Ungkapan “jatuh cinta” dapat menjebak dan kurang bertanggung jawab.
Kata “jatuh” terkesan seolah orang lumpuh dan tak berdaya karena
terpanah oleh dewa asmara, atau seolah jatuh ke dalam suatu lubang
tanpa dikehendaki. Padahal, jatuh cinta adalah pilihan yang aktif dan
kreatif.
Kierkegaard melihat cinta sebagai tindak kehendak, ulah karsa, dan menyimpulkan cinta sebagai pilihan, bukan perasaan.
Terlebih
dalam kasus orang “jatuh cinta” kepada PIL/WIL, aspek pilihan lebih
menonjol, mengingat kita semua sedikit banyak masih diikat oleh norma
masyarakat yang menyampaikan larangan. Pembelaan terbaik adalah bahwa
itu semua terjadi di luar kehendak dan rencana, segalanya terjadi
begitu saja.