Publikasi: Jurnal MABis, Vol. 3, No. 2, Desember 2011, ISSN: 2088-4605
Abstract
The application of business ethics in modern societies
shows us the importance of ethical values, such as honesty, justice,
responsibility and mutual-understanding in business world. Stakeholders
approach on business ethics reminds us the need of good collaboration of those
who get involved in business. The realization of business ethics should start
with the reformation of human beings’ mind sets, way of thinking and style of
life. So, how can we internalize and implant the values of business ethics in Indonesia?
Key words: business ethics, ethical values, structure
of human acts, honesty, social justice, responsibility.
1. Sitz
im Leben Etika
Kata etika sudah memasuki khazanah masyarakat
Indonesia
sejak bangsa kita bergaul dengan Bahasa Belanda dan Inggeris. Malah, sudah
tersosialisasi dalam pelbagai cara dan kesempatan. Namun, hingga sekarang kata
ini masih membingungkan banyak pihak. Buktinya, kata ini masih seringkali
dicampur-adukkan dengan kata etiket (tatakrama).
Kata etika berasal dari bahasa Yunani
(“ethos”) yang antara lain berarti adat-istiadat.[1]
Sebagai sebuah cabang filsafat, etika menjadi suatu penyelidikan normatif dan
bukan hanya ilmu deskriptif murni. Obyek studinya terpaut dengan perilaku moral
dan immoral supaya sanggup mengambil keputusan-keputusan dengan baik dan sampai
pada rekomendasi yang memadai. Etika memiliki tiga ranah utama, yaitu (1)
masalah benar, baik atau apa yang seharusnya dilakukan; (2) konsep-konsep
mengenai nilai-nilai moral dalam hidup manusia; (3) motivasi yang mendorong
manusia untuk melakukan perbuatan baik.[2]
Etika memiliki dua tujuan. Pertama, etika menilai tindakan-tindakan
manusia dengan mengingat norma-norma moral; tujuan pertama ini mencakup
analisis dan evaluasi. Manusia mengadakan diagonis etis atas tindakan-tindakan
dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Analisis ini terdiri dari tolok
ukur yang memberikan penjelasan. Etika normatif memiliki tujuan yang lebih
bersifat kuratif. Kedua, etika memberikan
nasihat-nasihat penyembuhan: tujuan ini mengajukan pemecahan-pemecahan masalah
ketika berhadapan dengan dilema dan bahaya-bahaya masa depan berdasarkan
pandangan-pandangan yang dibina dengan baik.Etika memiliki pendekatannya
tersendiri yang tertuju pada moralitas.[3]
Pembicaraan tentang etika selalu terkait
dengan nilai sebagai sesuatu yang berharga atau yang mendorong manusia untuk
melakukan sesuatu. Nilai mengandung daya dorong dalam hidup manusia. Sesuatu
dikatakan bernilai kalau dalam dirinya mengandung penghargaan. Nilai terkait
dengan keputusan. Dalam artian luas, kita dapat berbicara mengenai nilai
sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Sedangkan dalam artian sempit, nilai
dipahami sebagai sesuatu yang positif.[4]
Terdapat pelbagai jenis nilai: ekonomis,
biologis, artistik, etis atau moral, religius. Nilai etis berbeda dari
nilai-nilai lain, karena nilai ini langsung berhubungan dengan perilaku
manusia, yang terkait dengan kebebasan untuk bertindak dalam hidup dan kerja.
Dalam hal ini etika diterangkan sebagai tatanan tindakan-tindakan manusiawi.
Setiap tindakan manusia memiliki fundamental
options (pilihan-pilihan dasar). Terdapat dua kemungkinan: manusia dapat
memilih yang baik atau memilih yang jahat. Secara ringkas, seseorang itu
dianggap baik secara moral kalau orang itu baik dan jujur dalam bermotivasi,
berpikir, berbicara dan bertindak. Sebaliknya, seseorang dikatakan jahat kalau
hidup dan tindakannya immoral.
2. Struktur
tindakan manusia[5]
Setiap perbuatan manusia mengandung
tanggung jawab. Kadar tanggung jawab perbuatan manusia tergantung pada
motivasi, situasi, kondisi dan tujuan yang ingin dicapai. Kadar pengetahuan
juga berpengaruh dalam hidup manusia. Kadar tanggung jawab manusia menjadi
lebih ringan kalau melakukan suatu perbuatan di luar kesadaran atau kebebasan.
Seseorang yang melakukan suatu tindakan karena keterpaksaan berbeda dari
seseorang yang melakukan sesuatu karena bebas, sadar, mau dan sengaja.
Pembedahan struktur tindakan manusia dapat
ditempuh melalui tiga peran utama berikut: Pertama,
peran manusia sebagai subyek moral. Kekhasan manusia terutama terletak pada
kemampuannya untuk mengambil keputusan. Selain itu, akal budi mencerminkan
manusia sebagai makhluk yang berkepribadian (bdk. Boethius). Sebagai pribadi,
manusia selalu memiliki keterkaitan dengan dunia luar. Kepribadian (personality) manusia terletak pada (1)
tubuh (body); (2) akal budi (reason); (3) pengambilan keputusan (decisions); (4) penentuan diri-sendiri (self determination). Tubuh dan jiwa
manusia adalah suatu kesatuan. Mengapa manusia dikatakan sebagai subyek? Sebab
manusia menjadi sumber interior keputusan bebas. Manusia menjadi tuan atas
semua perbuatannya. Sebagai subyek moral, manusia adalah subyek hak dan
kewajiban. Sebagai pemegang hak, manusia mampu melakukan sesuatu bagi
pribadinya atau bagi orang lain. Hak-hak yang terletak dalam pribadi manusia
merupakan “perjuangan” diri manusia. Hak-hak itu dipandang sebagai “ruang” yang
menjamin otonomi manusia. Hanya, manusia dapat menyalah-gunakan haknya dengan
tidak memenuhi kewajibannya sebagai pribadi dan hubungannya dengan manusia.
Terkadang manusia terlalu menekankan haknya dan melupakan kewajibannya.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban akan mendatangkan harmoni dalam hidup
manusia.
Kedua, manusia berperan sebagai makhluk menyejarah.
Mengapa manusia disebut makhluk menyejarah? Manusia
hidup, bertumbuh dan berkembang dalam dinamika sejarah. Manusia hidup dalam
sejarah, menyejarah dan menjadi sejarah. Sejarah pribadi manusia ikut
menentukan watak manusia. Kesejarahan manusia merentang di antara kemanusiaan
“kini” dan “proses sedang menjadi”. Dalam kesejarahan ini tercakup dimensi
manusia yang sedang menjadi. Sebagai makhluk dinamis, manusia dapat menentukan
arah hidupnya. Akan ke manakah manusia? Manusia adalah sejarah dan tempat
perkembangan seluruh pribadinya. Manusia tidak hidup dalam awang-awang. Setiap
perbuatan manusia selalu dalam konteks sejarah. Akibatnya, sebuah penilaian
moral manusia seharusnya memperhatikan latar belakang sejarah manusia. Dengan
mengenal latar belakang sejarah, manusia dapat memberikan penilaian moral yang
lebih tepat.
Ketiga, manusia berperan sebagai makhluk
totalitas.
Titik tolak pandangan etis kita adalah manusia sebagai
makhluk totalitas. Subyek moral adalah makhluk integral dan total. Tindakan manusia
hendaknya dipandang sebagai sebagai ungkapan kepribadian manusia sebagai
totalitas. Setiap tindakan manusia mencerminkan kepribadian yang bersangkutan. Manusia
mengungkapkan diri dalam jawaban dan tindakannya. Manusia mengungkapkan “ya”
sebagai “ya” dan “tidak” sebagai “tidak” mencerminkan pengungkapan kejujuran di
dalam dirinya. Manusia mengatakan apa adanya merupakan suatu ungkapan kedalaman
pribadinya. Totalitas manusia terletak pada kesatuan badan, jiwa dan roh dalam
diri manusia. Justru itu, pendekatan terhadap manusia dapat dilakukan melalui
pelbagai disiplin ilmu berbeda (biologi, psikologi, sosiologi). Kepribadian
manusia akan lebih dikenal kalau disoroti dari pelbagai sudut pandang berbeda.
3. Anatomi etisitas tindakan
manusia[6]
Selalu terkait dengan seluruh pribadi si
pelaku. Manusia memiliki hak dan kewajiban. Dalam diri manusia terdapat
sejumlah keharusan yang wajib dipenuhi, seperti menghargai atau menghormati
sesama manusia. Moralitas tindakan menyatu dengan motivasi, sarana dan tujuan yang
ingin dicapai melalui sebuah tindakan. Kadar sebuah tindakan dipengaruhi oleh
ketiga unsur penting dalam hidup manusia. Alasan-alasan melakukan sesuatu
termasuk dasar pertimbangan penting bagi tindakan seseorang.
Etisitas tindakan seseorang terpaut dengan
unsur-unsur berikut ini. Pertama, etisitas
tindakan terpaut dengan obyek tindakan manusia. Obyek tindakan selalu terkait
dengan buah tindakan manusia (pencurian, perampokan, pembunuhan, pemberian
sedekah, menolong sesama). Obyek tindakan manusia dapat menentukan kadar
moralitas seseorang. Buah tindakan mencerminkan disposisi batin si pelaku. Hati
yang baik umumnya menghasilkan tindakan atau perbuatan yang baik. Sedangkan
hati yang jahat akan mendatangkan perbuatan yang jahat. Obyek tindakan terkait
dengan nilai-nilai yang tersembunyi di balik sebuah tindakan. Nilai obyektif
sebuah tindakan tidak hanya terletak pada dimensi material, tapi juga menyentuh
dimensi aktual dan real tindakan manusia. Di balik sebuah tindakan terdapat
ungkapan keadaan batin yang sesungguhnya. Seseorang marah karena menunjukkan
disposisi batin yang sedang dicengkam kejengkelan-kejengkelan.
Kedua, etisitas tindakan manusia dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan sekitar, yang berupa pengaruh-pengaruh atau
kondisi-kondisi langsung yang memberikan ciri-ciri moral lebih lanjut kepada
tindakan-tindakan sebenarnya yang sudah berdimensi moral. Keadaan ini juga
menyangkut keadaan (disposisi) hati
manusia yang melakukan suatu perbuatan. Keadaan ini terkait dengan: (1) siapa
pelakunya?; (2) bagaimana?; (3) di mana?; (4) kapan; (5) obyek; (6) keseringan.
Situasi si pelaku tindakan perlu dipertimbangkan dengan arif: seorang lapar yang
mencuri berbeda dari seorang yang kaya mencuri sesuatu. Perbuatannya sama,
namun sikon si pelaku berbeda. Etisitas tindakan orang itupun berbeda.
Ketiga, etisitas tindakan manusia terkait dengan
maksud tindakan seseorang. Maksud dalam konteks ini berarti alasan yang
mendorong manusia untuk melakukan sesuatu. Pertanyaan yang seringkali muncul
untuk menggali maksud subyek melakukan tindakan adalah mengapa saya atau dia
melakukan tindakan itu? Ada
apa di balik tindakannya? Mengapa? Maksud adalah rencana hehendak seseorang
untuk melakukan sesuatu dan tindakan ini mendatangkan dampak dalam seluruh
hidup manusia. Baik atau buruknya maksud seseorang dapat menimbulkan perbuatan
yang baik atau buruk. Maksud baik tidak dengan sendirinya menghasilkan tindakan
atau perbuatan baik.
