Konklaf usai (Rabu, 13/3/2013) dengan terpilihnya Uskup
Agung Buenos Aires, Argentina (periode 1998-2012), Jorge Mario Bergoglio
sebagai paus, menggantikan Paus emeritus, Benediktus XVI. Ia
adalah paus pertama dari Ordo Yesuit (SJ) sekaligus paus pertama yang berasal
dari kawasan di luar Eropa. Paus baru ini menggunakan nama Paus Fransiskus I.
Pemilihan nama “Fransiskus” oleh paus baru
ini kiranya bukan tanpa alasan. Tradisi Gereja Katolik Roma memiliki ratusan
nama kudus yang dapat dipilih sebagai panutan. Pilihan nama kudus tertentu
mencerminkan kekaguman pada keutamaan yang melekat pada empunya nama. Menurut
John Allen, pakar soal Vatikan, seperti dikutip CNN, nama “Fransiskus” merujuk
pada St. Fransiskus Assisi. Nama ini memuat keutamaan-keutamaan yang sangat
relevan pada masa kini, antara lain: perdamaian, kerendahan hati,
kesederhanaan, dan kecintaan pada lingkungan.
Dengan pemilihan nama Paus Fransiskus, dunia
dapat menaruh harapan baru pada isu vital dan urgen di zaman kita, yakni
perdamaian. Seturut teladan St. Fransiskus Assisi, perdamaian mencakup relasi
dialogal antara manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan alam.
Dalam sejarah peradaban manusia, peperangan
telah menjadi alat untuk menyelesaikan konflik kedaulatan ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan geografis. Peperangan demi peperangan yang tiada henti memakan
korban jiwa telah membuat manusia merasa tidak “at home” di bumi ini. Globalisasi
telah menghapus batas-batas negara sehingga dunia menjadi borderless village.
Namun globalisasi belum mampu menyatukan bangsa-bangsa di dunia menjadi satu
saudara. Gereja dalam konteks ini terpanggil untuk mengembangkan semangat
dialog agar tercipta perdamaian di antara umat manusia.
Perdamaian dengan alam pun sangat urgen di
zaman kita. Di samping menderita karena peperangan, manusia juga galau melihat
alam yang sepertinya semakin tidak bersahabat. Berbagai bencana alam terjadi
akibat ulah destruktif manusia. Alam diperlakukan sebagai obyek yang
dapat dieksploitasi. Solidaritas terhadap alam terkikis hingga manusia sendiri
lupa atau tidak sadar lagi bahwa alam merupakan bagian besar dari dirinya dan
sebaliknya. Manusia lupa bahwa merusak alam tidak berbeda dengan merusak hidup
manusia sendiri. Akibat dari perilaku ini amat jelas dalam era kita. Hutan
rusak, sungai tercemar, udara kotor dan berbau, dan banjir di mana-mana. Gereja,
terlebih melalui kepemimpinan Paus yang memilih nama Fransiskus, terpanggil
untuk aktif melakukan aksi rekonsiliasi (berdamai kembali) dengan Ibu Pertiwi
(Mother Earth).
Seperti panggilan pertama St. Fransiskus untuk ‘memperbaiki’
gereja San Damiano yang rusak parah, Gereja di bawah kepemimpinan Paus
Fransiskus pun terpanggil untuk memperbaiki Gereja dari dekadensi moralitas dan
spiritualitas yang santer diberitakan dewasa ini. Seruan Tuhan kepada St.
Fransiskus, “Go and repair my Church” menjadi seruan bagi Paus Fransiskus. Dan rekonsiliasi
dengan segenap ciptaan merupakan salah satu jalan yang indah. Dengan demikian
Gereja akan kembali menjadi tempat yang teduh bagi manusia modern, yang disebut
Henry Nouwen sebagai generasi tanpa bapa. Melalui rekonsiliasi dengan segenap
ciptaan, Gereja dapat, bersama
Fransiskus, menyebut matahari, bulan, udara, air, dan sekalian makhluk sebagai
saudara dan saudari.
Lianto