Penulis: Lianto, S.Ag., M.M.
Publikasi: Jurnal Ilmiah MABIS, Vol. 3, No. 2, Desember 2011
KEUNGGULAN
BALANCED SCORECARD SEBAGAI SISTEM
MANAJEMEN STRATEGIS YANG HOLISTIK
Lianto
email: lianto71@yahoo.com
STIE Widya Dharma
Pontianak
Abstract
For many
organizations, the Balanced Scorecard has evolved from a measurement tool to
what Kaplan and Norton have described as a Strategic Management system. While
the original intent of the Balanced Scorecard system was to balance historical
financial numbers with the drivers of future value for the firm, as more and
more organizations experimented with the concept they found it to be a critical
tool in aligning short-term actions with their strategy. In this paper, I’ll explore
each of the four perspectives of the Balanced Scorecard and identify the
benefits of the scorecard in overwhelming the limitations of financial
measurements.
Key
words: balanced scorecard, strategi, key
performance indicator,
financial husbandary
A. Pendahuluan
Sejak
zaman dahulu, selama umur
organisasi bisnis di muka bumi, metode tradisional pengukuran keberhasilan organisasi didasarkan pada
ukuran finansial. Namun mulai tiga dekade terakhir, ketergantungan hanya pada
ukuran finansial
(financial husbandary) telah menjadi
masalah yang disadari banyak perusahaan.
Di samping masalah ini, perusahaan di era baru juga dihadapkan pada masalah
dominansi aktiva tak berwujud
dan
kesulitan menjalankan strategi. Masalah-masalah ini kerap membuat organisasi
bisnis kesulitan mengaitkan dan mensinergikan berbagai fungsi dalam organisasi.
Balanced Scorecard menekankan perlunya memandang
organisasi secara holistik untuk mencapai sinergi lintas fungsional. Perspektif
holistik yang ditawarkan menjadikannya alat yang andal dalam
mengimplementasikan manajemen strategis perusahaan. Manajemen strategis,
sejatinya, adalah upaya untuk mengintegrasikan berbagai fungsi dalam organisasi
untuk mencapai keberhasilan. Studi kepustakaan ini akan memaparkan substansi Balanced Scorecard dan keunggulannya
sebagai suatu framework manajemen strategis untuk mengomunikasikan misi dan strategi
organisasi seraya menginspirasi para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi di tengah
permasalahan fundamental yang dihadapi oleh banyak perusahaan modern.
B. Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard adalah
suatu alat manajemen strategik yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan
strategi menjadi aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator (finansial dan
non-finansial) yang terjalin dalam hubungan kausal. Konsep ini merupakan hasil penelitian
yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton. Hasil penelitian mereka dipublikasikan
pada tahun 1992 dalam artikel berjudul “The Balanced Scorecard – Measures that
Drive Performance” dalam Harvard Business Review.
Kata “balanced” menunjukkan adanya
keseimbangan yang dijaga antara pelbagai indikator yang diukur. Indikator yang
dimaksud ialah:
Ø Indikator finansial dan non-finansial
Ø Indikator kinerja internal dan eksternal
Ø Indikator kinerja masa lampau, masa kini, dan masa yang
akan datang
Ø Indikator kinerja yang lagging (hasil/outcomes)
dan leading (pemicu/driver)
Sedangkan “scorecard” secara harafiah dimengerti
sebagai “kartu score” untuk mencatat penilaian atas pencapaian kinerja dari
setiap strategi yang dibangun.
Menurut
Kaplan dan Norton (1996: 10-11), Balanced
Scorecard lebih daripada sekedar sistem pengukuran operasional. Perusahaan
inovatif memanfaatkan Balanced Scorecard
sebagai suatu sistem manajemen strategik untuk mengelola strategi jangka
panjang. Mereka menggunakan fokus pengukuran Balanced Scorecard untuk menghasilkan proses-proses manajemen yang
menentukan (critical), yakni:
Ø memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi,
Ø mengomunikasikan dan mengaitkan sasaran dan ukuran
strategik,
Ø merencanakan, menentukan target, dan menyelaraskan
inisiatif strategik, dan
Ø meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategik.
Keempat proses
pengelolaan strategi tersebut digambarkan Kaplan dan Norton (1996: 197) dalam
Gambar 1 berikut ini:
Gambar 1
Sistem Manajemen Balanced Scorecard untuk Implementasi
Strategi
|
|||||
Konsep Balanced Scorecard menawarkan empat
perspektif yang harus diukur secara seimbang. Keempat perspektif itu adalah
perspektif Finansial, Pelanggan, Proses Internal, dan Pembelajaran
dan Pertumbuhan. Kaplan dan Norton (1996: 34-35) berpendapat bahwa empat
perspektif itu cukup untuk mengukur dan menerjemahkan visi dan strategi ke
dalam sasaran dan inisiatif strategik. Terlalu banyak ukuran, selain tidak
efisien, juga akan membingungkan karena informasi yang harus dikumpulkan
menjadi bertambah. Mengukur sedikit hal yang berkaitan lebih berharga daripada
mengukur banyak hal yang tidak berkaitan atau sulit ditemukan kaitan kausalnya.
Kata “perspektif” untuk keempat tolok ukur menunjukkan sudut atau fokus
pandangan yang harus dititikberatkan. Dengan kata lain, keempat perspektif
dalam Balanced Scorecard merupakan peta
wilayah tempat di mana seseorang harus meletakkan strategi-strategi yang
relevan. Menurut Luis dan Biromo (2007:24), strategi-strategi relevan yang dimaksud tidak lain ialah
sasaran strategik yang sebetulnya merupakan strategi itu sendiri. Berikut ini
dipaparkan keempat perspektif yang dijadikan tolok ukur untuk mencapai tujuan
organisasi.
C. Empat Perspektif Balanced Scorecard
1. Perspektif
Finansial
Kendati tidak memadai jika dijadikan
tolok ukur tunggal, Perspektif Finansial tetap tak dapat ditinggalkan. Kaplan
dan Norton (1996: 25) tetap memperhitungkan Perspektif Finansial karena ukuran
finansial tetap penting dalam memberikan ringkasan konsekuensi tindakan
ekonomis yang telah diambil. Entah suatu organisasi berorientasi laba maupun
nirlaba, Perspektif Finansial tetap patut menyita perhatian karena untuk
mengelola organisasi dibutuhkan kinerja keuangan yang baik. Masalahnya adalah
tidak tepat jika suatu organisasi hanya
menjadikan Perspektif Finansial sebagai satu-satunya tolok ukur penciptaan nilai.
