Iman kita kembali digugah dengan ditemukannya kembali naskah Injil Yudas. Berkaitan dengan wacana ini, Uskup Agung KAP, Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap., menulis: “Bermasa bodoh terhadap suatu temuan baru mencerminkan bahwa kita tidak mau tahu...terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat.” (Duta No. 242, hlm. 35). Benar, kita tidak bisa lagi hanya mengangkat bahu seraya berdoa agar “gangguan-gangguan” iman itu cepat berlalu. Tulisan ini menindaklanjuti himbauan Mgr. Hieronymus dengan mencoba menempatkan kembali posisi buku Injil Yudas pada “habitat” asli atau konteksnya dalam sejarah. Dengan ini diharapkan tulisan ini dapat membantu pembaca mengerti isi dan menentukan sikap atasnya.
Asal-usul Injil Yudas
Seperti ditegaskan oleh Mgr. Hieronymus, buku tua berjudul Injil Yudas bukanlah penemuan baru. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai penemuan kembali. Keberadaan buku ini telah kita ketahui melalui tulisan-tulisan perlawanan dari St. Ireneus, uskup Lyons pada abad ke-2.
Asal-usul Injil Yudas
Seperti ditegaskan oleh Mgr. Hieronymus, buku tua berjudul Injil Yudas bukanlah penemuan baru. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai penemuan kembali. Keberadaan buku ini telah kita ketahui melalui tulisan-tulisan perlawanan dari St. Ireneus, uskup Lyons pada abad ke-2.
Buku tua ini ditemukan kembali pada akhir 1970-an (mungkin 1978) di Mesir dalam bentuk papirus (bahan khas untuk buku kuno). Selama lima tahun, buku kuno ini beredar di pasar barang kuno Mesir. Pada tahun 1983, temuan ini ditawarkan kepada James Robinson, ahli dalam perpustakaan Nag Hammadi. Setelah penjual tidak bisa mendapatkan harga yang diminta, buku tua ini pindah tangan ke Amerika, tersimpan dalam suatu brankas di Long Island. Seorang pedagang barang antik dari Zurich bernama Frieda Tchacos Nussberger kemudian membelinya pada tahun 2000 dan membawanya ke Swiss. Dengan bantuan National Geographic, temuan kuno ini diuji dengan sistem radiokarbon-14 untuk menentukan umur (tarikh) dan otentisitasnya. Tes radiokarbon ini menunjukkan bahwa tarikh buku tua ini antara 220-340 M.
Teks buku ini ditulis dalam bahasa Koptik (Mesir kuno). Bahasa ini diciptakan oleh penulis Mesir sebagai bahasa terjemahan untuk menyampaikan pesan dari bahasa Yunani ke bahasa Mesir atau sebaliknya. Bahasa Koptik merupakan bahasa penting selama penyebaran kekristenan di Mesir. Buku ini diduga kuat merupakan terjemahan dari teks asli berbahasa Yunani yang diperkirakan ditulis antara tahun 130-150 M. Hal ini didasarkan pada materi teologi yang dipakai dan pemikiran khas Gnostisisme abad ke-2 yang muncul dalam teks.
Isi Injil Yudas
Seperti tulisan-tulisan Gnostik lainnya, Injil Yudas dimulai dengan pengantar yang menyatakan sifat rahasia dari teksnya. Mau ditegaskan bahwa isinya seolah-olah merupakan laporan rahasia pewahyuan yang diberikan Tuhan Yesus dalam percakapan pribadi dengan Yudas. Melalui berbagai kisah peristiwa, buku ini menempatkan keduabelas rasul pada posisi yang lebih rendah, dan sebaliknya memberikan tempat istimewa dan lebih tinggi kepada Yudas. Warna gnostis juga tampak dalam anggapan bahwa Allah Perjanjian Lama (Yudaisme) yang menciptakan dunia materi bukanlah Allah sejati. Allah inilah yang disembah oleh keduabelas rasul mewakili keduabelas suku Israel. Hal inilah yang membuat mereka lebih rendah. Sementara Allahnya Yudas adalah Allah yang lain, Roh sempurna. Aspek ini membuat Yudas menduduki posisi lebih tinggi.
Isi Injil Yudas
Seperti tulisan-tulisan Gnostik lainnya, Injil Yudas dimulai dengan pengantar yang menyatakan sifat rahasia dari teksnya. Mau ditegaskan bahwa isinya seolah-olah merupakan laporan rahasia pewahyuan yang diberikan Tuhan Yesus dalam percakapan pribadi dengan Yudas. Melalui berbagai kisah peristiwa, buku ini menempatkan keduabelas rasul pada posisi yang lebih rendah, dan sebaliknya memberikan tempat istimewa dan lebih tinggi kepada Yudas. Warna gnostis juga tampak dalam anggapan bahwa Allah Perjanjian Lama (Yudaisme) yang menciptakan dunia materi bukanlah Allah sejati. Allah inilah yang disembah oleh keduabelas rasul mewakili keduabelas suku Israel. Hal inilah yang membuat mereka lebih rendah. Sementara Allahnya Yudas adalah Allah yang lain, Roh sempurna. Aspek ini membuat Yudas menduduki posisi lebih tinggi.
Berbeda dari keempat Injil kanonik yang tidak mengulas kisah penciptaan, buku ini menguraikannya dengan warna khas Gnostik. Dari Allah sejati, Roh Agung, keluarlah Pencipta yang menciptakan banyak malaikat dan makhluk, yang kemudian menciptakan makhluk-makhluk lain yang lebih rendah. Karena materi pada dasarnya jahat, maka Yesus hanya seolah-olah manusia. Putera Allah tidak mungkin menjelma menjadi manusia (materi) yang jahat. Yudas dipuji karena dia mengorbankan sisi kemanusiaan Yesus. Dengan menyerahkan Yesus untuk dibunuh, Yudas bukan mengkhianati-Nya, tetapi justru membebaskan-Nya dari aspek materi. Hal ini jugalah yang membuat Yudas menjadi murid terbesar karena telah mengantar Yesus untuk menggenapi misi-Nya.
Dengan ini penulis buku ini (bukan Yudas; “Yudas” hanya nama samaran) mau membuat tokoh jahat menjadi pahlawan. Hal ini erat kaitannya dengan sekte Kainis (dari nama Kain): aliran yang berusaha “membenarkan” tindakan tokoh-tokoh hitam dalam Alkitab, mulai dari Kain yang membunuh Habel hingga Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus.
Dalam buku Against Heresies (Melawan Bidaah), Ireneus memaparkan keberadaan sekte Kainis di balik Injil Yudas. Sekte ini menekankan adanya pengetahuan rahasia yang hanya disingkap untuk orang tertentu saja. Rahasia itulah yang membedakan tindakan orang-orang pilihan. Dengan kata lain, orang yang tidak tahu rahasia yang diterima Yudas, akan mengecam tindakan Yudas sebagai pengkhianatan. Inilah sudut pandang utama Injil Yudas!
Tinjauan Kritis Atas Injil Yudas
1. Selain secara tidak langsung memberikan sumbangan bagi pemahaman tentang kekristenan abad ke-2, Injil Yudas tidak memperlihatkan manfaat yang bermakna. Dengan ditemukannya kembali Injil Yudas, secara tidak langsung diperlihatkan sejarah lampau perjuangan Gereja awal melawan Gnostisisme. Injil Yudas tidak mengatakan apa-apa yang otentik dan terpercaya tentang Yesus. Injil Yudas tidak bercerita tentang pengadilan, eksekusi atau kebangkitan. Setelah bertutur tentang kemuliaan Yudas karena membantu Yesus menyelesaikan misi keselamatan-Nya, buku ini selesai karena sudah membicarakan apa yang ingin dibicarakan. Mungkin buku ini tidak lebih daripada “rasionalisasi” atau upaya “mencari-cari” alasan logis atas kejahatan.
Tinjauan Kritis Atas Injil Yudas
1. Selain secara tidak langsung memberikan sumbangan bagi pemahaman tentang kekristenan abad ke-2, Injil Yudas tidak memperlihatkan manfaat yang bermakna. Dengan ditemukannya kembali Injil Yudas, secara tidak langsung diperlihatkan sejarah lampau perjuangan Gereja awal melawan Gnostisisme. Injil Yudas tidak mengatakan apa-apa yang otentik dan terpercaya tentang Yesus. Injil Yudas tidak bercerita tentang pengadilan, eksekusi atau kebangkitan. Setelah bertutur tentang kemuliaan Yudas karena membantu Yesus menyelesaikan misi keselamatan-Nya, buku ini selesai karena sudah membicarakan apa yang ingin dibicarakan. Mungkin buku ini tidak lebih daripada “rasionalisasi” atau upaya “mencari-cari” alasan logis atas kejahatan.
2. Teks tua ini juga jelas mencerminkan pemikiran religius yang disebut Doketisme. Aliran ini menekankan bahwa Yesus datang ke dunia hanya tampak sebagai manusia. Kemanusiaan Yesus ditolak karena bertentangan dengan keilahian-Nya sebagaimana kejahatan bertentangan dengan kebaikan.
3. Injil Yudas memperlihatkan sifat anti Yudaisme. Hal ini tampak dalam “khayalan” penulis tentang kisah penciptaan yang bertolak belakang dengan yang diajarkan Yudaisme dalam Kitab Kejadian. Injil Yudas juga mau “melepaskan” Yesus dari keyahudian-Nya melalui pembinasaan kemanusiaan-Nya. Sepertinya, penulis buku dan komunitas penganutnya tidak dapat menerima bahwa Gereja merupakan kelanjutan dari sejarah Israel.
4. Kita juga menemukan individualisme radikal dalam buku tua ini. Dengan skenario tentang rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang pilihan, penulis mendiskreditkan peran kelompok. Anehnya, hal ini dilakukan dengan mempertentangkan posisi keduabelas rasul dengan Yudas. Padahal sebelum kematian Yesus, Yudas masih bagian dari keduabelas rasul.
5. Berbeda dari keempat Injil kanonik yang ditulis pada abad-abad awal, Injil Yudas ditulis pada abad-abad lanjutan. Tidak mungkin orang menuliskan hal-hal aneh dan kontroversial pada saat ingatan dan kesaksian akan fakta sejarah masih kuat. Keempat Injil, kendati tidak bertujuan untuk menjadi buku sejarah, ditulis dalam tarikh yang amat dekat dengan masa hidup Yesus. Bila terdapat kesalahan, sejarah yang terkandung di dalamnya dapat dengan mudah ditegaskan atau ditentang oleh orang-orang yang hidup di zaman itu. Sedangkan jarak yang terbentang antara peristiwa dan penulisan Injil Yudas membuat karya ini sulit dikatakan mengandung nilai sejarah. Menurut Ireneus, buku ini tidak lebih dari sekedar cerita rekaan.
6. Teks kuno ini diakhiri dengan kata-kata: “Injil Yudas”, bukan “Injil menurut Yudas”, seperti yang kita temukan dalam Injil-injil kanonik. Hal ini menyiratkan bahwa Yudas jangan dipahami sebagai penulis injil, sebaliknya Injil Yudas berbicara tentang Yudas sendiri! Isi buku seperti terurai di atas mengokohkan argumen ini. Injil Yudas lebih tepat dimengerti sebagai “kabar baik” tentang Yudas; buku untuk memulihkan nama baiknya setelah dicap pengkhianat oleh pendapat umum.
Setelah Injil Yudas, barangkali kita masih harus “berurusan” dengan “injil-injil” lainnya. Tidak apa-apa. Seperti yang ditulis Mgr. Hieronymus, Gereja kita terbuka menghadapi segala kemungkinan. Itulah wajah dan isi Gereja yang inklusif, terbuka, dan dialogal. Yang dibutuhkan adalah kesiapan mental untuk berdialog dengan pihak mana pun. Hal itu harus ditopang dengan pendalaman iman dan Alkitab secara bersinambung.
Lianto (Publikasi: Didache Januari 2008)
Setelah Injil Yudas, barangkali kita masih harus “berurusan” dengan “injil-injil” lainnya. Tidak apa-apa. Seperti yang ditulis Mgr. Hieronymus, Gereja kita terbuka menghadapi segala kemungkinan. Itulah wajah dan isi Gereja yang inklusif, terbuka, dan dialogal. Yang dibutuhkan adalah kesiapan mental untuk berdialog dengan pihak mana pun. Hal itu harus ditopang dengan pendalaman iman dan Alkitab secara bersinambung.
Lianto (Publikasi: Didache Januari 2008)
No comments:
Post a Comment