Penulis: Lianto, S.Ag., M.M.
Publikasi: Jurnal Ilmiah MABIS, Vol. 2, No. 1, Tahun 2011
AKTUALISASI
TEORI HIERARKI KEBUTUHAN
ABRAHAM H.
MASLOW BAGI PENINGKATAN KINERJA
INDIVIDU
DALAM ORGANISASI
Lianto
Program
Studi Manajemen STIE Widya Dharma Pontianak
Email:
lianto71@yahoo.com
Abstract
In this article,
the theory of Abraham H. Maslow’s Hierarchy
of Needs would be the starting point and the foundation for the idea of finding motivation
to increase the
performance of individuals within
the organization. Today, there are various criticisms about the
validity of Maslow’s theory. However, as a basic concept for the introduction of individual personality and various structural
factors that encourage
people to do something, this theory can still
resonates loudly. The term "actualization" is meant how Maslow's
theory in social
psychology can be
adopted into individual motivation
in the management disciplines and how the theory, which was introduced in the 1950s, can be re-actualized.
Kata-kata
Kunci: Hierarki kebutuhan, motivasi, kinerja, kompensasi, manajemen
A. Pendahuluan
Dalam kenyataan, tidak selalu seseorang yang
telah digaji cukup akan merasa puas dengan pekerjaannya. Banyak faktor (di
samping gaji) yang menyebabkan orang merasa puas atau tidak puas bekerja pada
suatu organisasi. Seorang manajer adalah orang yang bekerja dengan bantuan
orang lain. Ia tidak menjalankan semua pekerjaan sendirian saja, melainkan
mengarahkan orang lain dalam tim untuk melaksanakannya. Jika tugas yang
diarahkan tidak dapat dilaksanakan oleh karyawannya, seorang manajer harus
mengetahui sebab-sebabnya. Mungkin karyawan yang bersangkutan memang tidak
kompeten di bidangnya, mungkin pula ia tidak mempunyai motivasi untuk bekerja
dengan baik.
Dari kenyataan ini dipahami bahwa motivasi
merupakan unsur hakiki dalam integrasi antara pribadi individu dengan tujuan
organisasi. Dalam konteks ini, pemberian motivasi merupakan salah satu fungsi
dan tugas dari seorang manajer. Ia harus mampu memotivasi individu-individu
yang terlibat untuk dapat memberikan kinerja yang optimal demi pencapaian
tujuan organisasi. Penyusunan materi tulisan ini didasarkan pada penelitian
kepustakaan (library research).
Pokok-pokok pikiran Abraham Maslow dan sejumlah pengarang lain dihimpun dan
disajikan secara tematis. Dari segi penulisan, kami memilih metode
analitis-kritis.
Artikel ini
dibuka dengan paparan selayang pandang profil sang tokoh: Abraham H. Maslow,
proposisi-proposisi awal Maslow, dan intisari teori Maslow tentang Hierarki
Kebutuhan. Kajian selanjutnya akan menguraikan identifikasi atas tiap kebutuhan dan implikasinya terhadap motivasi yang
mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi. Dan sebelum ditutup dengan
kesimpulan, akan dipaparkan tinjauan kritis atas pro dan kontra terhadap konsep
Maslow.
B. Sekilas
Tentang Abraham H. Maslow
Abraham H. Maslow dilahirkan pada tahun 1908
dalam keluarga imigran Rusia-Yahudi di Brooklyn, New York. Ia seorang yang
pemalu, neurotik, dan depresif namun memiliki rasa ingin tahu yang besar dan
kecerdasan otak yang luar biasa. Dengan IQ 195, ia unggul di sekolah (Butler-Bowdon, 2005:
273). Ketika beranjak remaja, Maslow
mulai mengagumi karya para filsuf seperti Alfred North Whitehead, Henri
Bergson, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Plato, dan Baruch Spinoza. Di
samping berkutat dalam kegiatan kognitif, ia juga mempunyai banyak pengalaman
praktis. Ia bekerja sebagai pengantar koran dan menghabiskan liburan dengan
bekerja pada perusahaan keluarga (Goble, 1987: 28-29).
Maslow hidup dalam zaman di mana bermunculan
banyak aliran psikologi yang baru tumbuh sebagai disiplin ilmu yang relatif
muda. Di Amerika, William James mengembangkan Fungsionalisme. Psikologi Gestalt
berkembang di Jerman, Sigmund Freud berjaya di Wina, dan John B. Watson
memopulerkan Behaviorisme di Amerika. Ketika pada tahun 1954 Maslow menerbitkan
bukunya yang berjudul Motivation and
Personality, dua teori yang sangat populer dan berpengaruh di
universitas-universitas Amerika adalah Psikoanalisa Sigmund Freud dan
Behaviorisme John B. Watson (Goble, 1987: 17).
Dalam ranah psikologi, Psikoanalisa Freud
dianggap mazhab (force) pertama.
Sedangkan Behaviorisme disebut mazhab kedua. Agaknya Maslow (kendati pernah
mengagumi kedua aliran tersebut) mempunyai prinsip yang berbeda. Sampel
penelitian Freud adalah pasien-pasien neurotis dan psikotis di kliniknya.
Pertanyaan kita adalah: bagaimana kesimpulan dari sampel orang-orang yang
terganggu jiwanya dapat diterapkan pada orang-orang pada umumnya (yang sehat
mental). Maslow mempunyai prinsip bahwa sebelum mengerti penyakit mental, orang
harus terlebih dahulu memahami kesehatan mental. Di kutub lain, kaum Behavioris
menghimpun data dari penelitian atas binatang seperti burung merpati dan tikus
putih. Maslow melihat bahwa kesimpulan mereka bisa jadi berlaku bagi ikan,
katak, atau tikus, tetapi tidak untuk bangsa manusia (Goble, 1987: 18-23,
33-37).
Berlawanan
secara radikal dengan kedua aliran tersebut, Maslow mencari sampel pada
manusia-manusia yang dalam masyarakat dilihat sebagai “tokoh”. Ia melibatkan
penelitiannya terhadap tujuh tokoh modern dan sembilan tokoh sejarah: Abraham
Lincoln dan Thomas Jefferson (presiden AS), Eleanor Roosevelt (First Lady yang
dermawan), Jane Addams (pelopor pekerja sosial), William James (psikolog),
Albert Schweitzer (dokter dan humanis), Aldous Huxley (penulis), dan Baruch
Spinoza (filsuf). Penyelidikan tentang tokoh-tokoh ini (dan yang lainnya)
-kebiasaan, sifat, kepribadian, dan kemampuan mereka- telah mengantar Maslow
sampai pada teori tentang kesehatan mental dan teori tentang motivasi pada
manusia
(Butler-Bowdon, 2005: 269; Goble, 1987: 49-50). Secara
dialektis, tesis Freud dan antitesis Watson et
al. melahirkan sintesis Abraham Maslow. Oleh karena itu, teorinya kerap disebut mazhab ketiga.
C. Proposisi Maslow atas Teori Motivasi
Sebelum menguraikan teori tentang
Hierarki Kebutuhan, Maslow dalam karya masyhurnya, Motivation and Personality, memaparkan terlebih dahulu sejumlah
proposisi yang harus diperhatikan sebelum seseorang menyusun sebuah teori
motivasi yang sehat. Maslow mengakui sendiri bahwa sejumlah proposisi sangat
benar dalam arti dapat diterima oleh banyak kalangan. Sejumlah proposisi lain
barangkali kurang dapat diterima dan dapat diperdebatkan. Hal ini mencerminkan
kelegowoan Maslow untuk tidak begitu saja memutlakkan teorinya. Berhubung teori
ini berkenaan dengan manusia yang dinamis multidimensional, lumrah kiranya
bahwa pandangan tertentu kurang universal. Berikut ini sejumlah proposisi awal
untuk memahami jalan pikiran Maslow.
1. Individu
sebagai Kesatuan Terpadu
Maslow pertama-tama menekankan bahwa individu
merupakan kesatuan yang terpadu dan terorganisasi. Pernyataan ini hampir
menjadi aksioma yang diterima oleh semua orang, yang kemudian sering dilupakan
dan diabaikan tatkala seseorang melakukan penelitian. Penting sekali untuk
selalu disadarkan kembali hal ini sebelum seseorang melakukan eksperimen atau
menyusun suatu teori motivasi yang sehat. Maslow memberikan contoh: yang
membutuhkan makanan bukanlah perut John Smith semata-mata, melainkan seluruh
individu John Smith sebagai kesatuan. Dengan kata lain, makanan akan memuaskan
rasa lapar John Smith, dan bukan hanya rasa lapar pada perut John Smith.