Dikatakan tidak tepat karena ukuran finansial merupakan hasil (outcomes) yang ditentukan oleh
keberhasilan organisasi dalam mengeksekusi ukuran-ukuran pemicu. Dengan kata
lain, ukuran dan tujuan Perspektif Finansial tidak bisa dicapai tanpa mencapai
ukuran dan tujuan perspektif lain. Oleh karena itu, Kaplan dan Norton menyebut indikator dalam perspektif ini
sebagai lagging indicator, yang ada karena
pencapaian indikator lain yang menunjangnya. Tidak dapat dibicarakan kiat untuk
meningkatkan kinerja keuangan tanpa berbicara tentang bagaimana kiat untuk
memuaskan pelanggan, menciptakan proses yang baik, dan membina manusia yang
produktif dan berdaya cipta. Menjalankan perusahaan hanya dengan mengandalkan
ukuran finansial bagaikan menerbangkan pesawat yang hanya punya meteran
kecepatan saja. Berhubung ukuran finansial hanya mencerminkan kinerja masa
lalu, keterpakuan hanya pada ukuran finansial laksana menjalankan mobil dengan
terus-menerus terpaku pada kaca spion dan lalai melihat arah tujuan ke depan.
Umumnya,
tujuan perspektif finansial tidak jauh dari soal profit improvement yang diukur dari laba operasi, return on capital employed (ROCE), atau economic value added (EVA). Pengukuran
Perspektif Finansial ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi yang dimasuki
perusahaan sehubungan dengan tiga tahap siklus kehidupan bisnis, yakni: tahap
bertumbuh (growth), bertahan (sustain), dan menuai (harvest). Tiap tahap memiliki tujuan
dan penekanan yang berbeda sehingga ukuran yang ditetapkan berbeda pula.
Perusahaan-perusahaan
yang sedang bertumbuh berada pada awal siklus kehidupan bisnis. Kondisi pada
tahapan ini dilukiskan Kaplan dan Norton (1996: 48) sebagai berikut:
Mereka
mempunyai produk atau jasa yang berpotensial tumbuh secara signifikan. Untuk
memanfaatkan potensi ini, mereka mungkin harus mengerahkan sumberdaya yang
cukup besar untuk mengembangkan dan meningkatkan pelbagai produk dan jasa baru;
membangun dan memperluas fasilitas produksi; membangun kapabilitas operasi;
investasi dalam sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang menunjang
hubungan global; dan memelihara dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
Kaplan dan Norton
juga mengingatkan bahwa pada tahap ini, perusahaan bisa jadi beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian
modal yang rendah. Investasi yang ditanamkan untuk jangka panjang barangkali
akan memakai cash yang lebih banyak
daripada yang dapat dihasilkan sekarang oleh produk, jasa, dan pelanggan yang
masih terbatas. Oleh karena itu, tujuan finansial yang relevan dengan tahap ini
adalah tingkat pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari produk dan jasa baru,
pelanggan baru, dan/atau melalui saluran pemasaran, penjualan, dan distribusi
baru.
Pada tahap bertahan, biasanya unit
bisnis masih diharapkan dapat memelihara pangsa pasar yang sudah ada dan tumbuh
bertahap sehingga masih menyimpan daya tarik untuk investasi. Proyek investasi
umumnya lebih diarahkan untuk mengatasi pelbagai kendala, memperluas kapasitas,
dan meningkatkan perbaikan yang berkelanjutan, daripada investasi untuk imbal
hasil dan pertumbuhan jangka panjang seperti yang dilakukan pada tahapan awal.
Tujuan finansial di tahap ini berkaitan dengan profitabilitas. Ukuran yang
relevan misalnya laba operasi (operating
income) dan margin kotor (gross margin).
Ukuran ini mengandaikan investasi modal sudah diberikan, dan oleh sebab itu
diharapkan pendapatan dari investasi modal dapat dimaksimalkan. Kinerja
unit-unit bisnis diharapkan juga dapat mengelola tingkat investasi modal yang
ditanamkan dalam unit bisnis mereka. Ukuran yang biasa dipakai misalnya ROI, ROCE, dan EVA.
Tahap ketiga menunjukkan tahap
kedewasaan yang di dalamnya perusahaan mau menuai hasil investasi yang
ditanamkan pada dua tahap sebelumnya. Investasi sejauh perlu berkisar seputar
pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Tujuan finansial yang relevan ialah
memaksimalkan arus kas operasi (sebelum depresiasi) dan pengurangan modal
kerja. Dalam tahap menuai, setiap investasi
harus memberikan kembalian kas (cash
payback) yang pasti dan segera. Di sini ukuran ROI, laba operasi, atau EVA kurang relevan karena investasi
utama sudah dilakukan. Sasarannya bukan memaksimalkan tingkat ROI yang justru akan mendorong dana
investasi tambahan, melainkan untuk memaksimalkan pengembalian kas dari seluruh
investasi yang telah ditanamkan di masa lalu.
Perbedaan tujuan dan
ukuran di tiap tahapan siklus hidup bisnis perusahaan mengondisikan perlunya
dialog aktif antara manajer puncak (CEO)
dengan manajer keuangan (CFO) untuk
mempertajam kategori dan sasaran finansial yang relevan. Dialog itu
mensyaratkan keduanya memiliki strategi finansial yang jelas bagi setiap unit
bisnis. Ketiga tahapan hanyalah gambaran umum, dan jangan dilihat sebagai
tahapan yang kaku atau terpilah pasti. Bisa jadi produk atau jasa suatu unit
bisnis awalnya mengikuti alur siklus dan kembali berbalik ke tahap pertumbuhan.
Suatu perubahan yang tiba-tiba dalam teknologi, trend, pasar, atau regulasi
dapat mengubah produk atau jasa yang mature
menjadi berpotensi kembali mengalami pertumbuhan tinggi. Kondisi ini akan
mengubah tujuan finansial dan investasi untuk unit bisnis yang bersangkutan. Itulah
sebabnya Kaplan dan Norton mengatakan bahwa positioning
unit bisnis dalam suatu kategori finansial tidak immutable dan tujuan finansial harus ditinjau ulang secara periodik
(minimal tahunan) untuk memastikan strategi finansial tetap relevan dengan
kondisi yang dihadapi.
2. Perspektif Pelanggan
Perspektif Pelanggan Balanced Scorecard mau mempertanyakan
status bagaimana kita harus menampilkan diri di hadapan pelanggan. Fokus ini
sejalan dengan gaung era globalisasi yang mengkondisikan transformasi dari sellers’ market menjadi buyers’ market. Fokus perusahaan harus
berubah dari orientasi produk menjadi orientasi pelanggan. Hal ini, menurut
Yuwono, Sukarno, dan Ichsan (2007:32),
membuat manajemen modern memperdalam filosofi yang menunjukkan pengakuan atas
pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Michael Hammer,
dalam buku spektakuler The Agenda,
menegaskan berulang-ulang agar organisasi memikirkan para pelanggannya sebagai
nomor satu. Ungkapnya (Hammer, 2004: 339):
Untuk
mengapresiasikan perubahan yang mulai timbul, Anda harus mengesampingkan sudut
pandang Anda dan mengadopsi sudut pandang para pelanggan Anda. Berpikirlah
dalam keadaan mereka; rasakan kehidupan mereka. Jangan melihat mereka hanya
melalui kacamata kebutuhan Anda untuk meningkatkan penjualan. Pahamilah
kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak dinyatakan dan tidak dipenuhi, dan hargai
masalah-masalah mereka, tak peduli ada atau tidak ada hubungannya dengan apa
yang Anda jual.
Untuk
menghadapi perubahan itu, dalam perspektif ini, Kaplan dan Norton (1996: 68-72;
dalam Yuwono et al., 2007: 33-35)
mengemukakan dua kategori pengukuran, yakni: pengukuran inti pelanggan (customer core measurement) dan
proposisi nilai pelanggan (customer
value proposition).
2.1 Customer Core Measurement
Pengukuran
inti pelanggan dapat didalami dengan menyimak pengukuran market share, customer retention, customer acquisition, customer
satisfaction, dan customer
profitability. Untuk menghasilkan dampak yang optimal, kelima ukuran harus
disesuaikan dengan kelompok segmen pelanggan yang diharapkan dapat memberikan
pertumbuhan dan profitabilitas paling tinggi.
Market share atau pangsa pasar mencerminkan tingkat proporsi bisnis
yang dikuasai oleh perusahaan (unit bisnis) dari keseluruhan pasar dalam bentuk
jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit yang terjual. Indikator
yang mempengaruhi market share adalah
customer retention dan customer acquisition. Keduanya dipicu
oleh (akibat dari) customer satisfaction. Customer
retention mengukur tingkat sejauh mana perusahaan dapat mempertahankan atau
memelihara hubungan dengan pelanggan yang sudah ada. Mempertahankan pelanggan
yang ada merupakan cara penting dalam mempertahankan pangsa pasar. Customer Acquisition mengukur sejauh
mana perusahaan dapat menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.
Dengan demikian ukuran yang dipakai di sini adalah banyaknya jumlah pelanggan
baru atau jumlah penjualan kepada pelanggan baru di segmen yang ada. Kendati customer acquisition membutuhkan biaya
lebih tinggi daripada customer retention,
hal itu dipandang sangat critical jika
perusahaan menginginkan pertumbuhan. Dalam bisnis, biasanya terjadi penurunan
jumlah pelanggan yang sudah ada. Jika customer
acquisition lebih kecil daripada customer
retention, maka akan terjadi negative
growth. Customer acquisition
merupakan akibat langsung dari customer
satisfaction. Hubungan
sebab-akibat ukuran-ukuran inti itu tergambar pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2
Pengukuran Inti Pelanggan (Kaplan & Norton, 1996: 68)
Calon
pelanggan yang puas akan pelayanan (misalnya informasi produk yang dijual) akan
memutuskan membeli (menjadi pelanggan). Selanjutnya pelanggan yang puas akan
merekomendasikan produk kepada orang lain yang seterusnya akan meningkatkan
jumlah pelanggan baru. Oleh karena itu, dalam semua ukuran inti pelanggan,
kepuasan pelanggan (customer
satisfaction) merupakan leading
indicator utama yang menjadi keharusan bagi perusahaan.
Pada
dasarnya, customer satisfaction
adalah pemenuhan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Ukuran kepuasan pelanggan
memberikan feedback tentang sejauh
mana perusahaan telah menjalankan bisnis dengan baik. Tidak gampang untuk
mengukur kepuasan pelanggan. Namun kesulitan pengukuran tidak mengurangi
perlunya kepuasan pelanggan terus-menerus diukur. Di tengah badai kompetisi
yang sengit, bahkan tercipta aksioma bahwa pebisnis harus melampaui ekspektasi
pelanggan. Tingkat kepuasan pelanggan hanya dapat diketahui jika pelanggan
menilai hubungannya dengan pebisnis sebagai pengalaman yang memuaskan. Kepuasan
pelanggan memang pemicu (driving force)
utama bagi customer retention dan customer acquisition. Tapi logika ini
tak bisa dibalik, dalam arti bahwa jika terjadi customer retention, sudah pasti telah terjadi customer satisfaction.
Akhirnya,
Customer profitability mengukur keuntungan bersih yang
diperoleh dari pelanggan setelah dikurangi berbagai pengeluaran yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Terciptanya kepuasan pelanggan, terjadinya customer retention dan acquisition, serta meningkatnya pangsa
pasar, tidak menjamin tercapainya customer
profitability. Ketika perusahaan menerapkan “Perang Harga”, keempat sasaran
ukuran itu bisa jadi tercapai, tetapi belum tentu berlaku untuk customer profitability. Oleh karena itu
sasaran ini juga harus diukur untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak
jauh dari tujuan umum perusahaan. Bisnis apa pun memang muskil diharapkan dapat
memuaskan semua pelanggan dengan kebutuhan dan behavior yang berbeda. Tidak semua permintaan pelanggan dapat
dipuaskan dengan cara yang sekaligus dapat memberikan keuntungan bagi
perusahaan. Oleh karena itu, untuk memastikan customer profitability, sejumlah kalangan mensyaratkan identifikasi
pelanggan dan segmen pasar yang akan dimasuki. Teristimewa jika pasar terlalu
besar, perusahaan harus menyeleksi segmen-segmen yang akan diprioritaskan agar
produk atau jasanya dapat memenuhi kebutuhan pelanggan secara lebih tepat.
Bahkan di dalam segmen pelanggan yang dimasuki masih dapat ditemukan key customers yang harus mendapat
prioritas utama. Hukum Pareto dapat terjadi di mana-mana, juga dalam segmen
pelanggan, di mana 20% pelanggan memberikan 80% kontribusi pada penjualan. Bila
perusahaan dapat lebih memfokuskan diri pada 20% key customer, beban biaya dipersempit, dan customer profitability akan lebih terjamin. Inilah inti buku
Richard Koch, The 80/20 Principle,
yang menawarkan kiat bagaimana memperoleh lebih banyak hasil dengan lebih
sedikit usaha (Koch: 1997).
2.2 Customer Value Proposition
Pada era
seller’s market, proposisi nilai tidak terlalu penting karena pelanggan
sudah puas jika dapat memperoleh produk yang dicarinya. Keadaan umum sekarang
telah menjadi buyer’s market di mana
produklah yang harus mencari pelanggan. Harga murah dan produk bermutu saja
kadang tidak cukup untuk memuaskan pelanggan. Terdapat pelanggan yang
membutuhkan dan mengharapkan lebih daripada sekedar murah dan bermutu. Ada
atribut lain yang sering menjadi faktor penentu bagi pelanggan untuk membeli
suatu produk, misalnya pelayanan yang baik atau brand yang terkenal (image).
Proposisi
nilai mau memperlihatkan atribut yang disediakan perusahaan dalam produk dan
jasanya untuk menciptakan loyalitas dan kepuasan bagi segmen pelanggan yang
dimasuki. Proposisi nilai ini merupakan konsep kunci untuk memahami pemicu
kepuasan, akuisisi, retensi, dan pangsa pasar. Setiap industri dan segmen pasar
yang berbeda menuntut atribut yang berbeda. Secara umum (generik) dapat
dikemukakan tiga atribut yang tertemukan di hampir semua industri yang dapat
membantu membentuk balanced scorecard.
Ketiga atribut itu adalah atribut produk atau jasa, hubungan pelanggan, dan
citra (image) & reputasi.
Setiap
pelanggan mempunyai preferensi yang berbeda-beda atas atribut produk/jasa yang
ditawarkan. Atribut-atribut itu meliputi manfaat atau fitur, harga, kualitas,
dan atau kemasan. Produsen harus mengidentifikasi atribut apa yang lebih
diinginkan pelanggannya dan berupaya memenuhinya.
Hubungan Pelanggan
berbicara
tentang bagaimana perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk/jasa.
Perasaan itu menyangkut daya tanggap (responsivitas) dan komitmen perusahaan
dalam delivery produk/jasa yang tepat
waktu. Hubungan pelanggan merupakan salah satu sumber untuk mengetahui pendapat
pelanggan (voice of customer/VOC)
tentang value proposition perusahaan.
Dewasa ini atribut ini disadari sebagai faktor yang sangat menentukan sehingga
muncul teori-teori mengenai relationship
yang dikenal dengan Customer Relationship
Management (CRM). Proses menjalin hubungan pelanggan telah dimulai sebelum
terjadi penjualan. Proses itu masih dilanjutkan setelah terjadi penjualan
(layanan purna jual/after sales service).
Faktor ini mendapat perhatian besar terlebih ketika akuisisi pelanggan menjadi
sulit dan mahal. Pengusaha cenderung membina hubungan pelanggan untuk
mempertahankan pelanggan yang sudah ada.
Berbeda dari atribut produk yang bersiklus waktu pendek, hubungan
pelanggan merupakan atribut value proposition
yang mempunyai siklus waktu lebih panjang.
Citra (image) dan reputasi
menggambarkan faktor-faktor tak berwujud (intangible)
yang menarik pelanggan untuk membeli suatu produk/jasa. Sejumlah perusahaan
menggunakan komunikasi melalui iklan dan jaminan mutu seperti yang dijanjikan
untuk menciptakan customer loyalty.
Nilai citra dan reputasi itu terkadang jauh lebih tinggi daripada aspek
berwujud (tangible) produk/jasa itu
sendiri.
3. Perspektif Proses Internal
Proses
internal dimengerti sebagai serangkaian aktivitas yang ada dalam organisasi
(internal) yang biasanya tersusun dalam suatu rantai nilai (value chain). Melalui analisis atas proses penyampaian nilai itu,
perusahaan dimungkinkan untuk mengetahui seberapa baik bisnis telah dijalankan
dan sejauh mana produk/jasa yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Diyakini
bahwa setiap bisnis memiliki serangkaian proses aktivitas untuk menciptakan
nilai bagi pelanggan dan memberikan hasil finansial bagi organisasi. Kaplan dan
Norton (1996:96) menawarkan tiga proses umum yang dapat disesuaikan oleh setiap
perusahaan untuk menyusun perspektif Proses Internal, yakni: inovasi, operasi,
dan layanan purna jual. Gambar 3 berikut ini menggambarkan secara visual rantai
nilai yang dimaksud.
Gambar 3
Rantai Nilai Perspektif Proses Internal (Kaplan &
Norton, 1996: 96)
Proses Inovasi Proses
Operasi Proses
Purna Jual
3.1 Inovasi
Dalam
proses inovasi, perusahaan harus menelaah kebutuhan yang sedang berkembang
bahkan yang masih tersembunyi dari segmen pelanggan yang dimasuki. Kemudian
perusahaan menciptakan produk/jasa yang akan memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Peter Drucker, “Bisnis memiliki dua- dan hanya dua- fungsi pokok:
marketing dan inovasi. Marketing dan inovasi memberikan hasil; semua yang lain
adalah biaya.” Argumen ini terasa ekstrem, namun bahwa “inovasi memberikan
hasil” amat sangat benar. Jika efisiensi berbicara tentang pengurangan biaya,
efektivitas berbicara soal inovasi. Inovasi lebih daripada sekedar menciptakan produk baru (invention). Invention adalah menciptakan produk baru, sedangkan
inovasi adalah menciptakan solusi baru yang bernilai tambah. Produk telefon
genggam, kamera, pemutar lagu, dan perekam video adalah invention. Tetapi menggabungkan alat-alat itu dalam sebuah telefon
selular modern adalah inovasi. Proses inovasi biasanya dilakukan oleh bagian R&D dan merupakan aktivitas penting
dalam penciptaan nilai jangka panjang. Harga mahal yang biasanya menjadi momok
untuk inovasi bisa ditebus dengan kesadaran akan nilai berjangka panjang yang
dapat diciptakan. Pengalaman Merck membuktikan bahwa biaya jutaan dollar untuk R&D tidak berarti banyak jika
dibandingkan dengan nilai (finansial dan sosial) yang dihasilkan dari inovasi
produk mereka.
Proses inovasi terdiri dari dua komponen, yakni pengenalan pasar dan
penciptaan produk yang sesuai. Pengenalan pasar mencakup ukuran pasar, bentuk
preferensi pelanggan, dan tingkat harga. Dari pengalaman penerapan Balanced Scorecard di pelbagai
perusahaan, Kaplan dan Norton menegaskan untuk memperlakukan proses inovasi
sebagai elemen utama yang sangat penting dalam penciptaan nilai, bukan hanya
sekedar proses pendukung sebagaimana biasa ditemukan dalam rantai nilai
tradisional (Kaplan & Norton, 1996: 97-98).
3.2 Operasi
Dalam proses operasi, perusahaan memproduksi dan menyampaikan produk/jasa
kepada pelanggan. Tujuan dan ukuran yang biasa ditetapkan tidak jauh seputar
metode pelaksanaan yang baik (kualitas), tepat waktu, dan menghemat biaya.
Berbeda dari proses inovasi, proses operasi menampilkan penciptaan nilai
berjangka lebih pendek, di mana perusahaan hanya menyampaikan
produk/jasa kepada pelanggan yang ada saat ini. Proses ini menekankan aktivitas
penyampaian produk/jasa secara efisien, konsisten, dan tepat waktu.
3.3 Layanan Purna Jual
Proses
layanan purna jual merupakan bentuk pelayanan kepada pelanggan setelah terjadi
penjualan produk/jasa. Aktivitas yang terjadi mencakup antara lain penanganan
garansi mutu, perbaikan dan penggantian produk yang rusak, dan pemrosesan
pembayaran. Perusahaan yang menjual produk teknologi canggih bahkan memberikan
pelatihan agar pelanggannya dapat
memanfaatkan produk/jasa yang dibeli dengan efektif dan efisien. Untuk mengukur
sejauh mana proses ini dijalankan, perusahaan dapat meneliti apakah layanan ini
telah memenuhi kebutuhan pelanggan dari aspek waktu tanggap, kualitas, dan
biaya seperti dalam proses operasi.
Sejalan dengan prinsip hubungan kausal di antara keempat perspektif, tujuan
dan ukuran dalam perspektif Proses Internal harus mengidentifikasi berbagai
proses yang critical untuk mencapai
tujuan perspektif Pelanggan dan perspektif Finansial. Karena Balanced Scorecard merumuskan sebab yang
memicu akibat, maka ukuran dan tujuan perspektif ini dikembangkan setelah
perusahaan merumuskan tujuan dan ukuran dua perspektif di atasnya. Urutan ini
akan memungkinkan perusahaan memfokuskan diri kepada proses yang akan mendorong
pencapaian tujuan yang ditetapkan untuk perspektif Pelanggan dan Finansial.
4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Berhubung
ketiga perspektif di atas direncanakan dan dilaksanakan oleh manusia, maka
manusia merupakan aset utama bagi organisasi. Bertolak dari aksioma itu,
perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan berfokus pada pengembangan karyawan
agar menjadi SDM yang kapabel dan kompeten untuk menciptakan nilai bagi
perusahaan. Perubahan era industri ke era informasi dewasa ini semakin mendesak
perusahaan untuk memberi perhatian pada investasi human capital sebagai faktor kunci bagi keberhasilan organisasi.
Perusahaan di negara berkembang dewasa ini mulai mengalami apa yang dialami
perusahaan di negara maju di mana telah terjadi transformasi dari produktivitas
manual worker ke produktivitas knowledge worker sebagai penggerak
pertumbuhan ekonomis.
Setiap
aksioma (kebenaran yang terang benderang sehingga tak perlu dibuktikan lagi)
mengandung bahaya menjadi hanya lip
service semata. Karena setiap orang mengakui kebenaran yang dikandungnya,
kesadaran bahwa faktor manusia merupakan aset kunci keberhasilan biasanya
kurang bergema. Semua orang dan organisasi menyadarinya namun tidak serta merta
melaksanakannya. Agar pribadi dalam perusahaan menjadi pribadi yang learning dan dengan demikian memicu
perusahaan untuk grow, perusahaan
harus menjadi apa yang dikatakan Peter Senge sebagai learning organization.
Menurut Yuwono et al. (2007: 39),
hasil pengukuran ketiga perspektif Balanced
Scorecard sebelumnya biasanya memperlihatkan kesenjangan yang lebar antara
kinerja yang diinginkan dengan kemampuan SDM, sistem, dan prosedur yang ada
saat ini. Oleh karena itu, perspektif keempat dari Balanced Scorecard ini merupakan batu penjuru bagi keberhasilan
perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kaplan dan Norton (1996: 126) menyimpulkan
bahwa tujuan-tujuan dalam ketiga perspektif sebelumnya merupakan identifikasi
tentang apa yang harus dikuasai perusahaan. Sedangkan tujuan di dalam
perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan adalah identifikasi tentang
infrastruktur yang memungkinkan tercapainya ketiga perspektif tersebut. Tiga
kategori utama untuk perspektif ini adalah kapabilitas karyawan, kapabilitas
sistem informasi, dan motivasi, pemberdayaan (empowerment), dan keselarasan (alignment).
4.1 Kapabilitas Karyawan
Pergeseran
dan segala dampak akibat peralihan era industrial ke era informasi dewasa ini
mendesak organisasi untuk mengembangkan manajemen baru tentang cara karyawan
memberikan kontribusi kepada perusahaan. Perkembangan teknologi informasi
dewasa ini membuat hampir semua pekerjaan rutin bisa dilakukan melalui sistem
komputerisasi. Pergeseran ini mensyaratkan reskilling
para karyawan sehingga keterampilan dan kreativitas mereka dapat diarahkan
untuk mencapai tujuan organisasi. Faktor kapabilitas ini dikembangkan dengan
tiga ukuran, yakni: kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas
karyawan.
Kepuasan karyawan penting diukur karena karyawan yang puas merupakan
prasyarat bagi peningkatan produktivitas, daya tanggap, mutu, dan layanan
pelanggan. Ukuran retensi karyawan bertujuan mempertahankan karyawan yang
memberikan kontribusi bagi perusahaan. Sesungguhnya perusahaan membuat
investasi jangka panjang dalam diri karyawan sehingga berhentinya karyawan yang
produktif merupakan kerugian dalam intellectual
capital perusahaan. Retensi karyawan biasanya diukur dengan persentase
berhentinya karyawan yang memegang jabatan kunci. Sedangkan produktivitas
karyawan lebih merupakan suatu ukuran hasil dari semua usaha peningkatan
keahlian karyawan, inovasi, proses internal, dan kepuasan pelanggan.
4.2 Kapabilitas Sistem Informasi
Di samping modal karyawan yang terampil
dan termotivasi, lingkungan kompetitif dewasa ini juga menuntut adanya sistem
informasi yang memadai agar para karyawan dapat bekerja lebih efektif untuk
mencapai sasaran yang luas dalam tujuan pelanggan dan proses internal. Abad
ke-21 yang sering disebut juga sebagai Information
Age menuntut perusahaan untuk memiliki banyak informasi mengenai pelanggan,
proses internal, dan pelbagai konsekuensi finansial dari kebijakan perusahaan.
Sistem informasi yang baik menjadi keperluan jika perusahaan ingin melakukan continous improvement proses bisnisnya.
4.3 Motivasi, Pemberdayaan, dan Keselarasan
Kendati karyawan yang ada cukup
terampil dan kapabel serta didukung oleh sistem informasi yang memadai,
perusahaan masih membutuhkan kondisi yang mampu memotivasi para karyawan untuk
bertindak optimal bagi keberhasilan perusahaan. Oleh karena itu, motivasi,
pemberdayaan, dan keselarasan menjadi faktor enabler bagi tujuan perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.
Pemberdayaan dilakukan dengan pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan.
Hal itu disertai dengan penyelarasan untuk menjamin kebijakan yang diambil
tidak melenceng dari tujuan organisasi secara keseluruhan.
D. Hubungan
Kausal Keempat Perspektif
Keempat perspektif
yang
telah dipaparkan di atas
merupakan variable-variabel pokok yang dalam interaksinya akan mendorong
organisasi tahap demi tahap mencapai tujuan jangka panjang. Hubungan itu
digambarkan dalam Gambar 4
berikut ini.
Gambar 4
Interaksi
Empat Perspektif Balanced Scorecard
Hubungan kausal
antar variabel dalam memicu pencapaian tujuan jangka panjang dapat dijelaskan
secara sederhana berikut ini. Fokus organisasi nirlaba yang tertuju pada
sasaran kepuasan pelanggan dicapai dengan menciptakan pelayanan dan reputasi
atau citra yang baik. Membuat pelanggan puas berarti melihat organisasi dari
perspektif pelanggan. Di sini
dituntut perubahan pola pikir “product
offered” menjadi pola pikir “market
served”. Yang pertama berarti menawarkan produk (jasa) kepada pelanggan
tanpa melihat apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan dicari pelanggan. Sementara yang kedua berarti merancang
produk (jasa) yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan. Yang pertama menjual apa yang
diproduksi, yang kedua memproduksi apa yang bisa dijual.
Perspektif
(variabel) kepuasan pelanggan itu dipicu oleh proses pelayanan yang bagus
(perspektif Proses Internal). Dengan kata lain, menciptakan produk (jasa)
bermutu, pelayanan dan citra yang baik adalah memandang organisasi dari
perspektif Proses Internal. Pentingnya mutu proses tak dapat diragukan lagi.
Hal itu telah dibuktikan oleh keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang dan
Amerika sehingga General Electric bahkan menetapkan sistem mutu Six Sigma sebagai syarat yang harus
dipahami setiap karyawan.
Berhubung semua
proses merupakan hasil karya manusia, maka proses pelayanan yang bermutu
tergantung pada kompetensi orang yang melakukannya (perspektif Pembelajaran dan
Pertumbuhan). Perspektif ini merupakan awal dari perubahan bersinambungan dan
berjangka panjang. Perspektif ini menunjukkan pentingnya variabel sumberdaya
manusia; intangible human capital,
yang akan mendorong kinerja organisasi. Pribadi-pribadi dalam organisasi harus
terus “learn” agar mampu mendorong
organisasi untuk terus “grow”.
Improvement dalam ketiga perspektif ini, pada gilirannya akan
mendongkrak income (perspektif
Finansial) yang selanjutnya menjadi resources
yang dialokasikan untuk lebih meningkatkan ketiga perspektif tersebut, dan
seterusnya. Dalam organisasi nirlaba, kemajuan dalam perspektif finansial
memastikan bahwa organisasi sedang menuai hasil, dan melakukannya dengan cara
yang efisien sehingga meminimalkan biaya. Interaksi yang seimbang di antara
keempat variabel pokok inilah yang akan mendorong organisasi mengimplementasikan
strategi, memenuhi misi, dan mencapai visi.
Sejak
terlahir dari buah pikiran Kaplan dan Norton hingga kini, Balanced Scorecard telah tumbuh luar biasa baik dalam bentuk maupun
penerapannya. Tersiar statistik menakjubkan seputar penerapan Balanced Scorecard dalam dunia
organisasi: diadopsi oleh sekitar 50% perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 1000, dipuja sebagai salah satu
dari 75 ide bisnis yang paling berpengaruh pada abad ke-20, dan dimanfaatkan
oleh perusahaan publik, swasta, dan nirlaba (Niven, 2005: xi, 34).
E. Masalah Organisasi Era Informasi dan Keunggulan
Balanced Scorecard
1. Masalah Organisasi Era Informasi
Balanced Scorecard adalah salah satu
dari sekian banyak metode perencanaan strategi. Sejak kelahirannya di tahun
1992, konsep ini dengan cepat menarik perhatian dunia bisnis di tengah hiruk-pikuk
ratusan konsep obat mujarab bisnis potensial yang muncul dan tenggelam. Kebertahanan
konsep Balanced Scorecard hingga kini
terletak pada relevansinya menjawab tiga masalah mendasar yang menghantui
bisnis dewasa ini. Ketiga masalah itu ialah: ketergantungan tradisional pada
ukuran-ukuran finansial, dominansi aktiva tak berwujud, dan kesulitan dalam
menjalankan strategi (Niven, 2005: 2).
1.1 Keterbatasan Pengukuran Finansial Semata (Financial Husbandary)
Usia
pemakaian faktor finansial sebagai ukuran sukses perusahaan sudah setua umur
bisnis di muka bumi. Mungkin ribuan tahun lalu hingga akhir abad ke-20, patokan
finansial telah dipakai untuk mengukur kinerja sebagian besar organisasi, entah
swasta, publik, atau nirlaba. Dewasa ini mulai ditemukan aneka keterbatasan
dalam tolok ukur finansial. Ketidakrelevanan
bukan terletak pada sistem yang digunakan untuk ukuran finansial,
melainkan jika kinerja organisasi semata-mata dinilai dan diukur hanya dengan
ukuran finansial saja. Dalam dekade-dekade silam, masalah ini belum naik ke
permukaan sebab pasarnya masih bersifat sellers
market. Di masa kini, di mana pasar beralih ke buyer market, peranan posisi pelanggan tak dapat disangkal lagi.
Tampaknya yang paling menentukan kelanjutan hidup perusahaan adalah pelanggan.
Tidak mengherankan, Johnson & Johnson memberikan kursi teratas bagi
pelanggan seperti bisa kita simak pada bait pertama Credo-nya.
Banyak
organisasi di abad ke-21 mulai mempertanyakan kehandalan ukuran finansial untuk
menggambarkan fundamental perusahaan. Berbagai kasus penyimpangan finansial
yang terjadi turut memperkeruh suasana. Skandal finansial yang paling memalukan
adalah kasus Enron. Niven dengan sangat baik menguraikan berbagai keterbatasan
yang muncul jika organisasi hanya mengandalkan ukuran finansial, seperti
dipaparkan berikut ini (Niven, 2002: 6-7; 2005, 6-9).
a.
Tidak konsisten dengan
bisnis saat ini. Era informasi adalah era dominansi aktiva tak berwujud yang
menjadi pendorong utama bagi perusahaan yang ingin bersaing efektif dalam
bisnis modern. Terkait kenyataan ini, ukuran finansial tidak relevan dengan kebutuhan penciptaan
nilai dari aktiva ini.
b. Ukuran finansial tidak memberi gambaran untuk masa depan.
Menjalankan perusahaan laksana mengendarai mobil. Orang tidak dapat melihat apa
yang ada di depan melalui kaca spion. Ukuran finansial hanya memberikan
gambaran pencapaian masa lalu. Seberapa pun hebatnya prestasi finansial di masa
lalu, tia tidak dapat menjamin atau memberikan indikasi tentang apa yang masih
tersimpan di masa depan.
c. Mengorbankan pola pikir jangka panjang. Sejumlah program
seperti pelatihan, R&D, dan CRM hanya bisa dinikmati hasilnya dalam
jangka panjang. Hasil dari program-program seperti itu tidak dapat ditunjukkan
dalam ukuran finansial yang menggambarkan pencapaian angka-angka finansial saat
ini. Fokus pada angka-angka finansial jangka pendek mengaburkan apa yang
sungguh-sungguh membedakan perusahaan dari pesaing dalam jangka panjang.
d. Ukuran finansial tidak relevan dengan organisasi era baru
yang cross-functional. Laporan
keuangan pada hakekatnya merupakan suatu abstraksi (Latin “abstrahere” : menarik dari, terlepas dari, ditarik dari) yang
ditarik dari laporan departemen-departemen secara individual berdasarkan area
fungsional. Hal ini tidak relevan dengan organisasi cross-functional yang mengutamakan team dan kerja sama antar-fungsi
untuk mencapai sasaran bersama organisasi.
1.2 Dominansi Aktiva Tak Berwujud
Sekitar 30 tahun yang lalu, nilai
aktiva tak berwujud pada organisasi pada umumnya berkisar 5%. Akhir-akhir ini angka itu menjadi berlipat-lipat
ganda menjadi 75-85%. Era industrial yang didominasi aktiva berwujud seperti
properti, pabrik, dan perlengkapan, kini telah beralih. Ada dua perbedaan
mendasar antara aktiva berwujud dan tak berwujud. Pertama, aktiva berwujud dihitung secara kaku dalam laporan
keuangan. Sebaliknya aktiva tak berwujud sulit diberi harga. Tak ada yang bisa
memberi harga angka untuk budaya inovatif yang menciptakan produk baru yang lebih
cepat daripada pesaing. Jika aktiva berwujud gampang ditiru, aktiva tak
berwujud sebaliknya. Suatu perusahaan bisa membeli sebuah mesin baru yang amat
produktif. Tetapi tidak lama kemudian, hal itu diikuti oleh para pesaingnya.
Sebaliknya aktiva tak berwujud adalah milik organisasi yang tak bisa dibeli dan
dijiplak. Hubungan dengan konsumen yang dibangun dengan saling percaya dan
memberikan keuntungan selama bertahun-tahun tak dapat dimiliki dengan mudah
oleh pesaing. Kedua, yang menarik
adalah bahwa aktiva berwujud menyusut seiring dengan pemakaiannya. Mesin atau
perlengkapan yang dipakai, makin lama semakin tak berharga. Sebaliknya, aktiva
tak berwujud makin berharga seiring dengan pemakaiannya. Kemampuan untuk
membina komunikasi yang enak dengan pelanggan bagaikan bola salju yang makin
lama makin besar. Fenomen ini mau tak
mau harus ditanggapi dengan menerapkan sistem pengukuran kinerja yang dapat mengukur
aktiva tak berwujud. Dan Balanced
Scorecard memenuhi tuntutan pengukuran vital itu. Ciri khas kerangka kerja Balanced Scorecard justru adalah kemampuan untuk melacak aktiva tak berwujud
dan menyediakan ukuran tentang perubahannya hingga mendapatkan hasil.
Gambar 5
Pertumbuhan yang Signifikan Aset Tak Berwujud
1.3 Kesulitan Menjalankan Strategi
Kesadaran yang harus dibangkitkan
sejak awal adalah perbedaan antara perumusan strategi dan pelaksanaannya.
Strategi tanpa implementasi hanya bernilai satu dolar. Banyak organisasi
mengasingkan diri ke tempat rekreasi yang sunyi dan melakukan rembug panjang
untuk memunculkan suatu strategi baru. Namun sejauh mana strategi itu terkait
dengan pola operasional sehari-hari adalah hal yang berbeda. Absensi
keterkaitan itu sering dilalaikan sehingga strategi yang dirumuskan hanya
tinggal rumusan yang tak bergaung sama sekali dengan aktivitas sehari-hari. Studi
Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 10% organisasi menjalankan
strateginya. Penelitian majalah Fortune
menunjukkan bahwa 70% kegagalan CEO bukan akibat lemahnya strategi, melainkan
ketidakmampuan untuk menerapkannya. Balanced Scorecard mau memastikan bahwa
strategi yang dirumuskan terkait secara koheren dengan operasional sehari-hari.
Kaplan dan Norton (1996: 192-196) meyakini ada empat
kendala (barrier) yang harus
dihancurkan agar strategi dapat dijalankan dengan efektif. Niven (2005: 16-17)
menjelaskan hal itu dengan merangkumkannya menjadi empat kategori kendala,
yakni: kendala visi, pelaku (orang), manajemen, dan sumberdaya.
Gambar 6
Empat Kendala Implementasi Strategi (Niven, 2005: 16)
Kendala Visi
Kendala pada visi terjadi karena miskinnya komunikasi visi yang telah
dibangun. Penelitian Kaplan dan Norton di Amerika menunjukkan bahwa hanya 5%
karyawan yang memahami strategi perusahaannya. Pelaksanaan dari suatu strategi
adalah hasil tindakan. Tindakan mengandaikan pemahaman yang berasal dari
kesadaran. Bila suatu strategi dikembangkan tetapi tidak dikomunikasikan kepada
karyawan, bisa dipastikan bahwa strategi, sebagus apa pun, hanya tinggal
kumpulan kata mutiara. Ketidakpahaman visi dapat pula disebabkan oleh rumusan
yang terlalu panjang, pengertian yang mengawang-awang, atau pemakaian bahasa
yang rumit dicerna.
Kendala Pelaku
Karyawan adalah human capital
yang critical agar organisasi dapat
mencapai visinya. Untuk memotivasi mereka menerapkan strategi, organisasi perlu
memetakan secara eksplisit kaitan antara pelaksanaan strategi dengan program
insentif yang dapat diterima. Para pakar motivasi sepakat bahwa insentif yang
diberikan harus jelas kaitannya dengan kinerja. Bila tidak, insentif yang
diberikan tidak akan menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja. Kaplan dan
Norton menunjukkan bahwa hanya 25% organisasi yang mengaitkan insentif dengan
strategi.
Kendala Manajemen
Riset Kaplan dan Norton memperlihatkan bahwa
85% pihak manajemen menghabiskan waktu kurang dari 1 jam per bulan untuk
membahas strategi. Data ini menunjukkan betapa miskinnya visi para manajer.
Para manajer lebih terfokus pada hal-hal seperti keuangan, penjualan,
inventori, dan hal-hal lain berkaitan dengan operasional. Bukannya menganalisis
blueprint (strategi) yang harus
dikembangkan, mereka menghabiskan waktu panjang untuk mendebatkan laporan
rugi-laba, penghasilan kotor, dan atau harga pokok penjualan. Tidak disangkal
bahwa hal-hal itu penting bagi kesuksesan, tapi para manajer seharusnya memiliki
skala prioritas yang lebih seimbang untuk hal-hal lain yang lebih bersifat
strategis. Mereka terpaku pada hasil tapi melalaikan perhatian pada proses.
Kendala Sumberdaya
Kendala ini berkaitan dengan modal
(anggaran). Studi Kaplan dan Norton memperlihatkan bahwa 60% organisasi tidak
mengaitkan anggaran yang dibuat dengan strategi. Ini kesalahan yang muskil,
namun sering dilakukan. Dikatakan muskil karena jika suatu anggaran tidak
dikaitkan dengan strategi, lantas dengan apa anggaran tersebut terkait? Yang
harus dilakukan adalah selalu kembali ke pertanyaan: Berdasarkan strategi,
inisiatif apa yang dapat membedakan kita dari pesaing, dan sumberdaya apa yang
diperlukan?
Empat kendala inilah yang menyebabkan terhambatnya
eksekusi strategi yang telah dibangun organisasi. Kendala-kendala itu dapat
diatasi dengan penerapan Balanced
Scorecard seperti diuraikan dalam keunggulan-keunggulannya berikut ini.
2. Keunggulan Balanced Scorecard
Bertolak
dari masalah-masalah yang dihadapi organisasi di era informasi seperti
terungkap di atas, konsep Balanced Scorecard dapat dimanfaatkan
untuk mengatasi kendala-kendala tersebut berdasarkan solusi dan keunggulan
berikut ini (Luis dan Biromo, 2007: 48-51).
- Balanced Scorecard dapat dipakai sebagai alat untuk mengkomunikasikan strategi di antara manajemen, karyawan, pelanggan, maupun komunitas sekitar. Dengannya, pelbagai stakeholder dalam organisasi dapat menyelaraskan persepsi dengan bahasa yang sama. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada visi.
- Balanced Scorecard melalui konsep peta strategi memberikan peluang untuk merumuskan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan, baik yang tangible maupun intangible. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pada manajemen sekaligus menjawab permasalahan dominansi intangible asset dalam bisnis era informasi.
- Balanced Scorecard mengaitkan logika antara strategi dan kinerja (eksekusi strategi). Konsep ini memungkinkan organisasi mengaitkan strategi yang dibangun dengan proses penerapannya. Proses itu pun dapat dipantau tingkat pencapaiannya dengan menyimak key performance indicator (KPI) di tiap perspektif. Manfaat ini dapat mengatasi kendala pelaku dan manajemen.
- Di dalam Balanced Scorecard dikenal istilah hubungan sebab-akibat (causal relationship). Setiap perspektif mempunyai serangkaian sasaran strategik (strategic objective). Sasaran strategik untuk setiap perspektif itu dijelaskan hubungan sebab akibatnya. Ini menjadikan konsep ini memiliki sifat koherensi di antara variabel-variabel pemicu pertumbuhan. Dengan logika ini, masing-masing pelaku strategi mendapat gambaran yang jelas tentang tanggung jawab mereka dalam mencapai sukses dan keterkaitannya satu sama lain dalam organisasi secara keseluruhan. Dengan demikian mereka akan berupaya meningkatkan kerja sama team, karena keberhasilan di satu bagian mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bagian lain. Manfaat ini juga dapat mengatasi kendala pelaku dan manajemen.
- Karena Balanced Scorecard menerjemahkan strategi ke dalam inisiatif-inisiatif strategik yang konkrit, organisasi dapat memanfaatkannya sebagai rujukan dalam menyusun anggaran yang terkait dengan strategi. Organisasi dapat mengetahui kegiatan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai target-targetnya, dan mengalokasikan sumberdaya yang cocok untuk dimasukkan dalam anggaran. Manfaat ini dapat mengatasi kendala sumberdaya dan manajemen.
F. Kesimpulan
Konsep
Balanced Scorecard menawarkan pengukuran yang lebih
holistik dan komprehensif. Cara
pandang yang ditawarkan terhadap
aspek-aspek perusahaan bersifat menyeluruh,
bukan fragmentaris. Balanced Scorecard
juga memberikan konsep yang koheren
(ada pertalian satu sama lain). Sesuai
dengan namanya, Balanced Scorecard
memberikan keseimbangan di antara keempat perspektif yang dijadikan measurement. Keseimbangan sasaran
strategik yang dihasilkan dalam empat perspektif meliputi jangka pendek dan
panjang yang berfokus pada faktor internal dan eksternal. Logika yang menonjol
dalam konsep Balanced Scorecard membantu sasaran strategik keempat
perspektif lebih gampang diukur,
dikelola, dan dicapai. If we can measure
it, we can manage it. If we can manage it, we can achieve it.
DAFTAR PUSTAKA
Hammer, Michael. 2004. The Agenda:
Apa yang Harus Dilakukan Setiap Bisnis untuk Menguasai Masa Depan. Jakarta:
Gramedia.
Hill,
Charles W.L. & Gareth R. Jones. 2001. Strategic Management: An Integrated Approach.
Boston: Houghton Mifflin.
Indrajit,
R. Eko & R. Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Kaplan,
Robert S. & David P. Norton. 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action.
Boston: Harvard Business School Press.
. 2004.
Strategy Maps:
Converting Intangible Assets into Tangible Outcomes. Boston: Harvard Business School Press.
Koch, Richard. The 80/20 Principle: Rahasia untuk Memperoleh Lebih Banyak Hasil dengan
Lebih Sedikit Usaha. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Luis,
Suwardi, B.Psy., MBA & Dr. Ir. Prima A. Biromo. 2007. Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to
Functional Scorecards. Jakarta: Gramedia.
Niven,
Paul R. 2002. Balanced Scorecard Step-by-Step: Maximizing Performance and Maintaining
Results. New York: Wiley & Sons, Inc.
. 2005. Balanced Scorecard Diagnostics: Mempertahankan Kinerja Maksimal. Terjemahan
Andre Wiriadi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Yuwono,
Sony., Edy Sukarno, & Muhammad Ichsan.
2007. Petunjuk Praktis
Penyusunan Balanced Scorecard: Menuju Organisasi yang Berfokus pada Strategi.
Jakarta: Gramedia.