4. Status
Etika Bisnis[7]
Umumnya peran etika bisnis belum memiliki
posisi mutlak (definite) dalam masyarakat kita, namun tergantung pada pilihan
seseorang berdasarkan keyakinan moralnya. Perspektif dan orientasi moral
seseorang menentukan arah pilihan tentang etika bisnis. Hasil pilihan seseorang
bisa positif dan bisa juga negative. Hal ini tampak dari keputusan-keputusan
moral yang diambil. Perbedaan filsafat dalam bidang bisnis akan menentukan
sikap orang terhadap etika bisnis. Mereka bajik (virtual) umumnya mencintai kebenaran dan kejujuran yang juga
diperlukan dalam bidang bisnis. Seseorang yang berkeutamaan akan melakukan
sesuatu berdasarkan takaran kebenaran dan kejujuran dan tanpa kompromi.
Sementara itu, seorang penganut paham
relativisme tentang etika bisnis akan mengambil sebuah keputusan berdasarkan
segala macam informasi yang didengarkan dari kiri atau kanan. Penganut paham
ini akan mengaitkan keputusannya dengan unsur-unsur atau faktor-faktor seputar
lingkaran bisnis. Seorang relativis akan mengambil sebuah keputusan berdasarkan
apa yang baik secara moral, jika keputusan itu mendatangkan hasil-hasil yang
diinginkan. Tampak ada keterkaitan antara keputusan dan keinginan dalam usaha
yang dijalankan. Tolok ukur relativisme adalah situasi atau keadaan yang
dialami pada waktu mengambil sebuah keputusan etis.
Betapapun, dari sisi lain, harus diakui sekarang
bahwa sejumlah Negara di dunia telah menyadari pentingnya peran etika dalam
dunia bisnis atau perusahaan yang sedang berjalan. Bisnis tanpa etika akan
mendatangkan pengaruh besar bagi relasi antarpribadi manusia dan antarnegara.
Acapkali kadar relasi personal terganggu melalui jalur bisnis, kalau peran
etika bisnis disingkirkan. Etika bisnis berusaha menolong manusia untuk
menggerakkan roda bisnis dengan pedoman-pedoman yang menjunjung nilai etis.
Kejujuran, tanggung jawab, baik, jahat, kebenaran termasuk nilai-nilai yang
perlu ditegakkan dalam dunia bisnis.
5. Etika
Bisnis
Istilah ini menyedot banyak perhatian dalam
dunia sastera. Acapkali istilah ini tidak diterangkan dalam makna yang memadai.
Biasanya istilah ini dihubungkan dengan kebenaran atau kesalahan perilaku,
namun tidak semua orang menyetujui apa yang benar atau
salah secara moral, apa yang baik atau tidak baik, apa
yang etis dan tidak etis.[8]
Hanya berdasarkan sikap jujur dan saling percaya sebuah jalinan bisnis dapat
dibangun dan bertahan. Semua langkah penipuan atau pembohongan dengan sangat
mudah terdeteksi dalam era komunikasi modern. Sebuah kepercayaan dalam dunia
bisnis termasuk sebuah cost yang luar
biasa, sehingga semua strategi bisnis dapat mendatangkan buah yang
menggembirakan dan bermasa depan. Baik hubungan langsung ataupun sistem kontrak
dalam dunia bisnis mengandaikan sikap saling percaya yang bisa saling
menguntungkan.
Sebenarnya, apakah yang dimaksudkan dengan
etika bisnis? Selama bertahun-tahun Applied Corporate Governance berusaha menimbang
dan bertukar pikiran tentang bagaimanakah merumus etika bisnis, khususnya dalam
kaitan dengan pemerintah. Salah satu rumusan tersingkat dikemukakan oleh Lord
Moulton berbunyi “obedience to the
unenforceable”. Dengan ringkas dapat kita rumuskan etika bisnis sebagai penerapan
kode perilaku moral pada manajemen bisnis yang strategis dan operasional.
Etika bisnis umumnya hasil dari tolok ukur moral seseorang di dalam konteks
lingkungan politik dan kultural.[9]
Dalam kupasan tentang etika bisnis, menurut
J. Fieser, biasanya pebisnis mengaitkan etika bisnis dengan tiga unsur utama
ini:
(1) menghindari pelanggaran hukum kriminal
dalam berbisnis;
(2) menghindari tindakan yang mungkin
melawan perusahaan;
(3) menghindari tindakan yang merusak citra
perusahaan.
Mengapa etika bisnis terkait dengan ketiga unsur
tersebut? Ini disebabkan oleh dunia bisnis yang selalu bersentuhan dengan
kerugian dan nama baik perusahaan. Singgungan mengenai etika bisnis biasanya
disadari pada saat sedang menuntut ilmu pengetahuan, dalam keluarga atau
lingkungan sosial. Yang ingin ditekankan adalah bahwa pendidikan dasar tentang
etika bisnis semestinya sudah ditanamkan dalam diri seseorang sejak dia masih
pada usia relatif muda.
Adalah tidak mudah untuk membahas dan
menerapkan etika bisnis berhadapan dengan mereka yang mengorientasikan hidup
pada pencarian keuntungan tak halal lewat bisnis. Belum semua pebisnis
menyadari pentingnya etika, karena bisnis pada dasarnya berorientasi pada
pencarian keuntungan dan kesejahteraan individual sebanyak mungkin, sedangkan
peran nilai etis dalam dunia bisnis disingkirkan.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga cara
berbeda tentang asal-muasal tolok ukur etika bisnis.
Pertama, sejumlah pebisnis berpendapat bahwa ada
suatu hubungan simbiotik antara etika dan bisnis yang menekankan profit oriented. Pendekatan simbiotik
ini mengenal dua versi: (a) versi lemah dan (b) versi kuat.