2. Cara dan
Tujuan
Bila kita telisik keinginan dalam pengalaman
sehari-hari, hal penting untuk disadari adalah pembedaan antara cara dan
tujuan. Kebutuhan-kebutuhan biasanya lebih merupakan cara atau sarana bagi
suatu tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Misalnya kita menginginkan atau
membutuhkan uang agar dapat membeli mobil. Analisis selanjutnya menunjukkan
bahwa kita menginginkan mobil karena para tetangga memilikinya dan kita tidak
ingin merasa kurang daripada mereka. Rupanya ini soal harga diri dan kebutuhan
untuk dihormati. Kita dapati bahwa ada gejala dan ada pula arti di balik
gejala, yakni apa yang sesungguhnya menjadi tujuan yang lebih dasariah pada
akhirnya. Intinya kita harus menemukan tujuan terdalam seseorang ketika
menginginkan sesuatu bila tidak ingin terjatuh dalam pemuasan kebutuhan yang
tidak tepat sasaran. Tujuan-tujuan itu lebih universal daripada cara-cara yang
ditempuh untuk mencapainya. Karena faktor budaya, bisa saja tujuan yang sama,
misalnya harga diri, dicapai individu dalam masyarakat tertentu dengan menjadi
prajurit, dan dalam masyarakat yang lain dicapai dengan menjadi dokter. Karena
perbedaan perilaku individu dalam pemuasan kebutuhan tersebut, orang seringkali
membuat pembedaan atas tujuan yang sebetulnya sama. Meskipun beragam budaya,
sebetulnya umat manusia lebih banyak serupa daripada yang terlihat dan disangka
banyak orang.
3. Motivasi Ganda
Seseorang bisa jadi dapat menjelaskan
motivasi tertentu yang mendasari perilakunya. Namun tidak jarang terdapat pula
aneka motivasi lain yang barangkali tidak disadari dan dikira oleh individu
itu. Satu gejala sekaligus dapat menggambarkan bermacam-macam keinginan yang
berbeda-beda, bahkan juga kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama
lain. Teori motivasi yang sehat tidak boleh mengabaikan aspek kehidupan alam
bawah sadar. Gejala psikopatologis kelumpuhan, misalnya, dapat menggambarkan
dipenuhinya sekaligus keinginan akan balas dendam, dikasihani, dan dihormati.
Jika gejala ini hanya dilihat sebagai gejala lahiriah tanpa menelaah
kemungkinan keinginan atau motivasi bawah sadar, berarti kita telah semena-mena
meniadakan kemungkinan untuk memahami seluruh perilaku dan keadaan motivasional
seorang individu.
4. Tata Hubungan Motivasi
Manusia adalah makhluk yang punya keinginan
dan jarang mencapai keadaan puas sepenuhnya kecuali untuk waktu yang singkat.
Apabila keinginan yang satu telah terpenuhi, keinginan lainnya akan timbul
menggantikan keinginan sebelumnya. Jika keinginan itu pun terpenuhi, masih ada
keinginan lainnya yang akan menyusul, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini
menuntut kita untuk menelaah tata hubungan semua motivasi satu sama lain. Pada
saat yang sama, kita juga harus melepaskan unit-unit motivasi yang tersendiri
untuk mencapai pengertian lebih luas yang dicari.
5. Tolak Daftar Dorongan Dikotomis
Tidak ada gunanya membuat daftar
dorongan-dorongan (stimulus) yang muncul. Dorongan-dorongan satu sama lain
bukanlah hal-hal yang terpilah-pilah. Pendaftaran dorongan secara dikotomis
mengabaikan sifat dinamis dari dorongan-dorongan itu, misalnya bahwa segi-segi
kesadaran dan ketidaksadaran mungkin berbeda-beda, atau bahwa suatu keinginan
tertentu sebenarnya dapat merupakan suatu saluran bagi pengungkapan berbagai
keinginan lainnya, dan sebagainya. Pada kenyataannya, dorongan-dorongan juga
tidak mengelompokkan diri secara aritmetik dan tersendiri dengan ciri-ciri
tersendiri. Biasanya terdapat suatu tumpang-tindih, sehingga hampir tidak
mungkin secara jelas dan tajam memisahkan dorongan yang satu dari yang lain.
6. Lingkungan
Aspek yang satu ini tidak boleh dilupakan.
Setiap teori motivasi dengan sendirinya harus memperhitungkan fakta pengaruh
lingkungan. Motivasi manusia jarang mewujudkan diri dalam suatu perilaku yang
lepas dari situasi dan dengan orang-orang lain. Namun pengakuan akan pengaruh
situasi lingkungan hendaknya tidak berlebihan, karena pusat telaah kita
tetaplah organisme atau struktur watak dari individu. Teori motivasi yang sehat
harus mempertimbangkan situasi, tetapi jangan terjebak ke dalam teori situasi
murni. Telaah tentang motivasi jangan meniadakan atau menyangkal telaah tentang
penentu-penentu situasional. Di lain sisi, telaah motivasi jangan pula
melupakan sifat intrinsik organisme demi kepentingan pemahaman dunia di mana
organisme itu hidup.
7. Kemungkinan
Mencapai Hasil
Maslow, sebagaimana juga J. Dewey dan
Thorndike, menekankan aspek motivasi yang sering diabaikan kebanyakan psikolog,
yakni kemungkinan. Pada umumnya secara sadar kita mendambakan apa yang menurut
pikiran kita dapat dicapai. Bila penghasilan seseorang bertambah, ia sadar
bahwa dirinya secara aktif mengharapkan untuk memperoleh hal-hal yang diidamkan
beberapa tahun sebelumnya. Bila rata-rata orang mendambakan mobil dan rumah,
hal itu lumrah dan merupakan kemungkinan yang nyata. Mereka tidak mendambakan pesawat jet atau kapal
pesiar karena barang-barang itu ada di luar jangkauan rata-rata kemampuannya.
Mungkin sekali bahwa secara tidak sadar pun ia tidak mendambakannya. Faktor
kemungkinan untuk mencapai hasil ini penting diperhatikan dalam usaha memahami
perbedaan motivasi di antara berbagai kelas dalam masyarakat atau antara
individu-individu dari negara atau kebudayaan yang berbeda-beda.
8. Pengetahuan Mengenai Motivasi Sehat
Proposisi
ini merupakan nilai lebih dari pandangan Maslow dibandingkan dengan kedua
mazhab psikologi sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa hal berikut merupakan kritik
Maslow atas sampel penelitian mereka. Menurut Maslow, sebagian besar ahli
motivasi mendapatkan data dari para psikoterapis yang sedang merawat pasien.
Pasien-pasien itu merupakan sumber kekeliruan yang besar karena mereka
merupakan contoh yang kurang baik dari suatu populasi. Sebagai asas sekali pun,
kehidupan motivasional para penderita
gangguan emosi harus ditolak sebagai contoh bagi motivasi sehat. Teori motivasi
yang sehat sepatutnya merupakan kesimpulan dari penelitian atas orang-orang
yang sehat pula. Oleh karena itu, sampel penelitian Maslow adalah orang-orang
yang ternama dalam sejarah manusia.
D. Teori Motivasi Abraham Maslow: Hierarki
Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori
tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai
“hierarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika
satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat
motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi
kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi
sebagai berikut: (1) Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang
dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan
kebutuhan jasmani lainnya. (2)Kebutuhan
akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap
kerugian fisik dan emosional. (3)Kebutuhan
sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang,
diterima-baik, dan persahabatan. (4)Kebutuhan
akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri,
otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan
perhatian. (5)Kebutuhan akan aktualisasi
diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya
sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut
teori Hierarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang
holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan
mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur
kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme
Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler (Maslow, 1984: 39).
E. Identifikasi Hieraki Kebutuhan dan Aplikasi
Manajemen
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah
kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara
fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur,
istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri,
dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang
berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali
makanan. Bagi masyarakat sejahtera
jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini
terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi
tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia (Ranupandojo &
Husnan, 1995: 181; Goble, 1987: 71-72).
Tak teragukan lagi bahwa
kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini
berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya
dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar
ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain,
seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu
termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini (Winardi, 2002: 14).
Aplikasi Manajemen
Pertama-tama harus selalu diingat
bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada perhatian lain kecuali
makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari
karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya,
kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar
hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Jangan berharap bahwa nasihat dan petuah
saleh dapat memuaskannya. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu
dan sangat kelaparan atau kehausan, utopia dapat dirumuskan sebagai suatu
tempat yang penuh makanan dan minuman. Ia cenderung berpikir bahwa seandainya
makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya. Orang
seperti itu hanya hidup untuk makan saja (Maslow, 1984:41-42). Untuk
memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya.
Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang
seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam
organisasi.
