"Aku tak dapat berdoa lagi". Ini sering diungkapkan orang-orang yang
mulai mengalami kesulitan dalam berdoa. Relasi dengan Allah dalam doa
biasanya diawali dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan akan
kehadiran Allah. Allah dialami sebagai Allah yang hidup, dekat, penuh
cinta, senantiasa menghibur dan menguatkan. Hiburan-hiburan dan
kegembiraan rohani ini mendorong orang untuk semakin bertekun dalam doa. Baginya, Allah adalah segala-galanya.
Dalam perjalanan rohani, akan tiba saatnya seseorang mengalami
kekosongan dan kekeringan yang menyengsarakan dalam doa. Doa yang dahulu
merupakan relasi intim dengan Allah, kini dialami sebagai tindakan tak
bermakna, tidak menyentuh hati, kering, hampa, dan membosankan. Allah,
yang dahulu dialami sebagai Allah yang hidup, hadir dekat, dan penuh
cinta, kini dialami sebagai Allah yang tersembunyi, jauh, dingin, dan
bisu. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan
diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mzm. 10:1); “Allahku, Allahku,
mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh
dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:2).
Kekeringan dalam doa
seperti terungkap di atas bisa disebabkan oleh kelalaian pribadi,
semangat suam-suam kuku, kemurungan hati, dan atau gangguan kesehatan.
Tidak mengherankan bila orang yang bersemangat suam-suam kuku pada suatu
ketika akan mengalami doanya terasa tak bermakna. Juga bukan hal yang
luar biasa bila orang sulit berdoa dalam keadaan sakit atau galau
hatinya.
Namun kekeringan dalam doa dapat pula disebabkan
bukan oleh-hal-hal di atas, melainkan oleh Allah sendiri yang hendak
menyucikan, menerangi, dan menyatukan pendoa dengan diri-Nya. Kekeringan
yang bersumber pada karya Allah inilah yang disebut St. Yohanes dari
Salib sebagai “malam gelap” dalam doa. Orang yang dilanda kekeringan
mengalami seolah-olah Allah meninggalkannya dalam malam yang gelap
gulita.
Ketidakpahaman akan pengalaman di atas dapat
menyebabkan orang menjadi putus asa dan meninggalkan doa tatkala dilanda
kekeringan. Ia berpikir bahwa kekeringan yang dialaminya merupakan
tanda kejauhan Allah atau kemunduran hidup rohaninya. Ia “lari” justru
pada saat tangan Allah hendak menariknya agar lebih dekat pada-Nya.
Sekarang masalahnya, petunjuk atau tanda apa saja yang bisa dipakai
untuk mengidentifikasi kekeringan doa yang disebabkan oleh karya
pemurnian Allah dan membedakannya dari kekeringan yang disebabkan oleh
kelalaian pribadi?
Buku kecil ini mencoba menggali dan
meringkaskan khazanah pandangan mistikus besar St. Yohanes dari Salib
untuk menjawab pertanyaan di atas. Semoga bermanfaat.
Penerbit: Kanisius, 2012
"Aku tak dapat berdoa lagi". Ini sering diungkapkan orang-orang yang mulai mengalami kesulitan dalam berdoa. Relasi dengan Allah dalam doa biasanya diawali dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan akan kehadiran Allah. Allah dialami sebagai Allah yang hidup, dekat, penuh cinta, senantiasa menghibur dan menguatkan. Hiburan-hiburan dan kegembiraan rohani ini mendorong orang untuk semakin bertekun dalam doa. Baginya, Allah adalah segala-galanya.
Dalam perjalanan rohani, akan tiba saatnya seseorang mengalami kekosongan dan kekeringan yang menyengsarakan dalam doa. Doa yang dahulu merupakan relasi intim dengan Allah, kini dialami sebagai tindakan tak bermakna, tidak menyentuh hati, kering, hampa, dan membosankan. Allah, yang dahulu dialami sebagai Allah yang hidup, hadir dekat, dan penuh cinta, kini dialami sebagai Allah yang tersembunyi, jauh, dingin, dan bisu. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mzm. 10:1); “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:2).
Kekeringan dalam doa seperti terungkap di atas bisa disebabkan oleh kelalaian pribadi, semangat suam-suam kuku, kemurungan hati, dan atau gangguan kesehatan. Tidak mengherankan bila orang yang bersemangat suam-suam kuku pada suatu ketika akan mengalami doanya terasa tak bermakna. Juga bukan hal yang luar biasa bila orang sulit berdoa dalam keadaan sakit atau galau hatinya.
Namun kekeringan dalam doa dapat pula disebabkan bukan oleh-hal-hal di atas, melainkan oleh Allah sendiri yang hendak menyucikan, menerangi, dan menyatukan pendoa dengan diri-Nya. Kekeringan yang bersumber pada karya Allah inilah yang disebut St. Yohanes dari Salib sebagai “malam gelap” dalam doa. Orang yang dilanda kekeringan mengalami seolah-olah Allah meninggalkannya dalam malam yang gelap gulita.
Ketidakpahaman akan pengalaman di atas dapat menyebabkan orang menjadi putus asa dan meninggalkan doa tatkala dilanda kekeringan. Ia berpikir bahwa kekeringan yang dialaminya merupakan tanda kejauhan Allah atau kemunduran hidup rohaninya. Ia “lari” justru pada saat tangan Allah hendak menariknya agar lebih dekat pada-Nya.
Sekarang masalahnya, petunjuk atau tanda apa saja yang bisa dipakai untuk mengidentifikasi kekeringan doa yang disebabkan oleh karya pemurnian Allah dan membedakannya dari kekeringan yang disebabkan oleh kelalaian pribadi?
Buku kecil ini mencoba menggali dan meringkaskan khazanah pandangan mistikus besar St. Yohanes dari Salib untuk menjawab pertanyaan di atas. Semoga bermanfaat.
Penerbit: Kanisius, 2012