Monday, July 21, 2008
Menelusuri Jejak Pembunuhan Yesus
Setiap tahun orang Katolik seluruh dunia merayakan kematian Yesus mulai dari perayaan Minggu Palma hingga Paskah Kebangkitan. Penyaliban Yesus adalah fakta yang paling terbukti benar dalam sejarah. Bukan saja disebut lebih dari 80 kali dalam Alkitab, tapi juga dicatat oleh sejarahwan abad pertama; Yosefus. Tulisan ini semacam rekonstruksi kasus pembunuhan Yesus. Apa motif pembunuhan? Siapa yang bertanggung jawab? Kayafas? Ponsius Pilatus? Atau…, Yesus sendiri?
Iklim Sosial Politik Yerusalem Zaman Yesus
Bangsa Yahudi dijajah oleh Kekaisaran Romawi. Untuk mempertahankan status quo, pemerintah Romawi membagi kuasa dengan Dewan Penasehat Negeri masyarakat Yahudi; Sanhedrin. Dewan ini terdiri dari 71 anggota. Kursi mayoritas berada di tangan kaum imam (yang berpaham Saduki). Sisanya diisi oleh wakil dari kaum bangsawan non-rohani. Sejak Ratu Alexandra berkuasa (77-67 SM), kaum Farisi juga terwakili di dalamnya. Ini trik cerdas yang mengubah kaum Farisi sebagai kaum oposisi menjadi kelompok yang (walaupun untuk sementara) bersedia menerima situasi politik saat itu. Dewan ini diberi kuasa untuk mengatur kehidupan sosial keagamaan masyarakat. Syaratnya, mereka ikut bertanggung jawab dalam menjaga keamanan yang kondusif.
Sejarah bangsa Yahudi diwarnai siklus kemungkaran-jatuh-bertobat-pembebasan. Berkali-kali dalam sejarah mereka dijajah oleh bangsa lain, mulai dari bangsa Mesir hingga Romawi. Saat ini pun mereka menantikan seorang pembebas yang mereka sebut Mesias. Sejumlah pribadi dan kelompok nasionalis bermunculan dengan label “Mesias”. Mereka adalah ancaman keamanan bagi orang Romawi dan terus menjadi buronan target operasi. Kaum Zelot adalah contoh terutama. Pendirinya adalah Yudas orang Galilea. Ia terbunuh dan pengikutnya tercerai berai. Dua putranya, Yakub dan Simon muncul kembali sekitar tahun 46-48 M. Mereka ditangkap dan disalibkan. Putra Yudas yang lain, Menahen memimpin pemberontakan pada tahun 66 M. Di Samaria ada tokoh bernama Taheb yang menamakan diri Mesias dari Samaria. Ia mengumpulkan banyak pengikut di Bukit Gerizim. Mereka melawan secara gerilya dengan markas tersembunyi di gua-gua. Terus menjadi duri dalam daging bagi pemerintah Roma. Suhu ketegangan politik biasanya memuncak pada hari perayaan Paskah Yahudi; peringatan atas pembebasan bangsa Yahudi dari jajahan Mesir. Serdadu Romawi dengan ketat menyisir seluruh pelosok kota di hari-hari menjelang hari raya ini. Inilah saat di mana orang Yahudi merenungkan kembali makna nasionalisme, keadilan, dan kemerdekaan dari jajahan bangsa lain. Ini saat dengan kondisi sosial yang sangat tidak menyenangkan bagi penguasa Roma dan imam Yahudi. Suhu ketegangan dan kepanikan yang tinggi membuat para penguasa bisa bertindak apa saja demi keamanan negara. Bukan kebetulan saja jika kebanyakan kerusuhan abad pertama terjadi di sini, Yerusalem, dan saat ini, pada perayaan Paskah.
Yesus, Mesias yang Menderita
Apakah Yesus ikut bertanggung jawab atas kematian-Nya sendiri? Kiprahnya sebelum masuk kota Yerusalem telah menunjukkan sikap anti status quo lembaga keagamaan Yahudi. Ia mendekati orang-orang marjinal yang dianggap najis oleh Taurat, menyembuhkan orang sakit pada hari terlarang; Sabat, mengampuni dosa, dan menyambut para “kafir” (menurut tafsiran para imam; orang Samaria dan orang-orang non-Yahudi).
Berbeda dari kaum revolusioner yang bersembunyi di gua-gua, Yesus beraksi terbuka di Kapernaum dan sekitarnya. Dan pada suatu hari menjelang Paskah Yahudi, Yesus memutuskan untuk berhadapan dengan para penguasa vis-รก-vis di Yerusalem. Ia muncul pada hari yang “panas” dengan pelbagai agenda reformasi. Dengan menunggangi keledai, Ia masuk kota Yerusalem melalui Gerbang Timur, persis dengan detail ramalan dalam Kitab Zakaria tentang kedatangan Mesias. Masyarakat menyambut-Nya seperti Raja dengan melambaikan daun palma. Dengan terang-terangan, Yesus menunjukkan jati diri-Nya. Aksi yang amat provokatif!