Elton Mayo dari Harvard Graduate School of Business
Administration pada tahun 1923 melakukan penelitian di sebuah pabrik
tekstil di Philadelphia. Ia ingin menemukan penyebab terjadinya pergantian
tenaga kerja yang terlalu sering di salah satu bagian produksi di mana
pekerjaan yang dilakukan lumayan sukar dan monoton. Ia bertolak dari asumsi
kelelahan tenaga kerja dan kebutuhan akan waktu istirahat. Maka ia menjadwalkan
serangkaian waktu istirahat. Para karyawan diminta bekerja sama dalam
menetapkan jadwal. Hasil yang diperoleh cukup fantastis: pergantian karyawan
menurun drastis, produktivitas meningkat, dan semangat kerja menjadi lebih
baik. Mayo secara tepat menemukan apa yang dibutuhkan karyawan, yakni waktu
istirahat dan penghargaan diri karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk
ikut serta dalam pengambilan keputusan yang biasanya menjadi monopoli pimpinan
perusahaan (Goble,
1987: 283). Dengan
satu panah, Mayo membidik dua burung; dua kebutuhan terpenuhi dalam waktu yang
sama.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Segera setelah kebutuhan dasariah
terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa
aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan
akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan;
kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya.
Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak
membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak
menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu
tidak ditemukan, maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang
merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan
berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan (Goble, 1987: 73).
Aplikasi Manajemen
Dalam konteks perilaku kinerja
individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam
perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib,
teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi
hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat
memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi
kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja,
kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat
kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu
tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau
dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko,
sedangkan yang lain tidak.
Dalam organisasi, kita seringkali
mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang
diperkenankan (permisible behavior).
Ia menginginkan kebebasan dalam batas
tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki
pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya
sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk
menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus
berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat
mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk
dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa
perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung
pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa
sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam
hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah
jaminan dan proteksi. Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan ini akan
menginginkan ketenteraman, supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung (Winardi, 2002: 14-15).
Dewasa ini marak wacana adanya
kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor teknologi yang berkembang. Dalam
situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu
jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).
3. Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan
kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan
rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi
motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah
sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri,
suami, atau anak-anak. Ia haus akan
relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia
membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya,
dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi
kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan
akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu,
dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian
itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak
menentu (Goble,
1987: 74).
Aplikasi Manajemen
Individu dalam organisasi
menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi
dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan
afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian,
kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi
mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian (Winardi, 2002: 15). Organisasi atau perusahaan yang terlalu
tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan
kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense
of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi
untuk mempunyai rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan
ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan
organisasi mempunyai hubungan resiprok yang hasilnya dirasakan secara timbal
balik.
Dalam ranah Perilaku Organisasi,
kita kenal apa yang disebut manajemen konflik. Berbeda dari pandangan
tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan interaksionis
yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok namun
juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau
buruk tergantung pada tipenya (Robbins, 2006: 546-547). Tanpa
bermaksud menolak atau mendukung salah satu pandangan, dapat dikatakan bahwa
potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu rasa aman juga dapat
menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi mobilitas yang
berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam tercabutnya
rasa kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok baru
dan asing, dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka
kebutuhan yang masuk dalam hierarki tahap ini.
4. Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua
orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai
kebutuhan atau menginginkan penilaian diri yang mantap, mempunyai dasar yang
kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini
menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama
(internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi,
penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan).
Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise,
pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat,
perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki
cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih
berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan
rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang
neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah
kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan
diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau
sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan (Maslow, 1984: 76-77).
Aplikasi Manajemen
Tidak jarang ditemukan pekerja di
level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada apa
gerangan? Apakah kompensasi gajinya tidak memuaskan? Ternyata tidak selamanya
uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang
terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan
mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar
bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya
harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada
saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai
penggerak kinerja (Bushardt,
2002: 61).
Ketimbang uang, individu pada
level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan
bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba
mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan
tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau
melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan
akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja
organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat
lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara
sempurna (Winardi,
2002: 16).
Sebagai bagian dari sebuah
pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif dan program-program
umpan balik positif (positive feedback
programs) dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan
penghargaan. Pendelegasian otonomi dan tanggung jawab yang lebih luas kepada
karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi kinerja dan performa yang
lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan sebelumnya
menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif
penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir
banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan,
dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan
buruk bawahannya (Winardi,
2002: 77-78; Francella, 2002: 90-91).
Pakar kepemimpinan, William Cohen (1987: 193-196), mengatakan bahwa jangan pernah
menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi
kerja dalam organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang
paling kuat. Psikolog terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat
motivasi maksimum, orang harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku
yang pantas mendapat pujian. Bahkan Napoleon Bonaparte terkejut menyaksikan
kekuatan pengakuan sebagai motivator. Setelah tahu bahwa para prajuritnya
bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan medali yang diberikannya,
Napoleon berseru: “Sungguh menakjubkan
apa yang akan dilakukan orang untuk barang sepele seperti itu.”
5. Kebutuhan akan Aktualisasi
Diri
Menurut Maslow, setiap orang
harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh,
berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi
diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi
diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan
cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai (Goble, 1987: 77).
Kebutuhan akan aktualisasi diri
ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan
sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk
membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang
perlunya jembatan antara kemampuan manajerial secara ekonomis dengan kedalaman
spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan
sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat
dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan.
Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus
dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih
suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima.
Aplikasi Manajemen
Pada tingkat
puncak hierarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang
bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang
dikatakan telah mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah
sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini
benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi
mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Bila pada level
kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh kekurangan, orang yang
matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk mengembangkan serta
mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-kapasitasnya secara penuh.
Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk diterapkan pada
kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat
spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk
mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen:
“Being man is having to be man”.
F. Pro dan Kontra
Sebagaimana
lumrahnya perkembangan suatu teori, tesis Maslow juga mengundang sejumlah antitesis.
Itulah dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan. Sejumlah kalangan melihat
bahwa teori Maslow, kendati tampak sah bagi banyak pihak, namun masih harus dibuktikan secara
empiris. Dalam kenyataannya, sulit sekali untuk memisahkan dan mengukur
kebutuhan itu. Urutan hierarki spesifik tidak sama bagi semua orang. Juga tidak
ada penjelasan kapan suatu kebutuhan sudah cukup terpenuhi. Dan mungkin ada
beberapa kebutuhan yang dominan dalam diri seseorang pada saat yang sama (Kleiner, 2002: 359).
Manusia
memang makhluk yang dinamis dan multidimensional. Semua teori ilmu pengetahuan
tentang manusia mesti berhadapan dengan kenyataan itu. Dari kenyataan ini,
orang melihat bahwa teori Maslow semestinya didukung lagi dengan bukti-bukti
empiris yang lebih banyak. Hingga saat ini belum cukup bukti yang jelas yang
menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan ke dalam lima
kelompok yang berbeda atau berada pada suatu hierarki. Sejumlah ahli menjadi
ragu karena sejumlah penelitian memberikan hasil yang berbeda;
beberapa penelitian mendukung, sedangkan yang lainnya menolak. Wahba dan
Bridwell (1976) menyimpulkan suatu paradoks untuk teori Maslow: bahwa teori ini
diterima luas, tapi tidak banyak didukung oleh bukti riset (Steers et al., 1996: 15).
Patut
disayangkan bahwa bagian terbesar dari hasil-hasil riset tersebut dicapai dari studi-studi yang tidak menguji
teori Maslow secara tepat. Evaluasi di atas menunjukkan sejumlah keterbatasan
yang lumrah pada suatu teori ilmiah. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa
teori Maslow telah meletakkan batu pertama untuk penelitian struktur individu
terutama menyangkut apa yang lebih mendorong perilaku tertentu dalam
organisasi. Sumbangan Maslow tidak sedikit untuk perkembangan psikologi
organisasi. Bila ditinjau lebih khusus, evaluasi atau riset yang menghasilkan
kesimpulan yang tidak mendukung teori
bisa saja berangkat dari pemahaman yang tidak komprehensif atas teori
dan jalan pikiran Maslow. Tidak jarang terjadi, dalam banyak kasus penelitian,
teori yang baik gagal dibuktikan karena metode dan aplikasi riset yang buruk.
Tidak adanya keberhasilan sering disebabkan oleh salah pengertian teori, atau
penerapan buruk konsep motivasi yang baik.
Dalam buku Motivation and Personality, Maslow
berkali-kali mengingatkan agar jangan sesekali memutlakkan kelima tingkat
kebutuhan atau membedakannya secara tajam dan kaku. Kiranya Maslow sepenuhnya
menyadari sejak awal bahwa berbicara tentang struktur kepribadian manusia yang
dinamis, idak segampang membalikkan telapak tangan.
Untuk
memahami, menerima, dan menerapkan teori yang hingga kini masih menggema ini,
kita harus memahami sejumlah kualifikasi lanjutan agar konsep kita menjadi
lebih komprehensif.
