Monday, July 21, 2008

Kerajaan Allah: Tatanan Baru di Dunia



Teramat sering kita mendengar dan mengucapkan “Kerajaan Allah”. Sebetulnya apa maksud penginjil dengan ungkapan “Kerajaan Allah”? Dalam Injil, “Kerajaan Allah” muncul sebanyak 122 kali; 90 kalinya keluar dari mulut Yesus sendiri. Dan setiap kali kita berdoa Bapa Kami, kita memohon: “Datanglah Kerajaan-Mu”. Apa yang dipahami orang masa kini ketika mendengar dan mengucapkannya? Sebagian orang lebih memahaminya sebagai kehidupan yang lain atau kehidupan sesudah kematian, atau lebih spesifik: surga. Mungkin karena di tempat lain dalam Injil (terutama Matius), ungkapan itu dipadankan dengan istilah “Kerajaan Surga”. Itukah pemahaman yang dikehendaki dan dimaksudkan para penginjil?

Kerajaan Allah: Utopia Perjanjian Lama
Kata “utopia” (Yunani: ou=tidak, topos=tempat) secara harafiah berarti sesuatu yang tidak punya tempat. Thomas More menciptakan istilah ini untuk menggambarkan sebuah pulau (negara) ideal yang bebas dari segala penderitaan. Para pemikir sosial dan novelis memakai istilah utopia dalam konteks untuk menunjuk struktur sosial idealistis yang tak pernah terlaksana.

Umat Yahudi PL mengenal apa yang disebut tahun Sabat dan tahun Yobel. Kitab Keluaran (23:10-12) menetapkan bahwa setiap 7 tahun dirayakan tahun Sabat. Selama tahun itu semua orang harus merasa sebagai anak Allah; diperlakukan sebagai saudara dan saudari. Budak dilepaskan, utang dihapus, dan tanah harus dibagi rata. Kitab Imamat (25:8-16) mempertegas hal ini dengan menetapkan perayaan tahun Yobel setiap 50 tahun. Tahun Yobel hendaknya menjadi tahun “rahmat Tuhan” di mana manusia menikmati kebebasan dan keleluasaan mengerjakan tanah yang dikembalikan kepadanya. Nyatanya, gagasan-gagasan sosial ini tak pernah terlaksana. Gagasan ini tinggal hanya utopia, dan pelan-pelan menjadi janji (harapan) yang akan terwujud ketika Mesias datang (bdk. Yesaya 61:1-2).

Misi Yesus: Utopia Menjadi Nyata
Muatan makna Kerajaan Allah tertera dalam kotbah pertama Yesus ketika tampil di sinagoga di Nazareth. Di situ Ia membacakan nats Kitab Yesaya 61:1-2: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin;... memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”. Di akhir kata, Yesus menekankan: “Pada hari ini genaplah nats itu sewaktu kamu mendengarnya” (Luk 4:18-19, 21).

Lukas dengan amat jeli dan tepat menempatkan teks Yesaya di atas untuk menggambarkan misi Yesus dan meletakkan kisah tersebut pada awal karya Yesus sebagai teks yang memuat paket program Yesus. Itulah inti seluruh pewartaan Yesus: Kerajaan Allah! Kerajaan Allah adalah perubahan kenyataan dan pengalaman hidup manusia. Kerajaan Allah bukan dimaksudkan berada di dunia lain, tetapi di dunia kita; dunia lama yang telah diubah tatanannya dengan tatanan baru. Kebaruan dalam tindakan Allah “menciptakan langit dan bumi yang baru” adalah menghadirkan Kerajaan Allah dalam dunia ini. Ini berarti dunia lama tidak dimusnahkan, melainkan diisi dan diintegrasikan dengan tatanan Allah. Matius lebih suka menyebutnya “Kerajaan Surga”, karena untuk sasaran pendengar Kristen Yahudi, ada rasa segan untuk memakai nama “Allah”. Sebagai gantinya, Matius memakai ungkapan “Surga”. Pada zaman Yesus, surga sama artinya dengan Allah. Dengan kehadiran-Nya di dunia, Yesus mengajar tentang Kerajaan Allah ini, menghadirkan, dan membukanya. Jika Kerajaan Allah dimengerti sebagai kehidupan yang lain setelah kehidupan sekarang, isi doa Bapa Kami: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di surga” menjadi tidak relevan. Soalnya, dalam doa ini kita memohon agar Kerajaan Allah hadir dan terwujud di dunia kita sekarang dan di sini. Berdoa “Datanglah Kerajaan-Mu” sama dengan mengatakan “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di surga”.

