Penulis: Dr. Willybrodus, a.k.a. William Chang
Publikasi: Jurnal Ledalero, Vol. 12, No. 2, Desember 2012 ), Jurnal Ilmiah Nasional Terakreditasi (Dikti No. 66b/DIKTI/KEP/2011) ISSN 1412-5420
1. Omong-omong
tentang Tuhan
Secara geografis, Kalimantan adalah pulau ketiga
terbesar sedunia, setelah Greenland dan Papua.
Dalam pulau ini terdapat tiga negara, yaitu Indonesia,
Malaysia (Kalimantan Utara:
Sarawak dan Sabah) dan Brunai. Kawasan Indonesia
terluas. SBY menganggap Kalimantan sebagai
pulau pengharapan di masa depan. Penduduk Kalimantan (Indonesia) berkisar 10 jutaan. Banjarmasin adalah kawasan
terpadat. Suku-suku mayoritas dalam pulau ini adalah Dayak, Tionghoa, Melayu
dan etnis-etnis lain.[1]
Kemajemukan iman-kepercayaan di pulau ini dilatarbelakangi
oleh keanekaragaman latar belakang keluarga, mentalitas, budaya, pendidikan,
dan lingkungan sosial. Omongan tentang Tuhan setua usia manusia. Dalam hati setiap
manusia telah tertanam benih kesadaran akan diri, alam dan ketergantungan pada
Pencipta langit dan bumi. Hanya, nama atau sapaan bagi Yang Ilahi berbeda menurut
keyakinan masing-masing. Biasanya Yang Ilahi disapa dengan Pencipta, Panompa,
Thien, Jubata, Debata dlsb. Masyarakat umumnya meyakini adanya penguasa lain di
luar diri manusia, yang menentukan, menggerakkan dan menghentikan hidup
manusia.
Omongan tentang Tuhan berbentuk cerita, pantun,
poesia, syair, catatan pribadi, rumusan mantera tradisional, doa dan
upacara-upacara adat tradisional. Dalam bentuk-bentuk sastra ini termuat
pemikiran teologis. Masyarakat pulau ini pada dasarnya mewarisi keyakinan
tradisional sejak berabad-abad. Ini termasuk langgam teologi yang menuntun
manusia untuk melakukan tindakan transformatif yang lintas-golongan, etnis,
agama, kebudayaan dan mentalitas.[2]
Kenyataan rohani ini terungkap pada waktu
dilangsungkan ritus keagamaan tradisional. Yang memimpin seluruh upacara itu
biasanya seorang imam tradisional, seperti dukun, sin theuw atau lao ya.
Mereka memiliki kontak langsung dengan dunia adikodrati. Tak heran, umumnya
mereka akan bertransendensi dengan keadaan di sekitarnya. Roh-roh (nenek
moyang, dewa/i atau penguasa lain) akan menguasai mereka, sehingga mereka tidak
menyadari keadaan sekitarnya. Selama upacara berlangsung, seorang penerjemah
akan duduk di samping si imam untuk menerangkan maksud pesan dewa/i melalui imam
tradisional kepada mereka yang membutuhkan pertolongan ilahi.
Sebelum agama Hindu, Katolik Roma, Protestan, Buddha,
Islam dan Kong Hu Cu masuk ke pulau ini, ternyata kepercayaan akan Sang Pencipta
langit dan bumi terkait erat dengan aliran keyakinan tradisional, seperti kaharingan,
animisme, dinamisme, dan taoisme. Mereka meyakini keberadaan dan peran Sang Pencipta.
Keyakinan ini diwarisi dari generasi ke generasi. Lambat-laun, keyakinan
tradisional ini mulai diabadikan dalam bentuk tulisan.
Sejarah mencatat, perbenturan agamawi belum terjadi di
pulau ini. Penganut agama saling menghargai. Pada waktu terjadi pertikaian
antaretnik di beberapa lokasi (Sanggau Ledo, Sambas, Sampit) menjelang akhir
abad ke-20, tempat-tempat ibadat tidak diganggu. Belakangan ini pengaruh aliran
ekstrem dan radikal dengan bendera agama tertentu dari luar pulau Kalimantan mulai menggoncang kerukunan hidup beragama.
Peraturan pemerintah tentang izin pendirian rumah
ibadah pada dasarnya mengandung benih-benih konfliktual di kalangan kaum
beriman. Kedudukan mayoritas dan minoritas ditonjolkan oleh pemerintah. Haruskah
negara mengatur hak dasar setiap manusia untuk menunaikan kewajibannya kepada
Tuhan? Apakah peraturan pemerintah tentang izin pendirian rumah ibadat tidak
bertentangan dengan cita-cita dasar negara kita? Apakah peraturan ini seiring dengan
aspirasi masyarakat dari bawah? Keadaan ini ikut mempengaruhi perjalanan
keimanan masyarakat Kalimantan.
Dalam pulau ini tersebar delapan keuskupan (Keuskupan
Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang,
Keuskupan Samarinda, Keuskupan Palangkaraya, Keuskupan Banjarmasin dan
Keuskupan Tanjungselor). Kehadiran Gereja Katolik sejak Antonino Ventimiglia,
seorang anggota tarekat Theatin, di Banjarmasin (2 Februari 1688) membawa
pandangan baru tentang Tuhan di kalangan masyarakat Kalimantan
pada waktu itu. Dia bertemu dengan orang Melayu dan Dayak Ngaju. Sejak saat
itu, mereka mulai memiliki gambaran khas tentang Tuhan dalam bingkai pemikiran
teologis Gereja Katolik Roma.
2. Pengaruh
dari luar Kalimantan
Di samping memiliki khazanah iman tradisional tentang
Tuhan, kedatangan para penambang, petani dan saudagar dari Tiongkok, misionaris
Katolik dan Protestan dari Eropah Barat (Belanda, Jerman, Swis, Inggeris,
Amerika Serikat, Perancis, Polandia) dan pelaut dan saudagar dari kawasan Arab
telah memperkenalkan wajah Tuhan yang berwarna-warni. Melalui jalur hidup
sosial, pendidikan, asrama, pertanian, penambangan, pelayanan rumah sakit dan
kelautan, masyarakat pulau ini mengenal gambaran lain tentang Tuhan. Semula
mereka memeluk paham animisme dan dinamisme. Namun, sekarang mereka memiliki
paham yang lebih banyak dan luas tentang Tuhan dari waktu ke waktu.[3]
Wajah Tuhan yang berwarna-warni mulai
merambah pulau ini seiring dengan para pendatang dari luar pulau. Dalam wajah
yang berwarna-warni ini terkandung muatan berwarna-warni pula. Kulit dan isi
paham tentang Tuhan saling berhubungan. Sosialisasi pandangan tentang Tuhan
yang berwarna-warni sedang terjadi. Pandangan tentang Tuhan ini mempengaruhi
hidup sosial. Lambat-laun pengkotak-kotakan sosial terjadi di seluruh pulau.
Rumah ibadat, cara doa dan cara hidup yang berbeda menghiasi kehidupan bersama
dalam sebuah masyarakat.
Sekarang, umumnya warga Kalimantan telah menganut salah satu agama, walaupun pemelukan
agama acap kali hanya sebuah formalisme, supaya tidak dicap sebagai seorang
atheis. Benarkah seseorang yang beragama itu sungguh menerapkan ajaran agama
semestinya? Pertanyaan ini menjadi bahan olahan utama seluruh lapisan
masyarakat. Kalau benar menghidupi ajaran agama dengan baik, mengapa tingkat
kejahatan belum menurun? Pencurian, penodongan, perampokan, konflik sosial dan
tindak kekerasan lain masih terjadi di tengah-tengah masyarakat yang mengaku
beragama dan berketuhanan. Keadaan sosial sebuah masyarakat pada dasarnya
mencerminkan penghayatan dan pengamalan hidup keagamaan mereka. Bagaimanakah
gambaran tentang Tuhan dalam sebuah masyarakat yang memiliki tindak kejahatan
yang tinggi?
3. Mencari
bahasa teologis yang kontekstual
Apakah bahasa teologis yang digunakan selama ini belum
kontekstual? Sejauh manakah sebuah bahasa teologis berciri kontekstual? Bahasa
yang dimaksudkan dalam konteks ini bukan hanya bahasa omongan yang mencerminkan
isi pikiran dan hati seseorang, namun bahasa ini sudah diuangkan dalam bentuk
seluruh hidup dan perbuatan nyata manusia di tengah-tengah masyarakat luas (J.M.
Prior).
Bahasa teologi ini pada dasarnya berdimensi
komunikatif dan mengungkapkan keluhuran ilahi. Yesus, anak seorang tukang kayu,
cerdas menggunakan bahasa sederhana dan jelas untuk menjabarkan pemahaman yang
tinggi tentang Tuhan, seperti cinta kasih, Kerajaan Allah, kekuatiran dan masa
depan dengan perumpamaan-perumpamaan sederhana. Dia mengisahkan keagungan Sang
Pencipta dengan perumpamaan, cerita dan kenyataan hidup sehari-hari. Dia tidak
menggunakan cara pengajaran yang membingungkan orang banyak. Kalaupun ada
perumpamaan yang belum terang, Dia menjelaskannya dengan kata-kata sederhana.
Bahasa teologi yang digunakan Yesus adalah
bahasa sehari-hari. Dia menggunakan benda-benda di sekitar-Nya sebagai alat
peraga. Dalam pengajaran Yesus menggunakan banyak perumpamaan (Mrk 4:2). Dia
mengajar murid-murid-Nya untuk membaca tanda-tanda jaman dengan mengarahkan
pandangan ke awan yang naik ke sebelah barat. Awan demikian menjadi pertanda
hujan akan turun (Luk 12:54). Dia berbicara tentang Kerajaan Allah seperti biji
sesawi (Luk 13;18-21), dan harta terpendam (Mat 13:44). Dia melukiskan Sabda
Tuhan seperti benih tanaman (Mrk 4:1-20). Dia meminta manusia untuk tidak
menjadi kuatir dengan belajar dari burung-burung di udara (Mat 6:25-34). Unsur-unsur
dari dunia pertanian, kelautan, hewan dan alam digunakan untuk menyampaikan
pesan ilahi bagi mereka yang mengikuti-Nya.
Bahasa sederhana dan tidak berbelit
menunjukkan keadaan hati dan pikiran manusia yang tidak rumit. Seluruh hidup
Yesus mencerminkan kehadiran Bapa surgawi. Barangsiapa melihat Yesus berarti
melihat Bapa. Dalam diri Yesus manusia dapat menyentuh, melihat dan
berkomunikasi dengan Bapa surgawi. Yesus adalah bahasa teologi yang nyata dalam
zaman-Nya dan dewasa ini.
4. Merintis
Sekolah Teologi
Perlunya sebuah wadah untuk mengolah teologi secara
mendalam di pulau ini merupakan tanggapan atas situasi Gereja Katolik lokal.
Gereja perlu menjawab kebutuhan umat yang terus berkembang dan berubah dari
waktu ke waktu. Hingga tanggal 14 September 1998 belum ada satu pun Sekolah
Tinggi Teologi Gereja Katolik di pulau ini. Melihat kebutuhan umat yang terus
berkembang ini, Mgr. Pietro Sambi (Nuntius Vatikan untuk Indonesia) mendorong para uskup
se-Kalimantan untuk memulai sekolah teologi ini. Dalam sidang KWI pertengahan
November 1996 di Wisma Klender-Jakarta, dalam jamuan makan para Uskup Regio
Kalimantan bersama Nuntius, ditanyakan kembali rencana konkret untuk mendirikan
Sekolah Tinggi Teologi di Kalimantan. Maka, berdasarkan kesepakatan para wali
Gereja Regio Kalimantan (Palangkaraya, 24 Januari 1997) dibentuklah Panitia
Persiapan Pendirian STT yang diketuai oleh Mgr. Giulio Mencuccini, CP.
Kemudian, dibentuklah Panitia Operasional Persiapan STT di Sanggau pada tanggal
17 Februari 1997. Diputuskan, perkuliahan teologi STT ini akan dimulai pada
tanggal 15 September 1998.
Sebelum kuliah, dilangsungkan perayaan Ekaristi yang
dipimpin oleh Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap di kapel paroki. Kuliah pertama
bertempat di loteng pastoran Maria Ratu
Pencinta Damai, Pontianak.
Jumlah frater hanya tiga orang, dari Keuskupan Agung Samarinda, Sanggau dan
Ketapang. Misa promulgatio STT Pastor Bonus pada tanggal 4 Oktober 1998 di
Gereja Katedral St. Yoseph Pontianak, yang dihadiri oleh semua Uskup
se-Kalimantan dan Administrator Apostolik Palangkaraya pada waktu itu. Sebuah
wadah berteologi telah dirintis.
STT Pastor Bonus pada prinsipnya bertujuan
(1) membina kepribadian calon imam dengan hidup, kebijaksanaan dan pengetahuan
(iman) yang mencakup muatan-muatan alkitabiah, teologis, liturgis dan pastoral
sesuai dengan wajah Gereja lokal di Kalimantan sambil memperhatikan kebudayaan
dan falsafah hidup masyarakat setempat tanpa melupakan katolisitas Gereja kita.
(2) Membekali para calon imam dengan modal pelayanan pastoral yang sesuai
dengan kebutuhan umat dalam terang iman sebagai murid Yesus Kristus di tengah
zaman modern. Dari tujuan ini tampak arah teologi yang akan dibangun di sekolah
ini. Sekolah ini menjadi wadah atau rumah pengolahan kepribadian manusia yang
bijaksana, cerdas, beriman, beradab, sosial dalam seluruh proses penyelamatan
manusia.[4]
Pengalaman hidup manusiawi sebagai
calon imam akan diolah dan digodok menurut pedoman resmi pembinaan calon imam.
Tuntutan dasar sebagai seorang calon imam dipenuhi dengan baik. Namun ruang
untuk berteologi secara kontekstual mendapat perhatian utama lembaga teologis ini.
Tak heran, mata kuliah seperti Hukum Adat, Teologi Damai, Manajemen Pastoral,
Intregative Seminar, Sejarah Gereja Lokal dan Liturgi (Praktikum) disajikan di
sekolah ini. Minat mahasiswa dalam bidang perkawinan antara kebudayaan dan
teologi bisa dilihat dari daftar tema tesis sebelum meninggal tempat pendidikan
ini. Ternyata, kecintaan pada budaya tampak dari diskusi, tulisan dan
penyelidikan ilmiah mahasiswa.
Masa libur mahasiswa menjelang Natal dan Paskah diatur
sedemikian rupa, sehingga mereka mendapat waktu memadai untuk terjun di
lapangan. Interaksi mahasiswa dengan keadaan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan
kesusastraan sangat terasa. Mereka berminat untuk menganalisis kejadian yang
sedang berlangsung. Pertemuan dengan umat dan anggota masyarakat memperluas
cakrawala mahasiswa dalam proses berteologi. Acap kali dalam pembicaraan harian
tersingkap maksud, keinginan, kehendak dan bahkan pandangan kritis tentang
hidup menggereja di daerah kita. Bagaimanakah kita bisa menghadirkan Tuhan
dalam situasi hidup sosial yang sebegitu majemuk. Dimensi ini diperhatikan oleh
STT Pastor Bonus mengingat metodologi kontekstual yang dikemukakan FABC VI
(1995). Bagaimanakah proses berteologi di Kalimantan?
5. Berteologi
di Kalimantan[5]
Dalam Doing
Theology in Kalimantan, saya
menggarisbawahi bahwa kesadaran akan kekhasan pulau ini sebagai sebuah
masyarakat majemuk mempengaruhi seluruh proses berteologi. Perbedaan bahasa,
kebudayaan, cara berpikir, cara hidup dan mentalitas mewarnai seluruh metode
berteologi. Sebuah masyarakat yang berwarna-warni pada hakikatnya memiliki
problematika dan masalah sosial yang rumit, seperti kemanusiaan, ketidakadilan
sosial, diskriminasi terselubung, penegakan hukum positif, kemiskinan dan
konflik sosial. Runtuhnya bahasa moral telah meniadakan gagasan tentang ‘tidak boleh’,
‘seharusnya’, ‘tanggung jawab’ dan ‘kewajiban’. Manusia cenderung menggunakan
kebebasan penuh tanpa batas dan sistem kontrol semestinya.
Memahami kemajemukan kebudayaan lokal merupakan kunci
utama untuk berteologi di pulau ini. Proses berteologi ini mengandaikan
kesediaan kita untuk menyelami kebudayaan masyarakat dan memahami alur pikiran
dan gerak hati masyarakat. Menyelami kebudayaan orang lain berarti memasuki
seluk-beluk kebudayaan itu dan menggali perjuangan dalam kebudayaan itu. Apa
yang sebenarnya dikehendaki oleh kebudayaan suatu masyarakat? Dengan mengetahui
kehendak ini maka dunia teologi dapat menjawab kebutuhan mereka secara mendasar
dan mendalam. Sistem berteologi seharusnya menyentuh jantung hidup masyarakat
dan tidak hanya mengawang.
Metode berteologi di pulau ini perlu mempertimbangkan lima langgam bahasa yang sesuai
dengan keadaan pulau ini. Pertama,
pengajar teologi menggunakan langgam bahasa perkawinan antara Sabda Tuhan
dengan keadaan kultural masyarakat. Teologi yang menjawab kebutuhan Gereja berusaha
mengawinkan ajaran alkitabiah dan kristiani dengan situasi konkret. Ajaran
alkitabiah dan kristiani bukan berasal dari daerah Kalimantan.
Bagaimanakah ajaran tentang Tuhan dari latar belakang kebudayaan Timur Tengah
dan Eropah Barat dapat berjumpa dengan kebudayaan lokal Kalimantan
yang memiliki warnaya tersendiri? Sebuah kunci masuk pertemuan antarkebudayaan
yang berlatar belakang kultural ini sangat penting. Pemahaman keunikan dan
perbedaan antropologi, kebudayaan, mentalitas dan bahasa sebuah masyarakat akan
menolong dialog tentang kepercayaan ini. Akibatnya, setiap orang yang ingin
berteologi dengan baik perlu mengenal dan mendalami latar belakang dan
asal-muasal teologi itu.
Kedua, langgam bahasa responsif diperlukan. Bagaimanakah
suatu proses teologi dapat menanggapi dan memenuhi kebutuhan religius suatu
masyarakat? Bagaimanakah seorang pakar dalam bidang ilmu ketuhanan sebaiknya
berbicara tentang Tuhan dalam bahasa sehari-hari, sehingga tidak membingungkan?
Kerumitan bahasa teologi seringkali membuat umat tidak berniat mendalami dan mengembangkan
teologi. Seorang teolog sejati seharusnya belajar dari sang teolog agung, Yesus
Kristus, yang mengajar dan berbicara tentang Tuhan dan Kerajaan-Nya dalam
bahasa sederhana, sehingga dapat dipahami dengan baik. Kalaupun masih berbelit,
Dia memberikan keterangan yang menolong pemahaman.
Ketiga, langgam bahasa yang sesuai dengan locus theologicus sangat diperlukan.
Dengan dan kepada siapakah kita berbicara tentang Tuhan? Bagaimana kita bisa
berbicara tentang Tuhan di hadapan mereka yang buta huruf, namun memiliki
kecerdasan hati? Latar belakang pendidikan dan kebudayaan masyarakat menjadi
dasar pertimbangan dalam pembicaraan ini. Terkadang teolog membingungkan umat
dalam mencari Tuhan. Gaya
bahasa mereka terbang terkadang setinggi burung di langit dan tidak menyentuh
permukaan bumi. Wajah Yesus yang bagaimanakah diperkenalkan kepada masyarakat Kalimantan? Yang jelas, Dia berasal dari benua yang sama
dan dilahirkan dari keluarga, kawasan, kebudayaan, bahasa dan mentalitas
berbeda dengan kita.
Keempat, langgam bahasa komunikatif diperlukan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara
pengajar dan penggumul teologi tak terhindarkan. Bagaimanakah
pemikiran-pemikiran teologis bisa dikomunikasikan dengan sederhana dan efektif,
sehingga pengetahuan tentang Tuhan akan memotivasi manusia untuk lebih
mencintai Tuhan? Di samping perlu penguasaan bahan teologi dengan baik, seorang
pengajar teologi semestinya trampil menyampaikannya kepada mereka yang sedang
mendalami teologi. Teknik penyampaian materi teologi termasuk unsur penting
supaya manusia lebih mengenal Tuhan dari waktu ke waktu. Proses berteologi
mengandaikan kepekaan untuk membaca dan menanggapi tanda-tanda jaman yang nyata
dalam jaman modern.
Kelima, dengan gaya bahasa bagaimanakah seorang teolog dapat
menampilkan wajah Yesus yang menanggapi keadaan masyarakat pulau ini? Kehadiran
seorang Gembala yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Kalimantan tak terhindarkan. Gembala ini mencari mereka
yang hilang, menuntun mereka ke air yang tenang, merawat mereka yang sedang
sakit, menghibur mereka yang sedih dan meringankan mereka yang berbeban berat.
Gembala yang mau mendengarkan dan menanggapi kebutuhan domba-domba dengan penuh
perhatian sedang dinantikan. Metodologi berteologi ini mengandaikan ketajaman
analisis sosial masyarakat, sehingga kehausan dunia teologis dapat dipenuhi
dengan baik. Kehadiran Kabar Baik sangat penting, supaya umat sungguh merasakan
kehadiran Sang Juruselamat di tengah-tengah kesulitan yang sedang melilit.[6]
6. Gagasan
utama dalam berteologi
Kemanusiaan
Nilai dasar kemanusiaan sebagai batu penjuru falsafah
bangsa kita mulai luput dari perhatian negara (termasuk di dalamnya pemerintah).
Terkesan sebegitu sibuk, sehingga negara tidak mengenal anak bangsa yang tidak
mampu berobat, kelaparan, tersiksa karena ketidakadilan dan dipinggirkan.
Akibatnya, mereka yang hidup dalam keadaan depresif berat bertekad menghabisi
nyawa mereka dengan cara yang tidak wajar karena hidup tanpa harapan dan kepedulian
sosial. Keterpurukan perhatian pada nilai dasar kemanusiaan memang memilukan,
walaupun bangsa kita telah mengecapi kemerdekaan 67 tahun.
Dunia teologi di pulau ini bertugas memulihkan
kembali harkat dan martabat manusia sebagai citra Tuhan (Kej 1:26-27), yang
dalam dirinya adalah kudus, mulia dan bermartabat luhur. Kurangnya perhatian
terhadap keluhuran martabat manusia mencerminkan ketidaksadaran akan siapakah
manusia itu sebenarnya. Manusia pada hakikatnya adalah buah cinta kasih Sang
Pencipta. Dengan melihat manusia sebagai ciptaan Tuhan seharusnya kita
mengingat kehadiran Sang Pencipta. Kehadiran Sang Pencipta dalam diri manusia
tak tersangkalkan.
Restorasi pandangan tentang manusia sebagai
citra Sang Pencipta akan melahirkan sikap baru terhadap manusia sebagai ciptaan
Tuhan. Manusia tidak lagi diperlakukan sewenang-wenang tanpa penghargaan dan
penghormatan terhadap martabat manusia. Restorasi pandangan ini tidak hanya
melahirkan sikap hormat terhadap manusia, tetapi manusia sungguh merasa
bertanggung jawab atas diri sesamanya. Kewajiban moral untuk menghargai
kehadiran Sang Pencipta dan lebih memanusiawikan manusia menjadi isi panggilan
setiap manusia.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab, sesuai dengan rumusan dalam Pancasila, akan terwujud
kalau teologi sungguh menggali kekayaan dalam setiap diri manusia sebagai citra
Sang Pencipta. Yang sedang terjadi sekarang adalah jurang pemisah antara
ortodoksis dan ortopraksis. Umumnya dunia teologi menenggelamkan diri dalam
perdebatan tentang perumusan teologis yang bercorak doktrinal. Teologi acapkali
melupakan koneksitas sebuah ilmu dengan praksis hidup sehari-hari. Nilai sebuah
ilmu akan semakin tinggi kalau terkait dengan keadaan hidup nyata manusia.