Esok harinya, Ia menuju halaman Bait Allah di mana orang sibuk berdagang di hari pasaran yang ramai. Protes atas ketidakadilan sistem Bait Allah diungkapkan dengan tindakan menjungkirbalikkan meja penukaran uang. Pada saat itu, peziarah yang akan merayakan Paskah harus menukar uangnya dengan uang koin Bait Allah yang suci. Tentu, dengan kurs tinggi yang mendatangkan keuntungan besar. Koin itu dipakai untuk membeli merpati putih tak bernoda untuk korban bagi Tuhan. Yesus juga mengecam ritual penyucian untuk orang-orang yang mau masuk Bait Allah. Bayaran yang mahal untuk penyucian harafiah itu tidak akan sanggup dilakukan oleh orang miskin. Ritual penyucian mengkondisikan penyaringan orang apa yang dikehendaki para imam untuk masuk Bait Allah. Menurut Kitab Misnah (aturan ritual), orang cacat, buta, sakit, dan lumpuh dilarang masuk kolam penyucian. Reformasi Yesus: semua orang berhak atas rahmat Allah tanpa perlu membayar. Perlawanan Yesus atas sistem komersial Bait Allah diungkapkan dengan gagasan amat berani: peruntuhan Bait Allah. Semua ini menyebabkan Yesus dilihat sebagai figur yang berbahaya.
Setelah aksi provokatif di Bait Allah, Yesus bukannya meloloskan diri, melainkan merayakan Paskah bersama murid-murid-Nya sesuai rencana. Tatkala berada di Taman Getsemani yang ada di luar benteng kota, Yesus juga tidak berniat “lari”. Sebagai orang yang hidup di Yudea, Yesus tentu tahu resiko yang harus ditanggung karena melawan penguasa Yahudi dan Roma. Mengapa kesempatan meloloskan diri tidak dimanfaatkan-Nya? Ada apa dengan-Mu, Yesus? Motif-Nya hanya satu: menjawab panggilan jati diri-Nya sebagai Hamba Tuhan yang menderita seperti dikidungkan dalam Kitab Yesaya.
Kayafas, Imam Agung Bait Allah
Kayafas-kah yang bertanggung jawab? Sepertinya dialah yang paling berkepentingan untuk menyingkirkan Yesus. Dari sudut pandang politik, ekonomi, dan sosial keagamaan, figur Yesus memang ancaman besar baginya. Kayafas adalah Imam Agung yang paling berkuasa dalam sejarah Yudea. Dia menjabat sebagai Imam Agung selama 18 tahun. Sementara imam-imam lain hanya bertahan rata-rata 4 tahun. Ia terkenal cerdik dalam memainkan kerja sama politik dengan penguasa Roma. Kendati Yudea dikuasai bangsa Romawi, hukum sipil dan agama dipegang oleh Sanhedrin yang dipimpin Kayafas. Pembagian kuasa ini bisa langgeng bila Sanhedrin dapat menjaga ketertiban hidup masyarakat.
Gerakan Yesus adalah ancaman nyata. Tak seorang pun dapat menjamin bahwa sosok Yesus tak akan memancing pemberontakan. Hari menjelang Paskah adalah moment panik bagi Kayafas karena para peziarah datang ke Yerusalem dari pelbagai pelosok wilayah. Muka dan kuasa Kayafas sungguh dipertaruhkan. Yosefus mencatat bahwa 255.600 ekor domba dipotong dan disantap pada suatu perayaan Paskah di Yerusalem. Jika seekor domba disantap oleh 10 orang, maka diperkirakan 2,5 juta orang yang berkumpul di Yerusalem pada pekan ini. Ini sungguh ancaman yang layak diperhitungkan.
Tidak banyak bukti yang bisa dipakai Kayafas untuk menyeret Yesus. Pengadilan yang diadakan Kayafas jelas ilegal dan cacat hukum. Tempat pengadilan bukan di ruang majelis yang semestinya, melainkan di kediaman Kayafas sendiri. Diadakan pada malam hari (tidak umum) dan pada hari raya yang melarang tindakan pengadilan. Setelah gagal dalam pembuktian tuduhan hasutan, Kayafas mencoba memancing Yesus untuk mengeluarkan kata-kata yang dapat dianggap hujatan. Mungkin ide Mesias dan Raja Yahudi bisa dimanfaatkan. Keduanya dapat menyeret Yesus ke dalam pertentangan dengan penguasa Roma. Kali ini Kayafas berhasil. Yesus tidak menyangkal hal itu. Malahan Ia memperuncing masalah itu dengan kata-kata bahwa mereka kelak akan melihat-Nya duduk di sebelah kanan Allah. Dengan ini Kayafas diuntungkan dalam dua segi. Ia sekarang dapat menggugat Yesus di hadapan penguasa Roma sebagai ancaman keamanan dan di hadapan rakyat Yahudi sebagai penghujat hukum Taurat yang harus dihukum mati. Hak untuk memutuskan hukuman mati ada di tangan wali negeri Ponsius Pilatus.
Ponsius Pilatus, Wali Negeri Yudea
Philo (teolog dan filsuf Yahudi abad pertama) menyebut Pilatus sebagai orang yang arogan, licik, dan sangat anti-Yahudi. Keterlibatannya dalam kasus pengadilan Yesus mungkin lumayan penting mengingat namanya tercantum dalam Credo (Aku Percaya). Yesus bukanlah korban satu-satunya. Sebagai wali negeri, ia memegang kuasa penuh atas hidup dan mati seseorang. Ia dibenci oleh orang Yahudi karena kebijakan yang semena-mena. Yosefus mencatat perlawanan orang Yahudi ketika Pilatus memakai uang perbendaharaan Bait Allah untuk membangun saluran air. Bentrokan itu menewaskan tidak sedikit orang Yahudi yang berdemonstrasi. Ia juga bertindak berlebihan ketika membunuh sejumlah orang Samaria di Bukit Gerizim. Tidak ada alasan khusus yang membuatnya harus lebih memperhatikan keadilan bagi Yesus. Yang dipikirkan Pilatus hanyalah bagaimana ia dapat menjaga ketertiban dalam wilayah kekuasaannya.
Di mata Pilatus, Yesus beda dari pemberontak yang pernah ia lihat. Ia tidak berbahaya. Pilatus bahkan bermaksud membebaskan-Nya. Ia bisa saja menutup kasus itu ketika mengatakan bahwa Yesus tidak bersalah. Tapi ada hal lain yang harus diperhitungkannya; massa! Kabar mesianis juga menggalaukan pikirannya. Kalau pun pribadi Yesus tidak berbahaya, gagasan tentang identitas Mesias bisa saja menciptakan semangat pemberontakan. Di saat menegangkan seperti ini, percikan api kecil bisa menyulut bencana besar. Oleh karena itu Pilatus menciptakan kondisi seolah dia tidak bertanggung jawab atas vonis Yesus. Vonis diberikan atas tuntutan rakyat Yahudi. Dan Yesus sendiri sebagai tertuduh tidak membela diri. Amnesti Paskah yang ditawarkan Pilatus juga tidak berhasil membebaskan Yesus. Massa Yahudi lebih memilih Barabas ketimbang Yesus. Pilatus memang ikut berperan secara tidak sengaja. Dia ikut bertanggung jawab karena bagaimanapun juga vonis dijatuhkan oleh kuasa yang dimilikinya. Dilema Pilatus diakhiri dengan keputusan yang kontradiktif; menyatakan Yesus tidak bersalah seraya menghukum mati Dia dengan penyaliban.
Semuanya bertanggung jawab dengan porsi yang berbeda. Kayafas punya motif, Pilatus menjatuhkan vonis, Yesus pasrah total menjawab panggilan-Nya sebagai Mesias yang menderita. Konflik dengan imam Yahudi dan ketaatan Yesus pada misi perutusan-Nya bagaikan dua rel yang bertemu di satu titik; vonis mati di salib.
Setelah kasus ini ditutup dengan penyaliban Yesus, bagaimana nasib ketiga tokoh tersebut? Konon kabarnya, Kayafas dipecat segera sesudah wafat Yesus. Ia tinggal menyepi di tanah pertanian dekat Galilea, meninggal dan dikuburkan di Talpiot, Yerusalem. Pilatus ditarik kembali ke Roma untuk diadili dengan tuduhan aneka tindak kejahatan. Dalam perjalanan kembali ke Roma, Kaisar Tiberius mangkat. Hasil pengadilan tidak diketahui. Tapi Eusebius menyimpan laporan dari ahli sejarah Yunani anonim yang menyatakan bahwa Pilatus dipaksa bunuh diri pada waktu pemerintahan Gayus (37-41 M), tidak lama sesudah kematian Yesus. Setelah penyaliban, babak pertama kehidupan Yesus telah berakhir. Namun kisah-Nya tidak selesai sampai di situ. Ia menjadi tokoh utama dalam sejarah dunia dan hidup terus dalam hati miliaran manusia di seluruh dunia. Benarlah kata pepatah Cina: “Emas murni tak takut pada api”. Dibakar sampai kapan pun, emas tetap emas. Kebenaran tetaplah kebenaran.
Lianto (Publikasi: Majalah Duta Maret 2007)
Labels:
Autonomy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment