Thursday, July 24, 2008

Paus Tak Dapat Salah?


Pada momentum perayaan ulang tahun ke-80 (16/4/07), Paus Benediktus XVI menerbitkan buku setebal 400 halaman, berjudul Jesus of Nazareth. Buku ini berusaha mendamaikan figur Yesus-historis dengan figur Yesus-Injil sebagai jawaban terhadap pelbagai rumor simpang siur tentang Yesus akhir-akhir ini. Sejumlah kalangan menyayangkan adanya kesalahan kecil dalam buku itu. Mereka menghubungkannya dengan ajaran Gereja Katolik tentang “kebal-salah” (tak-dapat-salah) yang dikenakan pada jabatan Paus. Ajaran ini dikenal dengan istilah infalibilitas. Dalam konteks manakah infalibilitas diterapkan?

Orang yang pertama kali menunjukkan kesalahan kecil dalam buku Jesus of Nazareth karya Paus Benediktus XVI adalah teolog Robert Imbelli dari Universitas Boston. Dalam bagian buku yang menyinggung penerbitan buku-buku tentang Yesus, Paus Benediktus menyebut John Meier, seorang profesor di Universitas Notre Dame sebagai anggota imam Yesuit (SJ). Ternyata Meier bukan seorang Yesuit, melainkan seorang imam praja Keuskupan New York. Sejumlah teolog lain mengaitkan kesalahan ini dengan ajaran Gereja tentang infalibilitas paus. Ini jelas tidak tepat dan salah alamat.

Infalibilitas dimengerti sebagai bebas dari kemungkinan sesat/salah dalam hal-hal yang berkaitan dengan iman dan moral yang diwahyukan. Ini dianugerahkan oleh Kristus kepada seluruh Gereja dengan perantaraan Roh Kudus (Yoh 16:12-15; Lumen Gentium 12), khususnya kepada seluruh dewan uskup dalam kesatuan dengan paus, pengganti Petrus (lih. Kis 15:1:29; 1Kor 15:3-11; LG 25). Konsili Vatikan I mengajarkan bahwa paus tidak dapat sesat/salah, dalam jabatan sebagai gembala seluruh orang beriman dan pengganti Petrus, untuk mengajarkan kebenaran tentang iman dan moral ex cathedra (DS 3065-3075). Ex cathedra menunjuk pada sifat resmi suatu pernyataan kepausan. Ketetapan ex cathedra yang dikeluarkan seorang paus sebagai gembala dan guru semua orang Kristen dan sebagai kepala dewan uskup didasarkan pada kewibawaan apostolik tertinggi yang diserahkan kepadanya untuk menjaga kemurnian ajaran iman dan moral kristiani. Buku Jesus of Nazareth adalah refleksi Paus Benediktus selaku pribadi. Paus sendiri membuka kesempatan bagi khalayak ramai untuk mengkritisi karyanya. Gambaran Yesus dalam buku itu adalah refleksi dan sudut pandang pribadinya, bukan ajaran resmi Gereja Katolik Roma. Dalam konteks ini, kesalahan kecil dalam karya tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk menafikan atau mempertanyakan ajaran tentang infalibilitas.

Paus juga manusia. Selaku pribadi, seorang paus tentu dapat salah, baik dalam perkataan maupun tindakan. Namun segala perkataan dan tindakan seorang paus sebagai pribadi tidak bisa dikaitkan dengan infalibilitas. Dengan kata lain, infalibilitas dikenakan pada jabatan paus, bukan pada pribadinya (bdk. KHK 749 § 3). Dalam kenyataannya, ajaran-ajaran yang kebal salah (yang disampaikan ex cathedra) biasanya dihasilkan oleh konsili-konsili ekumenis. Amat jarang dari seorang paus. Seorang paus wajib menyelidiki iman seluruh umat beriman sebelum memberikan suatu ajaran resmi.

Dalam usaha menafsirkan ajaran-ajaran yang kebal salah, orang harus membedakan antara inti ajaran dan rumusannya. Yang kebal salah adalah inti ajaran yang mau disampaikan. Rumusan tentu dapat ditinjau ulang mengingat keterbatasan bahasa dan latar belakang zaman ketika rumusan itu dibuat. Kebenaran kristiani terlampau luas maknanya untuk dirumuskan secara memadai dalam kata-kata. Oleh karena itu umat beriman harus menyatakan Kebenaran itu dalam karya cinta kasih yang nyata yang melampaui rumusan kata-kata.

Lianto

No comments: