Ketika membaca Da Vinci Code karya Dan Brown, seorang pembaca kritis bisa tersenyum simpul karena manangkap basah Brown, yang secara ceroboh mengaitkan fiksi dengan fakta; mitos dan legenda dengan sejarah. Lain halnya bila orang membaca Misquoting Jesus: The Story Behind Who Changed the Bible and Why, karya Bart D. Ehrman. Buku ini dapat membuat hati tertegun sejenak, prihatin, dan aneka perasaan tak menentu. Mengapa? Karena Ehrman memaparkan sejumlah kesalahan dalam penulisan Alkitab dan dengan itu menggiring pembaca kepada kesimpulan bahwa Alkitab bukan Sabda Tuhan. Berbeda dari Brown, Ehrman adalah pakar di bidang Perjanjian Baru; orang yang sebetulnya berkompeten berbicara tentang masalah Alkitab.
Latar Pendidikan Bart D. Ehrman
Bart Ehrman tumbuh dalam lingkungan kristen konservatif (fundamentalis). Hal ini perlu ditegaskan untuk memahami revolusi pikirannya. Ia mengenyam ilmu di Moody Bible College Institute, Chicago. Moody terkenal sarat akan spirit fundamentalisme. Di sini hanya ada satu sudut pandang yang dianut, diajarkan, dan harus diakui (secara resmi melalui penandatanganan) baik oleh dosen maupun mahasiswa, yakni bahwa Alkitab adalah Firman yang tidak bisa salah dari Allah, seutuhnya terilhami kata demi kata. Dari sana ia melanjutkan ke Wheaton College Graduate School, di mana ia mendapatkan gelar dalam studi Perjanjian Baru. Bertolak belakang dengan Moody, Wheaton penuh dengan warna liberal. Di sini orang berbicara soal sastra, sejarah, filsafat, dan tidak segan untuk mempertanyakan apa yang tertulis dalam Alkitab maupun apa yang diimani. Kemudian ia menyelesaikan gelar Ph.D di Princeton Theological Seminary. Seorang Ehrman hidup dalam dua ekstrem yang bertentangan.
Misquoting Jesus
Dalam buku ini, Ehrman menggali Alkitab dengan perbandingan varian tekstual dan menemukan pelbagai kesalahan dalam penulisan Alkitab. Kesalahan dalam Alkitab, menurut Ehrman, membawa akibat Alkitab tidak bisa dipercaya dan dipandang sebagai firman Allah. Ia sendiri kehilangan keyakinan terhadap Alkitab. Akibatnya, Ehrman kehilangan imannya dan memandang dirinya sebagai seorang agnostik. Agnostisisme merupakan skeptisisme religius yang menaruh keyakinan pada ketidakmampuan untuk memahami hal-ikhwal Allah.
Latar Pendidikan Bart D. Ehrman
Bart Ehrman tumbuh dalam lingkungan kristen konservatif (fundamentalis). Hal ini perlu ditegaskan untuk memahami revolusi pikirannya. Ia mengenyam ilmu di Moody Bible College Institute, Chicago. Moody terkenal sarat akan spirit fundamentalisme. Di sini hanya ada satu sudut pandang yang dianut, diajarkan, dan harus diakui (secara resmi melalui penandatanganan) baik oleh dosen maupun mahasiswa, yakni bahwa Alkitab adalah Firman yang tidak bisa salah dari Allah, seutuhnya terilhami kata demi kata. Dari sana ia melanjutkan ke Wheaton College Graduate School, di mana ia mendapatkan gelar dalam studi Perjanjian Baru. Bertolak belakang dengan Moody, Wheaton penuh dengan warna liberal. Di sini orang berbicara soal sastra, sejarah, filsafat, dan tidak segan untuk mempertanyakan apa yang tertulis dalam Alkitab maupun apa yang diimani. Kemudian ia menyelesaikan gelar Ph.D di Princeton Theological Seminary. Seorang Ehrman hidup dalam dua ekstrem yang bertentangan.
Misquoting Jesus
Dalam buku ini, Ehrman menggali Alkitab dengan perbandingan varian tekstual dan menemukan pelbagai kesalahan dalam penulisan Alkitab. Kesalahan dalam Alkitab, menurut Ehrman, membawa akibat Alkitab tidak bisa dipercaya dan dipandang sebagai firman Allah. Ia sendiri kehilangan keyakinan terhadap Alkitab. Akibatnya, Ehrman kehilangan imannya dan memandang dirinya sebagai seorang agnostik. Agnostisisme merupakan skeptisisme religius yang menaruh keyakinan pada ketidakmampuan untuk memahami hal-ikhwal Allah.
Ehrman mengisi karyanya dengan pelbagai perikop atau bagian perikop (ayat-ayat) yang dianggapnya sebagai komentar ahli kitab di kemudian hari. Bagi Ehrman, hal ini membuat bagian tertentu dari Alkitab tidak lagi otentik. Ehrman juga mempermasalahkan ketidaksesuaian yang mencolok antara Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) dengan Injil Yohanes tentang kapan Yesus mati. Dan kesalahan yang paling fatal bagi Ehrman sendiri adalah komentar Yesus dalam Markus 2:25-26: “...bagaimana ia [Daud] masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar...” Di sini Yesus menyinggung kisah di mana Daud menerima roti sajian dari Imam Ahimelekh (1 Samuel 21:1-10). Karena yang tertulis dalam 1Sam adalah Ahimelekh (bukan anaknya: Abyatar), maka terdapat kesalahan secara teknis, entah dibuat oleh Markus, atau seseorang yang meneruskan kisah itu, atau oleh Yesus sendiri.
Titik Tolak yang Salah
Fundamentalisme apa pun, hanya tampak kokoh di luar, namun amat rapuh di dalam. Prinsip seorang fundamentalis adalah: “Tunjukkan kepada saya satu kesalahan dalam Alkitab maka saya akan membuangnya.” Ehrman hidup, tumbuh, dan bertolak dari cara pikir fundamentalistis ini. Setelah ditemukan kesalahan dalam Alkitab, Ehrman melihatnya sebagai kitab manusia, bukan firman Allah. Didikan Moody Bible College mengindoktrinasi Ehrman untuk memandang Alkitab sepenuhnya tidak bisa salah (ineran) dalam setiap kata-katanya. Gagasan-gagasan yang kaku tentang inspirasi verbal dan ineransi Alkitab mendasari problem yang dihadapi Ehrman.
Titik Tolak yang Benar
Untuk melihat titik tolak yang benar, kita harus menyimak apa yang menjadi dasar terbentuknya gerakan baru abad pertama yang disebut kekristenan. Dasar itu tidak lain, tidak bukan adalah peristiwa kebangkitan Yesus. Seluruh isi Perjanjian Baru mengarah kepada satu thema sentral, yakni bahwa Allah telah membangkitkan Yesus. Para pengikut-Nya yang percaya (Petrus dkk.), sanak saudara Yesus yang awalnya menentang-Nya (mungkin Yakobus atau Yudas), dan musuh-Nya (Paulus) menjadi saksi untuk peristiwa ini. Mereka rela dan berani mengorbankan nyawa untuk membenarkan peristiwa kebangkitan Yesus. Sangat mustahil akan ada orang-orang yang mau mengorbankan nyawa untuk hal yang mereka tahu sendiri sebagai kebohongan. Realitas kebangkitan dan dampaknya pada orang-orang yang mendengar serta tanggapan iman terhadap hal itulah yang mendorong timbulnya kekristenan, bukan Alkitab yang entah itu terilhami kata per kata atau yang bebas dari kesalahan. Ehrman menutup mata terhadap “isi” dan repot mempermasalahkan “kulit”.
Titik Tolak yang Salah
Fundamentalisme apa pun, hanya tampak kokoh di luar, namun amat rapuh di dalam. Prinsip seorang fundamentalis adalah: “Tunjukkan kepada saya satu kesalahan dalam Alkitab maka saya akan membuangnya.” Ehrman hidup, tumbuh, dan bertolak dari cara pikir fundamentalistis ini. Setelah ditemukan kesalahan dalam Alkitab, Ehrman melihatnya sebagai kitab manusia, bukan firman Allah. Didikan Moody Bible College mengindoktrinasi Ehrman untuk memandang Alkitab sepenuhnya tidak bisa salah (ineran) dalam setiap kata-katanya. Gagasan-gagasan yang kaku tentang inspirasi verbal dan ineransi Alkitab mendasari problem yang dihadapi Ehrman.
Titik Tolak yang Benar
Untuk melihat titik tolak yang benar, kita harus menyimak apa yang menjadi dasar terbentuknya gerakan baru abad pertama yang disebut kekristenan. Dasar itu tidak lain, tidak bukan adalah peristiwa kebangkitan Yesus. Seluruh isi Perjanjian Baru mengarah kepada satu thema sentral, yakni bahwa Allah telah membangkitkan Yesus. Para pengikut-Nya yang percaya (Petrus dkk.), sanak saudara Yesus yang awalnya menentang-Nya (mungkin Yakobus atau Yudas), dan musuh-Nya (Paulus) menjadi saksi untuk peristiwa ini. Mereka rela dan berani mengorbankan nyawa untuk membenarkan peristiwa kebangkitan Yesus. Sangat mustahil akan ada orang-orang yang mau mengorbankan nyawa untuk hal yang mereka tahu sendiri sebagai kebohongan. Realitas kebangkitan dan dampaknya pada orang-orang yang mendengar serta tanggapan iman terhadap hal itulah yang mendorong timbulnya kekristenan, bukan Alkitab yang entah itu terilhami kata per kata atau yang bebas dari kesalahan. Ehrman menutup mata terhadap “isi” dan repot mempermasalahkan “kulit”.
Tidak ada maksud di sini untuk mengecilkan peran Alkitab. Penegasan tentang dasar munculnya kekristenan mau mengatakan bahwa nilai data-data dan bukti-bukti yang dikemukakan dalam Alkitab tidak melebihi pesan yang mau disampaikan, yakni kejadian kebangkitan. Penting juga digarisbawahi bahwa dalam jangka waktu sepuluh hingga limabelas tahun keberadaan Gereja Perdana, belum ada satu pun buku Perjanjian Baru. Kendati demikian, Gereja berkembang dengan cepat dan luas. Pergumulan iman Ehrman timbul dari harapan yang keliru tentang sifat dan fungsi Alkitab.
Tradisi dan Inspirasi
Akar masalah Ehrman adalah keyakinan bahwa Alkitab diinspirasikan Allah secara verbal kata demi kata. Dan oleh sebab itu, Alkitab tak mungkin terdapat kesalahan. Setelah generasi pertama berlalu, tradisi lisan yang hidup dan berkembang dalam Gereja Perdana dirasa perlu untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Dengan dorongan dan bimbingan Roh Kudus (inspirasi) muncullah penulisan kitab-kitab suci sehingga tulisan-tulisan itu disebut sabda Allah. Yang ingin disabdakan Allah terdapat dalam tulisan-tulisan yang terinspirasi (Dei Verbum 11; DS* 3006; 3629). Ketika ilham itu diungkapkan dalam bahasa manusia, unsur sosial-budaya melekat tak terelakkan. Oleh karena itu, untuk menilai kebenaran yang terkandung dalam kitab-kitab suci, orang perlu menyimak maksud, pengandaian, konteks, bentuk sastra yang dipakai dalam pengungkapan, dan tradisi-tradisi yang menjiwainya (Dei Verbum 12).
Tradisi dan Inspirasi
Akar masalah Ehrman adalah keyakinan bahwa Alkitab diinspirasikan Allah secara verbal kata demi kata. Dan oleh sebab itu, Alkitab tak mungkin terdapat kesalahan. Setelah generasi pertama berlalu, tradisi lisan yang hidup dan berkembang dalam Gereja Perdana dirasa perlu untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Dengan dorongan dan bimbingan Roh Kudus (inspirasi) muncullah penulisan kitab-kitab suci sehingga tulisan-tulisan itu disebut sabda Allah. Yang ingin disabdakan Allah terdapat dalam tulisan-tulisan yang terinspirasi (Dei Verbum 11; DS* 3006; 3629). Ketika ilham itu diungkapkan dalam bahasa manusia, unsur sosial-budaya melekat tak terelakkan. Oleh karena itu, untuk menilai kebenaran yang terkandung dalam kitab-kitab suci, orang perlu menyimak maksud, pengandaian, konteks, bentuk sastra yang dipakai dalam pengungkapan, dan tradisi-tradisi yang menjiwainya (Dei Verbum 12).
*Denzinger-Schonmetzer (biasa disingkat DS) adalah kumpulan dokumen Gereja yang untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Heinrich Joseph Denzinger(D) pada tahun 1854. Pada tahun 1973, Adolf Schonmetzer (S) menerbitkan cetakan yang ke-35 dengan aneka revisi.
Lianto (Publikasi: Majalah Didache Januari 2008)
No comments:
Post a Comment