Dalam
konteks ini, setiap manusia seharusnya menggunakan langgam bahasa yang
manusiawi. Kemanusiaan menjadi sebuah wadah untuk menilai dan mengkaji kekuatan
pandangan teologis. Kalau seseorang sungguh beriman-kepercayaan, maka dia akan
memiliki sikap khas terhadap sesama manusia. Setiap kali melihat dan berjumpa
dengan sesama manusia, dia melihat kehadiran Sang Pencipta. Kesadaran rohani
akan mendorong manusia untuk mengambil sikap dasar yang menghargai dan
menghormati sesama manusia. Tidak ada alasan apa pun bagi manusia untuk
memperlakukan sesama manusia dengan kasar, keras, keji dan tidak manusiawi,
karena sikap ini bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta. Bukankah kita mengakui
diri sebagai anak-anak dari Bapa yang satu dan sama, yaitu Pencipta langit dan
bumi? Apa pun yang kita lakukan terhadap sesama manusia berarti kita melakukan
hal itu bagi Sang Pencipta (bdk. Mat 25:37-46).
6.2. Keadilan sosial[7]
Kesenjangan sosial antarkelompok sangat terasa. Jurang
antara si kaya dan si miskin, terdidik dan buta huruf, penguasa dan rakyat kian
melebar. Kesenjangan ini muncul, antara lain, karena sistem hukum, pemerintahan
dan situasi sosial yang tidak adil. Penerapan hukum positif memprihatinkan dan
rakyat kecil acapkali tidak berdaya. Orang besar hampir tak tersentuh hukum.
Yang cerdik dalam bidang hukum positif mencekik yang buta hukum. Jumlah rakyat
yang menderita belum-belum menurun. Diskriminasi terselubung dalam pelayanan
pemerintah masih terasa.
Akar ketidakadilan sosial adalah
kemanusiaan yang belum sungguh-sungguh dihargai dan dihormati. Manusia belum
sanggup memandang dan memperlakukan sesama manusia seperti dirinya sendiri. Manusia
masih memandang sesamanya dengan takaran subyektif dan terkotak-kotak.
Terkadang manusia memandang sesamanya hanya dengan sebelah mata.
Manusia perlu belajar dari matahari
dan hujan. Kedua makhluk ciptaan ini dapat diangkat menjadi guru resmi dalam
bidang keadilan sosial. Pada waktu terbit, matahari menyebarkan sinarnya bagi
semua orang dan segenap makhluk ciptaan. Pada waktu hujan turun, setiap anak
manusia dan makhluk hidup lainnya dapat menikmati air hujan itu. Matahari dan
hujan tidak menerapkan pandangan manusia sesan. Matahari dan hujan tidak
membeda-bedakan manusia sebagai manusia. Yang membeda-bedakan manusia adalah
manusia.
Ketidakadilan sosial mencerminkan kegagalan
manusia untuk memperlakukan sesama sebagaimana mestinya. Justru itu, pemahaman
teologis tentang kemanusiaan (bdk. 6.1. Kemanusiaan) perlu mendapat sorotan
utama dalam pengolahan teologis, karena kemanusiaan merupakan batu sendi
seluruh proses teologi di pulau ini. Dengan mengangkat harkat dan martabat
manusia ini berarti manusia menghargai Sang Pencipta langit dan bumi. Religiositas
setiap kaum beriman tampak dalam perlakuannya terhadap sesama manusia.
Sebagai perwujudan keadilan sosial
ini, Gereja Katolik telah merintis dan memperkenalkan Credit Union di kalangan
masyarakat (Dayak) supaya masyarakat mengusahakan prinsip menolong diri-sendiri
dan bergotong royong dalam proses menyejahterakan hidup sehari-hari. CU
dianggap sebagai bahasa yang memperlancar komunikasi dalam damai dan saling
pengertian. Malah, CU dianggap sebagai kendaraan menuju kesejahteraan.[8]
Bahasa teologi yang cocok di sini
adalah bahasa yang membawa terang di tengah kegelapan ibarat matahari yang
menerangi kegelapan dan bahasa yang mendatangkan berkat ibarat hujan yang
membasahi bumi tanpa pilih kasih. Bahasa ini tidak memandang bulu, tidak pilih
kasih dan tidak mengkotak-kotakkan manusia. Bahasa ini menjunjung prinsip
keadilan dalam setiap keadaan hidup. Manusia sebagai manusia dihargai penuh.
Manusia tidak lagi dihargai karena pangkat, kedudukan sosial, kekayaan dan
pengaruh sosial. Semua manusia pada dasarnya memiliki harkat dan martabat yang
sederajat. Di hadapan Sang Pencipta semua ciptaan adalah sederajat, namun di
hadapan manusia terjadilah perbedaan dan pengkotak-kotakan sosial.
6.3. Kerukunan
sosial[9]
Pernah saya bertanya kepada seorang dosen dari salah
satu PTN Bandung yang sedang mengambil
program S-2 di Negeri Belanda. Mengapa Saudara memilih daerah Kalbar sebagai
kawasan riset tentang konflik? Dia, antara lain, mengatakan bahwa daerah Kalbar
dianggap sebagai “laboratorium konflik”. Saya heran, kenapa bisa dipandang sebagai
“laboratorium konflik”? Apakah ada pihak tertentu yang menjadikan daerah ini
sebagai kawasan uji coba konflik?
Sejak jaman penjajahan Belanda, daerah ini telah
dilanda konflik antara Belanda dengan masyarakat Tionghoa yang bekerja di perkongsian
emas di Mandor. Pada masa pendudukan Jepang, tidak sedikit warga Kalbar disiksa
dan dibunuh oleh Jepang. Setelah kemerdekaan, pada awal rezim Orde Baru, atas
nama penumpasan pemberontak komunis, banyak warga Kalbar menjadi korban
pembunuhan. Setelah itu terjadi belasan kali konflik antaretnik di pulau ini.
Jumlah korban yang berjatuhan belum diketahui.
Sampai
sekarang sisa-sisa atau bekas perbenturan sosial masih terasa. Sejumlah warga
masyarakat Kalbar masih menganggap Jepang sebagai penjajah kejam. Makam mandor
adalah saksi hidup atas kekejaman ini. Hubungan antaretnik tidak selalu
berjalan rukun. Salah pengertian, sikap saling curiga, dan perbenturan sosial
adalah tanda ketidakrukunan sosial di tengah-tengah masyarakat yang sedang
membangun. Perbenturan sosial dalam masyarakat lambat-laun merembes ke dalam
dunia hidup religius. Keadaan dalam Gereja tidak luput dari ketegangan sosial.
Apa yang
dapat dilakukan oleh Gereja Katolik menghadapi kenyataan sosial ini? Seiring
dengan ajaran sosial dalam satu abad yang lampau, dan terutama sejak Paus
Yohanes XXIII dan Konsili Vatikan II, Gereja dengan lantang menyerukan
perdamaian dunia. Pengalaman pahit sejak Perang Dunia I dan II mengajarkan dunia
untuk mengambil langkah-langkah damai demi kemanusiaan. Rentetan perang,
termasuk perang dingin, dan perkembangan teknologi modern telah mencabik-cabik
kemanusiaan. Tak heran, teologi yang sesuai dengan dunia Kalimantan (termasuk
seluruh Indonesia)
adalah gerakan pasifisme yang dirindukan oleh anak-anak bangsa. Dalam rangka
mewujudkan teologi ini, diperlukan kerja sama yang erat dengan semua pihak yang
berkehendak baik (Pacem in terries 172) dan usaha perdamaian ini mencakup
seluruh komunitas dunia (GS 84).
Teologi yang
bersifat inklusif sangat penting supaya bisa merangkul semua pihak yang
berkehendak baik untuk memperbaiki keadaan dunia dari waktu ke waktu. Teologi
ini mengandaikan disposisi batin seorang teolog yang sungguh manusiawi,
inklusif dan tidak tertutup dalam kepicikan pandangan tentang kemanusiaa,
kedamaian dan kesejahteraan sosial. Setiap manusia dipanggil untuk menjalankan
misi perdamaian dan kesejahteraan umum di dunia ini. Masyarakat dan dunia akan
sulit terperbaiki tanpa kerja sama yang harmonis antarpihak yang berkehendak
baik. Pembangunan teologi juga mengandaikan kerja sama dan keterbukaan
antarpihak yang peduli dengan keadaan hidup sosial di sekitarnya.
Justru itu, bahasa teologi yang perlu
diterapkan dalam mewujudkan perdamaian ini adalah bahasa teologi yang
menyejukkan, mendinginkan dan merukunkan. Gaya
bahasa yang melangit dan memanaskan orang lain perlu dihindari, sehingga
manusia tidak mudah terpancing oleh emosi dan melupakan peran akal sehat dalam
menyelesaikan aneka bentuk perbenturan individual dan sosial. Bahasa teologi
ini mengandaikan keterbukaan segenap pihak yang terkait perbenturan sosial
untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai, tanpa kekerasan yang merugikan
semua pihak yang sedang bertikai. Sanggupkah kita menggunakan langgam bahasa
damai di tengah-tengah kekacauan sosial?
Kesimpulan
Bahasa teologi yang cocok dengan daerah
Kalimantan adalah bahasa yang sungguh dipahami
oleh orang-orang kecil yang selama ini luput dari perhatian semestinya dari
pihak pemerintah. Bahasa kemanusiaan mencakup kemajemukan sosial. Bahasa ini
menyentuh bidang kemanusiaan, keadilan sosial, dialog dan kedamaian yang bisa
diterima oleh semua orang yang berkehendak baik.