Pertama, mengingat teori Maslow merupakan suatu teori
umum tentang kebutuhan manusia, maka ketika diterapkan kepada manusia tertentu
(dengan budaya tertentu) tentu terdapat kekecualian-kekecualian dalam
pengurutan umum hierarki yang ada. Ada orang tertentu yang tidak pernah
berkembang melampaui tingkatan pertama atau kedua, sedangkan ada pula orang
lain yang demikian terpukau oleh kebutuhan tingkat tinggi sehingga
kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah tidak menarik bagi mereka.
Kedua, rantai kausatif tidak selalu berlangsung
dari stimulus-kebutuhan-perilaku. Sekalipun Maslow dalam tesisnya menyatakan
bahwa apabila seseorang tidak dapat memenuhi dua macam kebutuhannya, maka ia
lebih menginginkan pemenuhan kebutuhan yang lebih mendasar. Nyatanya, mungkin tindakan-tindakannya tidak
sesuai dengan keinginannya, karena ideal, standar sosial, norma, dan
tugas-tugas dapat mempengaruhi dirinya.
Ketiga, suatu tindakan jarang sekali dimotivasi oleh
sebuah kebutuhan tunggal. Setiap tindakan cenderung disebabkan oleh berbagai
macam kebutuhan. Di lain sisi, dua kebutuhan yang sama tidak selalu akan
menyebabkan timbulnya reaksi yang sama pada setiap individu. Umumnya dapat kita
lihat bahwa individu-individu dapat mengembangkan tujuan-tujuan substitut
ketika pencapaian langsung terhadap suatu kebutuhan terhalangi.
Keempat, perlu disadari bahwa banyak di antara
tujuan yang diupayakan oleh manusia merupakan tujuan-tujuan jauh dan berjangka
panjang yang hanya dapat dicapai melalui suatu seri langkah dan sarana. Bila
dalam jangka pendek seseorang tidak menampakkan minat pada tujuan tertentu
belum tentu bahwa ia tidak membutuhkannya. Menyadari hal ini, lagi-lagi
ditegaskan betapa besar misteri yang meliputi kepribadian manusia. Kata pemeo,
dalamnya lautan bisa diduga, dalamnya hati manusia sungguh tak dinyana.
Barangkali misteri manusia ini jugalah yang membatasi semua teori tentang
manusia. Imuwan Craig Pinder, seperti dikutip Winardi (2002: 76-77), memberikan jalan tengah atas dua kubu
pendapat yang pro-kontra sebagai berikut:
“Teori Maslow tetap sangat
populer di kalangan para manajer dan mereka yang mempelajari perilaku
organisasi kendati tidak banyak studi yang secara resmi dapat mengkonfirmasi
atau menolaknya.... Ada kemungkinan bahwa dinamika yang terimplikasi pada teori
Maslow tentang kebutuhan bersifat terlalu kompleks untuk diterapkan dan dikonfirmasi
oleh riset ilmiah. Jika demikian halnya, maka kita tidak pernah mungkin
mendeterminasi berapa valid teori tersebut -atau secara tepat- aspek mana
sajakah dari teori tersebut bersifat valid, dan aspek mana yang tidak valid.”
Sekalipun tidak banyak riset yang secara
jelas mendukung teori ini, kita tetap dapat menarik pelajaran berharga bagi
para manajer. Khususnya dapat dikatakan bahwa suatu kebutuhan yang terpenuhi
mungkin akan kehilangan potensi atau daya motivasionalnya. Oleh karena itu,
sebagai implikasi atas teori ini, para manajer dianjurkan untuk memotivasi para
karyawan mereka dengan jalan merancang program-program atau praktek-praktek
yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang muncul atau
kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi (Winardi, 2002: 76-77). Stephen P.
Robbins (2006: 214), dalam buku Perilaku Organisasi, menulis bahwa “meskipun dikritik
habis-habisan..., agaknya [teori Maslow] masih merupakan penjelasan yang paling
baik soal motivasi karyawan”.
Teori-teori lain yang muncul setelah teori Maslow lebih merupakan
penyempurnaan dan penyesuaian daripada penemuan suatu teori yang betul-betul
baru. Dari telaah filosofis, dengan kelebihan maupun kelemahan teorinya, Maslow
telah berhasil mencetuskan pemikiran yang amat bermanfaat. Kelebihan dari
teorinya jelas memberikan sumbangan besar dalam pengetahuan tentang motivasi
dan kepribadian manusia. Dan kelemahan teorinya serta-merta tetap berguna
karena telah memberikan atau memancing feedback
bagi pemikir-pemikir selanjutnya untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
G. Penutup:
Kesimpulan
Dari sekian
banyak teori motivasional yang ada, mungkin teori Hierarki Kebutuhan Maslow
yang paling luas dikenal. Teori ini mewariskan pesan bagi kita bahwa begitu
orang melewati tingkat kebutuhan tertentu, ia tidak lagi terdorong oleh
motivasi tingkat di bawahnya. Hal ini memberikan pengertian agar seorang
manajer atau pemimpin atau motivator dalam organisasi hendaknya mengenal apa
yang dibutuhkan oleh bawahannya. Kebutuhan seorang buruh produksi harian dengan
karyawan staff manajerial tentu berbeda. Untuk memberikan motivasi yang dapat
meningkatkan performa kepada keduanya, seorang motivator harus memberikan treatment yang berbeda sesuai dengan
kebutuhan mereka. Bilamana seorang karyawan mempunyai gaji dan keamanan kerja
yang dapat memenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa amannya, maka hal itu tidak
lagi akan memberikan motivasi. Sama halnya kita tidak akan meresahkan kebutuhan
bernapas, kecuali kita mempunyai masalah dalam organ pernapasan kita. Hierarki
Kebutuhan Maslow penting bagi kita karena membantu menjelaskan mengapa gaji
tinggi, keuntungan yang baik, dan keamanan kerja tidak selamanya dapat
memotivasi kinerja. Dengan menelaah apa yang menjadi kebutuhan karyawan dan
memberikan pemuasan yang tepat sasaran, seorang motivator benar-benar telah
mengelola motivasi. Mengelola motivasi berarti mengajak orang untuk melakukan
sesuatu yang kita inginkan untuk dilaksanakan, kapan dan bagaimana itu
dilakukan, karena orang ingin melakukannya. Hendaknya hierarki kebutuhan Maslow
tidak dilihat secara kaku dan mutlak. Batas-batas antara tingkatan yang satu
dengan yang lain tidak terlampau jelas dan lebih menunjukkan saling tumpang
tindih. Tidak bisa dipastikan dengan kaku bahwa kebutuhan rasa aman hanya akan
muncul setelah kebutuhan akan makanan terpuaskan sepenuhnya. Kebanyakan orang
dalam masyarakat kita telah mampu memuaskan sebagian besar kebutuhan dasariah
mereka kendati belum dalam arti sepenuh-penuhnya. Yang mau ditekankan adalah
bahwa begitu suatu tingkat kebutuhan terpuaskan, maka kebutuhan tersebut tidak
lagi akan memiliki pengaruh yang berarti pada motivasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bushardt, Stephen C. 2002. “Dapatkah Uang Memotivasi?” dalam A. Dale Timpe,
Memotivasi Pegawai (judul asli: Motivation of Personnel), Seri Manajemen Sumber Daya Manusia 3, diterjemahkan oleh
Susanto Budidharmo. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Butler-Bowdon, Tom.
2005.50 Self-Help Classics.
Diterjemahkan oleh Rachma Christiani Subekti. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Cohen, William A.
1995. Seni Kepemimpinan (judul asli: The
Art of The Leader). Diterjemahkan oleh Anton Adiwiyoto. Jakarta: Spektrum.
Francella, Kevin. 2002. “Berilah
Penghargaan, Jika Pegawai Berprestasi” dalam A. Dale Timpe, Memotivasi Pegawai (judul asli: Motivation of Personnel),
Seri Manajemen Sumber Daya Manusia 3, diterjemahkan oleh Susanto Budidharmo. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Goble, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham
Maslow (judul asli:The Third Force,
The Psychology of Abraham Maslow). Diterjemahkan oleh Drs. A. Supratiknya.
Yogyakarta: Kanisius.
Kleiner, Brian H. 2002. “Memadukan
Teori Motivasional yang Utama” dalam A. Dale Timpe, Memotivasi Pegawai (judul asli: Motivation of Personnel),
Seri Manajemen Sumber Daya Manusia 3, diterjemahkan oleh Susanto Budidharmo. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Maslow, Abraham H.
1984. Motivasi dan Kepribadian: Teori
Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia (judul asli: Motivation and Personality).
Diterjemahkan oleh Nurul Iman. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Ranupandojo, Heidjrachman dan Suad Husnan. 1995. Manajemen Personalia Yogyakarta:
BPFE.
Robbins, Stephen P.
2006. Perilaku Organisasi (judul
asli: Organizational Behavior).
Diterjemahkan oleh Drs. Benyamin Molan. Jakarta: PT. Indeks.
Steers, Richard M. et al. 1996. Motivation and Leadership at Work. New
York: McGraw-Hill.
Winardi, J. 2002. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada