Tuesday, July 22, 2008
Kutu Perusak [buku] Sejarah
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melukiskan seluk beluk kehidupan kutu-kutu yang biasanya menggerogoti buku-buku tua. Judul tulisan ini ditujukan untuk Dan Brown, pengarang novel The Da Vinci Code (DVC). Brown menciptakan sendiri misteri yang meliputi pelbagai karya seni maupun teks-teks kuno. Skenario disusun sedemikian rupa sehingga rahasia yang ada di balik teks kuno seolah hanya dapat diperoleh dengan pemecahan kode-kode yang sudah diandaikan. Seorang pengamat berkata bahwa kesuksesan DVC lebih banyak berbicara tentang masyarakat modern yang mudah ditipu daripada tentang keterampilan seorang Dan Brown. Bagi ahli sejarah dan Kitab Suci, DVC hanya mengundang tertawaan. Namun bagi awam, karya itu dapat sejenak menggugah iman. Sisi positif dari keberadaan DVC adalah menantang umat Kristen untuk lebih kritis dan mampu mempertanggungjawabkan serasional mungkin apa yang diyakini. Banyak tulisan telah diterbitkan untuk menampik data yang diklaim Brown sebagai fakta. Tulisan kecil ini mencoba menambahkan sisi-sisi kecil yang barangkali luput dari perhatian sambil membuat plesetan atas nama Dan Brown melalui metode pemecahan sandi.
Mitos dan Legenda Dijadikan Sejarah
Cerita Cawan Suci yang dipergunakan Yesus dalam perjamuan terakhir adalah mitos dan legenda. Dunia Anglo mengenal legenda ini dalam versi Raja Arthur dan Ksatria Meja Bundar. Bangsa Jerman dan Prancis pun memiliki versi cerita tersendiri. Namun daya khayal orang modern bisa menempatkan legenda dan mitos menjadi fakta sejarah. Inilah yang dilakukan Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln dalam buku The Blood and the Holy Grail yang terbit tahun 1982. Mereka mengklaim diri telah melakukan riset kritis yang menemukan fakta sejarah bahwa Yesus dan Maria saling mencintai dan memiliki sejumlah anak. Anak-anak mereka pindah ke Prancis dan menikah dengan keluarga bangsawan yang kemudian melahirkan wangsa Merovingian, dan seterusnya.
Manipulasi fakta ini dimulai pada 1956 dengan rumor tentang harta terpendam dan dokumen penting yang ditemukan di Rennes le Château. Pierre Plantard dkk. memanfaatkan rumor itu dan menciptakan kebohongan, lengkap dengan dokumen Prancis dan Latin tentang adanya Biarawan Sion yang bertugas melindungi keturunan Yesus. Ternyata terbukti bahwa semua itu merupakan kebohongan. Di bawah sumpah pengadilan hukum Prancis, para pembohong (termasuk Plantard) mengakui perbuatan mereka. Karena penipuan ini, Plantard dihukum penjara dan meninggal tahun 2000.
Baigent telah diingatkan tentang penipuan ini. Tapi ia tetap meneruskan langkahnya. Pada tahun 1991, bersama Richard Leigh, ia menerbitkan The Dead Sea Scroll Deception. Buku ini penuh rumor tak akurat dan sindiran menyesatkan. Penulis mau menonjolkan kontroversi sekitar penundaan penerbitan terakhir ribuan fragmen Gulungan Laut Mati. Menurut Baigent dan Leigh, gulungan yang tak diterbitkan mengandung fakta yang mendukung teori mereka tentang Yesus. Beberapa bulan setelah buku mereka terbit, foto-foto sisa gulungan itu diterbitkan. Tak lama kemudian, teks Gulungan Laut Mati seluruhnya (dalam bahasa Ibrani, Aram, dan Inggris) telah tersedia. Dan terbukti, tidak ada pernyataan kontroversial The Dead Sea Scrolls Deception yang benar.
Kedua rumor Baigent dan Leigh (Cawan Suci dan Gulungan Laut Mati) diterima mentah-mentah oleh Brown. Perhatikan tokoh instruktur dalam DVC yang membantu Prof. Robert Langdon dalam memaknai rahasia Cawan Suci: Sir Leigh Teabing! Nama tokoh ini dibentuk oleh pecahan dan gabungan kedua penulis yang dikutip Brown: Leigh dan Baigent (diacak menjadi teaBing)! Melalui pemecahan sandi ala Brown, pembaca bisa melihat diri Leigh dan Baigent dalam tokoh Leigh Teabing. Tapi hal ini tidak memuaskan pemilik cerita. Baigent dan Leigh menggugat Brown dan penerbitnya dengan delik pencurian kekayaan intelektual.
Anekdot Brown atas “Perjamuan Terakhir”
Brown berpendapat bahwa dalam lukisan “Perjamuan Terakhir” karya Da Vinci, orang yang duduk samping kanan Yesus, tanpa janggut dengan rambut terurai adalah Maria Magdalena. Hal ini membuat ahli sejarah seni tertawa. Jeannine O’Grody, kurator Seni Eropa di Museum Seni Birmingham, memberi kuliah tentang “The Da Vinci Code and Renaissance Art”, di Galeri Seni Nova Scotia, Halifax, 2 Juni 2006. Komentarnya: “Rambut panjang dan tidak adanya janggut merupakan cara seniman Renaissance menggambarkan orang [lelaki] muda.” Tokoh di sebelah kanan Yesus dalam lukisan itu bukan Maria Magdalena, melainkan Murid terkasih, seorang laki-laki muda. Hal serupa kita temui juga antara lain dalam lukisan Da Vinci “Yohanes Pembaptis” muda (1513-1516), “St. Sebastian” (1502-1503) karya Raphael, “St. Julian” (1455-1460) karya Piero della Francesca, dan “Tobias dan Malaikat” (1470-1480) karya del Verrocchio. Karena Brown melakukan banyak kesalahan dalam hal seni, O’Grody meragukan keakuratan sebagian besar sejarah gerejanya.
Injil Filipus dan Injil Maria tidak Membuktikan Apa-apa
Ketika skenario Brown tiba pada masalah Injil Filipus dan Injil Maria, lagi-lagi ia membuat kesalahan besar. Sangat tidak benar bahwa Injil Filipus adalah catatan paling awal. Injil ini disusun pertama kali dalam bahasa Yunani atau Syria (bukan Aram seperti catatan Brown) sekitar tahun 150 M. Sementara Injil Markus (kanonik) disusun sekitar tahun 65 M. Penulis Injil Filipus tidak menyiratkan adanya romantika antara Yesus dan Maria Magdalena. Ia hanya ingin meninggikan Maria agar memiliki kedudukan yang sama dengan murid-murid lain. Hal yang sama juga ditekankan dalam Injil Maria. Isi kedua Injil tersebut amat dekat dengan tulisan-tulisan Gnostik. Besar kemungkinan ada kaitan dengan wacana persamaan gender yang memang sudah muncul di abad-abad awal. Yang diperjuangkan adalah hak Maria untuk ikut memberikan pengajaran kepada komunitas awal. Inilah persoalan utama Injil Maria.
Wacana itu diangkat dengan menciptakan dialog tentang Petrus yang keberatan karena merasa Yesus lebih mengasihi Maria daripada dirinya. Petrus meminta Maria Magdalena untuk membagikan kepada murid yang lain ajaran-ajaran yang disampaikan Yesus kepadanya yang tidak disampaikan kepada murid-murid lain. Bagi Brown, adanya pengetahuan khusus yang diberikan Yesus kepada Maria menyiratkan adanya hubungan khusus yang diarahkan pada gagasan pasangan hidup. Logika Brown ini adalah penalaran yang sesat. Seandainya benar bahwa Yesus menikahi Maria, mengapa Petrus harus dongkol karena diperlakukan berbeda? Bila mereka suami-isteri, bukankah wajar bila Yesus lebih mengasihi Maria? Kedongkolan Petrus justru menunjukkan bahwa tidak ada hubungan khusus antara Yesus dan Maria. Dengan fragmen Injil Maria, Brown mau membuktikan adanya pernikahan antara Yesus dan Maria. Di samping otentisitas Injil Maria diragukan, kutipannya pun tidak membuktikan apa-apa.
Rahasia di Balik Nama “Dan Brown”
Pemecahan kode (sandi) pada naskah-naskah kuno hanyalah metode bohong-bohongan Brown. Sebagai trik untuk menciptakan suspense pada karya thriller tentu sah-sah saja. Namun tidak benar bahwa naskah-naskah kuno mengandung kode yang harus dipecahkan. Mengikuti metode akal-akalan ini, nama Brown sendiri pun mengandung rahasia yang bisa dipecahkan. Jika diperhatikan dengan teliti dan diacak sedemikian rupa (seperti yang sering ditekankan Brown), nama “D-a-n-B-r-o-w-n” bisa menjadi “B-a-D-w-o-r-m” (m=n+n). Apa yang dilakukan Brown dengan karya-karyanya sangat cocok dengan kode rahasia dalam namanya: “ulat (kutu) jahat” perusak buku-buku (naskah/dokumen) tua.
Lianto
Sumber utama: Craig A. Evans, Merekayasa Yesus
Labels:
Apologetika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Wah, tulisan yang mantap untuk direnungkan pak...
:)
Post a Comment