Yang versi lemah diungkapkan dalam
perkataan good ethics results in good
business. Ini menunjukkan bahwa praktek bisnis bermoral terletak pada
pencarian keuntungan. Bisnis akan bermasa depan kalau pelaku bisnis memiliki
relasi yang baik dengan orang banyak. Versi lemah ini mengandung
masalah-masalah. (1) Banyak praktek bisnis bermoral akan mendatangkan
keuntungan hanya dalam jangka panjang. Bisnis jangka pendek akan sulit meraih
keuntungan. (2) Sejumlah praktek bisnis bermoral tidak dapat diperoleh
sekalipun dalam jangka panjang. (3) Yang terpenting, praktek bisnis bermoral
yang dianggap baik untuk bisnis tergantung pada apa yang pada waktu itu akan
mendatangkan keuntungan.
Sedangkan pendekatan simbiotik versi keras
berpandangan bahwa dalam sebuah pasar sarat persaingan dan bebas motivasi untuk
memperoleh keuntungan dalam kenyataannya akan menghasilkan sebuah lingkungan
berwawasan moral. Dorongan untuk memperoleh untung akan melahirkan moralitas.
Versi ini mengenal semboyan good business
results in good ethics. Pendekatan ini pun berhadapan dengan masalah bahwa
seorang pengguna barang akan membeli sebuah produk sesuai dengan daya belinya;
padahal mutu sebuah produk biasanya disesuaikan dengan kemampuan pasar.
Kedua, etika bisnis dibatasi dengan mengikuti
hukum. Kewajiban-kewajiban moral dalam dunia bisnis dibatasi sampai pada
tuntutan-tuntutan hukum. Aspek-aspek paling universal dari moralitas Barat
sudah dituangkan dalam sistem hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip moral yang
berada di luar tuntutan hukum menjadi pilihan saja, karena para filosof
berdebat tentang pemberlakuannya. Dalam sebuah masyarakat majemuk,
kewajiban-kewajiban moral yang berhubungan dengan dunia bisnis pada dasarnya
ditemukan dalam rumusan-rumusan hukum yang berlaku. Kewajiban-kewajiban ini
menyangkut pedoman kejujuran dalam reklame, mutu produk, keadaan kerja yang
aman. Hukum menjadi kekuatan moral dalam dunia bisnis. Sangat perlu
diperhatikan pembakuan perilaku dalam dunia bisnis yang sesuai dengan tuntutan
hukum dan seiring dengan norma moral.
Ketiga, pembicaraan tentang etika bisnis bertitik
tolak dari kewajiban-kewajiban moral umum. Moralitas harus dimasukkan sebagai
sebuah faktor di luar motivasi pencarian untung dan hukum. Perilaku etis berada
di atas ketentuan hukum (Gene Laczniak, “Business Ethics: A Manager’s Primer,”
1983). Dalam hal ini terdapat prinsip moral yang diajukan sebagai berikut:
1.
Harm principle: bisnis seharusnya menghindari bahaya-bahaya yang tak
direncanakan;
2.
Fairness principle: bisnis seharusnya jujur dalam praktek
3.
Human rights: bisnis seharusnya menghargai hak-hak asasi
4.
Autonomy: bisnis seharusnya tidak membatasi hak pilih si
pembeli
Di samping sebagai sebuah disiplin ilmu, harus
digarisbawahi bahwa diskursus tentang etika bisnis selalu menyatu dengan sistem
nilai yang tertuang dalam norma-norma perilaku manusia, seperti jujur, apa
adanya, tanggung jawab. Sistem nilai dalam bentuk norma ini mengatur perilaku
sekelompok manusia khususnya yang berprofesi yang sama. Konsensus dari kalangan
pebisnis dapat membangun sikap saling percaya kalau suatu bisnis sungguh
dibangun berdasarkan sikap jujur dan bertanggung jawab. Pertautan etika dan
bisnis belakangan ini terasa semakin disadari oleh mereka yang langsung terjun
dalam bidang bisnis.
Dewasa
ini orientasi bisnis sudah mulai berubah arah. Sebelumnya, dalam masyarakat
tradisional diterapkan sebuah sistem bisnis yang hanya menguntungkan pihak
pemilik modal, namun sekarang semua orang yang terlibat dalam bisnis sebuah
perusahaan ikut bertanggung jawab dan menikmati keuntungan melalui bisnis yang
dijalankan. Munculnya stakeholder
approach dalam dunia bisnis tak terhindarkan sedikitpun. Siapapun yang
berkepentingan dengan perusahaan, misalnya pemerintah, pemilik, pegawai,
masyarakat dan konsumen ikut menentukan gerak dan masa depan sebuah bisnis.
Dunia bisnis perlu memerhatikan lebih banyak kepentingan seputar kegiatan
bisnisnya. Sebuah keuntungan yang diraih melalui jalan-jalan penipuan hanya
merupakan sebuah bom waktu yang dapat sewaktu-waktu meledakkan dunia bisnis
yang sedang dirintis. Dus, etika bisnis mengandaikan good will dari perusahaan yang digerakkan.
6. Mengapa perlu beretika
bisnis?
Mengapa dewasa ini etika bisnis dirasa
semakin penting? Banyak pihak menyadari bahwa kejujuran dan tindakan yang
bertanggung jawab dalam dunia bisnis memang penting. Sekurang-kurangnya
terdapat beberapa latar belakang tentang pentingnya peran etika dalam dunia
bisnis. Setelah menganalisis keadaan bisnis di beberapa Negara (Amerika
Serikat, Jepang dan Eropah), Raphael Gomez, mengemukakan lima makna etika bisnis dewasa ini:
1.
Kesadaran
akan kesetia-kawanan dan kesadaran bahwa tindakan-tindakan jahat akan merugikan
pihak lain;
2.
Kesadaran
akan pentingnya orang lain, atau memikir ulang pepatah “Jangan lakukan pada
orang lain apa yang tidak kau senangi mereka perbuat padamu.”;
3.
Takut
akan pengaruh-pengaruh tidak sehat terhadap nama perusahaan, kehilangan rasa
hormat dan citra perusahaan;
4.
Takut
akan sanksi-sanksi hukum, yang selalu disertai dengan denda dalam bentuk duit;
5.
Kalau-kalau
perusahaan jadi bangkrut.
Etika bisnis akan manjadi sebuah bahan
pembicaraan hampa . belaka, kalau hanya menimbang makna dalam butir satu sampai
dengan tiga. Bahkan makna dalam butir empat dan lima pun acapkali tidak meyakinkan kita bahwa
etika bisnis adalah suatu kebutuhan.
Menumbuhkan sikap saling percaya antara pebisnis dan
konsumen memang tidak semudah yang dibayangkan. Sangat sulit memercayai mereka
yang langsung terjun dalam dunia bisnis. Seseorang yang menjalankan bisnis
dengan jujur merupakan sebuah tuntutan bagi mereka yang ingin berbisnis dengan
aman dan sesuai dengan keadaan kebudayaan tertentu. Mungkin bagi sejumlah
pebisnis, istilah “perilaku etis” (“ethical
attitudes”) menunjuk pada konstruksi kedua dan teoretis. Malah telah muncul
pandangan bahwa “pemikiran etis” hanya berada pada lapisan teoretis dan semua
orang memiliki jenis pikiran itu.[11]
7. Tanggung jawab etis
7.1.
Kemelut bisnis
Berbisnis dalam dunia modern menuntut
tanggung jawab yang tidak kecil. Cukup banyak pembeli kecewa dengan
promosi-promosi atau iklan produk yang disosialisasi karena tidak sesuai dengan
kenyataan. Ini menunjukkan adanya pembohongan publik antara pihak yang
memromosikan dan produk yang dipromosikan. Ketidak-benaran dalam sebuah iklan
akan mengecewakan konsumen produk tersebut.
Malah, belakangan ini muncul kritik
besar-besaran terhadap makanan atau minuman yang mengandung zat pengawet yang
merusak kesehatan manusia, seperti melamin, formalin dalam tepung susu, makanan
atau minuman. Makanan yang sudah kadaluarsa acapkali masih dipasarkan. Mutu
barang yang ditawarkan tidak sesuai kenyataan. Kemasan barang tidak sesuai
dengan isinya. Malah, daging berulat masih diperdagangkan dalam memeriahkan
hari raya tertentu. Tampak, sejumlah pelaku bisnis masih belum memiliki
kesadaran akan pentingnya jaminan kesehatan dalam memasarkan produk tertentu.
Keadaan tersebut bisa muncul sebagai akibat
kelalaian badan pemeriksaan makanan atau minuman sebelum dipasarkan. Setiap
jenis makanan yang sudah dikalengkan atau dibungkus seharusnya diperiksa dulu
oleh pihak pemerintah supaya tidak menimbulkan dampak samping yang merugikan
atau menghancurkan kesehatan manusia. Ketidak-tegasan pihak pemerintah membuka
peluang bagi usahawan untuk tidak serius memerhatikan mutu produk yang mereka
pasarkan.
Akibatnya, anak-anak yang meneguk susu
berformalin jatuh sakit. Makanan yang tidak segar atau malah sudah beracun
mengantar manusia ke rumah sakit. Terkadang ada nyawa yang terenggut setelah
menikmati makanan kadaluarsa atau mengandung zat yang merusak kesehatan
manusia. Akibat lain yang memilukan adalah munculnya penyakit-penyakit yang
mengganggu masa depan konsumen.
Keadaan ini menunjukkan bahwa dunia bisnis
menuntut tanggung jawab setiap pelaku bisnis supaya konsumen tidak merasa
dirugikan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab dalam menjalankan dunia
bisnis. Hak seorang konsumen seharusnya terpenuhi dan seorang pebisnis tidak
mengalami kerugian dalam usahanya. Keseimbangan hak produksen dan konsumen
perlu mendapat perhatian, sehingga tidak menimbulkan ketidak-adilan dalam dunia
pasar.
7.2.
Kebebasan
Salah satu unsur yang membedakan manusia
dari hewan adalah kemampuan manusia untuk memilih dan memutuskan dengan sadar.
Kesadaran ini menyentuh keadaan sekarang dan lingkungan sekitarnya. Keadaan
sekarang dipertimbangkan dengan matang sambil memikirkan dampak samping sebuah
keputusan. Sementara itu, manusia menganggap bahwa makhluk hidup lain tidak
memiliki kesadaran dalam pengambilan keputusan. Namun, tampaknya, makhluk hidup
lain, seperti anjing, kucing, babi dan monyet memiliki kesadaran akan keadaan
di sekitarnya. Bila pernah diperlakukan dengan kasar, biasanya makhluk hidup
itu (anjing, kucing, babi dan monyet) akan ingat dan berusaha menghindar
sebelum berjumpa dengan orang yang pernah bertindak keras terhadapnya.[12]
Perlu disadari bahwa manusia tidak memiliki
kebebasan mutlak atau kebebasan sesuka hati. Kebebasan manusia pada dasarnya
bersifat relatif dan terkait dengan keadaan di sekitarnya. Setiap orang
memiliki sasaran dan tujuan dalam hidupnya. Tidak ada seorangpun yang
sungguh-sungguh bebas. Diri manusia dan lingkungan sekitarnya membatasi kebebasan
manusia. Dengan langgam bahasa filsafat, manusia bebas dari keadaan (situasi)
tertentu untuk berada di tempat tertentu dan melakukan pekerjaan tertentu.
Berada dalam situasi tertentu dan melaksanakan pekerjaan tertentu menunjukkan
bahwa manusia tidak bisa sebebas yang diinginkan.
Kebebasan manusia adalah kebebasan yang
bertanggung jawab. Apapun yang dikatakan dan dilakukan perlu
dipertanggung-jawabkan di hadapan sesama dan Sang Pencipta. Pertanggung-jawaban
atas perbuatan ini mengingatkan manusia supaya sebelum berencana, berpikir,
berbicara dan melakukan sesuatu, manusia perlu menimbangnya secara matang
supaya tidak menimbulkan dampak yang merugikan di hari depan. Dalam menimbang
ini, pendapat atau masukan dari pihak lain yang lebih berpengalaman (orang tua,
famili, guru, teman kerja, pemimpin perusahaan) akan menolong seseorang untuk
mengambil keputusan yang benar dan tepat.
7.3. Tanggung jawab moral
Setiap manusia pada dasarnya dikaruniai
akal budi (reason), hati nurani (conscience) dan kehendak (will). Ketiga unsur penting ini
memengaruhi hidup, usaha dan kerja manusia. Sebelum melakukan setiap perbuatan,
biasanya manusia menimbang dulu pengaruh atau akibat perbuatan itu.
Pertimbangan tentang akibat atau dampak perbuatan itulah yang menyadarkan manusia
akan tanggung jawabnya atas perbuatan yang direncanakan atau dipikirkan.
Dalam artian sempit, seseorang hanya bertanggung jawab atas apa saja yang direncanakan dan
dilakukannya, dan bukan atas apa yang datang kemudian. Yang
dipertanggung-jawabkan adalah apa yang dirancang dan dilakukan seseorang dan
bukan apa yang terkait dengan perbuatannya. Belum pasti apa yang terjadi
kemudian adalah akibat perbuatannya. Dari pandangan ini tampak
sekurang-kurangnya dua gambaran positif: (1) perilaku manusia mengandung pelbagai
aspek yang dapat dikontrol manusia; (2) bahaya atau kerugian dalam tindakan
bukan akibat perbuatan satu orang, namun melibatkan pihak-pihak lain atau
berada dalam sebuah konteks perbuatan yang rumit.[13]
Namun, tanggung jawab memiliki makna lebih luas. Seseorang tidak hanya
bertanggung jawab atas apa yang direncanakan dan dilakukannya, namun dia juga
bertanggung jawab atas apa peristiwa-peristiwa lanjutan dan akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatannya. Seseorang yang bertindak dengan kemauan dan
kesadaran umumnya telah mengetahui dampak perbuatan yang akan dilakukannya.
Orang-orang tertentu dengan latar belakang kebudayaan tertentu umumnya telah
mengetahui dampak perbuatan yang bakal dilakukannya.
Tanggung jawab manusia selalu berdimensi
sosial karena setiap perbuatan manusia berdimensi sosial. Tindakan manusia pada
umumnya terkait dengan pihak lain atau pelbagai pihak dan akibatnya acapkali
mengenai diri si pelaku atau pihak lain. Akibatnya, setiap perbuatan manusia
perlu dipertimbangkan dengan pandangan konsekuensialisme. Setiap keputusan dan
tindakan manusia memiliki (rentetan) konsekuensi yang harus dipertimbangkan
dengan matang.
7.4.
Tanggung jawab dalam dunia bisnis
Dalam dunia bisnis, sebuah perusahaan
sekurang-kurangnya terkait dengan tanggung dalam tiga bidang:
(1) peduli konsumen (memenuhi tuntutan konsumen
dan keamanan produk);
(2)
peduli
lingkungan (tidak menimbulkan kerusakan lingkungan)
(3)
peduli
kondisi kerja yang minimal (memerhatikan kesejahteraan karyawan)
Komitmen moral untuk mencegah atau menghindari
akibat dalam dunia bisnis memang penting. Sebuah usaha etis partisipatori
diperlukan. Dengan melibatkan diri dalam mencegah kerusakan pribadi dan
lingkungan, sebuah perusahaan akan merebut sebuah posisi penting dalam
persaingan pasar dewasa ini. Sebuah jalinan kerja sama dengan pihak-pihak
pemegang kuasa dalam masyarakat diperlukan untuk mewujudkan penyelamatan
lingkungan hidup. Kesadaran ini dapat menolong pelaku bisnis untuk menyusun
langkah-langkah kebijakan demi keuntungan semua pihak yang terkait dalam dunia
bisnis.
Tanggung jawab dalam bidang bisnis berusaha
meningkatkan mutu kegiatan bisnis. Akibat-akibat katastrofik sebagai dampak
tindakan immoral manusia perlu diperhitungkan dalam aktivitas bisnis. Dalam hal
ini etika bisnis berani mendorong para pebisnis untuk menyatakan komitmen
perusahaan dalam menanggapi tuntutan-tuntutan moral dalam kegiatan bisnis. Ini
berarti perusahaan-perusahaan perlu memiliki kesadaran akan tanggung jawab
dalam menjalankan bisnis mereka.[14]
Terdapat dua paham tentang tanggung jawab moral dalam
dunia bisnis. (1) Pandangan individualis
dan (2) Pandangan kolektivis. Pandangan individualis menekankan bahwa
hanya individu yang bertanggung jawab dan bahwa perusahaan tidak pernah bisa
bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Filsafat individualis
berpandangan bahwa hanya pribadi sebagai individu bisa menjadi pelaku moral
(moral agent); itulah sebabnya perusahaan secara moral tidak bertanggung jawab
atas apa yang mereka lakukan. Semua keputusan moral perusahaan diambil oleh
individu-individu dan bukan oleh perusahaan. Manejer-manejer individual juga
bertanggung jawab apabila mereka dengan tahu dan mau terlibat dalam
kebijakan-kebijakan yang berbahaya dan immoral.
Pandangan kolektivis: posisi ekstrim
lain hanya memandang tokoh-tokoh kolektif perusahaan, menekankan moralitas
tujuan, strategi, prosedur dan kontrol moralitas. Mereka menolak untuk melihat
bagaimana seluruh organisasi didukung oleh manusia-manusia, individu-individu
yang sanggup mengambil keputusan bagi mereka sendiri dan bagaimana mereka
sanggup memenuhi tuntutan-tuntutan yang mereka perlukan. Perusahaan bukan hanya
kumpulan sejumlah bagian. Organisasi-organisasi kolektif selalu berada karena
manusia mau dan sanggup membantu untuk mencapai tujuan-tujuan secara kolektif.
Bagaimanapun, tanggung jawab moral tetap dipikul oleh sebuah perusahaan
walaupun kesalahan dilakukan oleh individu-individu dalam perusahaan.
Bagaimanakah
posisi “moral corporate excellence” (“keunggulan moral perusahaan”)?
W.M. Hoffman menitikberatkan pentingnya dimensi keunggulan moral sebuah
perusahaan terletak pada kodrat kebudayaan moral perusahaan. Tujuan-tujuan,
struktur dan strategi etis adalah untuk membentuk sebuah kerangka konseptual
dan operasional untuk pengambilan keputusan moral. Titik pandang moral mendapat
perhatian utama dan dunia bisnis seharusnya tidak berada di luar kerangka pola
pandang ini. Dalam hal ini, setiap individu tetap bertanggung jawab atas apa
yang dilakukannya. Tentu, tanggung jawab sebuah perusahaan pun tidak bisa
disingkirkan begitu saja. Baik individu maupun perusahaan tetap bertanggung
jawab dalam proses berbisnis.[15]
7.5.
Tanggung jawab (pendekatan Barat dan Timur)
Hingga sekarang, orang-orang Korea
(Selatan) misalnya, masih menekankan peran tanggung jawab kolektif (kebersamaaan)
dalam menghadapi masalah yang muncul. Tanggung jawab bersifat kolektif karena
berdasarkan hubungan dalam keluarga, ayah, ibu dan seluruh keluarga. Rasa
tanggung jawab bersama ini masih hidup di kalangan keluarga orang Korea
yang menjalankan bisnis. Cara dan pandangan hidup ini berbeda dari pendekatan
Barat yang menekankan tanggung jawab individual. Tak heran kalau dalam sebuah
perusahaan diperlukan satu, dua atau beberapa orang yang memiliki otoritas atau
kesanggupan untuk mengambil keputusan.
Namun, belakangan ini, dalam banyak
perusahaan, tanggung jawab individual mulai mendapat perhatian. Tidak semua
orang yang terlibat dalam cabang bisnis yang sama akan merasa bertanggung jawab
atas apa yang sedang terjadi. Generasi muda orang Korea mulai mengubah paradigma
berpikir mereka bahwa tanggung jawab individual atau personal, baik dalam
keluarga maupun perusahaan, mendapat titik berat. Tampaknya peralihan dari
tanggung jawab kolektif kepada tanggung jawab individual akan menyedot waktu
hingga beberapa generasi.[16]
Harus diakui, bahwa dalam pandangan tentang
etiket bisnis, masyarakat Tiongkok juga lebih menekankan tanggung jawab dalam
kebersamaan (kolektif) dan bukan hanya tanggung jawab individual. Tempo dulu
hidup dalam kebersamaan merupakan sebuah ciri khas masyarakat Tiongkok, namun
dalam masyarakat modern, kehidupan berkeluarga tidak memiliki keanggotaan yang
banyak. Seluruh proses kelompok dalam masyarakt di Tiongkok tidak hanya
tergantung pada satu atau dua pemimpin, melainkan justru terletak pada
konsensus. Masalah-masalah yang muncul didiskusikan dulu sebelum mencapai
kesepakatan bersama. Jika sebuah keputusan diambil, diharapkan seluruh anggota
kelompok akan memegang dan mewujudkan konsensus itu. Kesepakatan bersama
ditaati dan dipenuhi. Keinginan atau kehendak individual tunduk di bawah
keputusan dan kesepakatan bersama.
Sekalipun masyarakat Tiongkok selalu siap
memenuhi tanggung jawab dalam sistem kelompok, namun sebagai sebuah ketentuan
banyak dari antara mereka merasa tidak bertanggung jawab terhadap orang luar
atau tamu-tamu. Tak heran, keramah-tamahan acapkali tidak dirasakan ketika
mereka berhadapan dengan orang dari luar. Acapkali mereka bersikap acuh tak
acuh satu terhadap yang lain. Bagaimanakah seharusnya memerlakukan orang-orang asing
merupakan sebuah pertanyaan yang masih perlu dijawab oleh orang-orang Tiongkok.[17]
8.
Etika bisnis di Indonesia
Sebagai sebuah disiplin normatif, harus
diakui bahwa dalam perkembangan terkini etika bisnis mulai mendapat tempat di
kalangan pebisnis. Aturan-aturan pemerintah sipil dalam bidang bisnis (misalnya,
Pasal 33 UUD 1945, UU Perburuhan No. 4/1982 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan
Depkes No. 193/1971 tentang perlindungan konsumen) mendorong para pebisnis
untuk menegakkan nilai-nilai dasar dalam praksis bisnis sehari-hari. Norma etis
penting karena akan mengatur lalu-lintas dunia bisnis berdasarkan nilai-nilai
dasar tersebut.
Penerapan etika bisnis di tanah air bukan
tanpa halangan. Peran mentalitas pebisnis hendaknya berani mendobrak semua
jalan atau cara untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengabaikan
peran etika bisnis. Kecenderungan manusia untuk membohong, menipu dan tidak
menepati janji yang sudah disepakati perlu disadari dan diatasi dalam sebuah
proses perbaikan mekanisme kerja yang jujur, bertanggung jawab dan disiplin dari
waktu ke waktu. Kecenderungan sosial untuk meminggirkan dan menekan kaum kecil
dalam hidup sosial perlu selalu diobati dengan sebuah kecenderungan baru untuk
menerapkan nilai dasar keadilan di tengah-tengah masyarakat majemuk.
Reformasi mentalitas dan mekanisme kerja
dalam dunia bisnis mutlak diterapkan menurut ketentuan hukum positif dan norma
etis yang berlaku dalam era modern. Persaingan bisnis semakin ketat dari waktu
ke waktu. De facto, belum semua pihak
(stakeholders) siap menerima
reformasi dalam bingkai penerapan etika bisnis. Kedisiplinan waktu, penepatan
janji, penjaminan mutu barang, kerja sama dalam kejujuran, transparansi,
tanggung jawab dan perbaikan mekanisme kerja masih merupakan wujud tantangan yang
harus dihadapi di hari-hari mendatang.
Sekalipun demikian, proses internalisasi
dan sosialisasi etika bisnis harus berjalan terus. Kendati selokan
berkelok-kelok, air harus terus mengalir. Etika bisnis dapat diibaratkan dengan
“air” yang membersihkan, memberi hidup dan menyelamatkan dunia bisnis. Air ini
diperlukan oleh setiap manusia untuk melancarkan arus bisnis, membersihkan
kotoran (pembohongan, penipuan dan pengingkaran janji) dalam dunia bisnis dan
membangkitkanbenih-benih kematian dalam dunia bisnis. Akan menjadi malapetaka
besar bagi dunia bisnis di Indonesia
kalau tidak menerapkan etika bisnis yang terasa semakin dituntut oleh dunia.
Masalah mendasar yang perlu dipikirkan oleh stakeholders
adalah bagaimanakah menjadikan etika bisnis sebagai bagian dari hidup yang
menjiwai para pebisnis di tanah air?
*)Alumnus Universitas Gregoriana dan Lateran, Roma,
Italia,
pengampu kuliah Etika Bisnis di STIE Widya Dharma, Pontianak.
Kepustakaan
Kamus
Hare, R.M. “Ethics” in A New Dictionary of Christian
Ethics. Ed. John Macquarrie and James Childress. London: SCM Press Ltd., 1992.
Buku
Chang, William. Pengantar
Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius,
2001.
Chang, William. The Dignity of the Human
Person in Pancasila and the Church Social Doctrine: En Ethical Comparative
Study. Quezon City:
Claretian Publications, 1997
De Mente, Boyé Lafayette. Korean Business Etiquette: The
Cultural Values and Attidudes That Make Up the Korean Business Personality. Boston, Rutland, Vermont, Tokyo:
Tuttle Publishing, 2004.
Gomez, Raphael. What’s Right and Wrong in
Business? A Primer on Business Ethics.
Manila:
Sinag-Taa Publishers, 2002.
Pratley, Peter. The Essence of Business Ethics.
London:
Prentice Hall, 1995.
Seligman, Scott D. Chinese Business
Etiquette: A Guide to Protocol, Manners, and Culture in the People’s Republic
of China.
New York, Boston: Business Plus, 1999.
Vidal, M. L’atteggiamento morale 1: morale
fondamentale. Assisi:
Cittadella editrice, 1990.
Artikel
12ollin 12ush, Business
ethics – explanation of definition.
Fieser, James. “Business Ethics”, http://www.utm.edu/staff/jfieser/vita/
research/busbook.htm.
Lewis, Phillip V.
“Defining ‘business ethics’: Like nailing jello to a wall”.
[1]M. Vidal, L’atteggiamento morale 1: morale
fondamentale (Assisi: Cittadella editrice, 1990), 3.
[2]R.M. Hare, “Ethics”, A New Dictionary of Christian Ethics
(Ed. John Macquarrie and James Childress) (London: SCM Press Ltd., 1992),
206-208.
[3]Peter Pratley, The Essence of Business Ethics
(London: Prentice Hall, 1995), 8-10.
[4]Raphael Gomez, What’s Right and Wrong in Business? A Primer
on Business Ethics (Manila:
Sinag-Taa Publishers, 2002), 5.
[5]Bdk. Dr. William Chang, OFMCap, The Dignity of the Human Person in Pancasila
and the Church’s Social Doctrine: An Ethical Comparative Study (Quezon
City: Claretion Publications, 1997), 227-234.
[6]Dr. William Chang, OFMCap, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 47-72.
[7]12ollin 12ush, Business ethics – explanation of
definition, 1.
[8]Phillip V. Lewis, “Defining ‘business ethics’: Like nailing jello to
a wall”.
[9]12ollin 12ush, op. cit., 2.
[10]James Fieser, “Business
Ethics”,http://www.utm.edu/staff/jfieser/vita/research/ busbook.htm.
[11]Raphael Gomez, What’s Right and Wrong in
Business: A Premier on Business Ethics (Trans. Sinag-Tala Publishers) (Manila: Sinag-Tala
Publishers, 2002), 30-32.
[12]Peter Pratley, The Essence of Business Ethics,
63.
[13]Pratley,
Op. cit., 74.
[15]Pratley, The Essence of Business Ethics,
80-83.
[16]Boyé Lafayette De Mente, Korean Business Etiquette: The
Cultural Values and Attidudes That Make Up the Korean Business Personality
(Boston, Rutland,
Vermont, Tokyo:
Tuttle Publishing, 2004), 79-80.
[17]Scott D. Seligman, Chinese Business Etiquette: A
Guide to Protocol, Manners, and Culture in the People’s Republic of China
(New York, Boston: Business Plus, 1999), 44-47.