Pertanyaan Yohanes Pembaptis dalam penjara amat mengena: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Kepada utusan Yohanes, Yesus menjawab: “Pergilah dan katakan kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat. 11:3-5). Jawaban Yesus ini merupakan bukti pelaksanaan kinerja paket program-Nya seperti termaktub dalam Luk. 4:18-19 di atas. Orang buta, lumpuh, kustawan/wati, dan orang tuli adalah kata lain untuk orang miskin dan tertindas. Sementara tindakan Yesus terhadap mereka adalah ungkapan lain untuk mengatakan pembebasan. Pewartaan Kerajaan Allah harus dimengerti dalam terang ini, yakni pembebasan bagi kaum miskin dan tertindas. Dengan demikian, dalam ungkapan yang lebih padat, menghadirkan Kerajaan Allah berarti menghadirkan kebenaran, keadilan, dan kedamaian. Dan hal itu nyata dalam karya Yesus.

Mengingat perwujudan Kerajaan Allah menyentuh dunia ini dan manusia yang terbatas dan dinamis, penting ditekankan kata kunci: proses! Ketika dihadirkan di antara kita, Kerajaan Allah memiliki daya hidup yang sudah dimulai namun belum mencapai kesempurnaannya. Dengan ini kita melihat bahwa Kerajaan Allah mengandung dimensi masa depan, tapi tetap masa depan di dunia.

Lantas bagaimana dengan kata-kata Yesus dalam Yoh. 18:36: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini”? Kata-kata ini sama sekali tidak berarti bahwa kerajaan bukan atau tidak akan ada di dunia atau di atas bumi ini. Kalimat itu khas Yohanes dan harus dipahami dalam konsep Yohanes. Dalam Yoh. 17:11, 14-16, di mana Yesus dan para murid dikatakan berada di dunia ini tetapi tidak dari dunia ini, artinya cukup jelas. Artinya: meskipun mereka hidup di dunia, mereka tidak bersemangat duniawi, mereka tidak menganut tata nilai dan ukuran dunia. Kalimat “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” juga harus dimengerti dengan cara yang sama. Nilai Kerajaan Allah berbeda dan bertentangan dengan nilai-nilai dunia. Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa Kerajaan itu merupakan “Negeri di Awan”, tanpa struktur sosial dan politik (dalam arti perwujudan kesejahteraan umum).

Barangkali inilah pemahaman Kerajaan Allah yang dimaksudkan oleh para penginjil. Pemahaman ini tidak bermaksud menafikan (menyangkal) keyakinan tentang surga atau kegembiraan sempurna yang diterima orang beriman setelah kehidupan ini. Itu adalah kebenaran lain yang tidak dibahas tulisan ini. Tulisan ini hanya mencoba mendekati konsep “Kerajaan Allah” dengan melihat konteks dan maksud para penginjil. Dan ternyata konteks itu masih aktual dengan zaman kita. Sekarang dan di sini, kita masih mengharapkan kehadiran Kerajaan di mana kehendak Allah terjadi di atas bumi seperti di surga. Dalam pengharapan dan permohonan itu tersirat panggilan untuk berpartisipasi dalam perwujudan kebenaran, keadilan, dan kedamaian di atas bumi. Pemahaman ini mengingatkan kembali konsekuensi yang mungkin sering tidak disadari orang ketika berdoa: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di surga”, yaitu panggilan untuk terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan umum. Bila mau dikaitkan dengan konsep keselamatan, pewartaan tentang Kerajaan Allah menuntut partisipasi aktif umat beriman dalam paket program Yesus di dunia ini. Keselamatan dimulai sekarang dan di sini. Kekinian dan kedi-sinian inilah dasar untuk memahami slogan: “Di luar dunia tidak ada keselamatan”;
“Extra mundum nulla salus est”.


Lianto (Publikasi: Majalah Didache Desember 2007)

No comments: