahasia yang
menyangkut profesi dan tugas imamat tetap tidak boleh dibeberkan dengan alasan
apapun. Jika seorang bapa atau saudara rohani yang telah mengetahui banyak
mengenai pribadi seseorang, maka prinsip etis ini berlaku secara ketat: “nemini-numquam-nihil” (“tidak kepada seorangpun, tidak pernah dan
tiada apapun”). Ini berarti seorang bapa atau saudara rohani tidak tahu
apapun. Namun, dalam kasus-kasus yang membahayakan keselamatan diri dan
kesejahteraan umum dan khususnya bahaya kehilangan nama baik, maka berlaku
prinsip: “Deus providebit” (“Tuhan
akan memperhatikan”: contoh kasus Ibu Yesus di hadapan suaminya Yosef).
3.4. Pelayanan
kesejahteraan umum[15]
Seperti bidang-bidang lain, para
petugasdunia komunikasi sosial perlu menyadari bahwa tugas mereka adalah
pelayanan bagi
masyarakat. Pelayanan ini menonjolkan nilai kemanusiaan dan kesejahteraan.
Pelayanan yang diterima oleh media masa ini dapat dikatakan sebagai suatu
“status sosial”.
Pelayanan utama dalam dunia
komunikasi sosial tak terpisahkan dengan keadaan yang sedang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Artinya, para petugas dalam bidang ini jeli
membaca tanda-tanda zaman dan kebutuhan real masyarakat dewasa ini. Dalam hal
ini diperlukan kesanggupan antropologis untuk menyelami dan memasuki
struktur internal dalam masyarakat. Apa
yang sedang terjadi dalam masyarakat? Apa yang mereka dambakan atau nantikan?
Dengan mengetahui kebutuhan dan harapan masyarakat yang sebenarnya, dunia
komunikasi sosial dapat menemukan
jawaban atau jalan keluar pemecahan kasus tertentu. Dimensi social komunikasi ditampakkan
dalam menanggapi dan menjawab keperluan-keperluan dasariah rakyat berupa
kesejahteraan umum; kesejahteraan yang tidak hanya berlaku untuk pribadi
tertentu, melainkan kesejahteraan untuk seluruh rakyat dalam suatu kebersamaan.
Tak terlampau heran bahwa kode etik dunia jurnalisme di Spanyol, misalnya, tak
lain dan tak bukan adalah pelayanan kesejahteraan umum sebagai sasaran utama
dalam dunia pelayanan komunikasi sosial.
Akibatnya, isi dan cara pemberitaan
mesti memerhitungkan dampak samping pemberitaan itu. Apakah pemberitaaan itu
bersifat subyektif dan memojokkan golongan tertentu? Apakah pemberitaaan itu
sungguh mendukung program perwujudan kesejahteraan umum? Dalam hal ini dapat
didiskusikan masalah “kebebasan pers” yang sedang didengungkan belakangan ini.
Apakah yang dimaksudkan dengan kebebasan pers? Apakah seorang wartawan atau
penulis boleh menulis apapun dalam dunia pers? Atau bolehkah sebuah pemancar
radio menyiarkan berita apapun tanpa data atau bukti memadai sehingga
menimbulkan berita yang menyesatkan? Kebebasan pers yang seringkali
didengungkan adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan ini bukan
kebebasan mutlak tanpa memerhatikan dimensi tanggung jawab dan dampak samping
suatu pemberitaan. Dunia komunikasi sosial seharusnya jeli membaca keadaan
sosial dalam masyarakat majemuk dan modern yang seringkali menghadapi dan
mengalami konflik sosial. Ciri masyarakat majemuk (yang berbudaya, filsafat
hidup, adat-istiadat berbeda) memberikan tugas baru bagi dunia komunikasi
sosial. Kalau begitu, mereka yang terjun dalam dunia komunikasi sosial sangat
perlu memiliki pengetahuan tentang antropologi dan kebudayaan masyarakat.
Hanya, di balik semua itu dunia komunikasi sosial tidak bisa melupakan misi utamanya,
yaitu membela dan memerjuangkan perwujudan kesejahteraan umum.
3.5. Prinsip
keadilan
Salah satu tanggung jawab utama
yang sedang diperjuangkan oleh dunia komunikasi adalah perwujudan keadilan di
tengah umat manusia. Setiap manusia pada
dasarnya ingin diperlakukan secara adil, sebab mereka memiliki kemanusiaan yang
sama dan sejajar. Banyak manusia yang tak mampu menghargai dan menghormati
nilai kemanusiaan. Kalau begitu, mau apa lagi? Ketidak-adilan dapat menimbulkan
kerunyaman dalam hidup sosial, kekacauan dan kerusuhan sosial. Malah, bentrok fisikpun
bisa saja muncul akibat ketidak-adilan yang melanda masyarakat. Ini tampak dari
keadaan sosial di kawasan Timur Tengah. Pihak Palestina merasa bahwa ada bagian
tanah air mereka yang dicaplok Israel, karena itu mereka terus-menerus menuntut
pihak Israel supaya mereka memeroleh kemerdekaan; sementara itu, Israel merasa
bahwa tanah yang sedang mereka tempati itu adalah tanah hak mereka. Protes
sosial akan muncul kalau keadilan tidak ditegakkan dalam masyarakat. Tak heran
sekarang inipun muncul aneka ragam protes sosial yang menuntut perwujudan
keadilan dalam bidang hukum, sosial dan politik. Masyarakat mereka tidak puas
dengan keadaan dewasa ini.
Menanggapi keadaan sosial yang kian
memrihatinkan sebagai akibat tidak adanya jaminan keadilan, dunia komunikasi
sosial dipanggil utnuk membela dan menegakkan keadilan. Bagaimanakah pemahaman
kita tentang keadilan? Sekarang kita coba memahami pokok pikiran tentang
keadilan dalam cahaya dunia modern. Keadilan dipandang sebagai keutamaan yang
pertama dari institusi sosial. Keadilan menyangkut masalah hak dan keadilan,
keuntungan-keuntungan dari kerja sama sosial, berhubungan dengan mereka yang
terlibat dalam dunia politik. Keadilan berkaitan erat dengan seluruh masyarakat
yang sedang mengelola kekayaan alam dan ketidak-sepakatan antarmanusia mengenai
hidup bagaimanakah yang memungkinkan manusia untuk mencapai kepenuhan diri.
Dalam teorinya, John Rawls (A Theory of
Justice, 1971) menekankan bahwa konsep egalitarian tentang keadilan berasal
dari prosedur ini: hak=hak untuk kesamaan dalam hal kebebasan dan berkesempatan
harus dijamin, ketidak-samaan dalam bidang sosial dan ekonomi harus
memerhatikan keuntungan masyarakat ramai dan bukan hanya kelompok kecil.[16]
3.6. Prinsip
saling menghargai[17]
Informasi yang disalurkan oleh
komunikasi sosial akan ikut membangun bentuk masyarakat majemuk modern dalam
hidup bersama. Nilai-nilai apakah yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat
yang sedang membangun? Dalam masyarakat majemuk, kita sama sekali tidak boleh
melalaikan, apalagi melupakan sikap dasar saling menghargai dan menghormati
setiap pribadi manusia. Akibatnya, manusia sama sekali tidak boleh diobyekkan.
Prinsip saling menghargai ini
setidak-tidaknya memiliki dua alasan: (1) manusia adalah pribadi dan bukan
benda yang bisa diobyekkan oleh yang menginginkannya; (2) tiap manusia adalah
citra Tuhan dan Tuhan hadir dalam tiap pribadi manusia. Prinsip saling
menghargai adalah unsur konstitutif dalam masyarakat majemuk. Manusia mesti
memiliki landasan hakiki supaya dapat duduk dan berdiri bersama sebagai saudara satu dengan yang
lain. Tali persaudaraan ini akan mengikat dan memersatukan kita semua dengan
latar belakang berbeda.
Prinsip dasar ini sangat diperlukan
untuk menciptakan suasana dialogal dalam hubungan pribadi di tengah masyarakat
yang begitu majemuk. Dialog akan berjalan baik kalau setiap pihak bersikap dan
berpandangan dasar untuk menghormati sesama yang terlibat dalam dialog. Sikap
dialog semestinya tampak dan muncul dalam tiap dunia komunikasi, sehingga
mereka yang terjun dalam dunia ini tetap merasa terlibat dalam suasana
dialogal. Komunikasi dua arah ini akan lebih efektif dan menyalurkan makna yang
jauh lebih besar daripada komunikasi searah. Banyak masalah bisa diatasi
melalui jalur komunikasi dua arah, yang pada dasarnya menghargai dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia. Semangat dialogal ini sangat sesuai dengan
suara yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II sebagai symbol keterbukaan
Gereja bagi dunia. Gereja mendengarkan suara-suara dari luar dan membagikan
pengalamannya kepada dunia. Gereja dipanggil untuk berdialog dengan semua orang
yang berkehendak baik, yang mencakup mereka yang beriman dan tak beriman
(secara dokumenter sejak Paus Yohanes XXIII). Apa saja yang didiskusikan seara
tertulis mesti dihargai dan diselami secara lebih mendalam. Dalam hal ini kita
perlu saling mendengarkan. Yang didengarkan bukan hanya suara pribadi, melainkan
kelompok masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial.
Tanpa sikap dasar saling
menghormati dan menghargai, sangat sulit dibayangkan bahwa hidup dalam
masyarakat majemuk modern ini bisa menciptakan suasana dialogal yang memererat
hubungan antarpribadi. Bisa dikatakan, sikap dasar ini adalah batu penjuru dan
seluruh system komunikasi sosial yang mendahulukan dimensi dialogal.[18]
4.
Yesus sebagai guru
komunikasi sosial[19]
Pandangan teologis tentang duniakomunikasi sosial
bertitik tolak pada dokumen Communio et Progressio. Dokumen ini menggarisbawahi
bahwa peran Yesus sebagai seorang komunikator ulung (11) yang merangkul semua
orang tanpa pilih kasih. Model komunikasi Yesus adalah model inklusif. Cinta
kasih universal menjadi saluran komunikasi bagi sekalian ciptaan Tuhan.
Peristiwa
inkarnasi Tuhan dalam pribadi Yesus menunjukkan wujud nyata Tuhan untuk
mendekatkan dan menyatukan diri dengan umat manusia (Yoh 1:14). Allah memasuki
kemanusiaan dan kedagingan manusia. Sabda menjadi manusia dan tinggal di antara
manusia. Yang Transenden menjadi Yang Imanen. Dia tidak lagi jauh, tapi menjadi
yang berkomunikasi dengan manusia.
Perayaan Ekaristipun membenarkan bahwa adanya kesatuan
eksistensial antara Tuhan dengan umat manusia yang dipelihara terus. Seperti
Kristus adalah “tenaga” bagi kesatuan yang terus-menerus dan lebih mendalam
antara Tuhan dengan kaum beriman, dan dalam komunitas gerejawi, menghidupkan
kesatuan kaum beriman di antara mereka, meneguhkan ketegangan antara komunitas
dengan segala kenyataan dan rangsangan menuju ke komunitas eskatologis, apabila
“Tuhan akan menjadi semua di dalam semua.” (1 Kor 15:28).
Sabda-Nya secara sempurna menggarami mentalitas mereka
yang mendalaminya. Di dalamnya ditemukan nilai dan makna universal dalam ruang
dan waktu yang memungkinkan perundingan dengan segala jaman dan kebudayaan.
Sabda-Nya mencerminkan suatu sistem komunikasi yang mencairkan
ketegangan-ketegangan di antara umat manusia.
Komunikasi sosial terkait dan memuncak pada Yesus, Sang
Kristus, sebagai komunikator universal. Kegiatan komunikasi-Nya pada hakekatnya
berupa “communione” (persekutuan). Komunikasi sosial menjadi sarana
kesetia-kawanan sosial, ekonomi, kultural dan spiritual yang di dalamnya akan
berhasil menghubungkan umat manusia (1,6). “Communione” dalam Kristus
terjadimelalui perwujudan manusia yang sempurna. Komunikasi sosial menjadi
penghargaan, pembebasan, kemampuan pribadi manusia dalam tatanan masyarakat
berdasarkan kesatuan yang berdasarkan keberadaan yang sama dan bebas. Tidak ada
“communione” otentik kalau tidak melibatkan manusia yang penuh dalam dirinya.
Ini merupakan makna terdalam dari kemajuan umat manusia, di mana komunikasi
sosial lebih daripada sebuah ungkapan kekuatan dalam diri manusia (18-20,
92-95).
Seluruh karya keselamatan umat manusia tidak bisa
dilepaskan dari peran komunikasi sosial. Justru melalui komunikasi sosial Tuhan
hadir dan mewujudkan karya-karya penyelamatan-Nya. Karya keselamatan ini
dikaitkan dengan kenyataan profan yang ditemukan dalam keutamaan penciptaan
bahwa semua makhluk ciptaan menantikan penebusan dari Tuhan. Dalam hal ini
perlu diingat bahwa kemanusiaan Kristus telah mengangkat kemanusiaan kita yang
rapuh dan lemah. Harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi dalam seluruh
kerangka pewartaan Kabar Baik Yesus, Sang Komunikator ulung.
Penutup
Tak
tersangkalkan, dalam dunia
komunikasi sosial, nilai kebenaran dan tanggung jawab sangat penting, sehingga
komunikasi yang dibangun
oleh setiap manusia dapat menciptakan keadaan hidup sosial, politik, ekonomi,
agama dan kebudayaan yang harmonis. Tanpa kedua nilai dasar ini dunia
komunikasi sosial cenderung menggiring masyarakat untuk menimbulkan perilaku
atau tindakan yang bertentangan dengan cita-cita pendirian Negara kita, yaitu
menciptakan sebuah masyarakat yang sungguh ber-Tuhan, berperikemanusiaan,
demokrasi dan berkeadilan sosial. Tanpa kebenaran dan tanggung jawab media masa
cenderung memecah belah rakyat, memrovokasi dan menimbulkan dampak negatif
dalam hidup bersama. Dengan menjunjung nilai kebenaran dan tanggung jawab, maka
dunia komunikasi akan mendidik segenap lapisan masyarakat untuk hidup dengan
lebih baik, kritis dan bertanggung jawab. Setiap manusia sebagai makhluk sosial
dan komunikatif perlu memiliki kehendak baik untuk menghargai nilai kebenaran
dan tanggung jawab.
Kepustakaan
Fucek, Ivan. Chiamata
alla giustizia: nuova evangelizzazione. Roma: Editrice Pontificia
Universita Gregoriana, 1992.
Goffi, Tullo – Piana,
Giannino. Corso di morale 4: Koinonia: Etica della vita sociale. Brescia:
Editrice Queriniana, 1994.
Kelly, Kevin
T. New
Directions in Moral Theology: The Challenge of Being Human. London:
Geoffrey Chapman, 1993.
Kincaid, Lawrence & Schramm,
Wilbur. Asas-asas Komunikasi Antar
Manusia (Diterj. Agus Setiadi). Jakarta: LP3ES bekerja sama dengan
EWCI, 1987.
Peschke, Karl. Christian Ethics: Moral Theology
in the Light of Vatican II: Volume II: Special Moral Theology. Alcester:
C. Goodliffe Neale Ltd., 1990.
Soukup,
A (Ed). Media, Culture & Catholicism. Metro Manila: St. Pauls,
2003.
Thomas, Pradip. Communication
and Human Dignity: Asian Christian Perspectives. New Delhi: ISPCK,
1995.
*)Pengampu Matakuliah Etika Sosial pada STIE Widya Dharma,
Pontianak – Kalbar (Jl. H.O.S Cokroaminoto 445, Telp (0561) – 731966, 742063)
Alamat email: changjitmeuw@yahoo.com
[1] Carlos A. Valle, “Communication and Culture: A Global
Perspective”, Communication and Human Dignity: Asian Christian Perpesctives (Ed.Pradip
Thomas) (Delhi: ISPCK, 1995), 18.
[2]Lawrence Kincaid & Wilbur Schramm, Asas-asas
Komunikasi Antar Manusia (Diterj. Agus Setiadi) (Jakarta: LP3ES bekerja
sama dengan EWCI, 1987), 16-17.
[3]Ivan Fucek, Chiamata alla giustizia: nuova
evangelizzazione (Roma: Editrice Pontificia Universita Gregoriana,
1992), 147-151.
[5]Giannino Piana, “Etica della
communicazione: problem e prospettive”, Corso di morale 4: Koinonia: Etica della
vita sociale (Ed. Tullo Goffi-Giannino Piana) (Brescia: Editrice
Queriniana, 1994), 365-369.
[6]Fucek, Chiamata
alla giustizia, 175.
[7]Karl Peschke, Christian Ethics: Moral Theology
in the Light of Vatican II: Volume II: Special Moral Theology
(Alcester: C. Goodliffe Neale Ltd., 1990), 271.
[8]Fucek, Chiamata alla giustizia, 176.
[9]The Pontifical Council for Social
Communications, 22 February 1997.
[10]No. 14.
[11]No. 15.
[12]No. 16; Bdk. Anne Pattel-Gray, “Australian
Aboriginal Communication: Cultural Identity and Human Dignity” in Communication
and Human Dignity: Asian Christian Perspectives, 45-56.
[13]No. 17.
[14]Peschke, Christian Ethics,
599-601; Fucek, Chiamata alla giustizia, 163.
[15]Gatti, Etica delle professioni, 129.
[16]Bdk. William Werpehowski,
“Justice”, A New Dictionary of Christian Ethics (Ed. J. Macquarrie and J.
Childress) (London:SCM Press, 1992), 329-332.
[17]Kevin T. Kelly, New Directions in Moral Theology:
The Challenge of Being Human (London: Geoffrey Chapman, 1993), 3-6.
[18]Frances Forde Plude, “Forums for Dialogue:
Teleconferencing and the American Catholic Church” in Media, Culture & Catholicism
(Ed. A. Soukup) (Metro Manila: St. Pauls, 2003), 191-200.
[19]L. Bini, “Communicazione
sociale”, Dizionario Enciclopedico di Teologia Morale (Roma: Editrice
Paoline, 1976), 124-129.