Tata bahasa teologi ini bukan hanya menyentuh
kecerdasan akal budi manusia, tapi juga kearifan manusia sebagai citra Sang
Pencipta. Yang diperhatikan oleh bahasa ini bukan manusia yang hanya
berintelek, melainkan juga manusia yang memiliki kekayaan rohani dalam dirinya.
Kekayaan rohani mencerminkan kekayaan dalam pribadi manusia, yang memiliki
keunikan dan perbedaannya. Bagaimanakah kekayaan rohani ini dapat ditumbuhkan
secara sistematis dalam tugas pelayanan dunia teologi?
Seorang teolog di kawasan ini perlu terus-menerus
mengasah kefasihan berkomunikasi dalam bahasa teologis yang menjawab kebutuhan
hidup rohani umat. Bahasa teologi akan abstrak kalau tidak menyentuh realitas
hidup masyarakat. Justru itu, kecerdasan dan kearifan seorang teolog sangat
diperlukan di tengah-tengah dunia yang kian modern dan kehilangan arah
pandangan hidup.
Gaya Yesus mengajar seperti dikisahkan
dalam Alkitab ternyata menggunakan langgam bahasa sederhana, mudah dipahami,
menyentuh hidup sehari-hari, menggunakan sarana-sarana yang berasal dari dunia
pertanian, peternakan dan kelautan. Dia tidak menggunakan langgam bahasa yang
tinggi-tinggi dan membingungkan orang banyak. Justru dengan langgam bahasa
sederhana dan mudah terjangkau ini, teologi akan lebih mudah dipahami dan
dihidupi dalam kegiatan sehari-hari.
Kepustakaan
Buku
-----. Buku
Panduan STT Pastor Bonus Tahun Kuliah 2012/2013.
Agung, Lilik A.M. (ed). Credit
Union: Kendaraan Menuju Kemakmuran: Praktek Bisnis Sosial Model Indonesia.
Jakarta: Kompas
Gramedia, 2012².
ter Haar, Gerrie and Busuttil, James
J. Religion, Violence and Visions for Peace.
Leiden-Boston: Brill, 2005.
Janssen, Bart OFMCap. Kuntum Coklat di Tengah Belantara
Borneo: Cukilan Cerita 100 Tahun Kapusin (ed. William Chang, OFMCap) Pontianak, 2005.
Litbang Kompas. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2001.
Sacks, Jonathan. The Dignity of Difference: How to
Avoid the Clash of Civilizations. London-New York: Continuum,
2003.
Majalah
Chang, William OFMCap. “(Wajah) Yesus yang
Bagaimana?”, Sawi (Sarana Karya Perutusan Gereja). Jakarta: Komisi KKM KWI, 2008.
Chang, William OFMCap. “Doing Theology in
Kalimantan” (paper), Pontianak, 25/8/2008.
Prior, John Mansford. “Teologi Kontekstual:
Apakah Mungkin?”. Jurnal Ledalero: Wacana Iman dan Kebudayaan (Discourse on Faith and
Culture). Vol. 9 No. 2 Desember 2010.
[1]Bdk. Litbang Kompas, Profil Daerah Kabupaten dan Kota (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), 379-469.
[2]Bdk. John Mansford Prior, “Teologi
Kontekstual: Apakah Mungkin?”, Jurnal Ledalero: Wacana Iman dan Kebudayaan
(Discourse on Faith and Culture) (Vol. 9 No. 2 Desember 2010), 152.
[3]Bdk. Bart Janssen, OFMCap, Kuntum
Coklat di Tengah Belantara Borneo: Cukilan Cerita 100 Tahun Kapusin
(ed. William Chang, OFMCap) (Pontianak,
2005), 8-9.
[6]Dr. William Chang, OFMCap, “(Wajah) Yesus
yang Bagaimana?”, Sawi (Sarana Karya Perutusan Gereja) (Jakarta: Komisi KKM KWI, 2008), 91-105.
[7]William Chang, OFMCap, “Refleksi Teologis
tentang Kemiskinan”, Menghadirkan Wajah Yesus dalam Keragaman:
Aku datang , supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala
kelimpahan (Yoh 10:10): Sidang Agung Gereja katolik Indonesia 2010 (Jakarta: KWI, 2011),
531-533.
[8]A.M. Lilik Agung (ed), Credit Union: Kendaraan Menuju
Kemakmuran: Praktek Bisnis Sosial Model Indonesia (Jakarta: Kompas Gramedia, 2012), ed. 2,
124-151.
[9] Jonathan Sacks, The Dignity of Difference: How to
Avoid the Clash of Civilizations (London-New York: Continuum,
2003), 177-191.Gagasan tentang pengampunan sebagai keutamaan religius
dititikberatkan. Jantung gagasan ini adalah cinta kasih sejati antarmanusia
yang nyata dalam hidup sehari-hari. Kerukunan pun mengandaikan pengampunan
berdasarkan cinta kasih. Salah satu penghalang pengampunan adalah rasa balas
dendam, emosi yang rendah dan tidak layak dalam diri manusia.